Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain.
Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini. "Kau ada masalah, ya, sama kak Adam? Jujur sama aku, Sha." Mungkinkah aku harus jujur? Jika kakaknya kini bermain wanita lain? Tapi. . aku takut Sinta tersinggung. Aku takut Sinta justru menuduhku yang tidak-tidak, hingga hubungan kami sama buruknya dengan hubunganku dengan mas Adam. "Khansa! Kenapa diam? Kamu sembunyikan sesuatu kan dari aku? Aku sahabatmu, Sha. Aku tahu saat ini kamu sedang ada masalah kan? Ayo cerita ke aku, jangan malah di pendam seorang diri." Tutur Sinta, dia memang selalu peka. "Kalau aku cerita, apa kamu akan marah? Apa kamu akan membenciku?" Tanyaku sebelum aku menceritakan apa yang terjadi. "Kenapa aku harus marah?" "Karena apa yang akan aku ceritakan berhubungan dengan kakakmu," ujarku dengan memelankan kata kakakmu. "Berhubungan dengan kak Adam? Apa dia menyakitimu, Sha?" "Janji dulu kamu gak akan marah!" "Kenapa aku harus marah. Jika memang dia salah? Ingat Sha meskipun dia kakak ku, kalau dia salah apa aku harus membelanya? Terlebih dia menyakitimu!" Aku tahu Sinta akan merespons seperti ini. Karena dia orangnya objektif. Jika salah ya salah, jika benar maka itu adalah benar. "Jadi apa yang kakakku lakukan padamu?" Tanya lagi Sinta saat aku tak kunjung bicara. "Aku pernah melihat Mas adam dengan wanita lain. Mereka bermesraan. Dan kamu tahu? Dia sekarang jarang pulang. Kalau pun pulang pasti larut malam. Dia tidak peduli pada Salma. Aku mungkin baik-baik aja, enggak masalah jika tidak dipedulikan. Tapi... Jika Salma pun ikut tidak dipedulikan padahal dia anak kandungnya, hatiku jauh lebih sakit." Tuturku dengan suara yang lirih. "Apa aku tidak salah dengar? Apa Kak Adam memang seperti itu?" Tanya Sinta. Dari nadanya Sinta sepertinya tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan. Wajar, karena Sinta memang sangat menyayangi mas Adam. "Apa kamu tidak percaya dengan ucapanku, Sin?" Tanyaku dengan nada setengah tak percaya. Sinta menggerakkan tangannya ke kanan ke kiri. Sepertinya ia meralat apa yang tadi aku tuduhkan. "Bukan seperti itu, Sha. Aku gak percaya aja kak Adam bisa senekat itu. DiA benar-benar melupakan aku dan ibu yang sama-sama wanita. Dia gak pernah mikir bagaimana jika aku atau Ibu ada diposisi itu." "Akupun sebenarnya tidak mau percaya. Tapi aku sendiri yang melihatnya, Sin. Mereka saling mengecup di depan umum. Di depan mataku sendiri." Ujarku, suaraku semakin terdengar parau. Rasanya sedih jika mengingat kejadian semalam. "Sejak kapan kak Adam seperti ini? Kenapa kamu baru bilang padaku?" "Sudah lama Mas Adam berubah. Tapi saat aku melihat Mas adam dengan wanita lain baru satu kali dan kejadian itu semalam. Saat aku sibuk menjaga Salma yang demam tapi ayahnya malah sibuk dengan wanita lain. Kau tahu sesakit apa hati ini?" Ucapku seraya menepuk-nepuk dada yang terasa sesak. Sinta memelukku tanpa menurunkan Salma dalam gendongannya. Aku beruntung memiliki ipar sekaligus sahabat yang sangat memahami ku. "Tolong maafkan kak Adam. Tapi kamu tenang saja aku akan memberikan dia pelajaran. Dia kira siapa? Bisa seenaknya mempermainkanmu. Kalau dia menyakitimu sama saja dengan menyakitiku. Aku gak terima." Aku langsung mengurai pelukan Sinta. Aku tidak ingin Sinta ikut campur rumah tanggaku. Aku tidak ingin hubungan Sinta malah bermasalah dengan mas Adam. "Enggak usah, Sin. Ini urusan rumah tanggaku biar aku selesaikan sendiri. Kamu udah care sama aku aja lebih dari cukup. Aku cerita sama kamu karena memendam masalah seorang diri sungguh sangat menyiksa. Sekarang aku bisa lebih lega, tinggal cari alasan Mas Adam menduakan aku," tuturku. "Kamu jadi wanita jangan terlalu baik, Sha. Bisa gak sekali saja egois? Ini efeknya kak Adam jadi ngelunjak." Aku merasa Sinta kesal atas sikapku. "Apa mungkin karena sekarang aku tidak menarik lagi? Seperti yang tadi kamu bilang." Sinta malah terdiam, sepertinya dugaanku memang benar. Alasan Mas Adam Berpaling ada kemungkinan karena aku sudah tak menarik lagi hingga membuat mas Adam memilih mencari wanita lain. Karena sudah merasa aku tidak menarik lagi. Membuat Mas adam enggan untuk menyentuhku. Bayangkan semenjak Salma lahir sampai sekarang aku tidak pernah disentuh walau seujung kuku. "Jika memang benar alasannya seperti itu, maka solusinya itu mudah. Kamu tinggal ubah penampilan. Kamu harus bisa berpenampilan menarik. Buat kak Adam jatuh cinta lagi," ujar Sinta. Aku hanya terdiam sebagai bentuk respons. Aku tidak tahu harus bersikap apa. Apa harus memaafkan Mas Adam atau tidak. Perselingkuhan bagiku sesuatu yang fatal. Tapi, mungkin aku harus tahu terlebih dahulu sampai mana hubungan mereka. Jika hanya sebatas menemani tidak sampai bermain di atas ranjang mungkin aku bisa mempertimbangkan. Jika sebaliknya maka aku akan menyerah. *** Sekitar pukul delapan malam aku dan Salma sampai di rumah. Tepat di pekarangan aku mengerutkan kening saat melihat mobil mas Adam sudah terparkir. Tumben. Hanya satu kata itu yang terucap. Karena biasanya mas Adam pulang dini hari. Ada apakah? Apa sebab mas Adam pulang lebih cepat? Tak ingin banyak menduga aku memilih secepatnya masuk seraya menggendong Salma yang tertidur. Baru saja aku membuka pintu, aku justru harus disambut dengan tatapan mas Adam, sebuah tatapan penuh keseriusan. Seolah mas Adam memang sedang menunggu kedatanganku. "Kamu udah pulang, Mas?" Tanyaku aku berusaha untuk tersenyum meskipun enggan untuk tersenyum. Terlebih saat aku semakin mendekat mencium aroma parfum wanita. "Malah nanya! Kamu lihat sendirikan aku ada di sini? Ini yang membuat aku jenuh sama kamu, kamu itu sama sekali enggak guna, kamu selalu bicara yang menurut ku enggak penting, enggak nyambung, enggak ada yang patut dibanggakan pula" cerocos mas Adam padahal aku hanya bertanya baik-baik, tapi dibalas dengan hinaan. "Maafkan aku mas, aku..." "Kita cerai!""Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
Pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah enam pagi Sinta sudah datang ke butik dengan tergesa-gesa. Bahkan dia masih menggunakan baju tidur bermotif kromi. Aku yakin dia langsung ke sini saat membuka pesan dariku.Aku melihat Sinta berlari hingga napasnya terengah-engah. Ia terlihat memejamkan matanya seraya memegangi dadanya sepertinya dadanya sesak karena berlari."Khansa....Khansa..." Sinta memanggilku dengan terbata-bata. Pernapasannya belum stabil."Kenapa berlari, Sin?" Tanyaku pada Sinta tak lupa aku menyodokkan segelas air untuk menghilangkan dahaganya."Bangun tidur aku langsung buka handphone dan ada pesan darimu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kirim pesan ini," ujar Sinta seraya memperlihatkan pesan dariku.Sinta adiknya mas Adam, sudah sewajarnya ia tahu. Karena jika aku memberitahu kedua orangtuanya akan kelakuan anaknya aku tidak berani. Aku tidak berani melihat wajah
Perceraian bukanlah akhir dari segalanya bukan? Bukankah aku sudah terbiasa sendiri? Jadi, perceraian ini tidak akan mempengaruhi kehidupanku dan Salma. Hidup terus berlanjut, dan sekarang aku punya Salma yang harus aku biayai, itu artinya aku harus Lebih giat bekerja.Baru beberapa menit lalu aku mengakhiri telepon dari Mas Adam. Kini orang ini menghubungi kembali. Entah mau apa lagi pria ini. Apa dia ingin menghinaku lagi? Sungguh, kenapa di dunia ini harus ada pria seperti dia? Dan lebih parahnya lagi aku malah mencintai pria seperti itu.Sejenak, kuseka terlebih dahulu sisa air mata di pelupuk mata dan di pipiku yang memang sedikit berisi. Aku hampir lupa kapan terakhir aku olahraga hingga tanpa terasa kini tubuhku sedikit melar.Setelah merasa tenang, aku pun kembali mengangkat telepon dari Mas Adam."Ada apa lagi, sih mas! Bukannya kamu bilang kita bukan siapa-siapa lagi dan kita harus pura-pura tidak
Aku ingin segera mengakhiri panggilan dari ibu. Jika tidak Ibu pasti akan mengorek lebih dalam lagi mengenai apa yang sedang aku hadapi sekarang. Beruntung, Salma nangis jadinya aku punya alasan untuk mengakhiri panggilan tersebut. "Bu, nanti Khansa telepon lagi, ya. Salma nangis," ucapku pada ibu. ["Tapi, Ibu belum selesai bicara Khansa!"] Protes ibuku. "Ibu mau bicara apa lagi? Enggak ada yang harus dibicarakan. Lagian Khansa baik-baik saja, ibu jangan khawatir. Ya udah Khansa tutup dulu teleponnya, ya. Assalamualaikum," aku langsung saja menutup telepon dan aku merasa lega sekarang. "Siapa?" Tanya Sinta. Ya, Sinta baru saja tiba seraya membawa Salma yang menangis kejer. "Kau datang tepat waktu, Sin,' ucapku lalu mengambil alih Salma dari pangkuan Sinta. "Apa tadi ibumu?" Tanya Sinta. Aku mengangguk, membenarkan jika yang tadi telepon adalah ibuku. "Dia sepertinya tahu jika aku ada masalah dengan kakakmu. Aku belum sanggup jika ibu harus tahu sekarang. Dia pasti akan mengol
Hari-hari aku lewati untuk memperbaiki penampilan dan postur tubuhku. Dan semenjak telepon waktu itu, ibuku selalu menghubungiku, beliau tidak akan pernah berhenti menerorku sampai apa yang ibu inginkan tercapai. Beliau terus saja menanyakan hal yang sama. Perihal hubunganku dengan Adam. Sekarang aku tidak sudi memanggil nama ayahnya Salma dengan embel-embel 'Mas' cukup menyebutkan nama saja itu lebih baik. Beruntung jarak kami yang terlampau jauh membuat ibu tidak nekat mendatangiku. Namun.... Aku semakin merasa berdosa karena sudah terlalu jauh membohongi ibu. Aku curiga ibu sebenernya sudah tahu apa yang terjadi padaku. Tapi beliau ingin aku bicara langsung pada beliau. Maafkan aku, Bu. Aku belum siap. Salah satu cara untuk mewujudkan rencananya adalah dengan melakukan program diet. Katanya bentuk tubuhku harus kembali seperti dulu, tidak genduk seperti sekarang. Padahal jika pasangan Kita benar-benar tulus menerima, masalah perubahan fisik tidak akan menjadi masalah. Bahka
Aku termangu di depan cermin. Aku merasa pangling dengan penampilanku sendiri. Aku tidak menyangka apakah ini benar aku? Atau orang lain? Aku mencubit lenganku dan terasa begitu sakit. Itu artinya ini sungguhan . Sekarang yang ada di hadapanku adalah diriku sendiri dan ini bukanlah mimpi. "Apa ini aku?" Tanyaku pada Sinta, seraya terus memegangi pipiku. "Tentu saja ini kamu, Sha. Orang yang sedang Kamu tatapan di depan cermin adalah kamu, Cantik bukan?" Aku akui, diri ini terlihat cantik dan lebih muda. Apa memang ini alasan kenapa Adam lebih memilih wanita cantik yang enak dipandang. Tapi, tetap cantik bukanlah standar jodoh. Karena kecantikan sewaktu-waktu akan pudar termakan usia. "Aku tidak mengenali diri aku sendiri. Aku enggak nyangka bisa seperti ini," ucapku dengan posisi masih di depan cermin. Lalu aku menoleh ke arah Sinta yang berada di belakang tubuhku. "Setelah ini, apa yang harus aku lakukan? Enggak mungkin tiba-tiba muncul dihadapan ayahnya Salma kan?"ucapku kem
Suara itu terdengar penuh selidik , seperti mencari kebenaran dari apa yang dia pikirkan. Aku meremas jemari Sinta karena aku tahu siapa pemilik suara tersebut. Aku menatap Sinta begitu juga dengan Sinta menatapku lalu menganggukkan kepala. Memberi tanda tidak apa-apa, mari kita hadapi. Secara bersamaan aku dan Sinta menoleh. Benar itu adalah Adam. Dia bersama selingkuhnya. "Iya, ini aku kenapa?" Tanyaku, aku berbicara ketus, sengaja. Padahal sebenarnya jantung ini berdetak kencang, aku takut. Takut rencana ini akan gagal. "Kakak ngapain ke sini dengan wanita lain? Apa Kakak ingin semua orang tahu tentang hubungan kakak dengan Khansa sudah berakhir?" Sinta tiba-tiba angkat suara saat mengetahui Adam datang dengan wanita selingkuhannya, alias sekretarisnya ganjennya Aku menahan Sinta supaya ia tidak terus menghabiskan tenaga berbicara dengan Adam. Biar aku saja karena entah kekuatan dari mana tiba-tiba aku seberani ini. "Sinta, sebaiknya kamu bawa jauh Salma. Urusan pria d
Anjel terus saja mendesakku untuk secepatnya menikahi dia. Padahal aku sama sekali belum kepikiran untuk menikah lagi. Belum kepikiran untuk terikat dengan yang namanya pernikahan. Bagiku hidup menduda justru lebih nyaman.Apalagi semenjak menjalin hubungan dengan Anjel, tidak ada terbersit untuk menikahinya. Hubunganku dengan Anjel hanya sebatas partner di atas ranjang. Selain itu kami juga sama-sama memiliki keuntungan. Jika aku keuntungannya mendapatkan sesuatu yang tidak pernah aku dapat dari Khansa, apalagi urusan ranjang. Sedangkan Anjel, ia mendapatkan segala yang ia mau. Mulai dari fasilitas mewah, barang branded dan pekerja layak. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Jadi, untuk apa lagi ia mendesakku untuk menikahinya?Karena sekeras apa dia memintanya, aku akan menolak dengan terang-terangan. Karena tujuan awal dengannya pun bukan untuk menikahinya, tapi hanya untuk mencari kesenangan. Namum, dia tidak boleh tahu. Aku yakin jika dia tahu maka ia akan marah besar padaku. M
Gawai milikku terus saja bergetar, sengaja enggak aku angkat karena saat ini aku berada di ruang meeting. Karena mengganggu terpaksa aku menyerahkan gawai milikku pada asistenku.Setelah selesai meeting, asistenku langsung memberikan gawaiku. Dia terlihat pucat. Apa dia sakit?"Kamu kenapa? Sakit?" Tanyaku pada asisten saat aku meraih gawaiku."Enggak Tuan.""Lalu kenapa kamu begitu terlihat pucat?' tanyaku lagi.Dia tertunduk, ia seperti ragu untuk mengatakannya."Ada apa? Bicara saja," tuturku."Itu, tuan mmm. Nyonya telepon dan marah. Nyonya tahu perihal hubungan dengan wanita tuan," ujar asistenku.Sudah aku duga hal seperti ini akan terjadi. Dan kini aku tahu kenapa asistenku terlihat pucat. Dia habis kena marah ibuku."Ngomong apa aja ibuku?" Tanyaku seraya berjalan ke ruanganku."Nyonya marah karena Tuan bersekingkuh lalu nyonya titip pesan agar Tuan telepon balik saat acara meeting selesai.""Baiklah. Setelah ini apa aku punya jadwal lain?" Tanyaku. Karena aku berniat pulang l
Masa sekarang.....Selama kurang-lebih dua tahun dari dia mengandung dan kini anaknya sudah berusia satu tahun lebih, sudah berpuluhan cara aku lakukan untuk membuat anak itu lenyap. Hingga Khansa mau berubah kembali. Tapi, Semakin ke sini aku justru semakin ilfiil padanya. .Aku bahkan enggak pernah lagi menyentuhnya. Bagaimana aku mau menyentuhnya, melihat dirinya saja membuat bir4hiku hilang. Sudah tidak ada lagi selera untuk menyentuhnya.Tanpa sepengetahuan Khansa. Aku bermain api dengan sekretarisku. Dia cantik, tubuhnya mmmm tidak bisa diungkapkan saking indahnya. Dia dengan Khansa ibarat langit dan bumi. Hubunganku dengannya sudah berjalan hampir satu tahun.Selama satu tahun itu, Khansa sama sekali tidak curiga dengan hubungan kami. Dia seperti biasa melayaniku. Bukan melayani di atas ranjang melainkan melayaniku dalam urusan perut dan pakaianku. .Meskipun demikian aku tidak luluh, aku menganggap apa yang dilakukan Khansa sebatas pelayanan yang memang harus dilakukan oleh
Dua tahun lalu Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling aku benci? Maka dengan senang hati aku akan mengatakannya. Jika orang yang paling aku benci adalah istriku sendiri--Khansa.Kenapa bisa aku membenci istriku sendiri? Alasan karena dia seorang penjahat wanita. Dia menggunakan koneksi keluarga untuk menikah denganku.Jujur, aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan dengan dirinya. Aku tidak menyukainya. Tapi karena desakan keluarga dan dia memang cantik membuat aku dengan sukarela menerima pernikahan ini. Beruntung dia cantik jika tidak maka aku akan menolak dia mentah-mentah.Hubungan pernikahan kami tidak ada yang aneh, berjalan seperti suami istri pada umumnya. Tapi, aku pernah bilang pada istriku--Khansa jika aku ingin childfree. Aku tahu dia kecewa terlihat jelas di wajah cantiknya itu raut sendu.Tapi aku tidak peduli. Ini sudah jadi keputusanku. Sialnya karena malam itu aku terpengaruh alkohol membuat aku tidur dengannya tanpa menggunakan alat pengaman. Aku kira t
Setelah pertemuanku dengan Adam selesai dan aku mengunjungi mantan mertuaku. Aku dan mas Farhan memutuskan untuk langsung pulang ke Surabaya. Aku sangat berharap ada kabar baik, jika dilihat dari sikap Adam yang sedikit banyaknya telah berubah. "Mas, menurutmu apa Adam akan bertanggungjawab?" tanyaku mas Farhan disela kegiatan mas Farhan menyetir, ya kami baru sampai di bandara Juanda dan supir mas Farhan mengirim kami mobil. "Mmm, harusnya sih , iya. Mas rasa dia sudah berubah dari terkahir kali kita bertemu," jawaban mas Farhan sama persis denganku. "Aku juga berpikir seperti itu." "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha hasilnya kita pasrah saja," timpal mas Farhan dan itu ada benarnya. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya kemungkinan terburuk Adam tidak menerimanya pun masih ada keluarganya yang dengan senang hati menerima Anjel dan bayinya. "Maafin aku ya, Mas. Kamu pasti risi karena aku terlalu ikut campur urusan orang lain?" . "E
Adam terdiam, saat aku mengatakan jika Anjel sedang hamil anaknya. Dia seperti menganggap kehamilan Anjel tidak berarti apa-apa. "Kamu dengar tidak? Anjel hamil dan kamu harus bertanggung jawab," tegasku lagi saat tidak ada respons apapun dari Adam. Adam menatapku yang mana aku masih bersembunyi di balik tubuh mas Farhan. "Kenapa aku yang harus bertanggung jawab?" tanya Adam dan sungguh ucapnya itu terdengar menyebalkan. karena geram, aku yang berlindung dibelakang tubuh mas Farhan langsung pasang badan. "kamu bilang kenapa? Jelas saja kamu yang harus bertanggung jawab karena kamu adalah ayah biologisnya!" ujarku dengan membentak. Dia enggak berubah sama sekali. "Apa kamu yakin bayi itu milikku? apa ada buktinya?" Aku menggeleng, sungguh tidak bisa dipercaya. Saat dia menghamili anak orang, dia malah bersikap seolah bukan dialah ayahnya, bukan di yang menyebabkan Anjel hamil. "Dia kekasihmu, sudah pasti' dia sedang hamil anakmu. Apa kamu mau bersikap sama seperti pada
Aku dan Mas Farhan ke jakarta. Sebenarnya aku tidak harus bertindak jauh seperti ini. Keluarga Adam sudah menerima Anjel, harusnya itu lebih daripada cukup. Tapi, entah kenapa rasanya kurang, aku ingin Adam pun ikut bertanggungjawab. Karena Anjel hamil dan aku selalu kepikiran Salma, jangan sampai bayi itu bernasib sama seperti Salma. Mas Farhan mengizinkan aku menemui Adam, dengan syarat dia pun harus ikut. Dia akan menemaniku menemui Adam. ini tidak masalah, karena tanpa mas Farhan minta syarat pun, aku sudah berniat akan mengajak mas Farhan. Kini aku dan mas Farhan sudah sampai di Jakarta, sengaja aku tidak menemui mantan ibu dan ayah mertua, aku memilih bertemu langsung dengan Adam. Setelah menemui Adam baru aku akan bertemu dengan mantan mertuaku. Di meja resepsionis aku langsung menanyakan keberadaan Adam. Mereka yang masih mengenaliku menyapaku dan sukses membuat aku senang. Karena mereka tidak melupakan aku. "Bu Khansa, apa kabar?" tanya resepsionis saat tahu orang
Beberapa hari setelah menghubungi Sinta dan menceritakan apa yang kakaknya lakukan, belum ada tanda-tanda Adam ada niat baik. Adam, seolah memutuskan kontak dengan keluarganya sendiri. Tapi, meskipun tidak ada kabar dari Adam, mantan ayah dan ibu mertuaku mereka terbuka, bahkan mereka menerima Anjel. Meskipun masih ada perasaan marah pada Anjel, tapi bukan berarti mereka harus tidak pedulikan kehamilan Anjel. Aku selalu merasa heran, keluarga Adam semuanya baik. Tapi kenapa hanya Adam yang berbeda? Kenapa hanya dia yang tidak memiliki hati nurani? entahlah! Sesuai kesepakatan, ibu meminta padaku untuk menghubungi Anjel dan memintanya untuk ketemuan. Mereka ingin meminta maaf dan ingin mengatakan niat baik mereka. Jika mereka menerima Anjel dan bayinya. Mereka berniat membawa Anjel untuk tinggal bersama mereka. (Bu Wulan ingin bertemu sama kamu,) aku kirim teks pesan ke nomor Anjel. Kutunggu beberapa menit akhirnya masuk balasan dari Anjel. (apa keluarga mas Adam ada di
("Apa kamu ngomong kaya gini untuk mengejekku? Menertawakan aku karena bernasib malang, ditinggal setelah ada yang lebih dariku? Apa iya, Khansa?") "Tidak! Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Ini murni dari hatiku, karena Aku pun pernah ada di posisimu, aku tahu bagaimana sakitnya pria yang kita cintai memilih wanita lain. Terlebih sekarang kamu sedang hamil. Ingat! Anak dalam kandunganmu tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa. Jangan sampai anakmu bernasib sama seperti anakku. Jikapun Adam tidak mau tanggung jawab, tapi aku yakin keluarganya akan menerima kamu. Terlebih kamu sedang mengandung keturunan mereka," tuturku menjelaskan sekaligus menyanggah tuduhan jika aku tengah mengejeknya. Lagi-lagi tidak ada jawaban, yang terdengar sekarang hanya suara isakan yang sangat menyayat hati. "Kamu mau yah dengarkan saranku? Dia harus tanggung jawab, aku akan bicara pada keluarganya. Aku titip pesan sama kamu, tolong jangan stres, jangan banyak pikiran. Percayalah setiap ma