Dara menunduk. Tak mampu menatap mata Daffa yang menatapnya dengan lekat. Dara tahu arti dari tatapan itu. Tatapan ingin menerkamnya.Daffa pun mengadahkan wajah Dara. "Look at me! Jangan berpikir aku orang asing, Dara. Aku suamimu. Kenapa terus seperti ini, seolah kita ini tidak saling mengenal."Dara mengulas senyum tipis. "Maaf, Mas. Tapi, jangan melihat saya seperti itu. Saya jadi takut."Daffa terkekeh mendengar ucapan jujur Dara. "Okay. Aku tidak akan menatapmu seperti tadi. Kamu malu, sebenarnya. Dilihat Fahri dan Julies."Kemudian Daffa menoleh ke arah Julies dan Fahri. Tengah menatapnya dengan mulut sedikit terbuka."Kenapa?" tanya Daffa pada Julies. Perempuan itu selalu menjadi pusat perhatian sebab tingkahnya yang lucu.Julies pun menutup mulutnya kembali. Lalu menggaruk pelipisnya karena salah tingkah."Ri. Kita pulang aja, yuk! Dara udah boleh pulang," ucap Julies mencari topik.Fahri mengangguk. Lalu beranjak dari duduknya. Mengh
Setelah mendapat persetujuan dari Dara, pria itu kembali meraup bibir Dara. Memegang kedua bahu Dara dengan bibir menyatu sempurna.Deru napas yang diembuskan Dara menyatu dengan napas yang dikeluarkan Daffa. Berirama, saling memberikan kenikmatan.Detik berikutnya, Daffa membuka seluruh pakaian yang dikenakan Dara. Pun dengan dirinya. Hingga kedua insan itu sudah dalam kondisi polos.Membaringkan tubuh Dara di atas tempat tidur. Menyelinap masuk di ceruk leher Dara hingga membuat perempuan itu mengadahkan wajahnya.Membiarkan Daffa menjelajahi setiap inci tubuh Dara. Membiarkan Daffa menyalurkan hasrat yang selama ini ia tahan.“Eeumm!” lirih Dara kemudian.Daffa menyeringai kecil. Lalu mengecup kening sang istri. Mulai menyatukan dirinya di bawah sana. Dara sudah merasakan benda asing itu masuk sempurna di bawah sana.Terasa penuh Dara rasakan. Hingga membuatnya memejamkan matanya. Daffa mulai melajukan temponya dengan sedang.Agar Dara tidak tersiksa dengan miliknya yang mungkin te
Tak lama, mereka sampai di kafe. Dara turun lebih dulu, meninggalkan Daffa yang masih di dalam mobil, menggeleng-geleng melihat tingkahnya. "Untung sayang... Kalau enggak... Bisa repot aku," batinnya.Saat masuk kafe, Dara melihat Fahri di pojokan, tengah serius menatap layar laptopnya. Dengan riang, dia menyapa, "Selamat siang, Mas Fahri."Fahri menoleh dan tersenyum kecil. "Siang. Sama siapa ke sini?"Dara melirik ke belakang, memastikan Daffa masih di luar. "Sama Mas Daffa, disuruh ikut. Katanya takut ada Daiva datang ke rumah lagi."Fahri terkekeh pelan. "Oh. Bukan karena takut kamu kabur lagi?"Dara mendengus sambil mengerucutkan bibir, duduk di sofa di sebelah Fahri. Kafe itu masih sepi, membuat percakapan mereka lebih intim. Setelah lima menit berdiam, Dara bertanya, "Mbak Julies nggak ke sini, Mas?"Fahri tersenyum tipis. "Nggak. Lagi istirahat. Udah aku chat sih, tapi belum dibalas. Mungkin masih tidur."Dara mengangguk paham, lalu tersenyum hangat. "Good luck ya, Mas. Semoga
Dara menyelesaikan makan siangnya dengan semangat, lalu menoleh ke arah Daffa yang masih fokus pada layar laptopnya. Ia pun memanggil dengan nada manja."Mas?""Heuum. Kenapa, Sayang?" jawab Daffa tanpa mengalihkan pandangannya."Mbak Julies ajak saya keluar. Boleh, ya? Kan sama Mbak Julies, bukan sama orang lain. Boleh ya, Mas?" Dara mengedipkan matanya, memasang ekspresi rayuan yang memelas, berharap Daffa tak menolak.Daffa melepas kacamata dan menatap istrinya, mendesah kecil seolah tahu betul apa yang sedang Dara lakukan. Ia melirik jam di pergelangan tangannya, lalu mengangguk perlahan. "Jangan lama-lama. Jam lima sore udah ke sini lagi."Dara tersenyum antusias. "Oke, Mas! Tapi, habis pulang main sama Mbak Julies, langsung pulang ke rumah, kan?"Daffa mengangguk tenang. "Ya, Mama sama Papa mau ke rumah nanti malam.""Oh, begitu. Kalau begitu, saya pamit dulu, ya!" Dara melambaikan tangan dengan ceria, lalu berjalan keluar ruangan.Daffa mendengar langkahnya menjauh sebelum ia m
Julies bangkit berdiri, tubuhnya tegap dan tatapannya menusuk. "Maksud lo apa sih, bohongin gue soal Daffa yang lo bilang masih nungguin gue? Jelas-jelas dia udah nikah sama Dara. Bener-bener, nggak becus jadi kakak ipar."Cheryl tertawa sinis, mengibaskan rambutnya dengan gerakan lambat yang menantang. "Karena Daffa udah khianatin lo, Juls. Lo tahu kan? Dia perkosa pembantunya sendiri sampai hamil."Dara tercekat, dengan cepat menoleh ke arah Cheryl, marah dan kaget bercampur jadi satu. Cheryl hanya memutarbalikkan fakta, menutupi kebusukan dirinya sendiri. Benar-benar tanpa nurani! batin Dara, hanya bisa berteriak dalam hatinya.Julies mendengus kecil, menahan marah. "Oh ya? Bagus dong. Biar cepet punya anak, bahagia jadi keluarga sakinah, mawadah, warahmah. Kalah duluan sama adiknya sendiri," balas Julies dengan senyum tipis penuh sindiran yang mengena langsung ke kelemahan Cheryl.Seketika itu juga, wajah Cheryl berubah. Senyum sinisnya hilang, berganti dengan ekspresi geram dan d
Dara membelalakkan matanya, seakan tidak percaya dengan apa yang baru saja terlontar dari mulut Julies.Mulutnya pun ikut terbuka, menyuarakan keterkejutannya yang tak terungkap. Tatapannya tertuju pada Julies yang berdiri kokoh di hadapannya."Mbak?" panggil Dara dengan nada pelan, seolah mencoba mencari kepastian dalam benaknya.Julies, yang tak lagi menyimpan kebohongan, menatap Dara dengan tenang, mengeratkan genggaman di tangan perempuan itu.Sementara itu, Cheryl yang berdiri mematung di seberang mereka, wajahnya dipenuhi keterkejutan yang tak sanggup disembunyikan.Kedua tangan Cheryl terangkat menutupi mulutnya yang menganga, tatapannya kosong seakan tidak percaya apa yang baru saja didengarnya.“Maaf, Dar. Aku sudah nggak tahan lagi sama kelakuan si Cheryl ini.” Julies menyentakkan tangan Dara lembut, membawa Dara pergi dari taman, meninggalkan Cheryl yang tampak limbung, terkejut sampai tak mampu bergerak.“D-Dara hamil… anaknya Daiva?” gumam Cheryl, suaranya hampir tak terd
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Di tengah keremangan ruang tamu yang hangat oleh cahaya lampu, Melawati duduk di sebelah Dara, menantunya yang kini tengah mengandung lima bulan.Ia memeluk Dara erat-erat, merasakan debar lembut yang terpancar dari tubuh perempuan muda itu, kemudian mengusap perlahan perutnya dengan tangan penuh kasih.“Jangan menghilang lagi, ya, Nak. Mama mohon, tolong…” lirih Melawati, suaranya menggurat kekhawatiran yang dalam. Tatapannya penuh harap, dan di ujung matanya tampak kekhawatiran yang tak bisa disembunyikan.Dara terdiam sejenak, hatinya bergolak antara rasa bersalah dan terima kasih atas kasih sayang yang tulus dari mertuanya.Menghilangnya Dara memang telah membuat orang-orang di rumah ini khawatir, terutama Melawati. Ia menunduk, menghela napas, lalu mengangguk pelan.“Maafkan saya, Ma. Saya janji, tidak akan menghilang lagi,” ujar Dara tulus, suaranya bergetar. Ia berhara
Daffa menarik napas panjang, menatap Dara dengan sorot yang dalam sebelum menuntunnya perlahan ke kamar. Sesampainya di dalam, ia meminta Dara duduk di tepi tempat tidur.Sementara Daffa berjalan menuju laci di samping tempat tidur dan mengeluarkan ponsel lain yang selama ini tak pernah ia tunjukkan pada Dara.Dara menatap ponsel itu, sedikit terkejut karena baru sadar bahwa suaminya ternyata menyimpan dua ponsel. Ia sempat ingin bertanya, namun rasa takut dan kepercayaan yang ia miliki membuatnya memilih diam."Semua rahasia tentang Cheryl ada di ponsel ini," ucap Daffa tenang, mengusap layar ponselnya hingga menemukan video yang ingin ia tunjukkan pada Dara.Daffa menyodorkan ponsel itu, memperlihatkan video yang menampilkan Cheryl di dalam ruangan rumah sakit, berbincang dengan seorang dokter kandungan. Di video itu, suara dokter terdengar jelas.“Kami sudah memeriksa kondisi Anda dan hasilnya sudah keluar tiga hari yang lalu. Tingkat kesuburan calon suami Anda sangat baik, sangat