Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain.
Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini. "Kau ada masalah, ya, sama kak Adam? Jujur sama aku, Sha." Mungkinkah aku harus jujur? Jika kakaknya kini bermain wanita lain? Tapi. . aku takut Sinta tersinggung. Aku takut Sinta justru menuduhku yang tidak-tidak, hingga hubungan kami sama buruknya dengan hubunganku dengan mas Adam. "Khansa! Kenapa diam? Kamu sembunyikan sesuatu kan dari aku? Aku sahabatmu, Sha. Aku tahu saat ini kamu sedang ada masalah kan? Ayo cerita ke aku, jangan malah di pendam seorang diri." Tutur Sinta, dia memang selalu peka. "Kalau aku cerita, apa kamu akan marah? Apa kamu akan membenciku?" Tanyaku sebelum aku menceritakan apa yang terjadi. "Kenapa aku harus marah?" "Karena apa yang akan aku ceritakan berhubungan dengan kakakmu," ujarku dengan memelankan kata kakakmu. "Berhubungan dengan kak Adam? Apa dia menyakitimu, Sha?" "Janji dulu kamu gak akan marah!" "Kenapa aku harus marah. Jika memang dia salah? Ingat Sha meskipun dia kakak ku, kalau dia salah apa aku harus membelanya? Terlebih dia menyakitimu!" Aku tahu Sinta akan merespons seperti ini. Karena dia orangnya objektif. Jika salah ya salah, jika benar maka itu adalah benar. "Jadi apa yang kakakku lakukan padamu?" Tanya lagi Sinta saat aku tak kunjung bicara. "Aku pernah melihat Mas adam dengan wanita lain. Mereka bermesraan. Dan kamu tahu? Dia sekarang jarang pulang. Kalau pun pulang pasti larut malam. Dia tidak peduli pada Salma. Aku mungkin baik-baik aja, enggak masalah jika tidak dipedulikan. Tapi... Jika Salma pun ikut tidak dipedulikan padahal dia anak kandungnya, hatiku jauh lebih sakit." Tuturku dengan suara yang lirih. "Apa aku tidak salah dengar? Apa Kak Adam memang seperti itu?" Tanya Sinta. Dari nadanya Sinta sepertinya tidak percaya dengan apa yang aku ceritakan. Wajar, karena Sinta memang sangat menyayangi mas Adam. "Apa kamu tidak percaya dengan ucapanku, Sin?" Tanyaku dengan nada setengah tak percaya. Sinta menggerakkan tangannya ke kanan ke kiri. Sepertinya ia meralat apa yang tadi aku tuduhkan. "Bukan seperti itu, Sha. Aku gak percaya aja kak Adam bisa senekat itu. DiA benar-benar melupakan aku dan ibu yang sama-sama wanita. Dia gak pernah mikir bagaimana jika aku atau Ibu ada diposisi itu." "Akupun sebenarnya tidak mau percaya. Tapi aku sendiri yang melihatnya, Sin. Mereka saling mengecup di depan umum. Di depan mataku sendiri." Ujarku, suaraku semakin terdengar parau. Rasanya sedih jika mengingat kejadian semalam. "Sejak kapan kak Adam seperti ini? Kenapa kamu baru bilang padaku?" "Sudah lama Mas Adam berubah. Tapi saat aku melihat Mas adam dengan wanita lain baru satu kali dan kejadian itu semalam. Saat aku sibuk menjaga Salma yang demam tapi ayahnya malah sibuk dengan wanita lain. Kau tahu sesakit apa hati ini?" Ucapku seraya menepuk-nepuk dada yang terasa sesak. Sinta memelukku tanpa menurunkan Salma dalam gendongannya. Aku beruntung memiliki ipar sekaligus sahabat yang sangat memahami ku. "Tolong maafkan kak Adam. Tapi kamu tenang saja aku akan memberikan dia pelajaran. Dia kira siapa? Bisa seenaknya mempermainkanmu. Kalau dia menyakitimu sama saja dengan menyakitiku. Aku gak terima." Aku langsung mengurai pelukan Sinta. Aku tidak ingin Sinta ikut campur rumah tanggaku. Aku tidak ingin hubungan Sinta malah bermasalah dengan mas Adam. "Enggak usah, Sin. Ini urusan rumah tanggaku biar aku selesaikan sendiri. Kamu udah care sama aku aja lebih dari cukup. Aku cerita sama kamu karena memendam masalah seorang diri sungguh sangat menyiksa. Sekarang aku bisa lebih lega, tinggal cari alasan Mas Adam menduakan aku," tuturku. "Kamu jadi wanita jangan terlalu baik, Sha. Bisa gak sekali saja egois? Ini efeknya kak Adam jadi ngelunjak." Aku merasa Sinta kesal atas sikapku. "Apa mungkin karena sekarang aku tidak menarik lagi? Seperti yang tadi kamu bilang." Sinta malah terdiam, sepertinya dugaanku memang benar. Alasan Mas Adam Berpaling ada kemungkinan karena aku sudah tak menarik lagi hingga membuat mas Adam memilih mencari wanita lain. Karena sudah merasa aku tidak menarik lagi. Membuat Mas adam enggan untuk menyentuhku. Bayangkan semenjak Salma lahir sampai sekarang aku tidak pernah disentuh walau seujung kuku. "Jika memang benar alasannya seperti itu, maka solusinya itu mudah. Kamu tinggal ubah penampilan. Kamu harus bisa berpenampilan menarik. Buat kak Adam jatuh cinta lagi," ujar Sinta. Aku hanya terdiam sebagai bentuk respons. Aku tidak tahu harus bersikap apa. Apa harus memaafkan Mas Adam atau tidak. Perselingkuhan bagiku sesuatu yang fatal. Tapi, mungkin aku harus tahu terlebih dahulu sampai mana hubungan mereka. Jika hanya sebatas menemani tidak sampai bermain di atas ranjang mungkin aku bisa mempertimbangkan. Jika sebaliknya maka aku akan menyerah. *** Sekitar pukul delapan malam aku dan Salma sampai di rumah. Tepat di pekarangan aku mengerutkan kening saat melihat mobil mas Adam sudah terparkir. Tumben. Hanya satu kata itu yang terucap. Karena biasanya mas Adam pulang dini hari. Ada apakah? Apa sebab mas Adam pulang lebih cepat? Tak ingin banyak menduga aku memilih secepatnya masuk seraya menggendong Salma yang tertidur. Baru saja aku membuka pintu, aku justru harus disambut dengan tatapan mas Adam, sebuah tatapan penuh keseriusan. Seolah mas Adam memang sedang menunggu kedatanganku. "Kamu udah pulang, Mas?" Tanyaku aku berusaha untuk tersenyum meskipun enggan untuk tersenyum. Terlebih saat aku semakin mendekat mencium aroma parfum wanita. "Malah nanya! Kamu lihat sendirikan aku ada di sini? Ini yang membuat aku jenuh sama kamu, kamu itu sama sekali enggak guna, kamu selalu bicara yang menurut ku enggak penting, enggak nyambung, enggak ada yang patut dibanggakan pula" cerocos mas Adam padahal aku hanya bertanya baik-baik, tapi dibalas dengan hinaan. "Maafkan aku mas, aku..." "Kita cerai!""Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
POV Khansa “Kamu bisanya apa, sih? Jadi istri enggak guna banget! Boro-boro ada gunanya, nyenengin hati suami aja gak bisa!”Aku tertunduk sedih saat mendengar perkataan pedas dari suamiku—Mas Adam. Tidak pernah sedikit saja ia mengeluarkan kata-kata baik untukku, yang bisa Mas Adam lakukan hanyalah meninggikan suaranya setiap kali berbicara denganku.Perubahan drastis Mas Adam terjadi semenjak satu tahun terakhir ini, suamiku tidak lagi perhatian, sering marah-marah bahkan yang lebih parahnya aku tidak pernah dianggap istri lagi olehnya.Aku tidak pernah tahu apa alasannya padahal, selama ini aku merasa tidak ada yang berubah dari diriku. Aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati, menyiapkan kebutuhan kerjanya, menyiapkan kebutuhan perutnya lalu Kenapa ia bisa berubah?“Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Bukankah aku selalu melayanimu dengan baik. Kamu menjadi prioritas utamaku bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri.”“Kamu nanya? Kamu masih nanya, Mas Kenapa? Harusnya k
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng.Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya.Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita.Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar.
Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
"Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain. Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin memperta
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng.Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya.Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita.Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar.
POV Khansa “Kamu bisanya apa, sih? Jadi istri enggak guna banget! Boro-boro ada gunanya, nyenengin hati suami aja gak bisa!”Aku tertunduk sedih saat mendengar perkataan pedas dari suamiku—Mas Adam. Tidak pernah sedikit saja ia mengeluarkan kata-kata baik untukku, yang bisa Mas Adam lakukan hanyalah meninggikan suaranya setiap kali berbicara denganku.Perubahan drastis Mas Adam terjadi semenjak satu tahun terakhir ini, suamiku tidak lagi perhatian, sering marah-marah bahkan yang lebih parahnya aku tidak pernah dianggap istri lagi olehnya.Aku tidak pernah tahu apa alasannya padahal, selama ini aku merasa tidak ada yang berubah dari diriku. Aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati, menyiapkan kebutuhan kerjanya, menyiapkan kebutuhan perutnya lalu Kenapa ia bisa berubah?“Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Bukankah aku selalu melayanimu dengan baik. Kamu menjadi prioritas utamaku bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri.”“Kamu nanya? Kamu masih nanya, Mas Kenapa? Harusnya k