Daffa berhenti sejenak, napasnya berderak seperti api yang tertahan. "Mau apa lo, Cheryl? Balikin Dara sekarang juga!"Cheryl menatapnya dengan ekspresi pahit, kemarahan yang seperti badai hitam berkecamuk di dalam dirinya. "Daiva udah khianati gue! Dia tidur sama perempuan ini, sampai dia mengandung benihnya. Jadi, Dara harus bayar untuk semua ini!" ucapnya, suaranya penuh dendam yang tertahan.Daffa mendengus keras, amarahnya semakin tak terbendung. "Karena lo tahu lo cacat, lo jadi gila?! Urus masalah lo sama Daiva, jangan sama Dara! Dan jangan pernah anggap anak itu sebagai anak Daiva!" Matanya bersinar tajam, seakan kata-katanya bisa menghancurkan tembok amarah Cheryl.Cheryl tertawa pahit, suara tawanya menggema, menyayat di udara. "Oh, ya? Kalau orang tua gue tahu Daiva punya anak dari perempuan lain, mereka gak akan segan menghancurkan keluarga lo." Suaranya serupa pisau yang menggores tanpa ampun."Gue nggak takut! Papa bakal nutup perusahaan itu. Bokap gue gak akan kerja di
Adicandra, yang sejak tadi mendengarkan, maju mendekat. "Papa akan tetap menutup perusahaan itu, Daff. Papa sudah jual asetnya ke Pak Galih. Jadi, kita udah nggak perlu takut lagi pada ancaman Cheryl. Kalau kamu mau lapor polisi, silakan." Kata-katanya tegas, seperti petir yang menggulung badai amarah dari hari-hari yang panjang.Daffa menyadari bahwa ini adalah akhir dari semua ancaman Cheryl, sebuah kesempatan untuk benar-benar menutup lembaran penuh luka ini. "Kalau begitu, aku ke sana dulu, Ma. Tolong jaga Dara."Dara memanggilnya, suaranya pelan namun dipenuhi kecemasan. "Mas... hati-hati, ya. Jangan sampai Mas jadi korban selanjutnya."Daffa tersenyum tipis, mengecup kening istrinya. "Aku akan berhati-hati," ucapnya lembut. Setelah itu, ia melangkah pergi, menahan napas dalam dadanya yang dipenuhi berbagai perasaan, menuju tempat Cheryl ditahan.Sesampainya di rumah kosong itu, Daffa melangkah mantap. Pintu yang ia dorong terbuka dengan keras, menim
Cheryl terhenyak sesaat. la menatap ke arah Daffa dengan wajah yang sulit diartikan. Berantalakan. Itulah Cheyl sekarang."Lo mau gue pergi ke mana sih huh?" tanya Cheryl dengan sisa-sisa keputusasaannya."Terserah! Ke mana pun elo pergi, gue gak peduli. Yang penting, jangan pemah muncul lagi di hadapan gue dan Dara!" kelakar Daffa kemudian.Cheryl mengembuskan napasnya dengan pelan. "Gimana kondisi Daiva sekarang? Operasinya masih belum selesai?" Cheryl mulai menanyakan kondisi suaminya.Daffa mengendikan bahunya. "Mana gue tahu. Nggak ada kabar dari orang tua gue soal kondisi Daiva. Maybe selamat, bisa jadi nggak."Daffa mengajak Fahri dan Julies untuk meninggalkan tempat itu. Setelah akhirnya berhasil membungkam mulut Cheryl yang terlalu meninggikan ucapannya.Kini, perempuan itu sudah tak bisa mengancam keluarganya lagi. Apalagi meminta kepada Dara agar anaknya diberikan padanya Sudah selesai. Cheryl sudah tidak punya kekuatan lagi selain hanya bisa termenung.Menyesali perbuatann
"Iya, iya. Nggak akan memanggil Tu Kak Daiva pake 'tuan' lagi." Dara pun mengalah. Walau sempat keceplosan mengucapkan itu."Juls, nggak mau pulang?" tanya Fahri yang sudah mulai jenuh melihat percakapan yang dilakukan Dara dan Daffa.Membahas masalah tentang ketidaksukanya Daffa mendengar Dara memanggil Daiva dengan sebutan 'tuan'.Julies mengangguk. "Ya udah. Yuk, pulang. Udah malam juga. Besok gue ada janji temu sama klien. Gak bisa temenin elo di cafe. Sorry, ya."Fahri mengangguk sembari mengulas senyumnya. Lalu, pamit pulang pada keempat orang yang masih stay di sana.Fahri mengantar pulang Julies. Seperti biasanya selalu ia antar jika sedang pergi berdua."Dara orangnya asyik ya, Ri. Polos, lugu, apa adanya. Selalu berucap jujur, nggak pernah berbohong walau hanya sedikit."Julies tak pernah berhenti mengagumi kepolosan Dara. Sangat menyukai istri dari mantan kekasihnya itu."Maka dari itu, dulu gue sempat marah ke elo karena gak terima Daffa nikah sama Dara, karena gue kasihan
Fahri mengungkapkan perasaannya kepada Julies di hari itu.Mendengar pernyataan cinta dari Fahri, lantas membuat perempuan itu menerbitkan senyumnya dengan manis. Senang bukan main lantaran ada pria yang mau menerima dia apa adanya."Are you seriously?" tanya Kulies ingin memastikan jika Fahn memang benar-benar Mencintainya.Fahri mengangguk antusias. "Ya. Gue serius. Gue cinta sama elo, Juls. Karena memang gue cinta apa adanya. Karena memang sudah waktunya gue buka hati lagi. Jangan salah paham, gue beneran suka sama elo.”Julies tersenyum dengan lebar. Lalu mengangguk antusias "Ya, gue percaya sama elo, Fahri. Dan gue juga mau jadi pacar lo.Kini, mereka sudah saling mengungkapkan perasaannya masing-masing. Hingga akhirnya mereka pun menjalin hubungan setelah tahu perasaan yang mereka miliki. Saling mencintai pasangan apa adanya.Kini, Fahri yang memeluk Julies. Bahagia karena akhirnya dia bisa mengungkapkan perasaan itu pada perempuan yang selalu mengusik hatinya setiap han. Selalu
Klek!Pintu kamar itu terkuak, membiarkan bayangan sang empunya memasuki ruangan. Dara, yang sedang asyik dengan pekerjaannya, membalikkan tubuhnya dan terkejut, sepasang matanya membulat. Di ambang pintu, seorang pria berdiri dengan senyum menyeringai, seperti seekor serigala yang baru saja menemukan mangsa barunya. Mata Daiva berbinar penuh nafsu ketika melihat Dara yang cantik berada di dalam kamar pribadinya.Dengan langkah gontai, akibat mabuk yang masih mengguncang tubuhnya, Daiva menghampiri Dara yang berdiri mematung di samping ranjang king size. Udara di sekitarnya terasa semakin mencekam."Ma-maaf Tuan. Sa-saya hanya membersihkan kamar Tuan," ucap Dara terbata-bata, suaranya bergetar menahan rasa takut yang menjalari setiap inci tubuhnya.Pria itu semakin mendekat, menghidu aroma tubuh Dara dengan napas yang memburu. Senyumannya kian melebar, bak iblis yang puas melihat mangsanya tak berdaya."Wangi tubuhmu begitu memikat. What’s your name?" tanya Daiva dengan suara berat,
Pagi hari telah tiba. Mata Dara membuka dengan pelan, mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tubuhnya masih lemas, namun ia tahu bahwa ia harus segera keluar dari rumah itu. "Sial! Kenapa aku ada di kamar neraka ini lagi?" ucapnya lirih, hampir seperti bisikan pada dirinya sendiri. Daffa terbangun, terbangkit dari tidur di sofa. Tangisan Dara yang mulai pecah kembali telah mengusik tidurnya. Segera pria itu menghampiri Dara, menjaga jarak agar tidak membuat Dara salah paham. "Hei! Sudah bangun?" tanyanya dengan lembut, nada suaranya penuh perhatian. Dara mengangkat wajahnya dengan cepat, matanya terbelalak ketakutan. Dengan sigap, ia menutup tubuhnya dengan kedua tangannya, trauma yang mendalam pada seorang pria sudah pasti ia rasakan. "Siapa kamu? Jangan sentuh saya!" ucapnya penuh ketakutan, tubuhnya gemetar. "Jangan takut. Aku bukan Daiva. Aku Daffa. Apa yang sudah kakakku lakukan padamu? Dan... kamu siapa?" tanya Daffa dengan suara selembut mungkin, berusaha menenangkan Dara.
Melawati menoleh pada anak bungsunya itu. "Oh. Lagi beresin kamar kamu. Memang sangat rajin Dara itu. Sudah cantik, polos, rajin, dan penurut. Mau nggak, Daffa?"Melawati tiba-tiba menawarkan Dara padanya. Apa maksudnya? Sedangkan Daffa memang akan bertanggung jawab atas apa yang dilakukan Daiva pada Dara."Tapi, Ma. Bagaimana bisa Mama menawarkan Dara padaku?" tanya Daffa dengan pelan.Melawati mengembuskan napasnya dengan panjang. "Daiva sebentar lagi akan menikah. Kamu ... sebentar lagi lulus S-3. Mama ingin anak-anak Mama menikah, Daffa.""Hanya itu?"Melawati menoleh kembali pada Daffa. "Lalu ... maunya apa lagi, Daffa? Suka nggak, sama Dara? Mama nggak peduli dengan latar belakangnya, Daf. Mama tahu, dia berasal dari keluarga tidak mampu. Tapi, sepertinya anak itu cocok untuk kamu."Daffa mengerutkan keningnya. Melawati menjodohkannya dengan Dara. Lalu, bagaimana jika Dara hamil anak Daiva?"Ma ... Dara.""Yaa. Dara kenapa, Daf? Bukan selera kamu? Lalu, kamu mau cari yang sepert