"Mas, aku berangkat sekarang, ya? Sarapannya aku taruh di sini," kata Tania pada suaminya yang hanya berbaring diatas tempat tidur.
"Iya, Dek. Kamu hati-hati," sahut lelaki itu tersenyum. Tania membalas senyuman suaminya tulus, kemudian ia mendekat dan meraih tangan Ghani dan mengecupnya. Setelah itu, Tania meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar. Langkah perempuan itu sedikit tergesa sebab melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 8. Tania menyalakan mesin motor matic miliknya dan mulai melaju perlahan menuju jalan raya. Tania bekerja sebagai kasir disebuah supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Sedang Ghani sudah lama di rumahkan setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh total. * "Assalamu'alaikum!" teriak Sukma –ibu Ghani. Tanpa menunggu salam dari dalam, Sukma masuk begitu saja, terlebih pintu depan rumah anaknya tidak terkunci. "Ghan! Ghani!" Wanita itu berteriak memanggil sang putra. Di dalam kamarnya, Ghani berdecak sebal. Kebiasaan sang Mama yang tak pernah berubah, bukannya mencari malah berteriak dari luar. "Aku di kamar, Ma!" balas Ghani ikut berteriak. Tak lama, wanita itu sudah menyembul dibalik pintu kamar Ghani. Wanita itu berdecak saat melihat putranya tengah makan sendiri. "Kebiasaan banget istrimu itu. Bukannya ngasih makan suami yang didahulukan, malah langsung berangkat kerja!" Wanita itu mengambil alih piring dipangkuan Ghani sambil terus mengomel. "Tania, kan, harus berangkat kerja, Ma. Mana sempat dia nyuapin Ghani. Yang ada dia bakal telat berangkatnya," kata Ghani membela sang istri. "Halah! Belain aja terus istrimu itu. Lagian ini sudah jadi kewajiban dia, harusnya dia paham, dong!" tukas wanita itu lagi. "Lantas gimana dengan kewajiban Ghani sendiri, Ma? Seharusnya Ghani yang menafkahi Tania, bukan malah sebaliknya. Harusnya Mama bersyukur mendapat menantu seperti Tania, dia mau mengambil alih tugas mencari nafkah hingga mengorbankan waktunya sendiri." Mendengar pembelaan Ghani terhadap Tania membuat Sukma geram. Wanita itu menaruh piring yang masih berisi nasi tadi dengan kasar, kemudian dia lantas berdiri. "Susah ngomong sama orang bebal kayak kamu!" sentak wanita itu berlalu dari sana. * Tania pulang seusai pergantian shift dengan teman kerjanya. Kali ini senyum lebar tersungging dari bibir tipis Tania. Saat keluar dari minimarket tempat ia bekerja, tatapannya langsung mengarah pada para penjaja makanan diseberang sana. "Aku beli nasi goreng dulu, deh. Mas Ghani pasti seneng," gumam perempuan itu seraya menuju motor miliknya. Setelah memakai helm, Tania menaiki motor matic miliknya dan mulai menghidupkan mesin. Perempuan itu menyebrang menuju ATM, ia ingin menarik uang lebih dulu, sebab simpanannya mulai menipis. Selepas dari ATM, Tania mendekati penjual nasi goreng langganannya. "Bungkusin dua, ya, Pak. Lauknya pake ayam," kata Tania. Si penjual mengangguk, kemudian dengan cekatan mulai menyiapkan pesanan Tania, sedang perempuan itu memilih duduk sembari menunggu pesanannya. * Tania melajukan motornya dengan kecepatan sedang, sesekali terdengar senandung kecil dari bibir perempuan itu. Menjelang Maghrib begini, keadaan jalan lumayan lancar, tak perlu bergelut dengan kemacetan yang mengular panjang. Tak butuh waktu lama, motor Tania sudah memasuki gang rumahnya. Mesin motor ia matikan begitu sampai di halaman. Setelah membuka helm, dia meraih kantong plastik yang digantung dan membawanya masuk kedalam. Begitu sampai di teras, Tania menghempaskan napas pelan. Bukan tanpa alasan, suasana hati Tania mendadak berubah, terlebih melihat dua pasang sandal yang begitu ia kenali di sana. "Bisa, nggak, sih, sehari aja nggak ketemu mereka?" batin Tania kesal. Setelah mengucap salam, Tania melenggang masuk. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, berharap tak ada keributan yang akan ditimbulkan oleh dua orang didalam sana. "Apaan, tuh?" Baru saja Tania menutup pintu, terdengar suara seseorang dibelakangnya. Perempuan itu menghela napas, kemudian berusaha untuk tetap tenang. Tania tak menjawab, perempuan itu melengos seolah tak ada siapa-siapa di sana. Gadis yang tadi menyapanya mendelik kesal. "Mas," sapa Tania saat memasuki ruang tengah, perempuan itu mengecup tangan suaminya yang tengah duduk di kursi roda miliknya. Kemudian melakukan hal yang sama pada Sukma –mertuanya. "Kamu bawa apa, Mbak? Bagi, dong! Kebetulan aku lagi lapar," celetuk Dara. Tangan gadis itu hendak meraih kantong plastik yang berada digenggaman Tania, tapi lekas perempuan itu menghalangi. "Ini buat makan malam aku sama Mas Ghani. Kamu kalo lapar beli aja yang lain," kata Tania kesal. Entah kenapa kali ini Tania bisa bersikap lebih berani, padahal selama ini dia selalu diam dengan perlakuan mertua serta iparnya. Hal itu membuat Dara serta Sukma melongo tak percaya. "Eh, berani banget, ya, sekarang?" kata Dara dengan tangan terlipat di dada, tatapan gadis itu jelas mencemooh kelakuan Tania barusan. Tania tak menyahut, dia diam saja dan memilih mendekati suaminya. "Mas mau makan sekarang?" tanya perempuan itu, Ghani menolak dan mengatakan akan makan nanti selepas shalat Maghrib saja. "Aku ke kamar dulu, ya, Mas? Mau mandi, badan udah lengket banget soalnya." Tania berpamitan hendak ke kamar, Ghani hanya merespon dengan anggukan kepala. "Tunggu Tania!" Suara Sukma sontak mengurungkan langkah Tania yang hendak ke kamar. Perempuan itu menoleh dan menatap mertuanya datar. Ia lelah, apalagi setelah seharian bekerja tanpa bisa istirahat. Dan malah harus dihadapkan dengan sikap mengesalkan mertua dan iparnya. "Ada apa, Ma?" tanya Tania berusaha sesopan mungkin. "Dara butuh uang untuk bayar kuliahnya. Mama ke sini mau minta uangnya ke kamu. Kamu udah gajian, kan?" Tanpa basa basi, Sukma langsung mengutarakan maksudnya. Bahkan tak ia pikirkan bagaimana perasaan Tania saat ini. "Uangnya ada, kan? Mama butuh sekarang. 2 juta saja." Lagi. Ucapan Sukma kembali membuat Tania terperangah. Ini memang bukan kali pertamanya mertuanya meminta uang, tapi ini adalah pertama kalinya wanita itu meminta dengan nominal yang tak sedikit. "2 juta? Dari mana aku dapat uang sebanyak itu, Ma? Bahkan gajiku saja cuma 2 juta setengah. Mama kalau minta itu harusnya mikir dulu, dong!" sergah Tania tak terima. "Ya, kan, bisa ngasih ke Mama dulu 2 jutanya. 5 ratus buat belanja sehari-hari. Masa iya nggak bisa? Kalian itu cuma berdua, nggak butuh biaya ini itu. Mama rasa cukup lah 5 ratus itu kalau kamu mau berhemat," kata Sukma santai. Ghani hanya bisa menghembuskan napas kasar, berkali-kali lelaki itu mengusap kasar wajahnya. Malu. Dia malu terhadap istrinya. "Nggak! Aku nggak akan ngasih. Kalian pikir aku ini mesin ATM kalian apa? Aku kerja capek-capek, terus kalian yang nikmati hasilnya? Kalian cari sendiri sana uangnya. Atau kalian bisa minta sama Mas Ghali, mereka pasti punya banyak uang," sanggah Tania berani. Semua orang tercengang mendengar jawaban perempuan itu. Bahkan Ghani kini sudah menatap istrinya. Tania membalas tatapan Ghani tajam, emosi jelas tampak di mata perempuan itu. Tanpa sepatah kata pun, Tania memilih pergi dari sana. Kepalanya mendadak berisik, lelah hati dan pikiran yang ia rasakan sekarang. Kalau bisa ia ingin mengeluh, bukan karena keadaan suaminya, tapi kehadiran mertua yang selalu merusak suasana hatinya. Kali ini perempuan itu bertekad, ia tak akan mau ditindas lagi. Cukup 3 tahun ia menderita dengan sikap mertua dan iparnya. Tapi tidak untuk kali ini.Ghani menarik napas dalam sebelum masuk ke kamar. Ia tak menyalahkan sikap istrinya tadi, malah ia merasa bersalah pada perempuan itu. "Yank," panggil Ghani lirih. Tania yang tengah duduk di pinggir ranjang menoleh sekilas, kemudian kembali membuang muka. Bukan ia kesal dengan suaminya, hanya saja sikap mertuanya tadi yang membuat Tania dirundung kesal. "Maafin, Mas." Suara Ghani kembali terdengar, lelaki itu mendekat kearah istrinya. "Mas nggak salah. Kenapa harus minta maaf?" sahut Tania tanpa menoleh. "Ini semua terjadi gara-gara Mas. Kalau saja Mas masih bekerja, kamu pasti nggak akan secapek ini, Yank," sesal Ghani. "Aku yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya aku ngomong gitu tadi ke Mama. Aku ... hanya sedang capek saja, Mas," kata Tania membuat Ghani menggeleng. "Apa yang kamu lakukan tadi nggak salah sama sekali, Yank. Memang sudah seharusnya kamu bisa tegas seperti itu, supaya tidak ditindas terus menerus oleh mereka." Tania menoleh, dia te
Keesokan harinya, Sukma disibukkan dengan pekerjaannya di dapur. Wanita itu memasak banyak sekali menu makanan, tak lupa dengan cemilan juga. Ia mengerjakan sendiri, sedang pemilik rencana malah asik menyambung mimpi. "Dara! Bangun kamu! Bantuin Mama di dapur!" Wanita itu berteriak memanggil putrinya, sebab tak ada respon, dia memilih beranjak ke kamar Dara dan mulai menggedor-gedor pintunya. "Bangun cepat! Kamu mau Mama mati gara-gara ngerjain semua sendiri, hah?!" Dia kembali berteriak sambil terus menggedor pintu kamar Dara. Dara meraih bantal dan menutupi seluruh wajahnya, tapi bukannya berhenti gedoran itu malah semakin kencang. Gadis pemalas itu menyerah, kemudian memilih bangkit dengan muka bersungut-sungut. "Apa, sih, Ma? Masih pagi, loh, ini. Udah teriak-teriak aja kayak orang utan!" kesal Dara. Wajah perempuan itu tampak kusut dengan rambut acak-acakan. "Pagi matamu! Liat, noh, jam berapa? Ini udah jam 9! Makanya, belajar bangun pagi. Jangan jadi pemalas
Sukma merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sebab sejak subuh tak berhenti bekerja. Semua makanan yang tadi ia masak sudah terhidang manis diatas meja. Rumah juga sudah rapi, mereka tinggal menunggu kedatangan teman-teman Dara saja. Tok ... tok ... tok ... Wanita itu mengernyit heran mendengar suara ketukan di pintu depan, dia melihat jam yang tergantung di dinding meja makan, masih pukul 10 lewat sedikit. Apa mungkin itu teman-teman Dara? Pikirnya. Sukma bergegas keluar. Saat pintu ia buka, mulutnya menganga melihat siapa yang datang. Ternyata bukan teman-teman Dara, melainkan Ghani dan Tania. "Ngapain kalian kemari?" ketus wanita itu. Bukannya mempersilahkan anak dan menantunya untuk masuk, dia malah berdiri didepan pintu dengan tangan bersedekap di dada, tak lupa tatapan sinis ia layangkan. "Aku mau ngomong sama Mama dan juga Dara. Kita masuk dulu," kata Ghani. Lelaki itu meminta agar sang istri mendorong kursi rodanya masuk. "Eh, eh ... kalian mau kemana? Kalau mau ngomo
Dengan dipenuhi rasa dongkol, Tania berangkat kerja setelah membayar hutang yang ditinggalkan Dara sebanyak 500 ribu. Ya, perempuan itu memang memilih membayar demi menghindari keributan, terlebih melihat wajah tak bersahabat Hani yang terus mendesaknya agar segera membayar. Di tempat kerjanya, Tania berusaha keras agar tetap fokus, meski hatinya masih saja diliputi amarah, rasa ingin segera membalas kejahilan Dara pun makin menggebu. "Liat aja nanti. Kamu pasti akan ku permalukan didepan orang-orang." Tania bergumam sambil terus menyusun barang-barang pada raknya. Teman kerjanya yang melihat wajah Tania terus ditekuk pun menegur. "Lo kenapa? Masam aja tuh muka!" tegur teman kerjanya. "Pasti perkara mertua atau ipar Lo lagi, ya?" tebak perempuan itu lagi. Tania hanya mengangguk lemah. "Sesekali balas, Tan. Jangan diem mulu. Makin diinjek-injek ntar!" kata perempuan itu lagi tanpa menghentikan pekerjaannya. "Iya. Capek juga gue tiap hari diusilin mulu. Liat aja, gue bakal bal
"Kenapa, Ra, kamu keliatan takut gitu? Padahal aku belum ngomong apa-apa, loh?" Tania sengaja mengeraskan volumenya agar teman-teman Dara ikut mendengar.Para gadis itu saling pandang, mereka berbisik-bisik sibuk menebak-nebak apa yang sedang terjadi antara Dara dan iparnya itu."Mbak! Bisa nggak, sih, ngomongnya pelan-pelan?" geram Dara."Bisa saja. Tapi ... bayar uangku 500 ribu!" tekan Tania. Dara melengos, dia tak memperdulikan permintaan Tania, bahkan dengan santai mengatakan jika ia tak punya sekarang."Nggak usah sok-sokan ngancam aku, Mbak! Sekarang mending lanjut ngebabu sana, biar nggak jadi miskin terus!" cemooh Dara. Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Tania yang sudah mengepalkan tangannya penuh amarah."Oke! Mari kita mulai. Apa setelah ini kamu masih saja bisa berkutik didepan teman-temanmu?" batin Tania licik.Perempuan itu berjalan tergesa ke arah Dara dan teman-temannya yang bersiap pergi. Sebelum Dara benar-benar menghidupkan mesin motornya, dia sudah lebih
"Ma, tolong berhenti mengganggu rumah tangga kami. Apa mama nggak bosan begini terus?" ucap Ghani kesal. "Siapa yang mengganggu rumah tangga kalian? Tanya istrimu itu, kenapa dia tega sekali mempermalukan adikmu didepan banyak orang?" kata Sukma, jarinya sudah menuding Tania dan menatap menantunya tajam. Tatapan mertuanya tak sedikit pun membuat Tania ciut, perempuan itu malah membalas tatapan Sukma dengan tangan terlipat di dada. "Ma, kalo anak salah itu, ya, jangan dibela! Bakal kebiasaan sampai tua!" ejek Tania. "Apa masalahnya untukmu? Aku ini seorang ibu, siapa pun yang berani mengganggu anakku, akan berurusan denganku langsung! Naluri seorang ibu itu memang beda. Kamu mana tau? Hamil aja belum pernah. Dasar mandul!" tukas Sukma. Tania langsung terdiam mendengar ucapan mertuanya. Dia refleks memegang perut ratanya, pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun lebih, tapi sampai sekarang Tania belum juga hamil. Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu, Sukma segera
"Assalamu'alaikum ...!" seru Sukma sambil mengetuk pintu rumah Tania. Dia dan Dara berdiri di sana, menunggu sang tuan rumah membukakan pintu."Ma, kayaknya si Tania lagi masak enak, nih. Aromanya sampai sini, loh!" bisik Dara. Sukma mengangguk setuju, perutnya bergejolak minta diisi saat aroma masakan tercium di indera penciumannya."Iya. Pokoknya nanti kita harus bener-bener pasang wajah yang penuh penyesalan. Biar mereka percaya sama kita. Kamu paham, kan?" kata Sukma ikut berbisik. Dara hanya menanggapi dengan mengangguk, jika sedang tak ada rencana sudah bisa dipastikan gadis itu akan menolak meminta maaf pada iparnya.Tak lama, terdengar suara seseorang menjawab salam. Sukma dan Dara menarik napas dalam dan mulai memasang tampang sedih.Tania terkejut melihat kedatangan mertua dan iparnya. Dia baru saja selesai memasak dan akan makan malam dengan suaminya saat mereka datang."Mama, Dara? Ada apa?" tanya Tania sedikit ketus. Kejadian tadi siang masih terngiang di kepala Tania, te
"Assalamu'alaikum ...!" seru Sukma sambil mengetuk pintu rumah Tania. Dia dan Dara berdiri di sana, menunggu sang tuan rumah membukakan pintu."Ma, kayaknya si Tania lagi masak enak, nih. Aromanya sampai sini, loh!" bisik Dara. Sukma mengangguk setuju, perutnya bergejolak minta diisi saat aroma masakan tercium di indera penciumannya."Iya. Pokoknya nanti kita harus bener-bener pasang wajah yang penuh penyesalan. Biar mereka percaya sama kita. Kamu paham, kan?" kata Sukma ikut berbisik. Dara hanya menanggapi dengan mengangguk, jika sedang tak ada rencana sudah bisa dipastikan gadis itu akan menolak meminta maaf pada iparnya.Tak lama, terdengar suara seseorang menjawab salam. Sukma dan Dara menarik napas dalam dan mulai memasang tampang sedih.Tania terkejut melihat kedatangan mertua dan iparnya. Dia baru saja selesai memasak dan akan makan malam dengan suaminya saat mereka datang."Mama, Dara? Ada apa?" tanya Tania sedikit ketus. Kejadian tadi siang masih terngiang di kepala Tania, te
"Ma, tolong berhenti mengganggu rumah tangga kami. Apa mama nggak bosan begini terus?" ucap Ghani kesal. "Siapa yang mengganggu rumah tangga kalian? Tanya istrimu itu, kenapa dia tega sekali mempermalukan adikmu didepan banyak orang?" kata Sukma, jarinya sudah menuding Tania dan menatap menantunya tajam. Tatapan mertuanya tak sedikit pun membuat Tania ciut, perempuan itu malah membalas tatapan Sukma dengan tangan terlipat di dada. "Ma, kalo anak salah itu, ya, jangan dibela! Bakal kebiasaan sampai tua!" ejek Tania. "Apa masalahnya untukmu? Aku ini seorang ibu, siapa pun yang berani mengganggu anakku, akan berurusan denganku langsung! Naluri seorang ibu itu memang beda. Kamu mana tau? Hamil aja belum pernah. Dasar mandul!" tukas Sukma. Tania langsung terdiam mendengar ucapan mertuanya. Dia refleks memegang perut ratanya, pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun lebih, tapi sampai sekarang Tania belum juga hamil. Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu, Sukma segera
"Kenapa, Ra, kamu keliatan takut gitu? Padahal aku belum ngomong apa-apa, loh?" Tania sengaja mengeraskan volumenya agar teman-teman Dara ikut mendengar.Para gadis itu saling pandang, mereka berbisik-bisik sibuk menebak-nebak apa yang sedang terjadi antara Dara dan iparnya itu."Mbak! Bisa nggak, sih, ngomongnya pelan-pelan?" geram Dara."Bisa saja. Tapi ... bayar uangku 500 ribu!" tekan Tania. Dara melengos, dia tak memperdulikan permintaan Tania, bahkan dengan santai mengatakan jika ia tak punya sekarang."Nggak usah sok-sokan ngancam aku, Mbak! Sekarang mending lanjut ngebabu sana, biar nggak jadi miskin terus!" cemooh Dara. Gadis itu berlalu begitu saja meninggalkan Tania yang sudah mengepalkan tangannya penuh amarah."Oke! Mari kita mulai. Apa setelah ini kamu masih saja bisa berkutik didepan teman-temanmu?" batin Tania licik.Perempuan itu berjalan tergesa ke arah Dara dan teman-temannya yang bersiap pergi. Sebelum Dara benar-benar menghidupkan mesin motornya, dia sudah lebih
Dengan dipenuhi rasa dongkol, Tania berangkat kerja setelah membayar hutang yang ditinggalkan Dara sebanyak 500 ribu. Ya, perempuan itu memang memilih membayar demi menghindari keributan, terlebih melihat wajah tak bersahabat Hani yang terus mendesaknya agar segera membayar. Di tempat kerjanya, Tania berusaha keras agar tetap fokus, meski hatinya masih saja diliputi amarah, rasa ingin segera membalas kejahilan Dara pun makin menggebu. "Liat aja nanti. Kamu pasti akan ku permalukan didepan orang-orang." Tania bergumam sambil terus menyusun barang-barang pada raknya. Teman kerjanya yang melihat wajah Tania terus ditekuk pun menegur. "Lo kenapa? Masam aja tuh muka!" tegur teman kerjanya. "Pasti perkara mertua atau ipar Lo lagi, ya?" tebak perempuan itu lagi. Tania hanya mengangguk lemah. "Sesekali balas, Tan. Jangan diem mulu. Makin diinjek-injek ntar!" kata perempuan itu lagi tanpa menghentikan pekerjaannya. "Iya. Capek juga gue tiap hari diusilin mulu. Liat aja, gue bakal bal
Sukma merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sebab sejak subuh tak berhenti bekerja. Semua makanan yang tadi ia masak sudah terhidang manis diatas meja. Rumah juga sudah rapi, mereka tinggal menunggu kedatangan teman-teman Dara saja. Tok ... tok ... tok ... Wanita itu mengernyit heran mendengar suara ketukan di pintu depan, dia melihat jam yang tergantung di dinding meja makan, masih pukul 10 lewat sedikit. Apa mungkin itu teman-teman Dara? Pikirnya. Sukma bergegas keluar. Saat pintu ia buka, mulutnya menganga melihat siapa yang datang. Ternyata bukan teman-teman Dara, melainkan Ghani dan Tania. "Ngapain kalian kemari?" ketus wanita itu. Bukannya mempersilahkan anak dan menantunya untuk masuk, dia malah berdiri didepan pintu dengan tangan bersedekap di dada, tak lupa tatapan sinis ia layangkan. "Aku mau ngomong sama Mama dan juga Dara. Kita masuk dulu," kata Ghani. Lelaki itu meminta agar sang istri mendorong kursi rodanya masuk. "Eh, eh ... kalian mau kemana? Kalau mau ngomo
Keesokan harinya, Sukma disibukkan dengan pekerjaannya di dapur. Wanita itu memasak banyak sekali menu makanan, tak lupa dengan cemilan juga. Ia mengerjakan sendiri, sedang pemilik rencana malah asik menyambung mimpi. "Dara! Bangun kamu! Bantuin Mama di dapur!" Wanita itu berteriak memanggil putrinya, sebab tak ada respon, dia memilih beranjak ke kamar Dara dan mulai menggedor-gedor pintunya. "Bangun cepat! Kamu mau Mama mati gara-gara ngerjain semua sendiri, hah?!" Dia kembali berteriak sambil terus menggedor pintu kamar Dara. Dara meraih bantal dan menutupi seluruh wajahnya, tapi bukannya berhenti gedoran itu malah semakin kencang. Gadis pemalas itu menyerah, kemudian memilih bangkit dengan muka bersungut-sungut. "Apa, sih, Ma? Masih pagi, loh, ini. Udah teriak-teriak aja kayak orang utan!" kesal Dara. Wajah perempuan itu tampak kusut dengan rambut acak-acakan. "Pagi matamu! Liat, noh, jam berapa? Ini udah jam 9! Makanya, belajar bangun pagi. Jangan jadi pemalas
Ghani menarik napas dalam sebelum masuk ke kamar. Ia tak menyalahkan sikap istrinya tadi, malah ia merasa bersalah pada perempuan itu. "Yank," panggil Ghani lirih. Tania yang tengah duduk di pinggir ranjang menoleh sekilas, kemudian kembali membuang muka. Bukan ia kesal dengan suaminya, hanya saja sikap mertuanya tadi yang membuat Tania dirundung kesal. "Maafin, Mas." Suara Ghani kembali terdengar, lelaki itu mendekat kearah istrinya. "Mas nggak salah. Kenapa harus minta maaf?" sahut Tania tanpa menoleh. "Ini semua terjadi gara-gara Mas. Kalau saja Mas masih bekerja, kamu pasti nggak akan secapek ini, Yank," sesal Ghani. "Aku yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya aku ngomong gitu tadi ke Mama. Aku ... hanya sedang capek saja, Mas," kata Tania membuat Ghani menggeleng. "Apa yang kamu lakukan tadi nggak salah sama sekali, Yank. Memang sudah seharusnya kamu bisa tegas seperti itu, supaya tidak ditindas terus menerus oleh mereka." Tania menoleh, dia te
"Mas, aku berangkat sekarang, ya? Sarapannya aku taruh di sini," kata Tania pada suaminya yang hanya berbaring diatas tempat tidur. "Iya, Dek. Kamu hati-hati," sahut lelaki itu tersenyum. Tania membalas senyuman suaminya tulus, kemudian ia mendekat dan meraih tangan Ghani dan mengecupnya. Setelah itu, Tania meraih tas selempangnya dan keluar dari kamar. Langkah perempuan itu sedikit tergesa sebab melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah 8. Tania menyalakan mesin motor matic miliknya dan mulai melaju perlahan menuju jalan raya. Tania bekerja sebagai kasir disebuah supermarket yang tak jauh dari rumahnya. Sedang Ghani sudah lama di rumahkan setelah mengalami kecelakaan yang membuat kakinya lumpuh total. * "Assalamu'alaikum!" teriak Sukma –ibu Ghani. Tanpa menunggu salam dari dalam, Sukma masuk begitu saja, terlebih pintu depan rumah anaknya tidak terkunci. "Ghan! Ghani!" Wanita itu berteriak memanggil sang p