Di dalam kamar aku hanya bisa menangis pilu. Seraya menatap Salma yang tertidur pulas. Bagaimana mungkin Ayah dari anakku tidak menginginkan kehadiran Salma?
Kenapa Mas Adam bisa setega itu? Aku kira setelah kehadiran Salma hubunganku dengan mas Adam bisa lebih baik. Karena terikat oleh kehadiran anak, setidaknya jiwa keayahannya akan tumbuh. Tapi....dugaanku justru salah. Yang ada Mas Adam justru hampir menjelma menjadi seorang p3mb*nuh. "Nak, apa yang harus kita lakukan sekarang? Apakah kita akan benar-benar berpisah dengan ayahmu? Apakah kita hanya akan hidup berdua saja? Maaf, maafkan ibu, ibu malah menyengsarakan kamu. Tapi, ibu Berjanji akan melakukan apapun untuk kebahagiaanmu." Aku kecup kening Salma begitu lama. Lalu aku pun membaringkan tubuhku tepat di samping Salma yang tertidur itu. Kupeluk dia, karena sekarang aku hanya punya dia. *** Aku terjaga, kulihat jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Aku tengok ke nakas air putih habis. Aku memang selalu punya kebiasaan minum jika terbangun dari tidur. Aku pun beranjak, aku hendak mengambil air di dapur. Sekalian setelah itu akan salat tahajud. Aku merasa sudah lama tidak mengadu kepada Pemilik hidupku. Aku terlalu sibuk dengan urusan dunia membuat aku jauh dari-Nya. Apa mungkin apa yang terjadi padaku pun bagian dari peringatan dari Tuhan? Agar Aku semakin mendekatkan diri. Saat aku melewati kamar Mas Adam, aku terdiam sebentar. Aku jadi teringat sudah hampir satu tahun kami tidur terpisah. Harusnya aku sadar diri saat Mas Adam sudah berprilaku berbeda. Tapi.... Aku malah tak acuh, aku malah beranggapan mungkin mas Adam ingin pisah ranjang karena tidak ingin mengganggu Salma. Sebab semenjak lahiran sampai sekarang aku tidur bersama Salma. "Mas, apa tidak ada harapan untukku? Apakah aku benar-benar tidak ada di hatimu? Di hidupmu? Apa pernikahan kita selama dua tahun ini hanyalah beban bagimu?" Aku bergumam dengan sorot mata terus tertuju pada pintu kamar mas Adam. "Apa hanya karena aku tidak pandai berdandan kau tega mencampakkan aku? Mengkhianati pernikahan ini? Apa hanya segitu saja penilaianmu dalam sebuah pernikahan?" Bila mengingat hal ini hatiku sakit! Aku bahkan menepuk dadaku berharap rasa sakit ini bisa berkurang. Baru saja aku hendak berlalu, sayup-sayup aku mendengar suara tertawa dari kamar mas Adam. Aku mendekat untuk memastikan dan ternyata memang benar. Hubungan mereka sudah sangat jauh bahkan sudah berani naik ke atas ranjang. Jika seperti ini, maka aku tidak akan menyesali perceraian ini. Aku justru beruntung tanpa harus aku minta Mas Adam sudah duluan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Keinginan untuk minum pun hilang. Tiba-tiba rasa haus hilang dalam sekejap. Aku harus segera berbenah, aku rasa tidak perlu menunggu keputusan cerai keluar. Karena saat ini aku sudah tidak ingin tinggal di rumah ini. Untuk apa berlama-lama di sini jika pada akhirnya aku tidak pernah dianggap istri olehnya. Bahkan saat keputusan cerai belum keluar pun dia sudah berani membawa masuk wanita lain . Sebelum aku berbenah, sejenak aku menatap Salma. Aku menyesal tidak bisa memberikan sebuah keluarga lengkap untuknya. Dan... Aku teramat menyesali jika seandainya Salma tidak mendapatkan kasih sayang ayahnya. Namun, ini lebih baik dari pada terus bertahan tapi Salma tidak pernah dianggap oleh ayahnya. Lama memandangi Salma, aku lekas berbenah. Tidak ada waktu lagi untuk berleha-leha. Meskipun waktu memang masih pagi buta. Setelah selesai berbenah aku pun langsung menggendong Salma menggunakan gendongan. Pelan sangat pelan aku menapaki anak tangga, aku tidak ingin Mas Adam tahu jika aku pergi. Tapi, meskipun aku pergi Mas Adam tidak akan peduli. Yang ada dia akan senang. Aku hendak ke parkiran untuk mengambil mobil. Namun sebelumnya aku membuka gerbang terlebih dahulu, sengaja aku membuka lebar-lebar. Setelah dipikir untuk apa pergi sembunyi-sembunyi? Dia tahu itu jauh lebih baik. Biar dia tidak merasa jika aku masih ingin bersamanya. Biar dia tahu jika aku pun menginginkan perceraian ini. Aku membuka bagasi mobil, lalu meletakkan dua koper kecil berisi baju dan barang sepentingnya. Setelah itu aku masuk mobil dan langsung meninggalkan rumah Mas Adam. Aku yakin mas Adam tahu aku pergi karena mendengar suara mobilku. Dan dugaanku benar sekilas aku melihat Mas Adam bersama wanita barunya berdiri di depan balkon kamarnya. Aku melihatnya dari balik jendela mobil. Tujuanku saat ini adalah ke butik, aku tidak berani jika harus pulang ke rumah orang tuaku. Apa kata mereka jika aku ke rumah mereka di dini hari seperti ini. Mereka pasti akan tahu jika aku sedang ada masalah dengan mas Adam. Sedangkan aku tidak ingin dulu memberitahu apa yang terjadi dengan nasib rumah tanggaku. Sekitar pukul setengah empat pagi aku sampai di butik, aku lansung saja meletakan Salma di atas ranjang yang memang selalu ada di sini. Tempat aku beristirahat. Sejenak aku ikut berbaring di atas ranjang besama Salma, setelah merasa cukup istirahatnya aku langsung mengambil handphone lalu mengirim pesan pada Sinta, dia harus tahu bagaimana kelakuan sang kakak. [Aku di butik dan sepertinya akan beberapa hari tinggal di sini. aku harap setelah membaca pesan ini kamu langsung datang padaku,] Pesan pun segera aku kirim pada Sinta. UNtuk saat ini mungkin aku harus bisa pasrah dan menerima apapun yang akan terjadi. Aku sudah berusaha untuk bertahan, dan berusaha untuk jadi istri yang baik. Sayangnya semua kebaikan ku tidaklah dianggap oleh mas Adam. Dan, sekarang aku ada di fase menyerah. Aku rasa hidup tanpa mas Adam pun aku akan tetap bisa hidup. Aku sudah terbiasa hidup serba sendiri meskipun ada sosok pria yang aku sebut suami. Andai saja dulu aku tidak terlalu memaksakan pernikahan ini. mungkin hal menyakitkan ini tidak akan pernah terjadi. Rasa cintaku yang dulu mengalahkan segalanya membuat aku tutup mata. Tidak mau memikirkan perasaan mas Adam dulu. "Aku akan balas rasa sakit ini, Mas!"Pagi-pagi sekali, sekitar pukul setengah enam pagi Sinta sudah datang ke butik dengan tergesa-gesa. Bahkan dia masih menggunakan baju tidur bermotif kromi. Aku yakin dia langsung ke sini saat membuka pesan dariku.Aku melihat Sinta berlari hingga napasnya terengah-engah. Ia terlihat memejamkan matanya seraya memegangi dadanya sepertinya dadanya sesak karena berlari."Khansa....Khansa..." Sinta memanggilku dengan terbata-bata. Pernapasannya belum stabil."Kenapa berlari, Sin?" Tanyaku pada Sinta tak lupa aku menyodokkan segelas air untuk menghilangkan dahaganya."Bangun tidur aku langsung buka handphone dan ada pesan darimu. Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa kamu kirim pesan ini," ujar Sinta seraya memperlihatkan pesan dariku.Sinta adiknya mas Adam, sudah sewajarnya ia tahu. Karena jika aku memberitahu kedua orangtuanya akan kelakuan anaknya aku tidak berani. Aku tidak berani melihat wajah
Perceraian bukanlah akhir dari segalanya bukan? Bukankah aku sudah terbiasa sendiri? Jadi, perceraian ini tidak akan mempengaruhi kehidupanku dan Salma. Hidup terus berlanjut, dan sekarang aku punya Salma yang harus aku biayai, itu artinya aku harus Lebih giat bekerja.Baru beberapa menit lalu aku mengakhiri telepon dari Mas Adam. Kini orang ini menghubungi kembali. Entah mau apa lagi pria ini. Apa dia ingin menghinaku lagi? Sungguh, kenapa di dunia ini harus ada pria seperti dia? Dan lebih parahnya lagi aku malah mencintai pria seperti itu.Sejenak, kuseka terlebih dahulu sisa air mata di pelupuk mata dan di pipiku yang memang sedikit berisi. Aku hampir lupa kapan terakhir aku olahraga hingga tanpa terasa kini tubuhku sedikit melar.Setelah merasa tenang, aku pun kembali mengangkat telepon dari Mas Adam."Ada apa lagi, sih mas! Bukannya kamu bilang kita bukan siapa-siapa lagi dan kita harus pura-pura tidak
Aku ingin segera mengakhiri panggilan dari ibu. Jika tidak Ibu pasti akan mengorek lebih dalam lagi mengenai apa yang sedang aku hadapi sekarang. Beruntung, Salma nangis jadinya aku punya alasan untuk mengakhiri panggilan tersebut. "Bu, nanti Khansa telepon lagi, ya. Salma nangis," ucapku pada ibu. ["Tapi, Ibu belum selesai bicara Khansa!"] Protes ibuku. "Ibu mau bicara apa lagi? Enggak ada yang harus dibicarakan. Lagian Khansa baik-baik saja, ibu jangan khawatir. Ya udah Khansa tutup dulu teleponnya, ya. Assalamualaikum," aku langsung saja menutup telepon dan aku merasa lega sekarang. "Siapa?" Tanya Sinta. Ya, Sinta baru saja tiba seraya membawa Salma yang menangis kejer. "Kau datang tepat waktu, Sin,' ucapku lalu mengambil alih Salma dari pangkuan Sinta. "Apa tadi ibumu?" Tanya Sinta. Aku mengangguk, membenarkan jika yang tadi telepon adalah ibuku. "Dia sepertinya tahu jika aku ada masalah dengan kakakmu. Aku belum sanggup jika ibu harus tahu sekarang. Dia pasti akan mengol
Hari-hari aku lewati untuk memperbaiki penampilan dan postur tubuhku. Dan semenjak telepon waktu itu, ibuku selalu menghubungiku, beliau tidak akan pernah berhenti menerorku sampai apa yang ibu inginkan tercapai. Beliau terus saja menanyakan hal yang sama. Perihal hubunganku dengan Adam. Sekarang aku tidak sudi memanggil nama ayahnya Salma dengan embel-embel 'Mas' cukup menyebutkan nama saja itu lebih baik. Beruntung jarak kami yang terlampau jauh membuat ibu tidak nekat mendatangiku. Namun.... Aku semakin merasa berdosa karena sudah terlalu jauh membohongi ibu. Aku curiga ibu sebenernya sudah tahu apa yang terjadi padaku. Tapi beliau ingin aku bicara langsung pada beliau. Maafkan aku, Bu. Aku belum siap. Salah satu cara untuk mewujudkan rencananya adalah dengan melakukan program diet. Katanya bentuk tubuhku harus kembali seperti dulu, tidak genduk seperti sekarang. Padahal jika pasangan Kita benar-benar tulus menerima, masalah perubahan fisik tidak akan menjadi masalah. Bahka
Aku termangu di depan cermin. Aku merasa pangling dengan penampilanku sendiri. Aku tidak menyangka apakah ini benar aku? Atau orang lain? Aku mencubit lenganku dan terasa begitu sakit. Itu artinya ini sungguhan . Sekarang yang ada di hadapanku adalah diriku sendiri dan ini bukanlah mimpi. "Apa ini aku?" Tanyaku pada Sinta, seraya terus memegangi pipiku. "Tentu saja ini kamu, Sha. Orang yang sedang Kamu tatapan di depan cermin adalah kamu, Cantik bukan?" Aku akui, diri ini terlihat cantik dan lebih muda. Apa memang ini alasan kenapa Adam lebih memilih wanita cantik yang enak dipandang. Tapi, tetap cantik bukanlah standar jodoh. Karena kecantikan sewaktu-waktu akan pudar termakan usia. "Aku tidak mengenali diri aku sendiri. Aku enggak nyangka bisa seperti ini," ucapku dengan posisi masih di depan cermin. Lalu aku menoleh ke arah Sinta yang berada di belakang tubuhku. "Setelah ini, apa yang harus aku lakukan? Enggak mungkin tiba-tiba muncul dihadapan ayahnya Salma kan?"ucapku kem
Suara itu terdengar penuh selidik , seperti mencari kebenaran dari apa yang dia pikirkan. Aku meremas jemari Sinta karena aku tahu siapa pemilik suara tersebut. Aku menatap Sinta begitu juga dengan Sinta menatapku lalu menganggukkan kepala. Memberi tanda tidak apa-apa, mari kita hadapi. Secara bersamaan aku dan Sinta menoleh. Benar itu adalah Adam. Dia bersama selingkuhnya. "Iya, ini aku kenapa?" Tanyaku, aku berbicara ketus, sengaja. Padahal sebenarnya jantung ini berdetak kencang, aku takut. Takut rencana ini akan gagal. "Kakak ngapain ke sini dengan wanita lain? Apa Kakak ingin semua orang tahu tentang hubungan kakak dengan Khansa sudah berakhir?" Sinta tiba-tiba angkat suara saat mengetahui Adam datang dengan wanita selingkuhannya, alias sekretarisnya ganjennya Aku menahan Sinta supaya ia tidak terus menghabiskan tenaga berbicara dengan Adam. Biar aku saja karena entah kekuatan dari mana tiba-tiba aku seberani ini. "Sinta, sebaiknya kamu bawa jauh Salma. Urusan pria d
Aku buru-buru masuk ke kediaman Satria, lalu kedua mataku sibuk memindai tamu, barang kali diantara mereka ada Sinta atau mertuaku. Hingga aku mendapati mereka tengah bersama pemilik rumah. Aku pun bergegas menghampiri mereka. "Permisi," ucapku seraya mengusap pundak Sinta lalu salaman dengan mertuaku. "Khansa ... " Ibu mertua tertegun melihat penampilanku. Aku hanya bisa tersenyum melihat ekspresi ibu yang kaget atas perubahanku. "Iya ibu, ini Khansa, kenapa? Ibu kok kayak gak kenal Khansa." Ujarku di sela pelukan kami. "Ibu pangling lihat kamu, Lo. Terakhir kali kita ketemu kapan sih? Ibu lupa efek ibu sibuk, kamu juga sibuk," ujar ibu ia terus mengelus pundakku. "Sepertinya tiga bulan lalu, deh. Saat acara makan malam keluarga." Jawabku. "Ah iya, kau benar." Ibu tertawa kecil saat mengingat pertemuan terakhir kami, di detik berikutnya ibu memukul pelan keningnya, ia lalu menatap ke arah wanita elegan berbaju Hitam yang tak lain pemilik rumah. Semua orang pasti kenal dengan so
Di dalam kamar mandi aku bergegas melihat kulitku yang tadi terkena sup panas. Ternyata benar kulitnya sangat merah. Rasanya sakit dan perih. Aku tidak bisa bayangkan jika sup panas itu tumpah ke kulit Salma. Ia pasti akan kesakitan.Tok ..tok ..Dari luar sana ada orang yang mengetuk pintu kamar mandi, lalu terdengar suara seseorang memanggilku. Suara pria, tapi ... terdengar asing di telinga."Ini baju gantinya aku taruh di atas ranjang. Sama satu lagi ada salep untuk mengobati lukamu. Sup itu masih panas aku rasa kulitmu pasti merah. Setidaknya pakai salep ini bisa membuat kulitmu sedikit dingin." ucap seseorang dari balik pintu kamar mandi."Kamu siapa? Dan kenapa repot-repot mengantarkan baju ganti untukku? Bu Siska ke mana? Bukankah Bu Siska sedang menungguku?" Aku terus bertanya, aku berjaga-jaga kalau-kalau pria di luar orang yang berniat jahat. "Aku putranya, ibu dipanggil Ayah. Jangan lupa ganti bajunya dan pakai salep," ujar pria itu lagi, kenapa dia repot-repot perhatian
Anjel terus saja mendesakku untuk secepatnya menikahi dia. Padahal aku sama sekali belum kepikiran untuk menikah lagi. Belum kepikiran untuk terikat dengan yang namanya pernikahan. Bagiku hidup menduda justru lebih nyaman.Apalagi semenjak menjalin hubungan dengan Anjel, tidak ada terbersit untuk menikahinya. Hubunganku dengan Anjel hanya sebatas partner di atas ranjang. Selain itu kami juga sama-sama memiliki keuntungan. Jika aku keuntungannya mendapatkan sesuatu yang tidak pernah aku dapat dari Khansa, apalagi urusan ranjang. Sedangkan Anjel, ia mendapatkan segala yang ia mau. Mulai dari fasilitas mewah, barang branded dan pekerja layak. Bukankah itu sudah lebih dari cukup? Jadi, untuk apa lagi ia mendesakku untuk menikahinya?Karena sekeras apa dia memintanya, aku akan menolak dengan terang-terangan. Karena tujuan awal dengannya pun bukan untuk menikahinya, tapi hanya untuk mencari kesenangan. Namum, dia tidak boleh tahu. Aku yakin jika dia tahu maka ia akan marah besar padaku. M
Gawai milikku terus saja bergetar, sengaja enggak aku angkat karena saat ini aku berada di ruang meeting. Karena mengganggu terpaksa aku menyerahkan gawai milikku pada asistenku.Setelah selesai meeting, asistenku langsung memberikan gawaiku. Dia terlihat pucat. Apa dia sakit?"Kamu kenapa? Sakit?" Tanyaku pada asisten saat aku meraih gawaiku."Enggak Tuan.""Lalu kenapa kamu begitu terlihat pucat?' tanyaku lagi.Dia tertunduk, ia seperti ragu untuk mengatakannya."Ada apa? Bicara saja," tuturku."Itu, tuan mmm. Nyonya telepon dan marah. Nyonya tahu perihal hubungan dengan wanita tuan," ujar asistenku.Sudah aku duga hal seperti ini akan terjadi. Dan kini aku tahu kenapa asistenku terlihat pucat. Dia habis kena marah ibuku."Ngomong apa aja ibuku?" Tanyaku seraya berjalan ke ruanganku."Nyonya marah karena Tuan bersekingkuh lalu nyonya titip pesan agar Tuan telepon balik saat acara meeting selesai.""Baiklah. Setelah ini apa aku punya jadwal lain?" Tanyaku. Karena aku berniat pulang l
Masa sekarang.....Selama kurang-lebih dua tahun dari dia mengandung dan kini anaknya sudah berusia satu tahun lebih, sudah berpuluhan cara aku lakukan untuk membuat anak itu lenyap. Hingga Khansa mau berubah kembali. Tapi, Semakin ke sini aku justru semakin ilfiil padanya. .Aku bahkan enggak pernah lagi menyentuhnya. Bagaimana aku mau menyentuhnya, melihat dirinya saja membuat bir4hiku hilang. Sudah tidak ada lagi selera untuk menyentuhnya.Tanpa sepengetahuan Khansa. Aku bermain api dengan sekretarisku. Dia cantik, tubuhnya mmmm tidak bisa diungkapkan saking indahnya. Dia dengan Khansa ibarat langit dan bumi. Hubunganku dengannya sudah berjalan hampir satu tahun.Selama satu tahun itu, Khansa sama sekali tidak curiga dengan hubungan kami. Dia seperti biasa melayaniku. Bukan melayani di atas ranjang melainkan melayaniku dalam urusan perut dan pakaianku. .Meskipun demikian aku tidak luluh, aku menganggap apa yang dilakukan Khansa sebatas pelayanan yang memang harus dilakukan oleh
Dua tahun lalu Jika ada yang bertanya siapa orang yang paling aku benci? Maka dengan senang hati aku akan mengatakannya. Jika orang yang paling aku benci adalah istriku sendiri--Khansa.Kenapa bisa aku membenci istriku sendiri? Alasan karena dia seorang penjahat wanita. Dia menggunakan koneksi keluarga untuk menikah denganku.Jujur, aku sama sekali tidak menginginkan pernikahan dengan dirinya. Aku tidak menyukainya. Tapi karena desakan keluarga dan dia memang cantik membuat aku dengan sukarela menerima pernikahan ini. Beruntung dia cantik jika tidak maka aku akan menolak dia mentah-mentah.Hubungan pernikahan kami tidak ada yang aneh, berjalan seperti suami istri pada umumnya. Tapi, aku pernah bilang pada istriku--Khansa jika aku ingin childfree. Aku tahu dia kecewa terlihat jelas di wajah cantiknya itu raut sendu.Tapi aku tidak peduli. Ini sudah jadi keputusanku. Sialnya karena malam itu aku terpengaruh alkohol membuat aku tidur dengannya tanpa menggunakan alat pengaman. Aku kira t
Setelah pertemuanku dengan Adam selesai dan aku mengunjungi mantan mertuaku. Aku dan mas Farhan memutuskan untuk langsung pulang ke Surabaya. Aku sangat berharap ada kabar baik, jika dilihat dari sikap Adam yang sedikit banyaknya telah berubah. "Mas, menurutmu apa Adam akan bertanggungjawab?" tanyaku mas Farhan disela kegiatan mas Farhan menyetir, ya kami baru sampai di bandara Juanda dan supir mas Farhan mengirim kami mobil. "Mmm, harusnya sih , iya. Mas rasa dia sudah berubah dari terkahir kali kita bertemu," jawaban mas Farhan sama persis denganku. "Aku juga berpikir seperti itu." "Sudahlah jangan terlalu dipikirkan. Yang penting kita sudah berusaha hasilnya kita pasrah saja," timpal mas Farhan dan itu ada benarnya. Aku tidak boleh terlalu memikirkannya kemungkinan terburuk Adam tidak menerimanya pun masih ada keluarganya yang dengan senang hati menerima Anjel dan bayinya. "Maafin aku ya, Mas. Kamu pasti risi karena aku terlalu ikut campur urusan orang lain?" . "E
Adam terdiam, saat aku mengatakan jika Anjel sedang hamil anaknya. Dia seperti menganggap kehamilan Anjel tidak berarti apa-apa. "Kamu dengar tidak? Anjel hamil dan kamu harus bertanggung jawab," tegasku lagi saat tidak ada respons apapun dari Adam. Adam menatapku yang mana aku masih bersembunyi di balik tubuh mas Farhan. "Kenapa aku yang harus bertanggung jawab?" tanya Adam dan sungguh ucapnya itu terdengar menyebalkan. karena geram, aku yang berlindung dibelakang tubuh mas Farhan langsung pasang badan. "kamu bilang kenapa? Jelas saja kamu yang harus bertanggung jawab karena kamu adalah ayah biologisnya!" ujarku dengan membentak. Dia enggak berubah sama sekali. "Apa kamu yakin bayi itu milikku? apa ada buktinya?" Aku menggeleng, sungguh tidak bisa dipercaya. Saat dia menghamili anak orang, dia malah bersikap seolah bukan dialah ayahnya, bukan di yang menyebabkan Anjel hamil. "Dia kekasihmu, sudah pasti' dia sedang hamil anakmu. Apa kamu mau bersikap sama seperti pada
Aku dan Mas Farhan ke jakarta. Sebenarnya aku tidak harus bertindak jauh seperti ini. Keluarga Adam sudah menerima Anjel, harusnya itu lebih daripada cukup. Tapi, entah kenapa rasanya kurang, aku ingin Adam pun ikut bertanggungjawab. Karena Anjel hamil dan aku selalu kepikiran Salma, jangan sampai bayi itu bernasib sama seperti Salma. Mas Farhan mengizinkan aku menemui Adam, dengan syarat dia pun harus ikut. Dia akan menemaniku menemui Adam. ini tidak masalah, karena tanpa mas Farhan minta syarat pun, aku sudah berniat akan mengajak mas Farhan. Kini aku dan mas Farhan sudah sampai di Jakarta, sengaja aku tidak menemui mantan ibu dan ayah mertua, aku memilih bertemu langsung dengan Adam. Setelah menemui Adam baru aku akan bertemu dengan mantan mertuaku. Di meja resepsionis aku langsung menanyakan keberadaan Adam. Mereka yang masih mengenaliku menyapaku dan sukses membuat aku senang. Karena mereka tidak melupakan aku. "Bu Khansa, apa kabar?" tanya resepsionis saat tahu orang
Beberapa hari setelah menghubungi Sinta dan menceritakan apa yang kakaknya lakukan, belum ada tanda-tanda Adam ada niat baik. Adam, seolah memutuskan kontak dengan keluarganya sendiri. Tapi, meskipun tidak ada kabar dari Adam, mantan ayah dan ibu mertuaku mereka terbuka, bahkan mereka menerima Anjel. Meskipun masih ada perasaan marah pada Anjel, tapi bukan berarti mereka harus tidak pedulikan kehamilan Anjel. Aku selalu merasa heran, keluarga Adam semuanya baik. Tapi kenapa hanya Adam yang berbeda? Kenapa hanya dia yang tidak memiliki hati nurani? entahlah! Sesuai kesepakatan, ibu meminta padaku untuk menghubungi Anjel dan memintanya untuk ketemuan. Mereka ingin meminta maaf dan ingin mengatakan niat baik mereka. Jika mereka menerima Anjel dan bayinya. Mereka berniat membawa Anjel untuk tinggal bersama mereka. (Bu Wulan ingin bertemu sama kamu,) aku kirim teks pesan ke nomor Anjel. Kutunggu beberapa menit akhirnya masuk balasan dari Anjel. (apa keluarga mas Adam ada di
("Apa kamu ngomong kaya gini untuk mengejekku? Menertawakan aku karena bernasib malang, ditinggal setelah ada yang lebih dariku? Apa iya, Khansa?") "Tidak! Aku sama sekali tidak punya pikiran sampai sana. Ini murni dari hatiku, karena Aku pun pernah ada di posisimu, aku tahu bagaimana sakitnya pria yang kita cintai memilih wanita lain. Terlebih sekarang kamu sedang hamil. Ingat! Anak dalam kandunganmu tidak berdosa, dia tidak tahu apa-apa. Jangan sampai anakmu bernasib sama seperti anakku. Jikapun Adam tidak mau tanggung jawab, tapi aku yakin keluarganya akan menerima kamu. Terlebih kamu sedang mengandung keturunan mereka," tuturku menjelaskan sekaligus menyanggah tuduhan jika aku tengah mengejeknya. Lagi-lagi tidak ada jawaban, yang terdengar sekarang hanya suara isakan yang sangat menyayat hati. "Kamu mau yah dengarkan saranku? Dia harus tanggung jawab, aku akan bicara pada keluarganya. Aku titip pesan sama kamu, tolong jangan stres, jangan banyak pikiran. Percayalah setiap ma