Dengan dipenuhi rasa dongkol, Tania berangkat kerja setelah membayar hutang yang ditinggalkan Dara sebanyak 500 ribu.
Ya, perempuan itu memang memilih membayar demi menghindari keributan, terlebih melihat wajah tak bersahabat Hani yang terus mendesaknya agar segera membayar. Di tempat kerjanya, Tania berusaha keras agar tetap fokus, meski hatinya masih saja diliputi amarah, rasa ingin segera membalas kejahilan Dara pun makin menggebu. "Liat aja nanti. Kamu pasti akan ku permalukan didepan orang-orang." Tania bergumam sambil terus menyusun barang-barang pada raknya. Teman kerjanya yang melihat wajah Tania terus ditekuk pun menegur. "Lo kenapa? Masam aja tuh muka!" tegur teman kerjanya. "Pasti perkara mertua atau ipar Lo lagi, ya?" tebak perempuan itu lagi. Tania hanya mengangguk lemah. "Sesekali balas, Tan. Jangan diem mulu. Makin diinjek-injek ntar!" kata perempuan itu lagi tanpa menghentikan pekerjaannya. "Iya. Capek juga gue tiap hari diusilin mulu. Liat aja, gue bakal balas. Tapi pelan-pelan aja, biar mereka tau kalo mereka udah ngebangunin singa yang lagi tidur!" geram Tania. "Lama banget singanya ketiduran? Ampe 3 tahun gitu?" ledek perempuan itu setengah bercanda. Tania mencubitnya gemas, kemudian mereka tergelak bersama. Perempuan itu sadar, apa yang dikatakan temannya tadi benar. Dia memang sudah diam selama itu, tapi tidak untuk kali ini. * Dara dan teman-temannya tengah nongkrong disebuah kafe. Gadis itu tampak bersenang-senang, tertawa lepas seolah tak memiliki beban hidup. "Ra, kapan-kapan aja ke rumah Lo lagi, dong!" celetuk temannya disela obrolan mereka. "Iya, betul. Masakan Mama Lo enak banget, gue sampe sekarang masih belum bisa move on," sambung yang lain. "Halah! Gayanya aja kalian muji-muji, bilang aja kalo pengen makan gratis!" ejek Dara tertawa kecil. Yang lain ikut tertawa mendengarnya. Tak ada kata tersinggung dalam pertemanan mereka, terlebih jika mereka merasa butuh satu sama lain. Seperti kali ini, untuk anak kuliahan yang ngekost tentu senang ketika ada teman yang mengajak makan gratis. Selain bisa memuaskan perut, itu juga bisa menghemat pengeluaran. Gadis-gadis itu menghabiskan waktu di kafe cukup lama. Padahal hanya memesan minuman dan cemilan, tapi demi terlihat 'keren' mereka sanggup berlama-lama duduk di sana. "Balik, yok?" ajak Dara, gadis itu mengemas ponsel dan barang-barangnya. Teman-temannya mengangguk, kemudian ikut berkemas. Setelah itu mereka membayar dan langsung keluar dari sana. Kebetulan kafe tempat Dara dan teman-temannya nongkrong tadi berada tak jauh dari minimarket tempat Tania bekerja. Saat Tania keluar untung membuang sampah, tak sengaja ia menangkap sosok Dara di parkiran kafe. Tania tersenyum licik. Terlebih melihat jika ternyata Dara tak sendiri, melainkan bersama teman-teman kampusnya. 'Ini saatnya!' Di sana, Dara masih saja bersenda gurau dengan teman-temannya. Kemudian gadis itu memakai helm dan bersiap menaiki motor miliknya. Melihat itu, Tania bergegas mengayunkan langkah. Tania semakin mempercepat langkahnya begitu menyadari jika Dara sudah menghidupkan mesin motornya. "Dara! Tunggu!" teriaknya sambil terus melangkah mendekati posisi sang adik ipar. Dara menoleh, celingukan mencari siapa yang memanggilnya. Saat matanya menangkap sosok Tania yang mendekat, keningnya berkerut heran. Terpaksa Dara mematikan mesin motornya, dan menunggu kedatangan Tania. "Duh, untung masih kekejar," kata Tania dengan napas terengah. Meski jarak kafe dan minimarket tempat ia bekerja tak terlalu jauh, tetap saja ia kelelahan karena harus setengah berlari agar segera sampai. "Ada apa, Mbak?" sinis Dara. Dia masih kesal pada iparnya itu, karena kejadian tempo hari. "Kebetulan ketemu kamu di sini, Ra. Ada yang mau Mbak omongin," kata Tania. Dara memutar bola mata, jengah karena Tania dianggap terlalu basa-basi, padahal ia dan teman-temannya ingin segera kembali ke kampus karena ada kelas tambahan. "Ya, apa? Nggak usah bertele-tele gitu Mbak! Buruan!" ketus Dara tak sopan. Teman-temannya hanya bisa diam, menunggu urusan Dara dan iparnya selesai. "Tadi pagi, sebelum Mbak berangkat kerja, Mbak Hani ke rumah, nyamperin Mbak." Gluk! Mendengar nama Hani disebut, membuat Dara menelan ludah dengan susah payah. Wajahnya mulai gelisah, ia melirik teman-temannya yang masih setia menunggu. Apa yang akan Tania sampaikan? Jangan-jangan ... dia akan membahas perihal uang yang ia pinjam di sini? Tidak! Jangan sampai Tania membahas itu didepan teman-temannya, mau ditaruh dimana mukanya? Dara terus gelisah. Ia bahkan sudah memilin-milin ujung bajunya, dan ... Tania sungguh menikmati itu. Melihat wajah gelisah Dara membuat Tania tersenyum penuh kemenangan. Padahal dia belum menyampaikan masalahnya, tapi lihat! Gadis itu sudah mulai ketakutan. "Kamu tau yang Mbak Hani katakan? Dia bilang ...." Tania sengaja menggantung kalimatnya, ia ingin melihat bagaimana raut wajah Dara. Dan benar saja! Wajah gadis itu sudah memucat, berkali-kali ia terlihat menelan ludah. Ah, kenapa Tania malah ingin meledakkan tawa? Ia merasa sangat lucu melihat bagaimana ketakutannya Dara. Tania suka ini, dia suka membuat gadis didepannya itu tertekan. Sedikit lagi, dia akan dibuat malu oleh Tania. "Dia bilang–" "Mbak! Kita ngomong di sana," potong Dara cepat. Dia melompat turun dari motornya, kemudian menarik tangan Tania agar menjauh dari teman-temannya."Kenapa, Ra, kamu keliatan takut gitu? Padahal aku belum ngomong apa-apa, loh?" Tania sengaja mengeraskan volumenya agar teman-teman Dara ikut mendengar.Para gadis itu saling pandang, mereka berbisik-bisik sibuk menebak-nebak apa yang sedang terjadi antara Dara dan iparnya itu."Mbak! Bisa nggak, sih, ngomongnya pelan-pelan?" geram Dara."Bisa saja. Tapi ... bayar uangku 500 ribu!" tekan Tania. Dara melengos, dia tak memperdulikan permintaan Tania, bahkan dengan santai mengatakan jika ia tak punya sekarang."Nggak usah sok-sokan ngancam aku, Mbak! Sekarang mending lanjut ngebabu sana, biar nggak jadi miskin terus!" cemooh Dara. Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Tania yang sudah mengepalkan tangannya penuh amarah."Oke! Mari kita mulai. Apa setelah ini kamu masih saja bisa berkutik didepan teman-temanmu?" batin Tania licik.Perempuan itu berjalan tergesa ke arah Dara dan teman-temannya yang bersiap pergi. Sebelum Dara benar-benar menghidupkan mesin motornya, dia sudah lebih
"Ma, tolong berhenti mengganggu rumah tangga kami. Apa mama nggak bosan begini terus?" ucap Ghani kesal. "Siapa yang mengganggu rumah tangga kalian? Tanya istrimu itu, kenapa dia tega sekali mempermalukan adikmu didepan banyak orang?" kata Sukma, jarinya sudah menuding Tania dan menatap menantunya tajam. Tatapan mertuanya tak sedikit pun membuat Tania ciut, perempuan itu malah membalas tatapan Sukma dengan tangan terlipat di dada. "Ma, kalo anak salah itu, ya, jangan dibela! Bakal kebiasaan sampai tua!" ejek Tania. "Apa masalahnya untukmu? Aku ini seorang ibu, siapa pun yang berani mengganggu anakku, akan berurusan denganku langsung! Naluri seorang ibu itu memang beda. Kamu mana tau? Hamil aja belum pernah. Dasar mandul!" tukas Sukma. Tania langsung terdiam mendengar ucapan mertuanya. Dia refleks memegang perut ratanya, pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun lebih, tapi sampai sekarang Tania belum juga hamil. Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu, Sukma segera
"Assalamu'alaikum ...!" seru Sukma sambil mengetuk pintu rumah Tania. Dia dan Dara berdiri di sana, menunggu sang tuan rumah membukakan pintu."Ma, kayaknya si Tania lagi masak enak, nih. Aromanya sampai sini, loh!" bisik Dara. Sukma mengangguk setuju, perutnya bergejolak minta diisi saat aroma masakan tercium di indera penciumannya."Iya. Pokoknya nanti kita harus bener-bener pasang wajah yang penuh penyesalan. Biar mereka percaya sama kita. Kamu paham, kan?" kata Sukma ikut berbisik. Dara hanya menanggapi dengan mengangguk, jika sedang tak ada rencana sudah bisa dipastikan gadis itu akan menolak meminta maaf pada iparnya.Tak lama, terdengar suara seseorang menjawab salam. Sukma dan Dara menarik napas dalam dan mulai memasang tampang sedih.Tania terkejut melihat kedatangan mertua dan iparnya. Dia baru saja selesai memasak dan akan makan malam dengan suaminya saat mereka datang."Mama, Dara? Ada apa?" tanya Tania sedikit ketus. Kejadian tadi siang masih terngiang di kepala Tania, te
Beberapa hari setelah permintaan maaf mertua serta iparnya, kehidupan Tania mendadak berubah. Perempuan itu merasa hidup jauh lebih tenang. Mertua dan iparnya benar-benar menunjukkan perubahan yang signifikan. Sukma kerap mengantarkan makanan ke rumah Tania, apalagi saat perempuan itu harus masuk kerja di pagi hari. Sekarang Tania juga sudah bisa lebih tenang meninggalkan suaminya sendiri, sebab kadang Sukma dan Dara selalu datang untuk menemani Ghani di rumah."Ini baju kotor kalian?" tanya Sukma menunjuk keranjang kotor yang terletak disudut dekat dapur.Ghani menoleh, dia hanya mengangguk sekilas dan kembali menikmati teh hangat yang baru saja diseduh oleh ibunya."Mama cuciin, ya?" tambah wanita itu.Tanpa menunggu jawaban putranya, Sukma langsung meraih keranjang kotor itu dan membawanya ke tempat cucian."Loh, Ma, jangan! Nanti biar Tania aja yang kerjain, " cegah Ghani."Biar Mama aja, lagian ini nggak banyak, kok! Kasihan kalo Tania harus ngerjain cucian lagi. Dia udah capek
"Mas, aku berangkat sekarang, ya? Sarapannya aku taruh di sini," kata Tania pada suaminya yang hanya berbaring diatas tempat tidur. "Iya, Dek. Kamu hati-hati," sahut lelaki itu tersenyum. Tania membalas senyuman suaminya tulus, kemudian ia mendekat dan meraih tangan Ghani dan mengecupnya. Setelah itu, Tania meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar. Langkah perempuan itu sedikit tergesa sebab melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 8. Tania menyalakan mesin motor matic miliknya dan mulai melaju perlahan menuju jalan raya. Tania bekerja sebagai kasir disebuah supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Sedang Ghani sudah lama di rumahkan setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh total. * "Assalamu'alaikum!" teriak Sukma –ibu Ghani. Tanpa menunggu salam dari dalam, Sukma masuk begitu saja, terlebih pintu depan rumah anaknya tidak terkunci. "Ghan! Ghani!" Wanita itu berteriak memanggil sang p
Ghani menarik napas dalam sebelum masuk ke kamar. Ia tak menyalahkan sikap istrinya tadi, malah ia merasa bersalah pada perempuan itu. "Yank," panggil Ghani lirih. Tania yang tengah duduk di pinggir ranjang menoleh sekilas, kemudian kembali membuang muka. Bukan ia kesal dengan suaminya, hanya saja sikap mertuanya tadi yang membuat Tania dirundung kesal. "Maafin, Mas." Suara Ghani kembali terdengar, lelaki itu mendekat kearah istrinya. "Mas nggak salah. Kenapa harus minta maaf?" sahut Tania tanpa menoleh. "Ini semua terjadi gara-gara Mas. Kalau saja Mas masih bekerja, kamu pasti nggak akan secapek ini, Yank," sesal Ghani. "Aku yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya aku ngomong gitu tadi ke Mama. Aku ... hanya sedang capek saja, Mas," kata Tania membuat Ghani menggeleng. "Apa yang kamu lakukan tadi nggak salah sama sekali, Yank. Memang sudah seharusnya kamu bisa tegas seperti itu, supaya tidak ditindas terus menerus oleh mereka." Tania menoleh, dia te
Keesokan harinya, Sukma disibukkan dengan pekerjaannya di dapur. Wanita itu memasak banyak sekali menu makanan, tak lupa dengan cemilan juga. Ia mengerjakan sendiri, sedang pemilik rencana malah asik menyambung mimpi. "Dara! Bangun kamu! Bantuin Mama di dapur!" Wanita itu berteriak memanggil putrinya, sebab tak ada respon, dia memilih beranjak ke kamar Dara dan mulai menggedor-gedor pintunya. "Bangun cepat! Kamu mau Mama mati gara-gara ngerjain semua sendiri, hah?!" Dia kembali berteriak sambil terus menggedor pintu kamar Dara. Dara meraih bantal dan menutupi seluruh wajahnya, tapi bukannya berhenti gedoran itu malah semakin kencang. Gadis pemalas itu menyerah, kemudian memilih bangkit dengan muka bersungut-sungut. "Apa, sih, Ma? Masih pagi, loh, ini. Udah teriak-teriak aja kayak orang utan!" kesal Dara. Wajah perempuan itu tampak kusut dengan rambut acak-acakan. "Pagi matamu! Liat, noh, jam berapa? Ini udah jam 9! Makanya, belajar bangun pagi. Jangan jadi pemalas
Sukma merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sebab sejak subuh tak berhenti bekerja. Semua makanan yang tadi ia masak sudah terhidang manis diatas meja. Rumah juga sudah rapi, mereka tinggal menunggu kedatangan teman-teman Dara saja. Tok ... tok ... tok ... Wanita itu mengernyit heran mendengar suara ketukan di pintu depan, dia melihat jam yang tergantung di dinding meja makan, masih pukul 10 lewat sedikit. Apa mungkin itu teman-teman Dara? Pikirnya. Sukma bergegas keluar. Saat pintu ia buka, mulutnya menganga melihat siapa yang datang. Ternyata bukan teman-teman Dara, melainkan Ghani dan Tania. "Ngapain kalian kemari?" ketus wanita itu. Bukannya mempersilahkan anak dan menantunya untuk masuk, dia malah berdiri didepan pintu dengan tangan bersedekap di dada, tak lupa tatapan sinis ia layangkan. "Aku mau ngomong sama Mama dan juga Dara. Kita masuk dulu," kata Ghani. Lelaki itu meminta agar sang istri mendorong kursi rodanya masuk. "Eh, eh ... kalian mau kemana? Kalau mau ngomo
Beberapa hari setelah permintaan maaf mertua serta iparnya, kehidupan Tania mendadak berubah. Perempuan itu merasa hidup jauh lebih tenang. Mertua dan iparnya benar-benar menunjukkan perubahan yang signifikan. Sukma kerap mengantarkan makanan ke rumah Tania, apalagi saat perempuan itu harus masuk kerja di pagi hari. Sekarang Tania juga sudah bisa lebih tenang meninggalkan suaminya sendiri, sebab kadang Sukma dan Dara selalu datang untuk menemani Ghani di rumah."Ini baju kotor kalian?" tanya Sukma menunjuk keranjang kotor yang terletak disudut dekat dapur.Ghani menoleh, dia hanya mengangguk sekilas dan kembali menikmati teh hangat yang baru saja diseduh oleh ibunya."Mama cuciin, ya?" tambah wanita itu.Tanpa menunggu jawaban putranya, Sukma langsung meraih keranjang kotor itu dan membawanya ke tempat cucian."Loh, Ma, jangan! Nanti biar Tania aja yang kerjain, " cegah Ghani."Biar Mama aja, lagian ini nggak banyak, kok! Kasihan kalo Tania harus ngerjain cucian lagi. Dia udah capek
"Assalamu'alaikum ...!" seru Sukma sambil mengetuk pintu rumah Tania. Dia dan Dara berdiri di sana, menunggu sang tuan rumah membukakan pintu."Ma, kayaknya si Tania lagi masak enak, nih. Aromanya sampai sini, loh!" bisik Dara. Sukma mengangguk setuju, perutnya bergejolak minta diisi saat aroma masakan tercium di indera penciumannya."Iya. Pokoknya nanti kita harus bener-bener pasang wajah yang penuh penyesalan. Biar mereka percaya sama kita. Kamu paham, kan?" kata Sukma ikut berbisik. Dara hanya menanggapi dengan mengangguk, jika sedang tak ada rencana sudah bisa dipastikan gadis itu akan menolak meminta maaf pada iparnya.Tak lama, terdengar suara seseorang menjawab salam. Sukma dan Dara menarik napas dalam dan mulai memasang tampang sedih.Tania terkejut melihat kedatangan mertua dan iparnya. Dia baru saja selesai memasak dan akan makan malam dengan suaminya saat mereka datang."Mama, Dara? Ada apa?" tanya Tania sedikit ketus. Kejadian tadi siang masih terngiang di kepala Tania, te
"Ma, tolong berhenti mengganggu rumah tangga kami. Apa mama nggak bosan begini terus?" ucap Ghani kesal. "Siapa yang mengganggu rumah tangga kalian? Tanya istrimu itu, kenapa dia tega sekali mempermalukan adikmu didepan banyak orang?" kata Sukma, jarinya sudah menuding Tania dan menatap menantunya tajam. Tatapan mertuanya tak sedikit pun membuat Tania ciut, perempuan itu malah membalas tatapan Sukma dengan tangan terlipat di dada. "Ma, kalo anak salah itu, ya, jangan dibela! Bakal kebiasaan sampai tua!" ejek Tania. "Apa masalahnya untukmu? Aku ini seorang ibu, siapa pun yang berani mengganggu anakku, akan berurusan denganku langsung! Naluri seorang ibu itu memang beda. Kamu mana tau? Hamil aja belum pernah. Dasar mandul!" tukas Sukma. Tania langsung terdiam mendengar ucapan mertuanya. Dia refleks memegang perut ratanya, pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun lebih, tapi sampai sekarang Tania belum juga hamil. Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu, Sukma segera
"Kenapa, Ra, kamu keliatan takut gitu? Padahal aku belum ngomong apa-apa, loh?" Tania sengaja mengeraskan volumenya agar teman-teman Dara ikut mendengar.Para gadis itu saling pandang, mereka berbisik-bisik sibuk menebak-nebak apa yang sedang terjadi antara Dara dan iparnya itu."Mbak! Bisa nggak, sih, ngomongnya pelan-pelan?" geram Dara."Bisa saja. Tapi ... bayar uangku 500 ribu!" tekan Tania. Dara melengos, dia tak memperdulikan permintaan Tania, bahkan dengan santai mengatakan jika ia tak punya sekarang."Nggak usah sok-sokan ngancam aku, Mbak! Sekarang mending lanjut ngebabu sana, biar nggak jadi miskin terus!" cemooh Dara. Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Tania yang sudah mengepalkan tangannya penuh amarah."Oke! Mari kita mulai. Apa setelah ini kamu masih saja bisa berkutik didepan teman-temanmu?" batin Tania licik.Perempuan itu berjalan tergesa ke arah Dara dan teman-temannya yang bersiap pergi. Sebelum Dara benar-benar menghidupkan mesin motornya, dia sudah lebih
Dengan dipenuhi rasa dongkol, Tania berangkat kerja setelah membayar hutang yang ditinggalkan Dara sebanyak 500 ribu. Ya, perempuan itu memang memilih membayar demi menghindari keributan, terlebih melihat wajah tak bersahabat Hani yang terus mendesaknya agar segera membayar. Di tempat kerjanya, Tania berusaha keras agar tetap fokus, meski hatinya masih saja diliputi amarah, rasa ingin segera membalas kejahilan Dara pun makin menggebu. "Liat aja nanti. Kamu pasti akan ku permalukan didepan orang-orang." Tania bergumam sambil terus menyusun barang-barang pada raknya. Teman kerjanya yang melihat wajah Tania terus ditekuk pun menegur. "Lo kenapa? Masam aja tuh muka!" tegur teman kerjanya. "Pasti perkara mertua atau ipar Lo lagi, ya?" tebak perempuan itu lagi. Tania hanya mengangguk lemah. "Sesekali balas, Tan. Jangan diem mulu. Makin diinjek-injek ntar!" kata perempuan itu lagi tanpa menghentikan pekerjaannya. "Iya. Capek juga gue tiap hari diusilin mulu. Liat aja, gue bakal bal
Sukma merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sebab sejak subuh tak berhenti bekerja. Semua makanan yang tadi ia masak sudah terhidang manis diatas meja. Rumah juga sudah rapi, mereka tinggal menunggu kedatangan teman-teman Dara saja. Tok ... tok ... tok ... Wanita itu mengernyit heran mendengar suara ketukan di pintu depan, dia melihat jam yang tergantung di dinding meja makan, masih pukul 10 lewat sedikit. Apa mungkin itu teman-teman Dara? Pikirnya. Sukma bergegas keluar. Saat pintu ia buka, mulutnya menganga melihat siapa yang datang. Ternyata bukan teman-teman Dara, melainkan Ghani dan Tania. "Ngapain kalian kemari?" ketus wanita itu. Bukannya mempersilahkan anak dan menantunya untuk masuk, dia malah berdiri didepan pintu dengan tangan bersedekap di dada, tak lupa tatapan sinis ia layangkan. "Aku mau ngomong sama Mama dan juga Dara. Kita masuk dulu," kata Ghani. Lelaki itu meminta agar sang istri mendorong kursi rodanya masuk. "Eh, eh ... kalian mau kemana? Kalau mau ngomo
Keesokan harinya, Sukma disibukkan dengan pekerjaannya di dapur. Wanita itu memasak banyak sekali menu makanan, tak lupa dengan cemilan juga. Ia mengerjakan sendiri, sedang pemilik rencana malah asik menyambung mimpi. "Dara! Bangun kamu! Bantuin Mama di dapur!" Wanita itu berteriak memanggil putrinya, sebab tak ada respon, dia memilih beranjak ke kamar Dara dan mulai menggedor-gedor pintunya. "Bangun cepat! Kamu mau Mama mati gara-gara ngerjain semua sendiri, hah?!" Dia kembali berteriak sambil terus menggedor pintu kamar Dara. Dara meraih bantal dan menutupi seluruh wajahnya, tapi bukannya berhenti gedoran itu malah semakin kencang. Gadis pemalas itu menyerah, kemudian memilih bangkit dengan muka bersungut-sungut. "Apa, sih, Ma? Masih pagi, loh, ini. Udah teriak-teriak aja kayak orang utan!" kesal Dara. Wajah perempuan itu tampak kusut dengan rambut acak-acakan. "Pagi matamu! Liat, noh, jam berapa? Ini udah jam 9! Makanya, belajar bangun pagi. Jangan jadi pemalas
Ghani menarik napas dalam sebelum masuk ke kamar. Ia tak menyalahkan sikap istrinya tadi, malah ia merasa bersalah pada perempuan itu. "Yank," panggil Ghani lirih. Tania yang tengah duduk di pinggir ranjang menoleh sekilas, kemudian kembali membuang muka. Bukan ia kesal dengan suaminya, hanya saja sikap mertuanya tadi yang membuat Tania dirundung kesal. "Maafin, Mas." Suara Ghani kembali terdengar, lelaki itu mendekat kearah istrinya. "Mas nggak salah. Kenapa harus minta maaf?" sahut Tania tanpa menoleh. "Ini semua terjadi gara-gara Mas. Kalau saja Mas masih bekerja, kamu pasti nggak akan secapek ini, Yank," sesal Ghani. "Aku yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya aku ngomong gitu tadi ke Mama. Aku ... hanya sedang capek saja, Mas," kata Tania membuat Ghani menggeleng. "Apa yang kamu lakukan tadi nggak salah sama sekali, Yank. Memang sudah seharusnya kamu bisa tegas seperti itu, supaya tidak ditindas terus menerus oleh mereka." Tania menoleh, dia te
"Mas, aku berangkat sekarang, ya? Sarapannya aku taruh di sini," kata Tania pada suaminya yang hanya berbaring diatas tempat tidur. "Iya, Dek. Kamu hati-hati," sahut lelaki itu tersenyum. Tania membalas senyuman suaminya tulus, kemudian ia mendekat dan meraih tangan Ghani dan mengecupnya. Setelah itu, Tania meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar. Langkah perempuan itu sedikit tergesa sebab melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 8. Tania menyalakan mesin motor matic miliknya dan mulai melaju perlahan menuju jalan raya. Tania bekerja sebagai kasir disebuah supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Sedang Ghani sudah lama di rumahkan setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh total. * "Assalamu'alaikum!" teriak Sukma –ibu Ghani. Tanpa menunggu salam dari dalam, Sukma masuk begitu saja, terlebih pintu depan rumah anaknya tidak terkunci. "Ghan! Ghani!" Wanita itu berteriak memanggil sang p