Share

Bab 2

Ghani menarik napas dalam sebelum masuk ke kamar. Ia tak menyalahkan sikap istrinya tadi, malah ia merasa bersalah pada perempuan itu.

"Yank," panggil Ghani lirih.

Tania yang tengah duduk di pinggir ranjang menoleh sekilas, kemudian kembali membuang muka. Bukan ia kesal dengan suaminya, hanya saja sikap mertuanya tadi yang membuat Tania dirundung kesal.

"Maafin, Mas." Suara Ghani kembali terdengar, lelaki itu mendekat kearah istrinya.

"Mas nggak salah. Kenapa harus minta maaf?" sahut Tania tanpa menoleh.

"Ini semua terjadi gara-gara Mas. Kalau saja Mas masih bekerja, kamu pasti nggak akan secapek ini, Yank," sesal Ghani.

"Aku yang harusnya minta maaf. Nggak seharusnya aku ngomong gitu tadi ke Mama. Aku ... hanya sedang capek saja, Mas," kata Tania membuat Ghani menggeleng.

"Apa yang kamu lakukan tadi nggak salah sama sekali, Yank. Memang sudah seharusnya kamu bisa tegas seperti itu, supaya tidak ditindas terus menerus oleh mereka."

Tania menoleh, dia terkejut dengan penuturan suaminya. Ghani tidak marah, tapi malah mendukungnya.

"Tapi–"

"Mas memang selalu bela kamu dihadapan Mama dan juga Dara. Tapi kamu juga harus bisa bela diri sendiri, apalagi jika mereka sudah bersikap keterlaluan."

Ghani memotong ucapan Tania. Dia tak ingin istrinya berpikir jika dia lebih berpihak pada keluarganya. Padahal tidak sama sekali.

"Perihal uang yang diminta Mama, jangan kamu pikirkan. Itu bukan bagian dari tanggung jawab kamu, Yank." Ghani meraih tangan istrinya dan menggenggamnya dengan erat.

Tania mengangguk dan tersenyum. Perempuan itu menghembuskan napas lega. Ternyata apa yang ia takutkan tidak terjadi. Sebelumnya ia sempat berpikir jika Ghani akan tersinggung.

*

Sementara itu di rumahnya, Dara tengah memberengut kesal. Pasalnya, permintaannya ternyata tak langsung dituruti oleh kakak iparnya.

"Ini gimana, dong, Ma? Aku, kan, udah janji sama temen-temen mau ngajakin mereka makan bersama di sini. Masa iya aku batalin? Malu dong!" cerocos Dara dengan muka masam.

"Ya, mau gimana lagi? Salah kamu juga, sih! Udah tau uangnya belum ada, malah gaya-gayaan mau bikin acara!" ketus Sukma.

Gara-gara tingkah putri bungsunya, dia jadi ikut-ikutan sakit kepala. Apalagi mendengar Dara yang terus-terusan merengek supaya segera dicarikan uang.

"Coba Mama hubungi Mas Ghali, minta sama dia aja," usul Dara setengah mendesak.

"Mama nggak yakin dia bakal ngasih. Lagian baru beberapa hari lalu dia ngirim uang bulanan, masa iya sekarang minta lagi? Nggak, ah!" tolak Sukma saat diminta menghubungi putra pertamanya.

"Bilang aja biaya mendadak, Ma. Mas Ghali pasti percaya itu," desak Tania, mau tak mau akhirnya Sukma pun menuruti.

Wanita itu meraih ponsel dan mulai menghubungi Ghali. Panggilannya tersambung, tapi beberapa lama menunggu tak ada tanda-tanda Ghali mengangkat panggilannya.

"Nggak diangkat, Ra! Masmu mungkin lagi sibuk," kata Sukma.

"Coba sekali lagi, Ma. Usaha dong!" titah Dara.

Sukma pun berdecak, tapi tetap saja menuruti perintah putrinya.

Sukma mengubungi Ghali yang kedua kalinya. Tak lama, panggilan itu diangkat.

"Halo," sapa seseorang diseberang sana. Sukma menelan ludah, sebab yang menerima panggilannya bukan sang putra, melainkan Lusy–menantunya.

"Ha–halo, Ghali dimana?" Sukma tergagap.

"Mas Ghali lagi mandi, Ma. Kenapa? Ada hal penting?" tanya Lusy.

"Eh, eng ... enggak, kok! Mama cuma mau ngomong sama Ghali aja. Yaudah, nanti kalau Ghali sudah selesai suruh hubungi Mama lagi, ya?"

"Iy–"

Tut! Tanpa menunggu jawaban Lusy, Sukma langsung mematikan panggilan. Sikapnya itu tentu mengundang kesal di hati Lusy. Perempuan itu berdecak dan kembali menaruh ponsel Ghali diatas nakas.

"Kenapa, Yank? Siapa yang nelpon?" Suara Ghali terdengar dibelakangnya, ternyata laki-laki itu sudah selesai menyegarkan tubuh.

"Tau, tuh! Mamamu yang nelpon. Ditanyain ada apa malah main matiin telepon gitu aja," kesal Lusy. Dia keluar dari kamar, meninggalkan Ghali yang berdiri kebingungan.

Ghali mengecek ponselnya, dan benar saja jika sang Mama baru saja menghubungi. Karena penasaran, Ghali menekan tombol panggil. Tak lama panggilan terhubung dan langsung diangkat.

"Halo, Ma, ada apa?" Ghali langsung bertanya setelah menyapa wanita itu.

"Eum, kebetulan kamu langsung nelpon, Ghal. Anu– Mama mau minta tolong sama kamu, kirimin Mama uang 2 juta, ya? Dara butuh uang buat urusan kampus, Mama lagi nggak megang uang, nih!" Sukma bicara panjang lebar.

Terdengar helaan napas Ghali. Lelaki itu memijit pelipisnya, kepalanya mendadak pening mendengar permintaan sang Mama.

"Ghali lagi nggak pegang uang sekarang, Ma. Lagian baru juga beberapa hari lalu Ghali kirimin Mama uang belanja. Masa iya udah habis? Jangan terlalu boros lah, di sini Ghali juga punya tanggungan yang nggak sedikit, Ma," kata Ghali berharap sang Mama paham keadaannya.

"Ya, terus gimana? Mama mau ngadu ke siapa lagi coba kalau bukan ke kamu? Ke Ghani mana bisa? Dia kerja aja enggak. Istrinya kerja, tapi pelitnya minta ampun. Tadi aja Mama sama Dara abis dimarahin sama Tania." Sukma mulai melancarkan aksinya. Suaranya dibuat se-memelas mungkin agar Ghali percaya dengan kebohongannya.

"Nggak mungkin Tania sampai marah kalau Mama sama Dara nggak bikin masalah. Mama minta uang ke mereka, sedang keadaan mereka sendiri Mama tau gimana, kan? Harusnya Mama paham," kata Ghali membela adik serta iparnya.

Sukma berdecih mendengar pembelaan Ghali. Kalau saja tak mengingat tujuannya menghubungi sang putra, sudah jelas ia akan memaki tak jelas.

"Maka dari itu Mama males minta bantuan mereka. Sekarang kamu transfer uangnya ke rekening Mama, ya? Kasihan adikmu kalau kelamaan," kata Sukma sedikit memaksa.

"Nggak bisa, Ma! Kebutuhan aku di sini juga lagi banyak. Mama usaha lah cari bantuan ditempat lain."

Baru saja Sukma hendak menyela, telepon sudah dimatikan sepihak oleh Ghali. Hal itu tentu saja mengundang murka wanita paruh baya itu. Dia terus mengumpat kasar tanpa memperdulikan orang-orang yang mungkin bisa saja mendengarnya.

"Dasar anak-anak kurang ajar!" umpat wanita itu penuh emosi.

Sedang di rumahnya, Ghali menyugar rambut frustasi. Sikap sang ibu yang pemaksa benar-benar menyiksanya.

"Kenapa lagi, Mas? Minta transferan?" Lusy yang sejak tadi memperhatikan suaminya dari balik kamar masuk dan bertanya, lebih tepatnya menebak.

Perempuan itu bukan tak tau kebiasaan mertuanya. Itu sudah jadi hal biasa bagi wanita yang sudah melahirkan suaminya itu, meminta transferan berkali-kali dalam sebulan, seolah anaknya memiliki banyak uang.

"Mulai sekarang jangan mau menuruti keinginan Mama dan juga Dara lagi. Kita di sini butuh banyak biaya juga, Mas. Belum lagi kebutuhan rumah, kebutuhan sekolah anak, mana kita punya anak yang masih bayi lagi. Dan itu tentu memakan banyak biaya setiap bulannya. Mamamu itu taunya minta doang, emang dia mikir gimana sulitnya kita mengatur keuangan di sini?" Lusy mulai mengomel.

Perempuan itu mengeluarkan semua uneg-uneg yang sejak dulu berusaha ia pendam sendiri. Bukan pelit, hanya saja kebutuhan mereka pun tak kalah banyaknya dari sang mertua.

"Ingat, Mas! Mulai hari ini, aku yang akan transfer langsung ke rekening Mama. Hanya jatah belanja bulanan, nggak ada dana tambahan lainnya! Kalau mereka mau hidup berfoya-foya, suruh cari uang sendiri!" tekan Lusy.

Setelah berhasil mengeluarkan kalimat itu, Lusy memilih pergi dari sana, meninggalkan Ghali yang frustasi dengan keadaan yang ada.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status