Daffa hanya mengangguk, sebab dia harus memarkirkan mobilnya di bagasi rumah milik Daiva dan Cheryl. Mereka sudah tiba di sana.Daffa dan Fahri masuk ke dalam rumah tersebut."Cheryl!" panggil Daffa berteriak di dalam rumah itu.Salah satu ART di sana kemudian keluar menghampiri Daffa dan Fahri yang sedang berdiri di ruang tengah."Sudah satu minggu ini baik Tuan Daivaa atau Nyonya Cheryl tidak pulang ke rumah ini, Tuan," ucap ART tersebut.Daffa lantas mengerutkan keningnya. "Sudah satu minggu?" tanyanya dengan datar.ART itu mengangguk. "Iya, Tuan. Keduanya tidak ada pulang ke rumah ini, sudah satu minggu. Sebenarnya saya menghawatirkan keadaan mereka berdua. Dan orang tua Nyonya Cheryl juga tidak ke sini selama satu minggu ini."Daffa berkacak pinggang sambil memikirkan di mana keberadaan Cheryl saat ini. Pun dengan Fahri, dia juga memikirkan keberadaan Cheryl."Ya sudah kalau begitu, terima kasih." Daffa kembali keluar dari rumah itu setelah mendapat kabar jika Cheryl tidak ada di
Panggilan telepon itu diakhiri oleh Daffa. Tak lama setelahnya, para petugas kepolisian dan ambulans sudah tiba di rumah tersebut. Membawa jenazah Cheryl ke dalam mobil ambulans.Serta para petugas kepolisian tengah melakukan olah TKP di tempat kejadian, di mana Cheryl bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri."Terima kasih atas informasinya, Pak. Kalau begitu, kami akan melakukan otopsi kepada jenazah tersebut. Apakah anda mengenalinya?" tanya petugas kepolisian kepada Daffa dan Fahri.Daffa mengangguk. "Dia kakak ipar saya, Pak. Suaminya sudah ia tembak. Kemudian mungkin dia bunuh diri, saya tidak tahu pasti. Karena saya juga baru ke sini.Tempatnya sama, dengan suaminya yang juga ditembak di kamar tersebut."Mungkin setelah kejadian itu, ketika kakak saya dibawa ke rumah sakit, dia pun menembak dirinya. Sepertinya begitu. Saya juga tidak tahu pasti sih."Daffa menjelaskan apa yang ia ketahui dan tidak tahu pasti kapan Cheryl melakukan bunuh diri.Petugas polisi kemudian meng
Melawati dan Adicandra tiba di sana. Wajah Melawati tampak panik lalu menghampiri Daiva. "Cheryl meninggal, Nak. Dan orang tuanya tidak tahu jika Cheryl telah menembak kamu," kata Melawati sembari menggenggam tangan anaknya.Daiva mengangguk dengan pelan, "lya, Ma. Aku udah tahu. Yang menemukan Cheryl... Daffa dan Fahri. Dia masih ada di rumah, di mana waktu itu sekap Dara di sana. Nggak pulang setelah insiden itu.”Melawati memegang dadanya. Tak menyangka jika menantunya itu akan meninggal secara tragis. "Sekarang, rumah itu sudah disegel oleh garis polisi. Banyak wartawan juga ke sana.""Ngapain? Orang udah mati malah diliput," sengal Daffa. la paling tak suka dengan berbau media. "Lebay!" ucapnya kemudian.Dara mengusap lengan Daffa. "Sabar. Mereka lagi cari uang. Tahu, kalau Mbak Cheryl anak konglomerat. Berita baik untuk para awak media yang lagi informasi."Daffa tersenyum miring. "Dia... udah mati aja masih ngasilin duit buat orang lain, yaa. Hebat!" Daffa malah mengagumi Chery
Julies mengangguk. Pun dengan orang tua Daffa yang ikut melihat kondisi Dara di ruang IGD."Terima kasih, Dok," ucap melawati kepada Dokter Ami."Kalau begitu, aku ke kantor polisi dulu," kata Fahri pamit kepada semua orang yang ada di sana."Om juga ikut. Kita satu mobil saja. Kita harus selesaikan masalah Ini Daffa tidak mungkin membunuh Cheryl. "Sebenci-bencinya Daffa pada Cheryl, dia tidak akan tega melakukan itu kepadanya."Fahri mengangguk. "lya, Om. Aku juga yakin kalau dapat tidak akan melakukan itu. Ini hanya salah paham atau mungkin ada orang yang menjebak Daffa.Fahri selalu berasumsi tepat pada porsinya Adicandra kemudian mengangguk lalu mereka pamit untuk menemui Daffa di kantor polisi.Sementara di kantor polisi.Daffa tengah berada di ruang investigasi bersama ketiga polisi yang sudah membawanya."Maksudnya apa sih, Pak? Saya yang sudah memberi tahu Anda, kalau ada yang mati di rumah itu. Kenapa saya yang ditangkap?" tanya Daffa dengan penuh emosi."Anda yakin... bukan
Ari mengangguk dengan antusias. "lya, Pak. Betul, kami akan segera membuat laporan penangkapan untuk Saudari Wisnu, karena sudah membuat dokumen palsu."Adicandra lantas tersenyum senang mendengarnya. Balas dendamnya tak perlu menggunakan tangannya. Wisnu sendiri yang sudah menjerat dirinya. Hingga akhirnya, harus menerima kenyataan bahwa ia akan dihukum."Baiklah kalau begitu. Saya tunggu laporannya. Jika pria itu sudah ditangkap dan dibawa ke sini, hubungi saya," kata Adicandra kepada Ari."Baik, Pak. Sekali lagi saya minta maaf atas penangkapan pada putra Anda.Adicandra dan Fahri keluar dari kantor polisi, menyusul Daffa yang sudah tidak ada di sana.Sudah pergi ke rumah sakit, untuk melihat kondisi istrinya yang tidak sadarkan diri hingga empat jam lamanya.Sesampainya di rumah sakit. Dengan langkah lebarnya, Daffa menghampiri Dara yang berada di ruangan IGD. Di sana ada Julies dan Melawati, tengah menunggu Dara yang masih menutup matanya."Daffa. Syukurlah kamu sudah keluar, Nak
"Bodoh!! Melakukan hal itu saja kalian tidak becus. Untuk apa aku mengeluarkan banyak uang jika anak keparat itu tidak masuk ke dalam penjara!"Pekikan keluar dari suara pria paruh baya kepada tiga petugas kepolisian di dekat parkiran.Karena waktu sudah malam, mereka pikir tak akan ada orang yang bisa melihatnya. Namun, lagi-lagi Daffa berhasil menangkap dan instingnya memang benar.Ketiga petugas kepolisian itu ternyata sudah dibayar oleh Cakrawisnu untuk menjebloskan Daffa ke dalam penjara."Hhh... kalian pikir aku bodoh! Lihat saja. Bukan hanya akan dipecat, melainkan dihukum juga. Karena sudah bekerja sama dengan penjahat."Daffa sangat puas dengan upaya untuk menangkap kejahatan yang dilakukan Cakrawisnu kepadanya."Maafkan kami, Pak. Kami benar-benar tidak tahu jika temannya itu sudah menyalin rekaman CCTV di rumah itu. Kami rasa, dua orang itu memang bukan orang sembarangan. Mereka memiliki kecerdasan dan insting yang kuat."Ari bisa menangkap kepribadian Daffa dan Fahri. Sehi
Daffa mengangguk. Kemudian, memberikan rekaman video yang sudah la ambil kemarin malam. Lalu, Ahmad dengan fokus mendengarkan obrolan mereka berempat di dalam video sana.Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keterlaluan! Pak Anggi!" teriak Ahmad memanggil salah satu staff kepolisian di sana."Siap, Pak!""Panggil Ari, Wibowo, dan Ilham ke sini!" titah Ahmad kepada Anggi."Baik, Pak!" Anggi keluar untuk memanggil ketiga petugas kepolisian tersebut.Tak lama setelahnya, ketiga orang itu tiba di ruangan Ahmad. Lalu, Ari mengerutkan keningnya. Sebab melihat Fahri dan Daffa ada di sana.Lagi apa mereka di sini? Memangnya, mereka kenal dengan Pak Ahmad, ucap Ari dalam hati."Lihatlah! Apakah kalian mengenal tiga orang itu?" Ahmad memberikan rekaman video itu kepada mereka bertiga.Saat melihatnya, lantas membuat tiga orang itu membolakan matanya dengan sempurna. Kaget bukan main kala melihat rekaman video, berisikan mereka berempat di sana."Bisa jelaskan, kenapa kalian menerima suap u
Satu minggu berlalu.Daiva sudah membaik. Sudah dibolehkan pulang hari ini. Daffa juga Dara ikut menemani Daiva untuk pulang ke rumah orang tuanya.Bukan ke rumah miliki mendiang istrinya. Sebab, semua barang-barang milik Daiva sudah dibawa ke rumah orang tuanya.Rumah itu sudah tidak berpenghuni. Bahkan, akan dijual oleh mamanya Cheryl. Karena kasus Cakrawisnu yang sudah memalsukan dokumen, perusahaannya terancam bangkrut.Anak-anaknya pun tidak ada yang mau meneruskan perusahaan tersebut karena sudah mendapat nilai E dari semua investor yang bekerja sama dengan perusahaan itu."Gue minta maaf karena ulah Cheryl dan orang tuanya, elo sempat ditahan. Sekarang, Wisnu kena getahnya. Semoga dia jera dan mau bertobat," kata Daiva setelah tiba di rumah.Daffa mengangguk. "Ya. Semuanya udah selesai. Gue udah bisa bernapas lega karena keluarga kita udah nggak ada urusan lagi sama mereka."Elo juga udah nggak jadi budak Wisnu dan Cheryl. Semo
Tujuh bulan kemudian.Julies tengah berjuang melahirkan seorang bayi yang masih berusaha mencari jalan keluar di bawah sana. Kini, mereka sudah berada di rumah sakit. Pun dengan Dara dan Daffa.Ingin melihat proses lahiran anak pertama Julies dan Fahri yang sudah menginjak usia sembilan itu. Dan mereka semua belum ada yang tahu, jika Julies sudah mengandung tiga bulan saat menikah dulu.Mereka hanya mengira jika Julies melahirkan secara prematur. Padahal, memang sudah memasuki bulan sembilan. Baik Julies maupun Fahri tak ada yang peduli. Mereka juga tidak memberi tahu jika Julies hamil sebelum menikah."Prematur, tapi bisa melahirkan secara normal, yaa." Daffa menggaruk belakang kepalanya. la bingung, karena Julies bisa melahirkan secara normal."Ngapain dibuat bingung sih, Mas. Syukur-syukur bayi dan ibunya sehat. Nggak usah aneh-aneh deh!" Dara kesal pada suaminya itu karena terus mengomentari Julies yang sedang berjuang melahirkan anak pertamanya di ruangan sana.Kemudian, pria itu
Prissa lantas menoleh cepat ke arah Daffa. "Maksud kamu apa, Daffa? Kenapa kamu ngomong kayak gitu? Aku hamil lho, Daff." Suara perempuan itu nyaris tenggelam karena menahan tangisnya.Julies menoleh padanya. "Sabar, yaa. Daffa emang gitu orangnya. Kita sama-sama korban ular jahat Daffa. Aku juga pernah hamil anaknya dia. Tapi, gak tanggung jawab tuh. Orangnya malah hamilin anak orang."Julies menepuk-nepuk bahu Prissa."Yaa gak bisa gitu dong, Juls. Masa gue harus rawat anak gue sendiri?" Prissa mulai kelabakan. Harinya tak tenang kala mendengar penolakan dari Daffa."Gue gak mau nikah sama elo, Prissa. Sampai itu anak brojol pun gue gak akan mau nikah sama elo!" pekik Daffa. Pria itu sudah mulai emosi.Hatinyä dikabut kemarahan yang tak bisa ia tahan lagi. Daffa yang super emosian itu lantas menggertak Prissa. Sehingga membuat perempuan itu menatap tajam ke arahnya."Berani berbuat, gak berani tanggung jawab!" sengal Prissa dengan suara menekan."Terserah elo! Terserah, mau ngomong
Julies tertawa melihat adegan luar biasa itu. Saling memaki dan saling berteriak. Membuatnya tak bisa untuk berhenti tertawa."Fahri, Fahri. Lucu banget sih, kamu." Julies geleng-geleng kepala. sembari mengikuti langkah Fahri menuju ruangan USG.Tak lama setelahnya, Daffa dan Dara pun tiba di sana. Menghampiri Fahri dan Julies yang sedang melihat Prissa. Perempuan itu tidak bisa ke mana-mana karena diserbu oleh empat orang.Ditambah Dokter Ami yang mulai memeriksa kandungannya. Semakin tak bisa ke mana-mana. Hanya bisa pasrah kala Dokter Ami sudah mengolesi gel di atas perutnya."Hasil USG itu akurat "kan, Dok?" tanya Fahri pada Dokter Ami."Hampir seratus persen akurat. Kita lihat dulu ya, janinnya." Dokter Ami mulai memeriksa kandungan Prissa.Ditatapnya layar monitor tersebut. Yang hanya Dokter Ami yang tahu, maksud dari gambar yang ada di sana. Mereka hanya tahu jika janin itu memang benar-benar ada di sana."Berarti bener ya, Dok. Di perutnya ada bayinya," kata Julies sambil mena
Prissa yang memang sedang ingin meminta pertanggungjawaban kepada Daffa pun telah menyiapkan segalanya.Memberikan alat tes kehamilan itu kepada Dara. Agar perempuan itu tahu, jika Prissa benar-benar hamil anaknya Daffa."Ada USG-nya?" tanya Dara kembali.Daffa menoleh dengan cepat ke arah Dara. Pun dengan Prissa. la terlihat gelagapan kala Dara meminta hasil USG-nya."Waktu saya periksa kehamilan dulu, sekalian USG. Karena pengen lihat perkembangan anak saya di dalam sini." Dara menunjuk perutnya yang buncit itu.Daffa tersenyum miring mendengar ucapan Dara. "Tumben, pinter. Dapat ngajarin siapa sih?" Daffa malah mencubit hidung Dara."Dari Mbak Julies. Waktu dia hamil juga katanya di-USG. Kenapa Mbak Prissa nggak USG? Emangnya, Mbak gak mau lihat calon bayi Mbak?" tanya Dara kepada perempuan yang ingin merebut suaminya itu.Tak lama kemudian, Fahri dan Julies tiba dir rumah tersebut. Kemudian Julies menghampiri Dara. Lalu, mengulas senyumnya."Gimana-gimana? Prissa beneran hamil? An
Waktu sudah menunjuk angka lima sore. Dara pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri. la melihat Daffa tengah meringkuk di atas tempat tidur. Namun, Dara hiraukan. Tetap melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.Ting!Notifikasi pesan masuk pada ponsel Daffa. Dengan malas, pria itu membuka pesan tersebut. Matanya memicing, melihat pesan masuk tersebut.Sebab, pesan masuk itu dari Prissa. Akan datang ke rumahnya untuk meminta pertanggungjawaban. Daffa memijat keningnya. Kemudian, menghubungi Fahri."Si Prissa udah mulai berulah, Ri. Dia mau ke sini. Minta tanggung jawab gue," kata Daffa setelah pria itu menerima panggilannya.Terdengar helaan napas di seberang sana. "Si Dara masih marah ke elo?" tanya Fahri."Ya. Bahkan lebih parah sejak menerima panggilan dari Prissa. Dia bener-bener nggak mau maafin gue. Malah, minta gue buat nikahin tuh orang."Katanya, gue aja tanggung jawab atas dia yang hamil bukan anak gue. Kenapa gue nggak mau tanggung jawab atas kehamilan Prissa yang jelas-j
"Apa yang harus aku lakukan, supaya kamu mau memaafkan kesalahanku, Dara? Apa yang bisa buat kamu memaafkan aku agar kamu bisa menerima semua perbuatan gila itu."Daffa kembali bersuara. Akan terus mengejar permintaan maaf dari Dara. Bahkan, ia rela melakukan apa saja, agar mau memaafkannya.Dara menoleh ke arah Daffa. "Tidak perlu. Mas Daffa tidak perlu melakukan apa pun. Semuanya sudah terjadi. Apa yang harus dilakukan?"Daffa bergeming. la hanya bisa menatap Dara dengan sayu. Hatinya teriris kala mendengar ucapan Dara. Terdengar sangat kecewa padanya."Jangan lengah, Daff. Si Prissa emang masih suka sama elo. Akan mencari cara agar bisa dapetin elo lagi. Sekarang, jangan pernah bertemu dengan dia sekali pun. Jauhi dia, jangan sampai elo ketemu lagi sama tuh orang."Ucapan Fahri membuat Daffa mengangguk dengan pelan. "Iya, Ri. Dari awal juga gue gak pernah mau ketemu sama dia lagi. Tapi, dia sendiri yang datang dan deketin gue."Fahri mengangguk. Lalu, menoleh ke arah Dara. "Kamu ja
"Tuh, kan. Apa kata gue juga. Dara punya penyakit shock. Denger berita yang bikin dia kaget, pasti langsung pingsan," kata Fahri sembari mengikuti Daffa yang tengah menggendong Dara. Yang akan membawanya ke rumah sakit."Jangan banyak omong. Bawa mobil. Ke rumah sakit sekarang juga?" titah Daffa kepada Fahri.Kemudian pria itu melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Untuk memeriksa kondisi Dara yang tiba-tiba tak sadarkan diri.Setibanya di rumah sakit, Dara langsung dibawa ke ruang IGD, untuk melakukan pemeriksaan."Kenapa lagi istrinya, Daffa?" tanya Dokter Ami sembari memeriksa kondisi Dara."Jatuh pingsan, Dok. Tiba-tiba, karena dengar kabar yang tidak mengenakkan" ucap Fahri memberi tahu.Dokter Ami menghela napasnya. "Kenapa selalu mendengar kabar yang tidak mengenakkan? Jangan pernah beri kabar tersebut, karena Dara memiliki sifat cenderung mudah terkejut."Saya rasa, ini ada kaitannya dengan pengalaman dia di masa lalu. Mungkin saat Dara tengah melamun, atau sedang memikirkan s
"Dara ke mana sih? Kenapa nggak temenin Mama di sini?" tanya Daffa setelah menyadari jika istrinya tidak ada di sana."Mau mandi dulu katanya," jawab Melawati."Oh. Tadi olahraga dulu sih dia. Kemudian, Daffa menoleh kembali pada Melawati. "Mama ke sini mau ngomongin itu doang?"Melawati mengangguk. "Mama mau ke Amerika. Jenguk Daiva, sama Papa juga. Kamu dan Dara mau ikut juga, nggak? Sekalian babymoon.""Udah gede kandungannya, Ma. Harusnya bulan lalu. Dara gak bakalan mau pergi jauh-jauh. Terlalu cinta dengan Indonesia."Mama sama Papa aja yang pergi. Titip salam aja buat Daiva. Sekalian tanyakan, udah dapat jodoh lagi atau belum."Melawati memutar bola matanya dengan pelan. "Ya sudah kalau begitu. Mama dan Papa saja yang ke sana. Mau kasih kejutan."Melawati pun pamit pergi dari rumah anaknya.Lalu, Dara yang baru selesai mandi itu pun keluar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lho. Mamanya ke mana, Mas?" tan
Fahri hanya mengulas senyumnya. Kemudian menggaruk hidungnya. "Mungkin gitu, Daff. Si Dara punya penyakit shock. Kayaknya itu penyakit lebih parah dari jantung deh."Bisa bikin pingsan orang dengan tiba-tiba. Sedangkan jantung.... biasanya bengek dulu Baru pingsan. Kalau shock, langsung pingsan saat itu juga.Daffa menoleh dan menatap Fahri dengan tajam. "Elo jangan nakut-nakutin gue dong! Kasih solusi yang bener. Jangan malah bikin makin runyam ini masalah."Fahri mengusap belakang kepalanya. "Hal gak guna, dan bikin gue selalu ikut campur dalam urusan elo. Bahkan, merelakan waktu gue buat kencan sama Julies. Gak seru kalau nggak bisa menemukan titik terangnya."Daffa mengangguk. "Bukan elo doang yang waktunya terbuang sia-sia. Gue juga.""Yang bikin masalah elo, Daffa. Wajar, kalau elo membuang waktu elo untuk ngurusin kayak beginian. Emang paling demen nyari penyakit elo tuh, yaa."Daffa menghela napasnya dengan panjang. Lalu, memijat ken