Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma?
Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebiasaan minum jika terbangun dari tidur. Aku pun beranjak, aku hendak mengambil air di dapur. Sekalian setelah itu akan salat tahajud. Aku merasa sudah lama tidak mengadu kepada Pemilik hidupku. Aku terlalu sibuk dengan urusan dunia membuat aku jauh dari-Nya. Apa mungkin apa yang terjadi padaku pun bagian dari peringatan dari Tuhan? Agar Aku semakin mendekatkan diri. Saat aku melewati kamar Mas Adam, aku terdiam sebentar. Aku jadi teringat sudah hampir satu tahun kami tidur terpisah. Harusnya aku sadar diri saat Mas Adam sudah berprilaku berbeda. Tapi.... Aku malah tak acuh, aku malah beranggapan mungkin mas Adam ingin pisah ranjang karena tidak ingin mengganggu Salma. Sebab semenjak lahiran sampai sekarang aku tidur bersama Salma. "Mas, apa tidak ada harapan untukku? Apakah aku benar-benar tidak ada di hatimu? Di hidupmu? Apa pernikahan kita selama dua tahun ini hanyalah beban bagimu?" Aku bergumam dengan sorot mata terus tertuju pada pintu kamar mas Adam. "Apa hanya karena aku tidak pandai berdandan kau tega mencampakkan aku? Mengkhianati pernikahan ini? Apa hanya segitu saja penilaianmu dalam sebuah pernikahan?" Bila mengingat hal ini hatiku sakit! Aku bahkan menepuk dadaku berharap rasa sakit ini bisa berkurang. Baru saja aku hendak berlalu, sayup-sayup aku mendengar suara tertawa dari kamar mas Adam. Aku mendekat untuk memastikan dan ternyata memang benar. Hubungan mereka sudah sangat jauh bahkan sudah berani naik ke atas ranjang. Jika seperti ini, maka aku tidak akan menyesali perceraian ini. Aku justru beruntung tanpa harus aku minta Mas Adam sudah duluan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Keinginan untuk minum pun hilang. Tiba-tiba rasa haus hilang dalam sekejap. Aku harus segera berbenah, aku rasa tidak perlu menunggu keputusan cerai keluar. Karena saat ini aku sudah tidak ingin tinggal di rumah ini. Untuk apa berlama-lama di sini jika pada akhirnya aku tidak pernah dianggap istri olehnya. Bahkan saat keputusan cerai belum keluar pun dia sudah berani membawa masuk wanita lain . Sebelum aku berbenah, sejenak aku menatap Salma. Aku menyesal tidak bisa memberikan sebuah keluarga lengkap untuknya. Dan... Aku teramat menyesali jika seandainya Salma tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Namun, ini lebih baik dari pada terus bertahan tapi Salma tidak pernah dianggap oleh ayahnya. Lama memandangi Salma, aku lekas berbenah. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Meskipun waktu memang masih pagi buta. Setelah selesai berbenah aku pun langsung menggendong Salma menggunakan gendongan. Pelan sangat pelan aku menapaki anak tangga, aku tidak ingin Mas Adam tahu jika aku pergi. Tapi, meskipun aku pergi Mas Adam tidak akan peduli. Yang ada dia akan senang. Aku hendak ke parkiran untuk mengambil mobil. Namun sebelumnya aku membuka gerbang terlebih dahulu, sengaja aku membuka lebar-lebar. Setelah dipikir untuk apa pergi sembunyi-sembunyi? Dia tahu itu jauh lebih baik. Biar dia tidak merasa jika aku masih ingin bersamanya. Biar dia tahu jika aku pun menginginkan perceraian ini. Aku membuka bagasi mobil, lalu meletakkan dua koper kecil berisi baju dan barang sepentingnya. Setelah itu aku masuk mobil dan langsung meninggalkan rumah Mas Adam. Aku yakin mas Adam tahu aku pergi karena mendengar suara mobilku. Dan dugaanku benar sekilas aku melihat Mas Adam bersama wanita barunya berdiri di depan balkon kamarnya. Aku melihatnya dari balik jendela mobil. Tujuanku saat ini adalah ke butik, aku tidak berani jika harus pulang ke rumah orang tuaku. Apa kata mereka jika aku ke rumah mereka di dini hari seperti ini. Mereka pasti akan tahu jika aku sedang ada masalah dengan mas Adam. Sedangkan aku tidak ingin dulu memberitahu apa yang terjadi dengan nasib rumah tanggaku. Sekitar pukul setengah empat pagi aku sampai di butik, aku lansung saja meletakan Salma di atas ranjang yang memang selalu ada di sini. Tempat aku beristirahat. Sejenak aku ikut berbaring di atas ranjang besama Salma, setelah merasa cukup istirahatnya aku langsung mengambil handphone lalu mengirim pesan pada Sinta, dia harus tahu bagaimana kelakuan sang kakak. [Aku di butik dan sepertinya akan beberapa hari tinggal di sini. aku harap setelah membaca pesan ini kamu langsung datang padaku,] Pesan pun segera aku kirim pada Sinta. UNtuk saat ini mungkin aku harus bisa pasrah dan menerima apapun yang akan terjadi. Aku sudah berusaha untuk bertahan, dan berusaha untuk jadi istri yang baik. Sayangnya semua kebaikan ku tidaklah dianggap oleh mas Adam. Dan, sekarang aku ada di fase menyerah. Aku rasa hidup tanpa mas Adam pun aku akan tetap bisa hidup. Aku sudah terbiasa hidup serba sendiri meskipun ada sosok pria yang aku sebut suami. Andai saja dulu aku tidak terlalu memaksakan pernikahan ini. mungkin hal menyakitkan ini tidak akan pernah terjadi. Rasa cintaku yang dulu mengalahkan segalanya membuat aku tutup mata. Tidak mau memikirkan perasaan mas Adam dulu. "Aku akan balas rasa sakit ini, Mas!"POV Khansa “Kamu bisanya apa, sih? Jadi istri enggak guna banget! Boro-boro ada gunanya, nyenengin hati suami aja gak bisa!”Aku tertunduk sedih saat mendengar perkataan pedas dari suamiku—Mas Adam. Tidak pernah sedikit saja ia mengeluarkan kata-kata baik untukku, yang bisa Mas Adam lakukan hanyalah meninggikan suaranya setiap kali berbicara denganku.Perubahan drastis Mas Adam terjadi semenjak satu tahun terakhir ini, suamiku tidak lagi perhatian, sering marah-marah bahkan yang lebih parahnya aku tidak pernah dianggap istri lagi olehnya.Aku tidak pernah tahu apa alasannya padahal, selama ini aku merasa tidak ada yang berubah dari diriku. Aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati, menyiapkan kebutuhan kerjanya, menyiapkan kebutuhan perutnya lalu Kenapa ia bisa berubah?“Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Bukankah aku selalu melayanimu dengan baik. Kamu menjadi prioritas utamaku bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri.”“Kamu nanya? Kamu masih nanya, Mas Kenapa? Harusnya k
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng.Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya.Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita.Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar.
Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain. Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin memperta
"Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma? Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebias
"Kita cerai!" Perkataanku tertahan di udara saat Mas Adam mengucapkan kalimat keramat. Kalimat yang sangat tidak ingin aku dengar. Kalimat yang membuat hati ini tak terima. Aku harap apa yang aku dengar adalah halusinasi atau mungkin aku yang salah dengar. Atau mungkin mas Adam tengah bercanda. Aku tertawa kecil, menertawakan perkataan mas Adam yang aku anggap sebuah candaan itu. Lebih tepatnya aku berusaha untuk husnuzon. "Mas bercandamu itu keterlaluan. Bagaimana jika malaikat...." "Aku serius! Apa kamu tidak melihat wajah seriusku, hah? Aku sudah bosan sama kamu! Semakin hari aku semakin muak sama kamu. Coba kamu bercermin! Wajahmu itu sungguh sangat mengganggu pemandangan. Dan lihat pula bagaimana tubuhmu! Kamu istri seorang CEO tapi berpenampilan layaknya seorang pembantu." Nyesss... Perkataan mas Adam sungguh ngena ke hati. Betapa tegangnya ia berbicara seperti itu padaku. Apakah berpenampilan menarik memang modal utama menjadi istri Mas Adam? Jika pun iya tapi tidak harus
Perkataan Sinta berhasil membuat aku bergeming. Itu membuat ingatanku tertuju pada malam di mana aku hendak pulang dan mendapati mas Adam tengah bersama wanita lain. Apa mungkin yang dikatakan Sinta itu benar? Jika seorang suami akan berpaling saat istrinya sudah tidak terlihat menarik lagi? Hingga suami memutuskan untuk berselingkuh. Lantas sekarang apa yang harus aku lakukan? “Hai! Khansa kenapa melamun? Apa aku salah? Apa ucapanku keliru? Tapi sungguh bukan maksudku untuk menakutimu. Ini cuma dugaanku saja. Apa lagi coba penyebab suami berpaling selain perbedaan prinsip, pertengkaran. Jawabannya ya ini, karena istrinya tidak menarik lagi. Atau bisa saja kalian kurang keintiman." Lagi-lagi perkataan Sinta ada benarnya. Selama ini aku tidak pernah meluangkan waktu untuk berdua. Bahkan untuk urusan ranjang saja aku lupa kapan terakhir kali kami melakukannya. Aku tertunduk pasrah, apa hubungan pernikahan ku dengan mas Adam harus berakhir begitu saja? Tidak! Aku masih ingin memperta
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam, demam anakku tak kunjung turun bahkan yang ada Ia terus saja menangis. Ditidurkan tidak mau, dia hanya ingin aku gendong, tanganku sampai pegal.Padahal biasanya saat demam Salma tidak pernah rewel dia selalu anteng.Mungkin suasana kamar sudah tidak nyaman untuknya, lalu aku pun menggendong Salma ke ruang tamu seraya menunggu kedatangan Mas Adam yang sampai detik ini belum juga kelihatan batang hidungnya.Lama menunggu, membuat mataku mulai mengantuk sedangkan anakku sudah tidak rewel lagi. Lalu suamiku? Dia masih belum pulang. Tapi, aku terus menunggunya hingga tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dini hari.Di manakah gerangan suamiku? Hingga waktu sudah berganti pun dia tak kunjung pulang. Aku semakin merasa resah tatkala pikiranku teringat pada kejadian tadi. Saat di jalan dengan nyata aku melihat Mas Adam tengah bermesraan dengan seorang wanita.Mengingat hal itu membuat hatiku sakit, rasanya sesak seperti dihujani batu besar.
POV Khansa “Kamu bisanya apa, sih? Jadi istri enggak guna banget! Boro-boro ada gunanya, nyenengin hati suami aja gak bisa!”Aku tertunduk sedih saat mendengar perkataan pedas dari suamiku—Mas Adam. Tidak pernah sedikit saja ia mengeluarkan kata-kata baik untukku, yang bisa Mas Adam lakukan hanyalah meninggikan suaranya setiap kali berbicara denganku.Perubahan drastis Mas Adam terjadi semenjak satu tahun terakhir ini, suamiku tidak lagi perhatian, sering marah-marah bahkan yang lebih parahnya aku tidak pernah dianggap istri lagi olehnya.Aku tidak pernah tahu apa alasannya padahal, selama ini aku merasa tidak ada yang berubah dari diriku. Aku selalu melayaninya dengan sepenuh hati, menyiapkan kebutuhan kerjanya, menyiapkan kebutuhan perutnya lalu Kenapa ia bisa berubah?“Kenapa kamu bicara seperti itu, Mas? Bukankah aku selalu melayanimu dengan baik. Kamu menjadi prioritas utamaku bahkan aku sampai melupakan kebutuhanku sendiri.”“Kamu nanya? Kamu masih nanya, Mas Kenapa? Harusnya k