"Kita cerai!"
Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus menghinaku bahkan berniat menceraikanku. "Mas kenapa kamu bicara seperti itu?" "Asal kamu tahu, Khansa. Telingaku rasanya panas terus mendengarkan desas-desus karyawan yang selalu membicarakan kamu. Oke, aku akan senang hati jika yang mereka bicarakan tentang kelebihanmu. Tapi ini apa? Mereka justru menertawakan kamu, mereka berucap jika kita tidaklah cocok. Jika...." "Dan kamu malah mengikuti ucapan mereka?" selaku, mungkin karena terlalu keras membuat Salma yang tertidur di pangkuanku terbangun. Aku pun kembali mengepuk- ngepuk punggungnya agar kembali tidur. "Gunakan akal sehatmu, Mas. Harusnya jika aku dipermalukan seperti itu kamu sebagai suami harus tegas. Mana pembelaan kamu untukku? Dan aku akui, aku memang tidak seperti wanita pada umumnya yang pandai berdandan. Memerahkan bibir, mendempul kulit wajah agar terlihat putih. Aku pikir hal itu tidaklah penting. Apa kamu pikir berumah tangga itu hanya urusan penampilan saja? Tidak bukan? Lantas kenapa Hanya karena ini kamu tega lakuin ini ke aku?" Wajah mas Adam terlihat memerah, aku yakin dia sebenarnya menahan amarahnya. Ia berusaha untuk tidak meledak-ledak. "Dengerin aku Khansa! Kamu harusnya bisa menyesuaikan diri, siapa aku? Apa kamu juga enggak pernah berpikir bagaimana orang-orang akan mengataiku? Mengataiku karena memiliki istri burik seperti kamu? Dan mesti kamu tahu penyesalan terbesar dalam hidupku adalah menikahi kamu hingga memiliki anak darimu. Aku sungguh menyesal!" Ya Tuhan! Fakta apa lagi ini? Setelah tahu mas Adam berselingkuh dan sekarang aku harus tahu kenyataan jika selama ini mas Adam teramat menyesali telah menikahiku. Sehina itukan aku di mata Mas Adam? Apakah selama ini cintaku bertepuk sebelah tangan? Apa semua yang sudah aku lakukan padanya tidak ada artinya? Termasuk kehadiran Salma apa dia benar-benar menyesalinya? "Kamu keterlaluan, Mas! Kamu tega sama aku! Kamu memang pria terkejam yang pernah aku kenal. Aku menyesal sudah berani mencintai pria seperti Kamu. Pria yang tidak punya pendirian, pria yang gampang terpengaruh hasudan orang," ucapku dengan marah. "Sudahlah jangan banyak ngomong! Mau seperti apapun aku tidak akan cabut keinginan untuk bercerai darimu. Aku sudah serahkan berkas-berkas perceraiannya ke pengacaraku. Kamu tinggal tahu beres," ucapan Mas Adam sungguh membuat aku terkejut. Apa sudah sejauh itu langkah Mas Adam? Apa dia benar-benar sudah tidak ingin bersamaku lagi? Lalu Salma bagaimana? "Kamu egois, Mas! Tidakkah kamu bertahan demi Salma? Kalau pun kamu memang tidak suka dengan penampilanku kamu bisa kan ngomong? Kita bicarakan baik-baik menyelesaikan masalah ini?" "Bercerai adalah solusi terbaik bagiku," "Sayang kenapa lama?" Tiba-tiba aku mendengar suara wanita, aku pun langsung menoleh ke sumber suara. Aku tertegun, mulutku rasanya terkunci, tubuhku pun mendadak kaku tidak bisa digerakkan saat melihat seorang wanita berbaju terbuka dan cantik menuruni anak tangga. Aku lalu menoleh ke arah mas Adam. Tatapanku mengisyaratkan minta penjelasan. Meskipun aku tahu dia pasti selingkuhan Mas Adam dan yang membuat aku terkejut wanita itu adalah sekretaris mas Adam. "Kenapa sekretarismu ada di sini? Sayang? Apa aku tidak salah dengar, dia memanggilmu sayang?" Tanyaku, sebenarnya aku berpura-pura tidak tahu kelakuannya. Aku ingin dengar langsung dari mulut Mas Adam sendiri. Mas Adam tidak langsung menjawab, ia justru merentangkan sebelah tangannya seraya tersenyum lebar. Lalu sang sekretaris itu menyambut tentangan tangan Mas Adam dengan sama-sama tersenyum. Ia bahkan langsung bergelayut manja. Astaghfirullah! Mereka sungguh keterlaluan. Jadi... Wanita yang waktu itu aku lihat adalah dia? Sekretarisnya? "Tunggu! Apa-apaan ini? Apa arti semua ini?" Tanyaku dan lagi aku pura-pura tidak tahu. Di depan mataku mas Adam memberikan kecupan di kening wanita itu. Salah satu bentuk perilaku yang sudah lama tidak pernah Aku dapatkan dari mas Adam. Tapi... Wanita itu justru dengan mudahnya mendapatkan. "Tanpa aku beritahu seharusnya kamu sudah paham. Lihatlah! Coba kamu bandingkan sendiri antara kamu dan kekasihku. Perbedaanya sangat jauh bukan? Kamu dan kekasihku bagaikan langit dan bumi." Tak terasa air mataku mengalir begitu saja. Padahal aku berusaha untuk tidak menitikkan airmata berhargaku ini demi pria tak setia seperti mas Adam, pria yang memandang seseorang dari penampilan saja. Kenapa dia berubah? Tapi... Jika mengingat ke belakang mas Adam memang tidak pernah memandangku dengan tatapan cinta. Seolah apa yang dulu dia lakukan padaku hanya sebatas kewajiban tanpa adanya rasa. Padahal, aku selalu memberikan segenap cintaku. Memberikan dedikasi tulus padanya. Dan semuanya terasa percuma, makin jelas perubahannya saat aku membuka butik dan melahirkan Salma. Perbedaanya sangat kentara. Aku akui, sejak awal memang aku yang mengejarnya. Selama kurang lebih enam bulan mengejarnya , akhirnya ia luluh meskipun ada bantuan dari keluargaku. "Mulai malam ini, dia akan tinggal di sini. Dan untuk kamu, aku beri kamu waktu untuk tetap tinggal di sini sampai keputusan cerai keluar." Aku tidak mampu untuk berkata-kata lagi, kini selain menceraikanku, aku pun diusir. Aku sudah seperti barang bekas yang sudah tidak dibutuhkan lagi. Apa dia tidak berpikir tentang anaknya? Apa dia tidak peduli pada Salma? "Apa kamu sama sekali tidak memedulikan Salma? Apa kamu akan tega mengusirku dengan Salma darah dagingmu sendiri? Ayah macam apa Kamu Mas! Di luar sana ada begitu banyak calon ayah yang tak kunjung diberi kepercayaan menjadi ayah. Tapi kamu sudah jelas-jelas sudah menjadi ayah, begitu tidak peduli. Kau bertindak seolah-olah tidak ada Salma diantara kita, kau...." "Sejak awal aku tidak pernah mau memiliki anak darimu. Tapi, waktu itu aku kecolongan hingga akhirnya kau hamil. Kau masih ingat saat kamu terjatuh? Itu aku yang melakukannya, aku ingin anak yang kamu kandung mati!" Tak terasa air mataku kembali berlinang, Setega itukan Mas Adam? Hingga anak kandung sendiri ingin ia lenyapkan.Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
POV Khansa “Kamu bisanya apa, sih? Jadi istri enggak guna banget! Boro-boro ada gunanya, nyenengin hati suami aja gak bisa!”Aku tertunduk sedih saat mendengar perkataan pedas dari suamiku—Mas Adam. Tidak pernah sedikit saja ia mengeluarkan kata-kata baik untukku, yang bisa Mas Adam lakukan hanyalah meninggikan suaranya setiap kali berbicara denganku.Perubahan drastis Mas Adam terjadi semenjak satu tahun terakhir ini, suamiku tidak lagi perhatian, sering marah-marah bahkan yang lebih parahnya aku tidak pernah dianggap istri lagi olehnya.Aku tidak pernah tahu apa alasannya padahal, selama ini aku merasa tidak ada yang berubah dari diriku. Aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati, menyiapkan kebutuhan kerjanya, menyiapkan kebutuhan perutnya lalu Kenapa ia bisa berubah?“Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Bukankah aku selalu melayanimu dengan baik. Kamu menjadi prioritas utamaku bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri.”“Kamu nanya? Kamu masih nanya, Mas Kenapa? Harusnya k
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng.Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya.Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita.Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar.
Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain. Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin memperta
Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
"Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain. Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin memperta
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng.Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya.Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita.Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar.
POV Khansa “Kamu bisanya apa, sih? Jadi istri enggak guna banget! Boro-boro ada gunanya, nyenengin hati suami aja gak bisa!”Aku tertunduk sedih saat mendengar perkataan pedas dari suamiku—Mas Adam. Tidak pernah sedikit saja ia mengeluarkan kata-kata baik untukku, yang bisa Mas Adam lakukan hanyalah meninggikan suaranya setiap kali berbicara denganku.Perubahan drastis Mas Adam terjadi semenjak satu tahun terakhir ini, suamiku tidak lagi perhatian, sering marah-marah bahkan yang lebih parahnya aku tidak pernah dianggap istri lagi olehnya.Aku tidak pernah tahu apa alasannya padahal, selama ini aku merasa tidak ada yang berubah dari diriku. Aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati, menyiapkan kebutuhan kerjanya, menyiapkan kebutuhan perutnya lalu Kenapa ia bisa berubah?“Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Bukankah aku selalu melayanimu dengan baik. Kamu menjadi prioritas utamaku bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri.”“Kamu nanya? Kamu masih nanya, Mas Kenapa? Harusnya k