Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.
Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng. Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya. Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita. Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar. Tak terasa tetes demi tetes air mata mengalir dengan derasnya. Aku harus kuat, aku yakin saat ini Suamiku sedang khilaf hingga ia tega menodai kesucian rumah tangga kami yang baru berjalan 2 tahun ini. Namun ... semakin aku berusaha untuk tidak mengingat kejadian tadi, justru hatiku semakin terasa sakit. Apa mungkin suamiku memang sudah tak menginginkanku lagi? Sehingga tega dia menodai kesucian rumah tangga kami? Rumah tangga yang selalu aku jaga dengan sepenuh hati tapi kini suamiku sendiri yang memberikan noda. Di tengah kesedihanku itu sayap-sayap aku mendengar suara mobil berhenti tepat di depan rumah. Seraya menggendong Salma aaku berjalan untuk mengintip dari balik tirai rupanya itu memang mobil suamiku--Mas Adam. Aku seka sisa air mata yang berlinang di pelupuk mata dan mengalir di kedua pipiku. Aku ingin menyambut kedatangan suamiku meski dalam keadaan hati yang terasa sakit namun Jangan sampai aku menunjukkan wajah bersedihku. Sebelum membuka pintu Aku berusaha untuk memaksakan diri tersenyum. Kubuka pintu rumah itu lalu menyambut dengan senyum kedatangan suamiku. Sayangnya sambutan hangatku itu sama sekali tidak diindahkan olehnya. Dia justru memasang wajah yang tak suka, wajah yang selalu aku benci. "Baru pulang Mas?" tanyaku seraya ingin membawa tas kerja suamiku namun ditepis, padahal posisiku saat ini kepayahan karena menggendong Salma. "Menurutmu?" sinis mas Adam kepadaku. "Mas sudah makan belum? Biar aku siapkan, ya." "Tidak perlu! Emang kamu kira aku mau sahur jam segini harus makan?" ''Bukan maksudku Mas. Aku takut kamu belum makan. Kamu pasti lelah seharian kerja sampai-sampai pukul dua lebih d kamu baru pulang." Aku pun pura-pura tidak tahu padahal aku tahu Mas Adam sudah pergi dengan wanita lain. Mas Adam memilih pergi meninggalkanku dan Salma begitu saja. Sungguh, padahal dia melihat aku menggendong Salma tapi dia sama sekali tidak menyapa Salma. Meskipun aku tahu saat ini Salma tengah tertidur tapi setidaknya berilah kecupan selamat tidur di pipi Salma atau di kening misalnya. Saat langkah suamiku semakin jauh aku pun menyerunya dan mengatakan jika Salma tengah sakit. "Mas, Salma demam," ucapku. Aku berharap dia sedikit respect. Mas Adam menghentikan langkahnya, lalu menatap ke arahku. "Terus...? Terus aku harus apa? Kan ada kamu. Kamu ibunya tinggal jaga dan rawat Salma dengan baik. Kenapa malah memberitahu padaku." Astaghfirullahaladzim Betapa Mas Adam begitu tidak pedulinya pada Salma. Aku tidak masalah jika mas Adam tidak peduli padaku. Tapi ini... Kepada anaknya sendiri. Apakah pantas seorang ayah seperti itu? "Kamu tidak peduli Salma sakit?" Tanyaku yang tidak terima atas jawaban dari mulut Mas Adam. "Aku peduli, kok. Tapi kan sudah ada kamu. Sudahlah jangan mulai keributan Mas capek ngantuk, mau tidur." Mas Adam pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar atas. Di mana kamar kami berdua berada. Bersyukur rasanya, Salma masih balita setidaknya dia belum tahu apa-apa meskipun ayahnya tidak peduli padanya, tapi jika Salma Sudah tumbuh besar, di saat dia sudah mulai mengerti dan suamiku masih bersikap seperti ini? Entah apa yang harus aku jelaskan kepadanya. Tubuh mas Adam sudah tidak terlihat lagi, menghilang masuk ke kamar kami. Aku hanya bisa menghela napas berat. Sejurus kemudian aku menutup pintu dan bermaksud untuk menghampiri mas Adam takut ada sesuatu yang ia butuhkan. Sebelumnya aku menidurkan Salma terlebih dahulu baru aku pun ke kamarku. Ceklek... Aku membuka pintu kamarku dan Mas Adam. Aku lihat Mas adam tengah duduk seraya memijat leher dan juga pelipisnya.. Aku mendekat lalu berniat untuk mengambil alih memijat leher dan juga pelipisnya, sayang ... mas Adam malah menghalau tanganku seperti aku tidak boleh menyentuhnya. "Aku bisa sendiri, nunggu kamu lama!" ucapnya begitu ketus. "Maaf Mas, tadi kan Mas lihat sendiri aku gendong Salma. Jadi aku tidurkan dulu Salma baru ke sini." "Ambilkan aku baju tidur. Aku mau tidur dan ingat besok jangan ganggu. Aku libur." "Baik Mas, besok aku tidak akan bangunin mas." Aku membawa saja jas yang tergeletak di atas ranjang maksudnya hendak menyimpannya di keranjang cucian. Tercium aroma parfum wanita yang membuat hati ini semakin sesak. Lagi-lagi kejadian tadi terbayang di benakku, kejadian saat mas Adam tengah bermesraan dengan wanita lain. Sampai-sampai parfume wanita itu menempel dijas suamiku. Aku menggibas-gibaskan kedua tanganku ke arah mata, berharap air mataku tidak tumpah ini bukan waktunya untuk menangis. Secepatnya aku simpan jas kotor suamiku di keranjang cucian. Setelah itu aku membawa baju tidur. Aku tidak ingin Suamiku marah kembali karena aku terlalu lama mengambil baju. Aku serahkan baju tidur kepada suamiku lalu Mas Adam langsung menggantinya di depanku. Kemudian ia langsung tidur tanpa mengucapkan sepatah kata pun semisal selamat tidur, juga tanpa adanya kecupan selamat tidur. Aku hanya bisa membuang napas kasar. Untuk apa aku berharap diperlakukan seperti satu tahun lalu. Saat di mana mas Adam begitu meratukanku. *** Karena Salma masih rewel, aku pun membawanya ke butik. Tidak tega rasanya kalau harus aku tinggaa bersama Bi Rum yang sudah sepuh itu. Aku titipkan kepada Mas Adam itu jauh tidak mungkin lagi, aku yakin belum juga aku ngomong dia sudah menolak duluan. Untungnya Salma tidak rewel lagi. Dia anteng main sendiri dengan mainannya. Sehingga aku pun bisa leluasa bekerja tanpa harus diganggu Salma. Pun aku tidak harus khawati Salma kenapa-kenapa Karena Salma berada di dalam pengawasanku. "Muka kamu kok kusam gitu? kurang tidur?" Tiba-tiba Sinta datang menepuk bahu dan duduk di hadapanku dengan perkataan yang sama sekali tidak membuat aku tersinggung. Aku langsung menyentuh wajahku yang katanya terlihat kusam. "Semalam Salma rewel, badannya panas jadi gak bisa tidur Kamu tahu kan kalau Salma demam suka kejang." "Adudu ... adudu, jadi keponakan Aunty sakit? Sini sama Aunty." Sinta menggendong Salma yang tengah asik bermain sendiri. Sinta adalah adik Mas Adam dia begitu baik kepadaku, begitu juga kepada Salma. wajar dia begitu baik karena kami memang kebetulan sahabat dari SMA dulu. "Khansa, kok, Sinta perhatiin ada yang berbeda dari kamu!" tanya Sinta padaku seraya menggendong Salma. Aku merespons perkataan Sinta tanpa menoleh ke arahnya. Karena aku sibuk menulis pesanan para customer. "Apanya yang berbeda, Sin? Perasaan nggak ada yang berubah, deh, dariku." balasku yang memang merasa tidak ada sedikitpun yang berubah dari diriku. "Jangan tersinggung, ya, dengan perkataanku. kamu tahu sendiri kan dari dulu kalau ngomong emang suka ceplas-ceplos." "Iya aku tahu. Ya udah kamu ngomong aja. Apa memangnya yang berubah dariku?" ucapku dengan posisi masih sibuk menulis pesanan customer. "Kalau aku perhatiin Kamu terlihat gendut, wajah kamu kusam ada jerawatan, ngerasa gak?" Mendengar pengakuan dari Sinta sontak membuat aku bergeming, aktivitas menulis ku terhenti. Sejurus kemudian menatap ke arah Sinta yang masih menggendong Salma. "Aku gendut? Wajah kusam?" Ulangku. "Iya, emangnya kamu nggak ngerasa? Sebenarnya dari dulu aku mau ngomong kayak gini ke kamu. cuma aku takut kamu tersinggung dan satu hal lagi beberapa bulan belakang ini. kamu benar-benar berubah drastis tubuh kamu semakin mengembang, loh, wajah kamu semakin kusam." "Masa, sih!" ucapku setengah tak percaya. Jika boleh jujur semenjak aku punya butik memang jarang perhatiin diri sendiri. "Jangan sibuk kerja, lah. Jangan diporsir. Mas Adam kan masih sanggup membiayai hidup kamu dan Salma." "Aku tahu Mas Adam masih sanggup membiayai kehidupan kami meskipun aku tidak kerja. Tapi ini cita-citaku dari dulu, kamu tahu sendiri kan?" "Tahu, tapi kamu juga harus perhatiin diri kamu sendiri. Jangan terlalu fokus kerja emang kamu mau mas Adam berpaling?" Deg... Berpaling...Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain. Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin memperta
"Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah enam pagi Sinta sudah datang ke butik dengan tergesa-gesa. Bahkan dia masih menggunakan baju tidur bermotif kromi. Aku yakin dia langsung ke sini saat membuka pesan dariku.Aku melihat Sinta berlari hingga napasnya terengah-engah. Ia terlihat memejamkan matanya seraya memegangi dadanya sepertinya dadanya sesak karena berlari."Khansa....Khansa..." Sinta memanggilku dengan terbata-bata. Pernapasannya belum stabil."Kenapa berlari, Sin?" Tanyaku pada Sinta tak lupa aku menyodokkan segelas air untuk menghilangkan dahaganya."Bangun tidur aku langsung buka handphone dan ada pesan darimu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kirim pesan ini," ujar Sinta seraya memperlihatkan pesan dariku.Sinta adiknya mas Adam, sudah sewajarnya ia tahu. Karena jika aku memberitahu kedua orangtuanya akan kelakuan anaknya aku tidak berani. Aku tidak berani melihat wajah
Perceraian bukanlah akhir dari segalanya bukan? Bukankah aku sudah terbiasa sendiri? Jadi, perceraian ini tidak akan mempengaruhi kehidupanku dan Salma. Hidup terus berlanjut, dan sekarang aku punya Salma yang harus aku biayai, itu artinya aku harus Lebih giat bekerja.Baru beberapa menit lalu aku mengakhiri telepon dari Mas Adam. Kini orang ini menghubungi kembali. Entah mau apa lagi pria ini. Apa dia ingin menghinaku lagi? Sungguh, kenapa di dunia ini harus ada pria seperti dia? Dan lebih parahnya lagi aku malah mencintai pria seperti itu.Sejenak, kuseka terlebih dahulu sisa air mata di pelupuk mata dan di pipiku yang memang sedikit berisi. Aku hampir lupa kapan terakhir aku olahraga hingga tanpa terasa kini tubuhku sedikit melar.Setelah merasa tenang, aku pun kembali mengangkat telepon dari Mas Adam."Ada apa lagi, sih mas! Bukannya kamu bilang kita bukan siapa-siapa lagi dan kita harus pura-pura tidak
Aku ingin segera mengakhiri panggilan dari ibu. Jika tidak Ibu pasti akan mengorek lebih dalam lagi mengenai apa yang sedang aku hadapi sekarang. Beruntung, Salma nangis jadinya aku punya alasan untuk mengakhiri panggilan tersebut. "Bu, nanti Khansa telepon lagi, ya. Salma nangis," ucapku pada ibu. ["Tapi, Ibu belum selesai bicara Khansa!"] Protes ibuku. "Ibu mau bicara apa lagi? Enggak ada yang harus dibicarakan. Lagian Khansa baik-baik saja, ibu jangan khawatir. Ya udah Khansa tutup dulu teleponnya, ya. Assalamualaikum," aku langsung saja menutup telepon dan aku merasa lega sekarang. "Siapa?" Tanya Sinta. Ya, Sinta baru saja tiba seraya membawa Salma yang menangis kejer. "Kau datang tepat waktu, Sin,' ucapku lalu mengambil alih Salma dari pangkuan Sinta. "Apa tadi ibumu?" Tanya Sinta. Aku mengangguk, membenarkan jika yang tadi telepon adalah ibuku. "Dia sepertinya tahu jika aku ada masalah dengan kakakmu. Aku belum sanggup jika ibu harus tahu sekarang. Dia pasti akan mengol
Hari-hari aku lewati untuk memperbaiki penampilan dan postur tubuhku. Dan semenjak telepon waktu itu, ibuku selalu menghubungiku, beliau tidak akan pernah berhenti menerorku sampai apa yang ibu inginkan tercapai. Beliau terus saja menanyakan hal yang sama. Perihal hubunganku dengan Adam. Sekarang aku tidak sudi memanggil nama ayahnya Salma dengan embel-embel 'Mas' cukup menyebutkan nama saja itu lebih baik. Beruntung jarak kami yang terlampau jauh membuat ibu tidak nekat mendatangiku. Namun.... Aku semakin merasa berdosa karena sudah terlalu jauh membohongi ibu. Aku curiga ibu sebenernya sudah tahu apa yang terjadi padaku. Tapi beliau ingin aku bicara langsung pada beliau. Maafkan aku, Bu. Aku belum siap. Salah satu cara untuk mewujudkan rencananya adalah dengan melakukan program diet. Katanya bentuk tubuhku harus kembali seperti dulu, tidak genduk seperti sekarang. Padahal jika pasangan Kita benar-benar tulus menerima, masalah perubahan fisik tidak akan menjadi masalah. Bahka
Aku termangu di depan cermin. Aku merasa pangling dengan penampilanku sendiri. Aku tidak menyangka apakah ini benar aku? Atau orang lain? Aku mencubit lenganku dan terasa begitu sakit. Itu artinya ini sungguhan . Sekarang yang ada di hadapanku adalah diriku sendiri dan ini bukanlah mimpi. "Apa ini aku?" Tanyaku pada Sinta, seraya terus memegangi pipiku. "Tentu saja ini kamu, Sha. Orang yang sedang Kamu tatapan di depan cermin adalah kamu, Cantik bukan?" Aku akui, diri ini terlihat cantik dan lebih muda. Apa memang ini alasan kenapa Adam lebih memilih wanita cantik yang enak dipandang. Tapi, tetap cantik bukanlah standar jodoh. Karena kecantikan sewaktu-waktu akan pudar termakan usia. "Aku tidak mengenali diri aku sendiri. Aku enggak nyangka bisa seperti ini," ucapku dengan posisi masih di depan cermin. Lalu aku menoleh ke arah Sinta yang berada di belakang tubuhku. "Setelah ini, apa yang harus aku lakukan? Enggak mungkin tiba-tiba muncul dihadapan ayahnya Salma kan?"ucapku kem
Anjel terus saja mendesakku untuk secepatnya menikahi dia. Padahal aku sama sekali belum kepikiran untuk menikah lagi. Belum kepikiran untuk terikat dengan yang namanya pernikahan. Bagiku hidup menduda justru lebih nyaman.Apalagi semenjak menjalin hubungan dengan Anjel, tidak ada terbersit untuk menikahinya. Hubunganku dengan Anjel hanya sebatas partner di atas ranjang. Selain itu kami juga sama-sama memiliki keuntungan. Jika aku keuntungannya mendapatkan sesuatu yang tidak pernah aku dapat dari Khansa, apalagi urusan ranjang. Sedangkan Anjel, ia mendapatkan segala yang ia mau. Mulai dari fasilitas mewah, barang branded dan pekerja layak. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Jadi, untuk apa lagi ia mendesakku untuk menikahinya?Karena sekeras apa dia memintanya, aku akan menolak dengan terang-terangan. Karena tujuan awal dengannya pun bukan untuk menikahinya, tapi hanya untuk mencari kesenangan. Namum, dia tidak boleh tahu. Aku yakin jika dia tahu maka ia akan marah besar padaku. M
Gawai milikku terus saja bergetar, sengaja enggak aku angkat karena saat ini aku berada di ruang meeting. Karena mengganggu terpaksa aku menyerahkan gawai milikku pada asistenku.Setelah selesai meeting, asistenku langsung memberikan gawaiku. Dia terlihat pucat. Apa dia sakit?"Kamu kenapa? Sakit?" Tanyaku pada asisten saat aku meraih gawaiku."Enggak Tuan.""Lalu kenapa kamu begitu terlihat pucat?' tanyaku lagi.Dia tertunduk, ia seperti ragu untuk mengatakannya."Ada apa? Bicara saja," tuturku."Itu, tuan mmm. Nyonya telepon dan marah. Nyonya tahu perihal hubungan dengan wanita tuan," ujar asistenku.Sudah aku duga hal seperti ini akan terjadi. Dan kini aku tahu kenapa asistenku terlihat pucat. Dia habis kena marah ibuku."Ngomong apa aja ibuku?" Tanyaku seraya berjalan ke ruanganku."Nyonya marah karena Tuan bersekingkuh lalu nyonya titip pesan agar Tuan telepon balik saat acara meeting selesai.""Baiklah. Setelah ini apa aku punya jadwal lain?" Tanyaku. Karena aku berniat pulang l
Masa sekarang.....Selama kurang-lebih dua tahun dari dia mengandung dan kini anaknya sudah berusia satu tahun lebih, sudah berpuluhan cara aku lakukan untuk membuat anak itu lenyap. Hingga Khansa mau berubah kembali. Tapi, Semakin ke sini aku justru semakin ilfiil padanya. .Aku bahkan enggak pernah lagi menyentuhnya. Bagaimana aku mau menyentuhnya, melihat dirinya saja membuat bir4hiku hilang. Sudah tidak ada lagi selera untuk menyentuhnya.Tanpa sepengetahuan Khansa. Aku bermain api dengan sekretarisku. Dia cantik, tubuhnya mmmm tidak bisa diungkapkan saking indahnya. Dia dengan Khansa ibarat langit dan bumi. Hubunganku dengannya sudah berjalan hampir satu tahun.Selama satu tahun itu, Khansa sama sekali tidak curiga dengan hubungan kami. Dia seperti biasa melayaniku. Bukan melayani di atas ranjang melainkan melayaniku dalam urusan perut dan pakaianku. .Meskipun demikian aku tidak luluh, aku menganggap apa yang dilakukan Khansa sebatas pelayanan yang memang harus dilakukan oleh
Dua tahun lalu Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling aku benci? Maka dengan senang hati aku akan mengatakannya. Jika orang yang paling aku benci adalah istriku sendiri--Khansa.Kenapa bisa aku membenci istriku sendiri? Alasan karena dia seorang penjahat wanita. Dia menggunakan koneksi keluarga untuk menikah denganku.Jujur, aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan dengan dirinya. Aku tidak menyukainya. Tapi karena desakan keluarga dan dia memang cantik membuat aku dengan sukarela menerima pernikahan ini. Beruntung dia cantik jika tidak maka aku akan menolak dia mentah-mentah.Hubungan pernikahan kami tidak ada yang aneh, berjalan seperti suami istri pada umumnya. Tapi, aku pernah bilang pada istriku--Khansa jika aku ingin childfree. Aku tahu dia kecewa terlihat jelas di wajah cantiknya itu raut sendu.Tapi aku tidak peduli. Ini sudah jadi keputusanku. Sialnya karena malam itu aku terpengaruh alkohol membuat aku tidur dengannya tanpa menggunakan alat pengaman. Aku kira t
Setelah pertemuanku dengan Adam selesai dan aku mengunjungi mantan mertuaku. Aku dan mas Farhan memutuskan untuk langsung pulang ke Surabaya. Aku sangat berharap ada kabar baik, jika dilihat dari sikap Adam yang sedikit banyaknya telah berubah. "Mas, menurutmu apa Adam akan bertanggungjawab?" tanyaku mas Farhan disela kegiatan mas Farhan menyetir, ya kami baru sampai di bandara Juanda dan supir mas Farhan mengirim kami mobil. "Mmm, harusnya sih , iya. Mas rasa dia sudah berubah dari terkahir kali kita bertemu," jawaban mas Farhan sama persis denganku. "Aku juga berpikir seperti itu." "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha hasilnya kita pasrah saja," timpal mas Farhan dan itu ada benarnya. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya kemungkinan terburuk Adam tidak menerimanya pun masih ada keluarganya yang dengan senang hati menerima Anjel dan bayinya. "Maafin aku ya, Mas. Kamu pasti risi karena aku terlalu ikut campur urusan orang lain?" . "E
Adam terdiam, saat aku mengatakan jika Anjel sedang hamil anaknya. Dia seperti menganggap kehamilan Anjel tidak berarti apa-apa. "Kamu dengar tidak? Anjel hamil dan kamu harus bertanggung jawab," tegasku lagi saat tidak ada respons apapun dari Adam. Adam menatapku yang mana aku masih bersembunyi di balik tubuh mas Farhan. "Kenapa aku yang harus bertanggung jawab?" tanya Adam dan sungguh ucapnya itu terdengar menyebalkan. karena geram, aku yang berlindung dibelakang tubuh mas Farhan langsung pasang badan. "kamu bilang kenapa? Jelas saja kamu yang harus bertanggung jawab karena kamu adalah ayah biologisnya!" ujarku dengan membentak. Dia enggak berubah sama sekali. "Apa kamu yakin bayi itu milikku? apa ada buktinya?" Aku menggeleng, sungguh tidak bisa dipercaya. Saat dia menghamili anak orang, dia malah bersikap seolah bukan dialah ayahnya, bukan di yang menyebabkan Anjel hamil. "Dia kekasihmu, sudah pasti' dia sedang hamil anakmu. Apa kamu mau bersikap sama seperti pada
Aku dan Mas Farhan ke jakarta. Sebenarnya aku tidak harus bertindak jauh seperti ini. Keluarga Adam sudah menerima Anjel, harusnya itu lebih daripada cukup. Tapi, entah kenapa rasanya kurang, aku ingin Adam pun ikut bertanggungjawab. Karena Anjel hamil dan aku selalu kepikiran Salma, jangan sampai bayi itu bernasib sama seperti Salma. Mas Farhan mengizinkan aku menemui Adam, dengan syarat dia pun harus ikut. Dia akan menemaniku menemui Adam. ini tidak masalah, karena tanpa mas Farhan minta syarat pun, aku sudah berniat akan mengajak mas Farhan. Kini aku dan mas Farhan sudah sampai di Jakarta, sengaja aku tidak menemui mantan ibu dan ayah mertua, aku memilih bertemu langsung dengan Adam. Setelah menemui Adam baru aku akan bertemu dengan mantan mertuaku. Di meja resepsionis aku langsung menanyakan keberadaan Adam. Mereka yang masih mengenaliku menyapaku dan sukses membuat aku senang. Karena mereka tidak melupakan aku. "Bu Khansa, apa kabar?" tanya resepsionis saat tahu orang
Beberapa hari setelah menghubungi Sinta dan menceritakan apa yang kakaknya lakukan, belum ada tanda-tanda Adam ada niat baik. Adam, seolah memutuskan kontak dengan keluarganya sendiri. Tapi, meskipun tidak ada kabar dari Adam, mantan ayah dan ibu mertuaku mereka terbuka, bahkan mereka menerima Anjel. Meskipun masih ada perasaan marah pada Anjel, tapi bukan berarti mereka harus tidak pedulikan kehamilan Anjel. Aku selalu merasa heran, keluarga Adam semuanya baik. Tapi kenapa hanya Adam yang berbeda? Kenapa hanya dia yang tidak memiliki hati nurani? entahlah! Sesuai kesepakatan, ibu meminta padaku untuk menghubungi Anjel dan memintanya untuk ketemuan. Mereka ingin meminta maaf dan ingin mengatakan niat baik mereka. Jika mereka menerima Anjel dan bayinya. Mereka berniat membawa Anjel untuk tinggal bersama mereka. (Bu Wulan ingin bertemu sama kamu,) aku kirim teks pesan ke nomor Anjel. Kutunggu beberapa menit akhirnya masuk balasan dari Anjel. (apa keluarga mas Adam ada di
("Apa kamu ngomong kaya gini untuk mengejekku? Menertawakan aku karena bernasib malang, ditinggal setelah ada yang lebih dariku? Apa iya, Khansa?") "Tidak! Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Ini murni dari hatiku, karena Aku pun pernah ada di posisimu, aku tahu bagaimana sakitnya pria yang kita cintai memilih wanita lain. Terlebih sekarang kamu sedang hamil. Ingat! Anak dalam kandunganmu tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa. Jangan sampai anakmu bernasib sama seperti anakku. Jikapun Adam tidak mau tanggung jawab, tapi aku yakin keluarganya akan menerima kamu. Terlebih kamu sedang mengandung keturunan mereka," tuturku menjelaskan sekaligus menyanggah tuduhan jika aku tengah mengejeknya. Lagi-lagi tidak ada jawaban, yang terdengar sekarang hanya suara isakan yang sangat menyayat hati. "Kamu mau yah dengarkan saranku? Dia harus tanggung jawab, aku akan bicara pada keluarganya. Aku titip pesan sama kamu, tolong jangan stres, jangan banyak pikiran. Percayalah setiap ma