Dara menyelesaikan makan siangnya dengan semangat, lalu menoleh ke arah Daffa yang masih fokus pada layar laptopnya. Ia pun memanggil dengan nada manja."Mas?""Heuum. Kenapa, Sayang?" jawab Daffa tanpa mengalihkan pandangannya."Mbak Julies ajak saya keluar. Boleh, ya? Kan sama Mbak Julies, bukan sama orang lain. Boleh ya, Mas?" Dara mengedipkan matanya, memasang ekspresi rayuan yang memelas, berharap Daffa tak menolak.Daffa melepas kacamata dan menatap istrinya, mendesah kecil seolah tahu betul apa yang sedang Dara lakukan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu mengangguk perlahan. "Jangan lama-lama. Jam lima sore udah ke sini lagi."Dara tersenyum antusias. "Oke, Mas! Tapi, habis pulang main sama Mbak Julies, langsung pulang ke rumah, kan?"Daffa mengangguk tenang. "Ya, Mama sama Papa mau ke rumah nanti malam.""Oh, begitu. Kalau begitu, saya pamit dulu, ya!" Dara melambaikan tangan dengan ceria, lalu berjalan keluar ruangan.Daffa mendengar langkahnya menjauh sebelum ia m
Julies bangkit berdiri, tubuhnya tegap dan tatapannya menusuk. "Maksud lo apa sih, bohongin gue soal Daffa yang lo bilang masih nungguin gue? Jelas-jelas dia udah nikah sama Dara. Bener-bener, nggak becus jadi kakak ipar."Cheryl tertawa sinis, mengibaskan rambutnya dengan gerakan lambat yang menantang. "Karena Daffa udah khianatin lo, Juls. Lo tahu kan? Dia perkosa pembantunya sendiri sampai hamil."Dara tercekat, dengan cepat menoleh ke arah Cheryl, marah dan kaget bercampur jadi satu. Cheryl hanya memutarbalikkan fakta, menutupi kebusukan dirinya sendiri. Benar-benar tanpa nurani! batin Dara, hanya bisa berteriak dalam hatinya.Julies mendengus kecil, menahan marah. "Oh ya? Bagus dong. Biar cepet punya anak, bahagia jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Kalah duluan sama adiknya sendiri," balas Julies dengan senyum tipis penuh sindiran yang mengena langsung ke kelemahan Cheryl.Seketika itu juga, wajah Cheryl berubah. Senyum sinisnya hilang, berganti dengan ekspresi geram dan d
Dara membelalakkan matanya, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari mulut Julies.Mulutnya pun ikut terbuka, menyuarakan keterkejutannya yang tak terungkap. Tatapannya tertuju pada Julies yang berdiri kokoh di hadapannya."Mbak?" panggil Dara dengan nada pelan, seolah mencoba mencari kepastian dalam benaknya.Julies, yang tak lagi menyimpan kebohongan, menatap Dara dengan tenang, mengeratkan genggaman di tangan perempuan itu.Sementara itu, Cheryl yang berdiri mematung di seberang mereka, wajahnya dipenuhi keterkejutan yang tak sanggup disembunyikan.Kedua tangan Cheryl terangkat menutupi mulutnya yang menganga, tatapannya kosong seakan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.“Maaf, Dar. Aku sudah nggak tahan lagi sama kelakuan si Cheryl ini.” Julies menyentakkan tangan Dara lembut, membawa Dara pergi dari taman, meninggalkan Cheryl yang tampak limbung, terkejut sampai tak mampu bergerak.“D-Dara hamil… anaknya Daiva?” gumam Cheryl, suaranya hampir tak terd
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Di tengah keremangan ruang tamu yang hangat oleh cahaya lampu, Melawati duduk di sebelah Dara, menantunya yang kini tengah mengandung lima bulan.Ia memeluk Dara erat-erat, merasakan debar lembut yang terpancar dari tubuh perempuan muda itu, kemudian mengusap perlahan perutnya dengan tangan penuh kasih.“Jangan menghilang lagi, ya, Nak. Mama mohon, tolong…” lirih Melawati, suaranya menggurat kekhawatiran yang dalam. Tatapannya penuh harap, dan di ujung matanya tampak kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.Dara terdiam sejenak, hatinya bergolak antara rasa bersalah dan terima kasih atas kasih sayang yang tulus dari mertuanya.Menghilangnya Dara memang telah membuat orang-orang di rumah ini khawatir, terutama Melawati. Ia menunduk, menghela napas, lalu mengangguk pelan.“Maafkan saya, Ma. Saya janji, tidak akan menghilang lagi,” ujar Dara tulus, suaranya bergetar. Ia berhara
Daffa menarik napas panjang, menatap Dara dengan sorot yang dalam sebelum menuntunnya perlahan ke kamar. Sesampainya di dalam, ia meminta Dara duduk di tepi tempat tidur.Sementara Daffa berjalan menuju laci di samping tempat tidur dan mengeluarkan ponsel lain yang selama ini tak pernah ia tunjukkan pada Dara.Dara menatap ponsel itu, sedikit terkejut karena baru sadar bahwa suaminya ternyata menyimpan dua ponsel. Ia sempat ingin bertanya, namun rasa takut dan kepercayaan yang ia miliki membuatnya memilih diam."Semua rahasia tentang Cheryl ada di ponsel ini," ucap Daffa tenang, mengusap layar ponselnya hingga menemukan video yang ingin ia tunjukkan pada Dara.Daffa menyodorkan ponsel itu, memperlihatkan video yang menampilkan Cheryl di dalam ruangan rumah sakit, berbincang dengan seorang dokter kandungan. Di video itu, suara dokter terdengar jelas.“Kami sudah memeriksa kondisi Anda dan hasilnya sudah keluar tiga hari yang lalu. Tingkat kesuburan calon suami Anda sangat baik, sangat
Lima belas menit kemudian, setelah sarapan, mereka bergegas menuju rumah sakit. Dara tampak bersemangat ingin mengetahui perkembangan buah hati mereka yang telah berusia lima bulan dalam kandungan.Namun, sesampainya di rumah sakit, langkah Daffa tiba-tiba terhenti ketika pandangannya bertemu dengan sosok Cheryl yang baru keluar dari ruangan laboratorium.Cheryl menatap mereka sekilas, lalu menghampiri dengan langkah cepat. Daffa menyipitkan matanya, memasang wajah ketus."Lagi ngapain lo di sini?" tanya Daffa dingin. Matanya menyipit saat menangkap secarik kertas di tangan Cheryl. Tanpa berpikir panjang, ia merebut surat itu dengan kasar."Daffa, balikin!" Cheryl berseru sambil mencoba merebut kembali surat tersebut dari tangan Daffa.Daffa hanya tertawa mencibir sambil mengacungkan surat itu di depan wajah Cheryl, lalu dengan kasar mengembalikannya."Si Julies pasti tahu deh, rumah sakit terkenal di luar negeri yang katanya bisa menumbuhka
Daiva terdiam, menelan ludah sejenak. "Aku minta maaf karena telah mengkhianati kamu, Cheryl. Tapi aku punya alasan yang cukup untuk melakukan itu pada Dara. Bukan sekadar nafsu," ucapnya dengan berat. "Aku sudah tahu jika kesuburanmu bermasalah."Cheryl tertawa miris, sorot matanya basah oleh amarah dan kekecewaan. "Lalu, kalau kamu sudah tahu aku nggak bisa kasih kamu anak, kenapa masih mau menikahiku? Bukankah anak itu pelengkap dalam rumah tangga?""Apakah kamu lupa, Cheryl?" Daiva tersenyum tipis, dengan nada getir. "Orang tuamu yang memaksa keluargaku. Mereka mengancam keluargaku agar aku menikahimu."Cheryl terperangah, menyadari kebenaran yang pahit dari hubungan mereka. Tangannya mengepal, dan ia meraup wajahnya dengan kasar, menahan luapan emosinya."Lalu, dari mana kamu tahu soal kesuburanku? Tidak ada seorang pun yang tahu tentang ini. Bahkan orang tuaku."Daiva mendekat, tangannya menggenggam kedua lengan Cheryl erat, menatapnya dalam-
Di dalam ruang periksa rumah sakit yang tenang, suara lembut dari mesin USG menggema. Dara berbaring di tempat tidur periksa dengan perasaan campur aduk, sementara Daffa duduk di sampingnya, menatap layar monitor dengan tatapan penuh harap.Di layar, bayangan janin tampak samar namun jelas, bergerak pelan dalam rahim Dara. Detak jantungnya terdengar jelas, memenuhi ruangan dengan irama kehidupan yang menggetarkan.Dokter Ami tersenyum lembut sambil menatap monitor. "Janinnya sehat, aktif, dan tumbuh dengan baik," ucapnya menenangkan. "Tapi, jenis kelaminnya belum terlihat. Masih malu-malu, ya, selalu menutupinya."Daffa mengangguk sambil terkekeh kecil. "Yang penting sehat, Dok. Soal jenis kelamin, biar nanti jadi kejutan saat lahiran," katanya dengan nada lega.Setelah menyelesaikan pemeriksaan, Dokter Ami mempersilakan Dara dan Daffa duduk di kursi di depannya. Ia menuliskan resep obat yang harus diminum Dara karena persediaannya hampir habis."K