Siska menatap layar ponselnya. Melihat nomor yang tertera di sana. Dia agak ragu untuk menekan tombol hijau di sana. Hatinya sedikit trauma dengan patah hati yang dia rasakan dahulu. Bagaimana jika meskipun dia sudah menjadi mualaf, kedua orang tua Atha masih menolaknya. Tapi, dia sendiri tidak bisa membohongi hati kecil yang terus menjerit kan rindu untuk mendengar suara lelaki pujaan.
Beberapa kali sang dosen muda mondar-mandir di Koridor yang mulai sepi, waktu sudah menunjukkan pukul 3 sore, tidak banyak mahasiswa yang masih berkeliaran di kampus. Namun sayang acara mondar-mandir nya terhenti ketika dia tidak sengaja menyerempet bahu seseorang.Siska segera mendongak ke atas, melihat salah satu mahasiswa yang tampak juga menatap ke arahnya. Lelaki itu meminta maaf sebelum beranjak pergi.Siska kembali menatap ponselnya, kali ini dia duduk di salah satu kursi yang memang tersedia di sepanjang lorong. Mungkin sudah saatnya dia menghubungi sang mantan. Cintanya masih terlalu besar untuk dikubur begitu saja. Siska pun masih yakin bahwa Atha juga memiliki perasaan yang tak kalah besar.***Hasan melirik wanita yang baru saja menabraknya dari kejauhan. Dosen baru itu, Siska namanya. Dia yakin sekali tadi di layar ponsel sang dosen tertera sebuah nama yang familiar. Atha Ardiansyah. Bagaimana mungkin tidak familiar. Dokter pembimbing nya yang sekaligus suami dari sahabat baiknya juga memiliki nama tersebut. Apakah ini hanya sebuah kebetulan.Hasan tidak ambil pusing. Dia segera keluar dari kampus. Jam shift nya akan segera di mulai. Dia tidak ingin membuat sang dokter pembimbing menambahkan nilai negatif akibat keterlambatan.****Alya kembali menghentikan motornya di depan supermarket. Menaruh helmetnya di setir lalu memasuki tempat ber-AC tersebut. Ia mengambil keranjang belanja dan mengambil beberapa bahan yang dia cari. Satu bungkus kentang dan beberapa bumbu dapur.Tangannya kini hendak meraih sebuah kecap di rak tertinggi ketika tangan lain mengambilnya. Alya segera menoleh ke arah pemilik tangan yang dibalut lengan kemeja biru. Seorang lelaki bersurai hitam ikal berdiri di sana. Menyerahkan botol kecap yang masih tersegel rapi."Ah..terima kasih." Alya menerima botol kecap tersebut seraya memijit pangkal hidungnya. Berusaha mengurangi pening di kepala."Kau baik-baik saja?" Tanya lelaki yang Alya kenal adalah Difan, heh...sepertinya dunia ini memang hanya selebar daun kelor, ya. Mereka bertemu sebanyak tiga kali berturut- turut sejak kemarin. Seperti memang ada ikatan yang membawa keduanya untuk saling bertemu.Sementara Divan di sisi lain hanya tersenyum kecil. Dunia ini memang penuh dengan kebetulan. Kebetulan sekali dia bisa bertemu Alya di sini kan. Pasti takdir yang mempertemukan keduanya. Divan tidak mungkin kan menunggu di luar kampus dari pagi tadi hingga sore hanya untuk membuntuti Alya. Ini hanyalah sebuah kebetulan bahwa Divan ingin sekali menghabiskan sepanjang harinya di depan kampus. Dan ketika melihat Alya keluar dari gedung besar itu membawa motor, lelaki itu juga tidak sengaja ingin pergi ke arah yang sama. Ya ya semua memang hanya kebetulan semata. Divan yakin itu."Iya, saya baik-baik saja." Sekali pun berkata demikian Alya tetap memegangi pangkal hidungnya. Rasanya pusing dan mual menyerang tanpa henti membuatnya nyaris terjatuh jika saja Difan tidak dengan sigap menangkap tubuhnya. Menyangga kedua bahu Alya agar wanita berwajah pucat itu tetap berdiri."Kamu panas." Difan berucap dengan suara naik beberapa oktaf ketika tangannya merasakan suhu panas dari balik baju Alya yang membuat beberapa costumer melihat ke arahnya.Seorang pegawai segera menghampiri dan menawarkan bantuan."Ada yang bisa saya bantu, pak?" Tanya pegawai lelaki itu dengan sedikit panik melihat pelanggan wanita berjilbab baby blue telah terkulai lemas."Tolong bawakan belanjaan ini." Difan mengangkat tubuh Alya dengan kedua tangannya. Membiarkan botol kecap yang tadi Alya pegang menggelinding dan segera dipungut oleh sang pegawai.***Atha menatap bekal yang lagi-lagi Alya siapkan. Seporsi nasi goreng dengan extra bawang goreng. Lagi-lagi lelaki dengan satu tahi lalat di leher dibuat kagum karena Alya mengetahui apa yang dia sukai bahkan tanpa Atha mengatakannya. Dia juga wanita yang perhatian.Saat Atha tidak sempat sarapan, Alya akan selalu menyiapkan bekal untuknya, meski pun Atha sendiri enggan menyatap hidangan menggungah selera tersebut. Dia dengan senang hati memberikannya kepada KAOS atau karyawan yang berkerja.Tapi, kali ini Atha membuka bekal tersebut. Menggunakan sendok yang sudah tersedia di dalam kotak untuk mengambil satu suap nasi bercampur bumbu kemudian melahapnya. Hm...tidak buruk. Rasanya pas meski terlalu banyak kecap di sana. Sepertinya Alya sangat menyukai cairan dari fermentasi kedelai tersebut.Tanpa sadar satu porsi nasi goreng sudah habis dia babat. Sedikit tersenyum ketika merapikan wadah hijau yang sudah kosong. Perhatiannya seketika saat dering ponsel menggema dari balik saku celanannya. Menarik keluar benda elektronik tipis dari sana. Menggeser sebuak icon berbentuk telepon berwarna hijau ke arah kanan. Sebuah suara bernada panik segera menguar dari speaker."Mas Atha bagaimana ini? Wanita yang kutemui tempo hari pingsan." Suara Difan yang terdengar kalang kabut memaksa otak jenius lelaki yang baru saja selesai melakukan operasi , untuk bekerja keras mencernanya."Hah?" Adalah respon pertama Atha setelah terdiam selama hampir 10 detik."Bukan 'hah' mas. Dia pingsan. Badannya panas." Ucap Difan yang bisa Atha tebak sekarang pasti sedang panik. Terbukti dari suaranya yang parau dan bergetar."Jangan panik, Fan. Bawa saja ke sini." Jawab Atha seraya melepas kaca matanya. Memijit pangkal hidung yang terasa perih sebelum kemudian berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Jam makan siang nya habis. Dia harus mengontrol keadaan beberapa pasien. Dan mengawasi kerja para KAOS."Kejauhan mas. Bagaimana jika dia koma?" Mendengar penuturan Difan barusan, Atha hanya terbengong. Bingung ingin tertawa atau bahkan menyumpahi kepanikan dari lelaki lebih muda. Kadang suka asal kalau bicara."Tidak mungkin koma, Fan. Mungkin dia demam." Atha berusaha sabar. Mengurut dadanya perlahan untuk menurunkan tensi darahnya yang tiba-tiba naik."Woahh..itu ada puskesmas. Ya sudah mas. Assalamualaikum! " Tanpa menunggu Atha menjawab salam, Difan segera mematikan sambungannya.Atha hanya geleng-geleng kepala. Heran dengan sifat panikan yang Divan miliki. Untung saja dia tidak menjadi dokter bisa dibayangkan bagaimana kepanikan itu bisa membunuh pasien di meja operasi.Atha menyimpan ponselnya kembali ke dalam saku celana seraya berfikir, wanita seperti apa yang Divan suka kali ini sampai membuat pengacara muda itu pontang panting. Padahal biasanya lelaki yang sudah saat nya menikah tersebut bukanlah tipe pria yang serius saat menjalin hubungan.Tak sampai satu menit benda pipih itu bersarang di saku, si empunya harus kembali mengambilnya tak kala suara kembali keluar dari sana.Tanpa perlu melihat, Atha segera mengangkat telepon tersebut. Darahnya bisa naik kalau terus-terusan diganggu oleh anak dari runah sakit itu."Apalagi?!" Nada gusar sangat kentara di sana. Ingin menyumpah serapahi seseorang di seberang sana, namun kemarahan segera sirna selayaknya api yang padam saat diguyur air kala mendengar suara lembut menyahut."Atha."Difan menyuruh sopirnya untuk memutar setir mobil ke arah sebuah puskesmas. Segera setelah mobil bmw nya berhenti, Difan membawa tubuh yang terkulai lemas ke dalam bangunan yang jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan rumah sakit ayahnya.Kehadiran lelaki itu membuat beberapa perawat memberikan pelayanan dengan sedikit tergopoh-gopoh. Pasalnya Difan terus mengatakan hal-hal yang menakutkan semacam."Tolong, dok. Dia sudah kritis." Dan." Apa kita harus mengoperasinya?"Seorang dokter yang mendengarnya hanya menyipitkan mata, gusar. Sepertinya lelaki muda itu terlalu banyak dicekoki film-film lebay yang mengisahkan matinya seseorang setelah terserempet motor atau hanya karena jatuh menghantam meja."Mas, anda harus tenang." Sang dokter menahan tubuh Difan yang tidak bisa tenang."Teman Anda hanya demam." Tambahnya lagi dengan urat kesabaran yang nyaris putus."Hehe...maaf dok. Saya panik." Difan tersenyum bodoh.Dokter tadi segera memeriksa keadaan Alya. Memastikan temperatur tubuh wan
Atha baru saja pulang. Dia duduk di kursi depan meja makan sementara Alya mulai menyiapkan makanan. Ini pertama kali Atha melihat sang istri memasak. Pasalnya di hari biasa dia akan pulang larut malam dan akan menjadikannya alasan agar tidak perlu memakan masakan wanita yang kini tengah mencampur semua bahan masakan ke dalam penggorengan.Atha kagum dengan kecepatan tangan Alya yang dengan cekatan mencincang bahan masakan. Dia terlihat sangat mahir dan terbiasa dengan berbagai peralatan dapur."Ini mas." Alya tersenyum lembut seraya menempatkan satu piring tumis kentang dan satu piring lauk menggugah selera ke atas meja makan. Mengambil sebuah piring dan menuangkan sesendok besar nasi ke dalamnya."Mas Atha mau tempe dan tahu?" Tanya Alya setelah menuang sesendok tumis kentang ke samping nasi."Aku tidak suka keduannya." Ucap Atha membuat kedua alis Alya bertaut. Seingatnya Atha suka dengan lauk berbahan kedelai tersebut. Kenapa dia bilang tidak suka. "Kalau begitu ini. Makan yang lah
Siska mengepalkan kedua tangannya. Berjalan di jalan setapak tanpa tujuan. Mungkin ini yang namannya patah hati. Rasanya lebih sakit daripada saat kedua orang tua Atha memintanya meninggalkannya. Mungkin karena saat itu, Atha terus mempertahankan keberadaannya. Memohon agar bisa bersama Siska sebelum akhirnya bungkam ketika sang ibu kehilangan kesadaran akibat hipertensi yang kambuh.Besoknya mereka bertemu. Saat itu, Siska menyerahkan cincin pemberian Atha saat upacara kelulusan mereka kembali pada pemilik pertamanya. Siska bertekad untuk merelakan Atha. Toh mereka hanya berhubungan fia telepon. Namun, cintanya tumbuh setelah Atha benar-benar bukan miliknya lagi. Entah bagaimana Siska merasa tidak rela bila lelaki itu menjadi milik wanita lain. Karena itulah tawaran untuk kembali ke Surabaya segera dia ambil tanpa pikir panjang. Dia ingin bertemu Atha. Bahkan berpindah agama agar bisa bersama sang mantan. Tapi, kenyataan bahwa Atha sudah menikah menamparnya begitu keras."Arg!!" Sisk
Aroma masakan menguar dari arah dapur. Suara piring-piring yang mulai di tata mengisi keheningan subuh. Sinar matahari belum juga menyapa dan semua hidangan telah dipersiapkan di atas meja makan. Seorang wanita muda berusia 20 tahunan tersenyum puas melihat hasil karyanya. Dia tahu sang suami akan berangkat kerja lebih awal. Jadi, wanita berhijab itu memasak lebih pagi.Suara adzan subuh membangunkan sang suami secara otomatis. Lelaki 27 tahun itu beranjak dari ranjang dengan agak malas. Sedikit heran karena tak didapati kehadiran sang istri di sana. Tapi, lelaki 176 cm itu tak ambil pusing. Dia segera membersihkan diri dan bersiap ke masjid."Mas, sudah bangun." Sebuah majas retorik tanpa jabawan mengalun dari bibir plum wanita 157 cm yang tersenyum ceria."Mas mau ke masjid, ya. Jangan lupa bawa jaket ya, di luar sangat dingin." Senyumnya tak kunjung pudar. Semakin lebar malah sampai kedua matanya nyaris tertutup."Aku berangkat. Assalamualaikum. "Ucap lelaki yang berprofesi sebagai
Alya melambaikan tangannya pada sang suami yang sudah menaiki mobilnya. Kebahagiaan terpancar dari wajahnya. Demi apapun. Dulu menyapa lelaki yang berprofesi dokter itu terasa mustahil. Tapi, sekarang dia bisa hidup bersama dan menjadi bagian dari hidup lelaki bersurai hitam itu. Terima kasih pada hubungan orang tuanya yang sangat baik dengan kedua orang tua Mas Atha. Cintanya yang dulu hanya bagaikan api di atas air kini menjadi kenyataan."Assalamualaikum. " Atha menjinjak pedal gas agar mobil hitam melaju meninggalkan rumah."Waallaikumsalam. Hati-hati mas."****Atha menghela nafas berat. Entah sudah keberapa kalinya. Gundah adalah kata yang tepat untuk menggambarkan perasaannya hari ini. Sudah dua bulan dia menikahi wanita baik bernama Alya. Wanita pilihan kedua orang tuanya yang sejujurnya memiliki wajah imut. Tubuhnya yang tidak terlali tinggi dan pipi tembam menambah kesan imut wanita berhijab tersebut. Tapi, sekalipun wanita yang kini masih kuliah jurusan bahasa inggris itu s
Kunci pintu diputar oleh Alya. Menyimpan benda kecil itu di balik tas selempang berwarna baby brown yang ia dapat sebagai hadiah pernikahan dari salah satu sahabatnya. Dia memastikan bahwa pintu dan pagar rumah telah terkunci rapat sekali lagi sebelum menaiki motor dan menyalakannya. Menarik gas kanan agar benda yang sudah akrab dalam kehidupan manusia sebagai kendaraan itu melaju perlahan.Hari ini dia mulai masuk kuliah lagi setelah cuti selama dua minggu. Jurusan bahasa inggris semester 3 akan dia jalani dengan status baru. Sebagai istri lelaki yang dia kagumi sejak SMA. Wanita bermata bulat itu tersenyum ketika cincin silver menyapa di antara jemarinya. Cincin kawin yang tersemat di jari manis membuatnya sangat bahagia. Sebuah bukti nyata bahwa pernikahannya dan mas Atha benar-benar terjadi.Gedung besar salah satu universitas di Surabaya telah di masukinoleh wanita berkulit putih itu. Riuh mahasiswa meramaikan beberapa tempat. Tak jarang dia melihat penjual makanan ringan nangkri
Alya dan Nafia menghentikan acara larinya. Heran. Kemana perginya lelaki berjas hitam tadi. Cepat sekali hilangnya. Padahal hanya beberapa detik berlalu dan keberadaannya seperti ditelan bumi."Kemana ya? Haduh...padahal aku sudah membuat proposal itu semalaman." Raut kesal dan kecewa memenuhi mimik muka Nafia. Dia menatap langit mendung seolah berharap akan menemukan proposalnya di antara awan-awan."Kamu di sini saja , Naf. Kamu terlihat capek sekali. Biar aku yang cari." Alya mendorong bahu Nafia agar wanita itu duduk di kursi taman. Dia kasihan melihat sang sahabat yang sepertinya sangat bekerja keras untuk menyiapkan acara bakti sosial kampus mereka."Kita cari bersama saja." Nafia hendak berdiri tapi Alya kembali mendorongnya hingga terduduk lagi."Kamu tunggu di sini saja. Ok?" Tegas Alya kemudian beranjak pergi meninggalkan Nafia yang ngos-ngosan.Alya memutar kepalanya ke berbagai arah. Mencari eksistensi seorang lelaki tinggi berjas hitam yang pergi menggondol arsip yang sud
Alya menghampiri Nafia yang celingak-celinguk di tengah taman. Menepuk bahu sang sahabat dengan arsip proposal yang berhasil ia dapatkan setelah pengejaran panjang."Hai.." Sapa Alya dengan wajah sumringah. Memamerkan tiga jilid bertas dengan banyak tulisan di atasnya. "Wah..hebatnya temanku satu ini." Nafia memeluk erat Alya yang membuat wanita itu nyaris kehilangan nafasnya."Behh..lepas Nafia sesak." Nafia melepaskan pelukannya kemudian tertawa renyah melihat teman mungilnya kesulitan mengambil nafas."Ayo kita makan,Ya?" Ajak Nafia.Alya terdiam sejenak. Menimbang ajakan sang sahabat. Sebenarnya dia ingin mengunjungi Mas Atha siang ini. Mengajaknya makan bekal bersama. Tapi, mungkin ajakan Nafia jauh baik. Mengingat Atha belum tentu bisa makan siang tepat waktu dan Alya harap tidak demikian, semoga saja dia punya waktu yang layak untuk menyantap bekal yang Alya siapkan."Ayo." Nafia bersorak riang. Pasalnya ini pertama kali Alya bisa makan bersama dengannya setelah dua bulan me