Share

Membalas Mertua dan Ipar Toxic
Membalas Mertua dan Ipar Toxic
Penulis: Rifatul Mahmuda

Bab 1

"Mas, aku berangkat sekarang, ya? Sarapannya aku taruh di sini," kata Tania pada suaminya yang hanya berbaring diatas tempat tidur.

"Iya, Dek. Kamu hati-hati," sahut lelaki itu tersenyum.

Tania membalas senyuman suaminya tulus, kemudian ia mendekat dan meraih tangan Ghani dan mengecupnya.

Setelah itu, Tania meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar. Langkah perempuan itu sedikit tergesa sebab melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 8.

Tania menyalakan mesin motor matic miliknya dan mulai melaju perlahan menuju jalan raya.

Tania bekerja sebagai kasir disebuah supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Sedang Ghani sudah lama di rumahkan setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh total.

*

"Assalamu'alaikum!" teriak Sukma –ibu Ghani.

Tanpa menunggu salam dari dalam, Sukma masuk begitu saja, terlebih pintu depan rumah anaknya tidak terkunci.

"Ghan! Ghani!" Wanita itu berteriak memanggil sang putra.

Di dalam kamarnya, Ghani berdecak sebal. Kebiasaan sang Mama yang tak pernah berubah, bukannya mencari malah berteriak dari luar.

"Aku di kamar, Ma!" balas Ghani ikut berteriak.

Tak lama, wanita itu sudah menyembul dibalik pintu kamar Ghani. Wanita itu berdecak saat melihat putranya tengah makan sendiri.

"Kebiasaan banget istrimu itu. Bukannya ngasih makan suami yang didahulukan, malah langsung berangkat kerja!" Wanita itu mengambil alih piring dipangkuan Ghani sambil terus mengomel.

"Tania, kan, harus berangkat kerja, Ma. Mana sempat dia nyuapin Ghani. Yang ada dia bakal telat berangkatnya," kata Ghani membela sang istri.

"Halah! Belain aja terus istrimu itu. Lagian ini sudah jadi kewajiban dia, harusnya dia paham, dong!" tukas wanita itu lagi.

"Lantas gimana dengan kewajiban Ghani sendiri, Ma? Seharusnya Ghani yang menafkahi Tania, bukan malah sebaliknya. Harusnya Mama bersyukur mendapat menantu seperti Tania, dia mau mengambil alih tugas mencari nafkah hingga mengorbankan waktunya sendiri."

Mendengar pembelaan Ghani terhadap Tania membuat Sukma geram. Wanita itu menaruh piring yang masih berisi nasi tadi dengan kasar, kemudian dia lantas berdiri.

"Susah ngomong sama orang bebal kayak kamu!" sentak wanita itu berlalu dari sana.

*

Tania pulang seusai pergantian shift dengan teman kerjanya. Kali ini senyum lebar tersungging dari bibir tipis Tania. Saat keluar dari minimarket tempat ia bekerja, tatapannya langsung mengarah pada para penjaja makanan diseberang sana.

"Aku beli nasi goreng dulu, deh. Mas Ghani pasti seneng," gumam perempuan itu seraya menuju motor miliknya.

Setelah memakai helm, Tania menaiki motor matic miliknya dan mulai menghidupkan mesin. Perempuan itu menyebrang menuju ATM, ia ingin menarik uang lebih dulu, sebab simpanannya mulai menipis.

Selepas dari ATM, Tania mendekati penjual nasi goreng langganannya.

"Bungkusin dua, ya, Pak. Lauknya pake ayam," kata Tania. Si penjual mengangguk, kemudian dengan cekatan mulai menyiapkan pesanan Tania, sedang perempuan itu memilih duduk sembari menunggu pesanannya.

*

Tania melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sesekali terdengar senandung kecil dari bibir perempuan itu.

Menjelang Maghrib begini, keadaan jalan lumayan lancar, tak perlu bergelut dengan kemacetan yang mengular panjang. Tak butuh waktu lama, motor Tania sudah memasuki gang rumahnya.

Mesin motor ia matikan begitu sampai di halaman. Setelah membuka helm, dia meraih kantong plastik yang digantung dan membawanya masuk kedalam.

Begitu sampai di teras, Tania menghempaskan napas pelan. Bukan tanpa alasan, suasana hati Tania mendadak berubah, terlebih melihat dua pasang sandal yang begitu ia kenali di sana.

"Bisa, nggak, sih, sehari aja nggak ketemu mereka?" batin Tania kesal.

Setelah mengucap salam, Tania melenggang masuk. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, berharap tak ada keributan yang akan ditimbulkan oleh dua orang didalam sana.

"Apaan, tuh?" Baru saja Tania menutup pintu, terdengar suara seseorang dibelakangnya. Perempuan itu menghela napas, kemudian berusaha untuk tetap tenang.

Tania tak menjawab, perempuan itu melengos seolah tak ada siapa-siapa di sana. Gadis yang tadi menyapanya mendelik kesal.

"Mas," sapa Tania saat memasuki ruang tengah, perempuan itu mengecup tangan suaminya yang tengah duduk di kursi roda miliknya. Kemudian melakukan hal yang sama pada Sukma –mertuanya.

"Kamu bawa apa, Mbak? Bagi, dong! Kebetulan aku lagi lapar," celetuk Dara. Tangan gadis itu hendak meraih kantong plastik yang berada digenggaman Tania, tapi lekas perempuan itu menghalangi.

"Ini buat makan malam aku sama Mas Ghani. Kamu kalo lapar beli aja yang lain," kata Tania kesal.

Entah kenapa kali ini Tania bisa bersikap lebih berani, padahal selama ini dia selalu diam dengan perlakuan mertua serta iparnya. Hal itu membuat Dara serta Sukma melongo tak percaya.

"Eh, berani banget, ya, sekarang?" kata Dara dengan tangan terlipat di dada, tatapan gadis itu jelas mencemooh kelakuan Tania barusan.

Tania tak menyahut, dia diam saja dan memilih mendekati suaminya.

"Mas mau makan sekarang?" tanya perempuan itu, Ghani menolak dan mengatakan akan makan nanti selepas shalat Maghrib saja.

"Aku ke kamar dulu, ya, Mas? Mau mandi, badan udah lengket banget soalnya." Tania berpamitan hendak ke kamar, Ghani hanya merespon dengan anggukan kepala.

"Tunggu Tania!" Suara Sukma sontak mengurungkan langkah Tania yang hendak ke kamar.

Perempuan itu menoleh dan menatap mertuanya datar. Ia lelah, apalagi setelah seharian bekerja tanpa bisa istirahat. Dan malah harus dihadapkan dengan sikap mengesalkan mertua dan iparnya.

"Ada apa, Ma?" tanya Tania berusaha sesopan mungkin.

"Dara butuh uang untuk bayar kuliahnya. Mama ke sini mau minta uangnya ke kamu. Kamu udah gajian, kan?" Tanpa basa basi, Sukma langsung mengutarakan maksudnya. Bahkan tak ia pikirkan bagaimana perasaan Tania saat ini.

"Uangnya ada, kan? Mama butuh sekarang. 2 juta saja."

Lagi. Ucapan Sukma kembali membuat Tania terperangah. Ini memang bukan kali pertamanya mertuanya meminta uang, tapi ini adalah pertama kalinya wanita itu meminta dengan nominal yang tak sedikit.

"2 juta? Dari mana aku dapat uang sebanyak itu, Ma? Bahkan gajiku saja cuma 2 juta setengah. Mama kalau minta itu harusnya mikir dulu, dong!" sergah Tania tak terima.

"Ya, kan, bisa ngasih ke Mama dulu 2 jutanya. 5 ratus buat belanja sehari-hari. Masa iya nggak bisa? Kalian itu cuma berdua, nggak butuh biaya ini itu. Mama rasa cukup lah 5 ratus itu kalau kamu mau berhemat," kata Sukma santai.

Ghani hanya bisa menghembuskan napas kasar, berkali-kali lelaki itu mengusap kasar wajahnya. Malu. Dia malu terhadap istrinya.

"Nggak! Aku nggak akan ngasih. Kalian pikir aku ini mesin ATM kalian apa? Aku kerja capek-capek, terus kalian yang nikmati hasilnya? Kalian cari sendiri sana uangnya. Atau kalian bisa minta sama Mas Ghali, mereka pasti punya banyak uang," sanggah Tania berani.

Semua orang tercengang mendengar jawaban perempuan itu. Bahkan Ghani kini sudah menatap istrinya. Tania membalas tatapan Ghani tajam, emosi jelas tampak di mata perempuan itu.

Tanpa sepatah kata pun, Tania memilih pergi dari sana. Kepalanya mendadak berisik, lelah hati dan pikiran yang ia rasakan sekarang. Kalau bisa ia ingin mengeluh, bukan karena keadaan suaminya, tapi kehadiran mertua yang selalu merusak suasana hatinya.

Kali ini perempuan itu bertekad, ia tak akan mau ditindas lagi. Cukup 3 tahun ia menderita dengan sikap mertua dan iparnya. Tapi tidak untuk kali ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status