Lima belas menit kemudian, setelah sarapan, mereka bergegas menuju rumah sakit. Dara tampak bersemangat ingin mengetahui perkembangan buah hati mereka yang telah berusia lima bulan dalam kandungan.Namun, sesampainya di rumah sakit, langkah Daffa tiba-tiba terhenti ketika pandangannya bertemu dengan sosok Cheryl yang baru keluar dari ruangan laboratorium.Cheryl menatap mereka sekilas, lalu menghampiri dengan langkah cepat. Daffa menyipitkan matanya, memasang wajah ketus."Lagi ngapain lo di sini?" tanya Daffa dingin. Matanya menyipit saat menangkap secarik kertas di tangan Cheryl. Tanpa berpikir panjang, ia merebut surat itu dengan kasar."Daffa, balikin!" Cheryl berseru sambil mencoba merebut kembali surat tersebut dari tangan Daffa.Daffa hanya tertawa mencibir sambil mengacungkan surat itu di depan wajah Cheryl, lalu dengan kasar mengembalikannya."Si Julies pasti tahu deh, rumah sakit terkenal di luar negeri yang katanya bisa menumbuhka
Daiva terdiam, menelan ludah sejenak. "Aku minta maaf karena telah mengkhianati kamu, Cheryl. Tapi aku punya alasan yang cukup untuk melakukan itu pada Dara. Bukan sekadar nafsu," ucapnya dengan berat. "Aku sudah tahu jika kesuburanmu bermasalah."Cheryl tertawa miris, sorot matanya basah oleh amarah dan kekecewaan. "Lalu, kalau kamu sudah tahu aku nggak bisa kasih kamu anak, kenapa masih mau menikahiku? Bukankah anak itu pelengkap dalam rumah tangga?""Apakah kamu lupa, Cheryl?" Daiva tersenyum tipis, dengan nada getir. "Orang tuamu yang memaksa keluargaku. Mereka mengancam keluargaku agar aku menikahimu."Cheryl terperangah, menyadari kebenaran yang pahit dari hubungan mereka. Tangannya mengepal, dan ia meraup wajahnya dengan kasar, menahan luapan emosinya."Lalu, dari mana kamu tahu soal kesuburanku? Tidak ada seorang pun yang tahu tentang ini. Bahkan orang tuaku."Daiva mendekat, tangannya menggenggam kedua lengan Cheryl erat, menatapnya dalam-
Di dalam ruang periksa rumah sakit yang tenang, suara lembut dari mesin USG menggema. Dara berbaring di tempat tidur periksa dengan perasaan campur aduk, sementara Daffa duduk di sampingnya, menatap layar monitor dengan tatapan penuh harap.Di layar, bayangan janin tampak samar namun jelas, bergerak pelan dalam rahim Dara. Detak jantungnya terdengar jelas, memenuhi ruangan dengan irama kehidupan yang menggetarkan.Dokter Ami tersenyum lembut sambil menatap monitor. "Janinnya sehat, aktif, dan tumbuh dengan baik," ucapnya menenangkan. "Tapi, jenis kelaminnya belum terlihat. Masih malu-malu, ya, selalu menutupinya."Daffa mengangguk sambil terkekeh kecil. "Yang penting sehat, Dok. Soal jenis kelamin, biar nanti jadi kejutan saat lahiran," katanya dengan nada lega.Setelah menyelesaikan pemeriksaan, Dokter Ami mempersilakan Dara dan Daffa duduk di kursi di depannya. Ia menuliskan resep obat yang harus diminum Dara karena persediaannya hampir habis."K
Daffa menghela napas panjang. “Aku nggak pernah membela dia. Aku cuma nggak mau Cheryl makin hancur dan bawa keluarga kita ke dalam masalah,” katanya dengan suara yang berangsur pelan. “Kesehatan Papa lebih penting sekarang daripada urusan Cheryl dan Daiva.”Sementara itu, Dara yang mengamati perdebatan mereka malah tertarik pada hal lain. Ia menoleh ke arah Julies, menyadari bahwa Julies dan Fahri tampak akrab."Mbak?" panggil Dara pada Julies."Ya, kenapa, Dara?" Julies menjawab sambil menoleh.“Eumm… Mbak sama Mas Fahri, udah jadian ya?” tanya Dara dengan wajah polos.Fahri, yang duduk di samping Julies, hanya tersenyum canggung. Sementara itu, Julies tampak bingung dan tidak tahu harus menjawab apa. Ia akhirnya menggeleng pelan, memberi isyarat bahwa mereka belum ada hubungan apa-apa. Daffa yang sedang berusaha meredam emosinya hanya bisa memutar mata mendengar pertanyaan Dara.“Kepo bange
Sementara itu, di suatu ruangan sunyi, Cheryl duduk di sebelah tempat tidur, menatap Dara yang masih tak sadarkan diri. Ia melirik ke arah perut Dara yang mulai tampak membuncit, lalu menghela napas panjang, matanya penuh pikiran yang sulit diurai."Masih kecil, tapi sudah bisa menghasilkan anak. Umur berapa sih kamu, Dara? Wajahmu begitu belia. Tak heran Daiva tertarik sama kamu. Wajah manis dan polos ini, pasti dia suka," ujar Cheryl dengan nada mengejek, meski matanya memandang Dara dengan dingin.Tak lama kemudian, Dara mulai membuka matanya perlahan, menatap sekitar dengan bingung dan takut. Ketika pandangannya berfokus, ia tersentak melihat Cheryl duduk di sampingnya."Mbak! Kenapa saya ada di sini? Mbak lagi ngapain di sini?" tanyanya, suara Dara bergetar ketakutan. Tubuhnya yang masih lemas mencoba bangkit, namun tidak berhasil.Cheryl menghela napas panjang, matanya menatap Dara tanpa emosi. "Aku mau nego sama kamu, Dara," katanya datar.D
Cheryl tersenyum miring, bibirnya terangkat seakan mengukir ironi di wajahnya yang dulu penuh kelembutan. Matanya bersinar, bukan dengan kehangatan, melainkan dengan kilatan tajam yang dingin dan tak kenal ampun, seperti bayangan bulan yang terpantul di permukaan pisau yang baru saja diasah.Ia menarik tangan Dara dan mencengkeramnya, mengukir bekas luka yang tak terlihat, namun akan terus teringat dalam ingatan."Kenapa bisa, kamu datang ke sini? Tahu tempat ini dari mana? Aku tak pernah membawamu ke sini, atau... kamu juga membuntutiku, hingga akhirnya tahu tempat rahasia ini?" Suaranya tak lebih dari bisikan tajam yang mampu memotong udara, membuat ruangan seolah berhenti bernapas.Di hadapannya berdiri sosok yang tak asing, Daiva, suaminya. Mata pria itu penuh keputusasaan, serupa lautan yang pasang surut dalam badai.Dia berjalan mendekat, seakan di antara mereka ada tali tak kasat mata yang menariknya, meskipun bayang-bayang kehancuran melingkupinya."Lepaskan Dara. Dia tidak sa
Daffa berhenti sejenak, napasnya berderak seperti api yang tertahan. "Mau apa lo, Cheryl? Balikin Dara sekarang juga!"Cheryl menatapnya dengan ekspresi pahit, kemarahan yang seperti badai hitam berkecamuk di dalam dirinya. "Daiva udah khianati gue! Dia tidur sama perempuan ini, sampai dia mengandung benihnya. Jadi, Dara harus bayar untuk semua ini!" ucapnya, suaranya penuh dendam yang tertahan.Daffa mendengus keras, amarahnya semakin tak terbendung. "Karena lo tahu lo cacat, lo jadi gila?! Urus masalah lo sama Daiva, jangan sama Dara! Dan jangan pernah anggap anak itu sebagai anak Daiva!" Matanya bersinar tajam, seakan kata-katanya bisa menghancurkan tembok amarah Cheryl.Cheryl tertawa pahit, suara tawanya menggema, menyayat di udara. "Oh, ya? Kalau orang tua gue tahu Daiva punya anak dari perempuan lain, mereka gak akan segan menghancurkan keluarga lo." Suaranya serupa pisau yang menggores tanpa ampun."Gue nggak takut! Papa bakal nutup perusahaan itu. Bokap gue gak akan kerja di
Adicandra, yang sejak tadi mendengarkan, maju mendekat. "Papa akan tetap menutup perusahaan itu, Daff. Papa sudah jual asetnya ke Pak Galih. Jadi, kita udah nggak perlu takut lagi pada ancaman Cheryl. Kalau kamu mau lapor polisi, silakan." Kata-katanya tegas, seperti petir yang menggulung badai amarah dari hari-hari yang panjang.Daffa menyadari bahwa ini adalah akhir dari semua ancaman Cheryl, sebuah kesempatan untuk benar-benar menutup lembaran penuh luka ini. "Kalau begitu, aku ke sana dulu, Ma. Tolong jaga Dara."Dara memanggilnya, suaranya pelan namun dipenuhi kecemasan. "Mas... hati-hati, ya. Jangan sampai Mas jadi korban selanjutnya."Daffa tersenyum tipis, mengecup kening istrinya. "Aku akan berhati-hati," ucapnya lembut. Setelah itu, ia melangkah pergi, menahan napas dalam dadanya yang dipenuhi berbagai perasaan, menuju tempat Cheryl ditahan.Sesampainya di rumah kosong itu, Daffa melangkah mantap. Pintu yang ia dorong terbuka dengan keras, menim
"Dara ke mana sih? Kenapa nggak temenin Mama di sini?" tanya Daffa setelah menyadari jika istrinya tidak ada di sana."Mau mandi dulu katanya," jawab Melawati."Oh. Tadi olahraga dulu sih dia. Kemudian, Daffa menoleh kembali pada Melawati. "Mama ke sini mau ngomongin itu doang?"Melawati mengangguk. "Mama mau ke Amerika. Jenguk Daiva, sama Papa juga. Kamu dan Dara mau ikut juga, nggak? Sekalian babymoon.""Udah gede kandungannya, Ma. Harusnya bulan lalu. Dara gak bakalan mau pergi jauh-jauh. Terlalu cinta dengan Indonesia."Mama sama Papa aja yang pergi. Titip salam aja buat Daiva. Sekalian tanyakan, udah dapat jodoh lagi atau belum."Melawati memutar bola matanya dengan pelan. "Ya sudah kalau begitu. Mama dan Papa saja yang ke sana. Mau kasih kejutan."Melawati pun pamit pergi dari rumah anaknya.Lalu, Dara yang baru selesai mandi itu pun keluar sambil mengeringkan rambutnya menggunakan handuk. "Lho. Mamanya ke mana, Mas?" tan
Fahri hanya mengulas senyumnya. Kemudian menggaruk hidungnya. "Mungkin gitu, Daff. Si Dara punya penyakit shock. Kayaknya itu penyakit lebih parah dari jantung deh."Bisa bikin pingsan orang dengan tiba-tiba. Sedangkan jantung.... biasanya bengek dulu Baru pingsan. Kalau shock, langsung pingsan saat itu juga.Daffa menoleh dan menatap Fahri dengan tajam. "Elo jangan nakut-nakutin gue dong! Kasih solusi yang bener. Jangan malah bikin makin runyam ini masalah."Fahri mengusap belakang kepalanya. "Hal gak guna, dan bikin gue selalu ikut campur dalam urusan elo. Bahkan, merelakan waktu gue buat kencan sama Julies. Gak seru kalau nggak bisa menemukan titik terangnya."Daffa mengangguk. "Bukan elo doang yang waktunya terbuang sia-sia. Gue juga.""Yang bikin masalah elo, Daffa. Wajar, kalau elo membuang waktu elo untuk ngurusin kayak beginian. Emang paling demen nyari penyakit elo tuh, yaa."Daffa menghela napasnya dengan panjang. Lalu, memijat ken
Pagi harinya, Daffa bergegas pergi menuju cafe. Karena waktu sudah menunjuk angka sepuluh pagi."Sayang, aku berangkat sekarang, yaa!" ucapnya sambil melambaikan tangannya pada Dara"Iya, Mas. Hati-hati.”Daffa mengangguk lalu keluar dari rumah itu. Masuk ke dalam mobilnya lalu melajukan mobil tersebut dengan kecepatan tinggi.Ingin segera sampai ke cafe dan mulai memecahkan misi barunya lagi bersama Fahri. Pesan tersebut sudah membuatnya pusing tujuh keliling. Ditelepon tidak diangkat, bahkan nomornya pun sudah tidak aktif lagi.Tiba di cafe. Daffa segera masuk ke dalam ruang kerjanya yang sudah ditunggu Fahri di dalam sana."Ada apa sih. Daff? Kelihatannya gundah-gulana gitu," tanya Fahri kemudian kembali fokus menatap laptopnya.Pria itu kemudian menutup laptop milik Fahri. "Jangan dulu fokus sama kerjaan, bantu gue dulu ini harus segera diselesaikan.""Kenapa lagi sih lo, Daff? Perasaan, tiap hari bikin masalah mulu,"
Hingga lima belas menit kemudian. Daffa mengakhiri permainan itu Sesuatu yang hangat menyembur di bawah sana. Sangat terasa kala Dara rasakan.Daffa mengejang, kemudian menjatuhkan tubuhnya di samping Dara. Sambil mengatur napasnya yang tersengal.Pun dengan Dara. Dadanya naik turun, tengah mengatur napasnya agar kembali normal.Lalu, menoleh ke arah Daffa. "Mas?" panggilnya kemudian.Daffa menoleh. "Heeum. Kenapa, Sayang?""Kenapa milik Mas Daffa tiba-tiba on? Langsung berdiri, dan baru kali ini saya melihatnya."Daffa bingung harus jawab apa. Mana mungkin ia menjawab jika ada yang usil sudah memasukkan obat perangsang ke dalam minumannya di acara ulang tahun tadi.Kemudian, Daffa memutar otak untuk mencari alasan yang lebih logis."Tidak perlu ada penetrasi terlebih dulu. Milik pria akan on dengan sendirinya hanya karena melihat lekuk tubuh perempuan. Dan, aku tadi melihat kamu lagi nggak pakai apa-apa."Dan akhirnya,
Kemudian, pria itu menghempaskan tangan Prissa dengan kasar. "Ngapain sih, ke sini? Masih banyak tempat yang bisa elo kunjungi, Prissa!"Perempuan itu mengulas senyumnya. "Santai aja, Daffa. Kenapa sih, sensi banget. Lagi pula, di sini nggak ada istri kamu. Santai saja, okay?"Daffa pun duduk di kursi yang ada di sana. Pun dengan Fahri, yang ikut duduk di depan Daffa."Apa kabar, Priss? Udah lama banget nggak nongol. Ke mana aja sih?" tanya Fahri basa-basi."Melanglang buana gue, Ri. Nyari pengganti yang lebih dari Daffa. Tapi, belum ketemu."Fahri lantas terkekeh. "Elo sih... sok-sokan selingkuh. Kena batunya kan."Fahri yang tahu tentang masa lalu Daffa dan Prissa, lantas tahu di mana Prissa meninggalkan Daffa karena memilih pria lain."Gak usah dibahas lagi, Ri. Gak penting!" ucapnya kemudian meneguk minuman yang sudah disediakan di sana.Dering ponsel Fahri berbunyi. Panggilan dari Julies. "Gue angkat dulu. Panggilan dari I
Dua bulan kemudian.Usia kandungan Dara sudah memasuki tujuh bulan. Semakin membuncit dan tentunya sangat sehat, karena ibu hamil tersebut selalu makan makanan yang bergiziDipasok terus menerus oleh Daffa agar ibu dan bayinya selalu sehat sampai menjelang lahiran nanti. Dua hari yang lalu, Dara dan Daffa telah melakukan acara syukuran tujuh bulan kandungan."Sayang. Nanti malam ada acara ulang tahun termanku. Mau ikut, nggak?" tanya Daffa setelah menyelesaikan acara sarapannya.Dara menggeleng. "Mau antar Mbak Julies belanja, Mas. Sama siapa ke acara ulang tahunnya?""Sendiri. Mungkin sama Fahri juga. Karena teman sekampus dulu yang ulang tahunnya.""Oh. Ya sudah. Kayaknya nggak bisa ikut deh, Mas. Langsung pulang, kalau acaranya sudah selesai.""Baik, Tuan Putri. Kakanda akan langsung pulang setelah acaranya selesai. Ngapain juga lama-lama di sana. Mending kelonin kamu. lya, nggak?"Dara menyunggingkan bibirnya. Lalu, mengamb
"Daiva pasti akan segera kembali. Dia hanya ingin mengubah hidupnya agar menjadi lebih baik. Setelah itu, dia akan kembali pada kita. Mama jangan khawatir. Daiva pasti akan kembali."Adicandra menenangkan istrinya, yang sedari tadi terus menangisi kepergian anaknya.Melawati mengangguk dengan pelan. "lya, Papa. Mama pasti akan selalu menunggu kepulangan anak kita. Semoga dia benar-benar berubah dan tidak kembali pada sifatnya yang dulu."Kemudian keempat orang itu berlalu pergi meninggalkan bandara, setelah Daiva sudah terbang menuju Amerika serikat.Tiba di rumah. Dara tampak melamun. Semenjak kepergian Daiva, hatinya sedikit sedih. Entah kenapa dia merasa kehilangan pria yang sudah menanam benih di perutnya itu.Hingga akhirnya Daffa menghampiri Dara yang tengah melamun di ruang tengah. Menatap kosong ke arah televisi yang ia nyalakan."Melamunnya biasa aja, Dara. Daiva pasti akan segera pulang kok. Udah kangen, sama ayahnya anak kamu itu,
Satu minggu berlalu.Daiva sudah membaik. Sudah dibolehkan pulang hari ini. Daffa juga Dara ikut menemani Daiva untuk pulang ke rumah orang tuanya.Bukan ke rumah miliki mendiang istrinya. Sebab, semua barang-barang milik Daiva sudah dibawa ke rumah orang tuanya.Rumah itu sudah tidak berpenghuni. Bahkan, akan dijual oleh mamanya Cheryl. Karena kasus Cakrawisnu yang sudah memalsukan dokumen, perusahaannya terancam bangkrut.Anak-anaknya pun tidak ada yang mau meneruskan perusahaan tersebut karena sudah mendapat nilai E dari semua investor yang bekerja sama dengan perusahaan itu."Gue minta maaf karena ulah Cheryl dan orang tuanya, elo sempat ditahan. Sekarang, Wisnu kena getahnya. Semoga dia jera dan mau bertobat," kata Daiva setelah tiba di rumah.Daffa mengangguk. "Ya. Semuanya udah selesai. Gue udah bisa bernapas lega karena keluarga kita udah nggak ada urusan lagi sama mereka."Elo juga udah nggak jadi budak Wisnu dan Cheryl. Semo
Daffa mengangguk. Kemudian, memberikan rekaman video yang sudah la ambil kemarin malam. Lalu, Ahmad dengan fokus mendengarkan obrolan mereka berempat di dalam video sana.Pria itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Keterlaluan! Pak Anggi!" teriak Ahmad memanggil salah satu staff kepolisian di sana."Siap, Pak!""Panggil Ari, Wibowo, dan Ilham ke sini!" titah Ahmad kepada Anggi."Baik, Pak!" Anggi keluar untuk memanggil ketiga petugas kepolisian tersebut.Tak lama setelahnya, ketiga orang itu tiba di ruangan Ahmad. Lalu, Ari mengerutkan keningnya. Sebab melihat Fahri dan Daffa ada di sana.Lagi apa mereka di sini? Memangnya, mereka kenal dengan Pak Ahmad, ucap Ari dalam hati."Lihatlah! Apakah kalian mengenal tiga orang itu?" Ahmad memberikan rekaman video itu kepada mereka bertiga.Saat melihatnya, lantas membuat tiga orang itu membolakan matanya dengan sempurna. Kaget bukan main kala melihat rekaman video, berisikan mereka berempat di sana."Bisa jelaskan, kenapa kalian menerima suap u