Kunci pintu diputar oleh Alya. Menyimpan benda kecil itu di balik tas selempang berwarna baby brown yang ia dapat sebagai hadiah pernikahan dari salah satu sahabatnya. Dia memastikan bahwa pintu dan pagar rumah telah terkunci rapat sekali lagi sebelum menaiki motor dan menyalakannya. Menarik gas kanan agar benda yang sudah akrab dalam kehidupan manusia sebagai kendaraan itu melaju perlahan.Hari ini dia mulai masuk kuliah lagi setelah cuti selama dua minggu. Jurusan bahasa inggris semester 3 akan dia jalani dengan status baru. Sebagai istri lelaki yang dia kagumi sejak SMA. Wanita bermata bulat itu tersenyum ketika cincin silver menyapa di antara jemarinya. Cincin kawin yang tersemat di jari manis membuatnya sangat bahagia. Sebuah bukti nyata bahwa pernikahannya dan mas Atha benar-benar terjadi.Gedung besar salah satu universitas di Surabaya telah di masukinoleh wanita berkulit putih itu. Riuh mahasiswa meramaikan beberapa tempat. Tak jarang dia melihat penjual makanan ringan nangkri
Alya dan Nafia menghentikan acara larinya. Heran. Kemana perginya lelaki berjas hitam tadi. Cepat sekali hilangnya. Padahal hanya beberapa detik berlalu dan keberadaannya seperti ditelan bumi."Kemana ya? Haduh...padahal aku sudah membuat proposal itu semalaman." Raut kesal dan kecewa memenuhi mimik muka Nafia. Dia menatap langit mendung seolah berharap akan menemukan proposalnya di antara awan-awan."Kamu di sini saja , Naf. Kamu terlihat capek sekali. Biar aku yang cari." Alya mendorong bahu Nafia agar wanita itu duduk di kursi taman. Dia kasihan melihat sang sahabat yang sepertinya sangat bekerja keras untuk menyiapkan acara bakti sosial kampus mereka."Kita cari bersama saja." Nafia hendak berdiri tapi Alya kembali mendorongnya hingga terduduk lagi."Kamu tunggu di sini saja. Ok?" Tegas Alya kemudian beranjak pergi meninggalkan Nafia yang ngos-ngosan.Alya memutar kepalanya ke berbagai arah. Mencari eksistensi seorang lelaki tinggi berjas hitam yang pergi menggondol arsip yang sud
Alya menghampiri Nafia yang celingak-celinguk di tengah taman. Menepuk bahu sang sahabat dengan arsip proposal yang berhasil ia dapatkan setelah pengejaran panjang."Hai.." Sapa Alya dengan wajah sumringah. Memamerkan tiga jilid bertas dengan banyak tulisan di atasnya. "Wah..hebatnya temanku satu ini." Nafia memeluk erat Alya yang membuat wanita itu nyaris kehilangan nafasnya."Behh..lepas Nafia sesak." Nafia melepaskan pelukannya kemudian tertawa renyah melihat teman mungilnya kesulitan mengambil nafas."Ayo kita makan,Ya?" Ajak Nafia.Alya terdiam sejenak. Menimbang ajakan sang sahabat. Sebenarnya dia ingin mengunjungi Mas Atha siang ini. Mengajaknya makan bekal bersama. Tapi, mungkin ajakan Nafia jauh baik. Mengingat Atha belum tentu bisa makan siang tepat waktu dan Alya harap tidak demikian, semoga saja dia punya waktu yang layak untuk menyantap bekal yang Alya siapkan."Ayo." Nafia bersorak riang. Pasalnya ini pertama kali Alya bisa makan bersama dengannya setelah dua bulan me
Matahari mulai tenggelam di balik horizon. Menyisakan sebaris cahaya jingga yang membias di antara awan-awan tebal. Mendung sudah berkurang tapi, tidak benar-benar pergi. Mungkin sewaktu-waktu bisa turun hujan.Atha menatap pemandangan indah tersebut dari balik kaca jendela di ruangannya. Dia melepas lelah sehabis melakukan operasi mengangkatan tumor seorang lelaki setengah baya. Menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi yang dia putar 180 derakat. Membuatnya bisa melihat pemandangan indah kota Surabaya.Lampu-lampu jalan sudah mulai menyala. Menjadi sumber penerangan jalan yang ramai oleh kendaraan. Mungkin milik mereka yang hendak pulang ke rumah. Enaknya jika punya jam kerja tetap. Beda sekali dengan dirinya yang sekarang harus jaga malam bersama beberapa KAOS. Tapi, entah mengapa dia merasa bersyukur akan hal itu. Setidaknya dia memiliki alasan untuk tidak bertemu sang istri. Mungkin terdengar kejam tapi, demikianlah yang dia rasakan. Kau tidak bisa memaksakan sebuah cinta tumbuh
Atha terbengong-bengong melihat Difan datang dengan senyum sumringah bak ibu-ibu yang baru dapat arisan. Memberikan makanan dengan cuma-cuma bahkan menawarkan diri untuk memasakkan mie instannya. Dia menatap mienya curiga. Apakah senyuman Difan menandakan adanya zat beracun sejenis sianida di makanan tersebut. Mungkin saja kerena masalahnya dengan sang ayah dan statusnya yang sering gonta- ganti pasangan membuat Difan frustasi sehingga ingin meracuni Atha. Memang tidak nyambung. Tapi, yang namanya frustrasi siapa yang tahu.Setelah memastikam makanan sejuta umatnya aman untuk dimakan,Atha mulai menyantap helai-helai mie instan yang menguarkan aroma nikmat sambil menatap Difan yang masih saja tersenyum. "Kau kenapa, Fan? "Tanya Atha yang tidak tahan melihat Difan senyam-senyum sok manis. Membuat matanya perih saja."Mas tahu tadi aku bertemu gadis yang kutemui pas di kampus. Dia meminjamiku payung supaya aku bisa pulang. Ohhh indahnya dunia ini." Ucap Difan dengan satu kali tarikan na
Siska menatap layar ponselnya. Melihat nomor yang tertera di sana. Dia agak ragu untuk menekan tombol hijau di sana. Hatinya sedikit trauma dengan patah hati yang dia rasakan dahulu. Bagaimana jika meskipun dia sudah menjadi mualaf, kedua orang tua Atha masih menolaknya. Tapi, dia sendiri tidak bisa membohongi hati kecil yang terus menjerit kan rindu untuk mendengar suara lelaki pujaan. Beberapa kali sang dosen muda mondar-mandir di Koridor yang mulai sepi, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, tidak banyak mahasiswa yang masih berkeliaran di kampus. Namun sayang acara mondar-mandir nya terhenti ketika dia tidak sengaja menyerempet bahu seseorang.Siska segera mendongak ke atas, melihat salah satu mahasiswa yang tampak juga menatap ke arahnya. Lelaki itu meminta maaf sebelum beranjak pergi.Siska kembali menatap ponselnya, kali ini dia duduk di salah satu kursi yang memang tersedia di sepanjang lorong. Mungkin sudah saatnya dia menghubungi sang mantan. Cintanya masih terlalu besar un
Difan menyuruh sopirnya untuk memutar setir mobil ke arah sebuah puskesmas. Segera setelah mobil bmw nya berhenti, Difan membawa tubuh yang terkulai lemas ke dalam bangunan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rumah sakit ayahnya.Kehadiran lelaki itu membuat beberapa perawat memberikan pelayanan dengan sedikit tergopoh-gopoh. Pasalnya Difan terus mengatakan hal-hal yang menakutkan semacam."Tolong, dok. Dia sudah kritis." Dan." Apa kita harus mengoperasinya?"Seorang dokter yang mendengarnya hanya menyipitkan mata, gusar. Sepertinya lelaki muda itu terlalu banyak dicekoki film-film lebay yang mengisahkan matinya seseorang setelah terserempet motor atau hanya karena jatuh menghantam meja."Mas, anda harus tenang." Sang dokter menahan tubuh Difan yang tidak bisa tenang."Teman Anda hanya demam." Tambahnya lagi dengan urat kesabaran yang nyaris putus."Hehe...maaf dok. Saya panik." Difan tersenyum bodoh.Dokter tadi segera memeriksa keadaan Alya. Memastikan temperatur tubuh wan
Atha baru saja pulang. Dia duduk di kursi depan meja makan sementara Alya mulai menyiapkan makanan. Ini pertama kali Atha melihat sang istri memasak. Pasalnya di hari biasa dia akan pulang larut malam dan akan menjadikannya alasan agar tidak perlu memakan masakan wanita yang kini tengah mencampur semua bahan masakan ke dalam penggorengan.Atha kagum dengan kecepatan tangan Alya yang dengan cekatan mencincang bahan masakan. Dia terlihat sangat mahir dan terbiasa dengan berbagai peralatan dapur."Ini mas." Alya tersenyum lembut seraya menempatkan satu piring tumis kentang dan satu piring lauk menggugah selera ke atas meja makan. Mengambil sebuah piring dan menuangkan sesendok besar nasi ke dalamnya."Mas Atha mau tempe dan tahu?" Tanya Alya setelah menuang sesendok tumis kentang ke samping nasi."Aku tidak suka keduannya." Ucap Atha membuat kedua alis Alya bertaut. Seingatnya Atha suka dengan lauk berbahan kedelai tersebut. Kenapa dia bilang tidak suka. "Kalau begitu ini. Makan yang lah