Share

Bab 3

Keesokan harinya, Sukma disibukkan dengan pekerjaannya di dapur. Wanita itu memasak banyak sekali menu makanan, tak lupa dengan cemilan juga. Ia mengerjakan sendiri, sedang pemilik rencana malah asik menyambung mimpi.

"Dara! Bangun kamu! Bantuin Mama di dapur!" Wanita itu berteriak memanggil putrinya, sebab tak ada respon, dia memilih beranjak ke kamar Dara dan mulai menggedor-gedor pintunya.

"Bangun cepat! Kamu mau Mama mati gara-gara ngerjain semua sendiri, hah?!" Dia kembali berteriak sambil terus menggedor pintu kamar Dara.

Dara meraih bantal dan menutupi seluruh wajahnya, tapi bukannya berhenti gedoran itu malah semakin kencang. Gadis pemalas itu menyerah, kemudian memilih bangkit dengan muka bersungut-sungut.

"Apa, sih, Ma? Masih pagi, loh, ini. Udah teriak-teriak aja kayak orang utan!" kesal Dara. Wajah perempuan itu tampak kusut dengan rambut acak-acakan.

"Pagi matamu! Liat, noh, jam berapa? Ini udah jam 9! Makanya, belajar bangun pagi. Jangan jadi pemalas terus." Sukma mencubit pinggang Dara gemas, hampir saja ia melayangkan sutil di tangannya sebab kesal dengan tingkah Dara.

"Buruan cuci muka! Abis itu ke dapur bantuin Mama. Atau kamu mau makanan itu nggak mateng sampai temen-temenmu datang?" ancam Sukma dan berhasil membuat Dara menyerah. Gadis itu menghentak-hentakkan kaki dan berlalu kembali kedalam kamar.

*

"Mas, keluar, yuk. Temenin aku belanja sayuran," ajak Tania.

Ghani yang tengah duduk di teras menoleh, laki-laki itu baru saja selesai berjemur.

"Ayok. Tapi nggak apa-apa kamu dorongin Mas?" tanya Ghani, dia takut istrinya kecapean.

"Nggak! Bentar, ya, aku kunci pintu dulu." Tania berlalu dan segera mengunci pintu, setelah itu dia kembali dengan dompet di tangannya dan mulai mendorong kursi roda milik Ghani.

Mereka menyusuri setapak sambil berbincang-bincang ringan, sesekali menyapa tetangga.

"Eh, Tania. Nggak kerja?" sapa salah satu tetangganya sembari tersenyum.

"Nanti masuk siang, Bu," sahut Tania ramah. Wanita yang tadi menyapa hanya mengangguk, kemudian mereka kembali berpamitan melanjutkan perjalanan.

Tak lama mereka sampai di warung tujuan. Tania segera masuk dan meninggalkan Ghani diluar.

Perempuan itu mulai memilih sayuran, ia juga membeli bahan dapur yang mulai menipis. Tak lupa sabun cuci dan juga beberapa cemilan untuk dia dan suaminya.

"Kebetulan kamu di sini, Tania. Semalam Bu Sukma sama Dara belanja ke sini. Mereka beli daging dan juga sayur-sayuran, jumlahnya juga nggak sedikit. Saat ibu tanya katanya ada sedikit acara makan-makan bareng temen-temen Dara," kata Bu Sumi–pemilik warung.

Tania yang tengah sibuk memilih tomat menoleh dengan kening berkerut, dia heran untuk apa Bu Sumi menyampaikan hal itu padanya? Agar tak merasa dicueki, Tania memilih merespon sedikit.

"Oh, ya? Tania kurang tau itu, Bu. Soalnya Mama nggak bilang apa-apa sama kita," sahut Tania melirik Ghani sekilas.

"Hitung semuanya, ya, Bu?" lanjut perempuan itu menunjuk beberapa barang belanjaannya.

Bu Sumi mengangguk, wanita itu mulai membawa barang belanjaan Tania dan memasukkannya kedalam kresek besar sambil menghitungnya.

"Ini sekalian sama yang semalam, Tan?" tanya Bu Sumi pada Tania.

Kening Tania berkerut mendengar pertanyaan Bu Sumi, perasaan dia tidak punya hutang apa-apa. Jadi, apa yang wanita itu maksud?

Mendadak perasaan Tania tak enak. Dia berpikir pasti ada yang tidak beres. Dan benar saja, begitu dia tanya ternyata yang Bu Sumi maksud adalah hutang Sukma, mertuanya.

"Semalam waktu Bu Sukma sama Dara belanja itu, mereka bilang bakal dibayar sama kamu. Makanya saya tanya ke kamu," terang Bu Sumi membuat Tania dan Ghani hanya bisa mengurut dada.

"Astaghfirullah ...," ucap Tania pelan. Perempuan itu tentu saja tengah menahan kesal, sebab perbuatan sang mertua yang menurutnya sudah keterlaluan.

"Tapi mereka nggak bilang apa-apa ke kita, Bu. Ya, kalau pun mau dibayarin, kan, setidaknya mereka ngasih tau dulu. Bukannya diam-diam terus malah ngelimpahin hutangnya ke kita," kata Tania pada Bu Sumi, padahal ia sadar wanita itu pun tak tau apa-apa.

"Maaf, Tania. Kalau itu bukan urusan saya, soalnya saya taunya yang bakal bayar itu kamu."

Tania menghembuskan napas pelan. Apa yang dikatakan Bu Sumi benar, yang salah mertuanya kenapa dia harus melimpahkan kesal pada pemilik warung itu.

"Yaudah maaf, Bu. Kalau gitu berapa semuanya?" Tania mengalah, hal itu membuat Ghani semakin merasa bersalah. Disaat seperti ini, dia tak bisa berbuat apa-apa.

"Total belanjaan Bu Sukma itu 750 ribu, ditambah belanjaan kamu 75 ribu. Jadi total semuanya 825 ribu."

Ghani dan Tania kembali terperangah, keduanya membulatkan mata mendengar nominal yang disebutkan Bu Sumi.

“750? Yang benar saja, Bu? Memangnya mereka belanja apa?” Ghani yang sejak tadi hanya menyimak perbincangan istrinya dan Bu Sumi ikut bertanya.

Lelaki itu tentu saja kaget. Nominal hutang yang ditinggalkan Mamanya bukan sedikit.

"Benar, Ghani. Ini sudah saya hitung semuanya. Ibumu dan dara juga beli daging dan ayam, belum lagi bumbu dapur sama sayuran. Mereka juga beli bahan buat bikin kue, makanya jadi sebanyak itu."

Bu Sumi menjelaskan, wanita itu juga memperlihatkan catatannya pada Ghani dan Tania, apa saja yang mereka beli semuanya tercatat di sana. Keduanya cuma bisa geleng-geleng kepala sambil terus beristighfar dalam hati.

"Maaf, Bu. Kalau nominalnya sebesar itu, kami tidak bisa membayarnya. Biar nanti saya kasih tau Mama saja," kata Ghani membuat Tania menoleh padanya.

"Loh, jadinya gimana ini? Saya butuh uang itu buat perputaran modal. Kalau bayarnya kelamaan modal saya bakal kelelep, dong?" sanggah Bu Sumi keberatan.

Tania dan Ghani saling pandang. Lelaki itu menggeleng pada istrinya, berharap perempuan itu tak mau membayar hutang yang ditinggalkan Mamanya.

"Kita bayar aja, Mas. Lagian kasihan Bu Sumi kalau begitu," kata Tania sambil membuka dompetnya.

"Tapi–" Lelaki itu terdiam saat Tania menoleh dan mengangguk dengan senyum tipis.

"Kalau gitu, bayar setengah aja. Mas nggak rela uang kamu habis gara-gara hutang mereka." Ucapan Ghani menghentikan gerakan tangan Tania.

"Boleh, kan, Bu? Kita bayar setengahnya aja?" Ghani beralih menatap Bu Sumi, wanita itu menghela napas berat kemudian mengangguk.

Setelah semua selesai, Ghani dan Tania pergi dari sana. Tak ada yang bersuara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Kita ke rumah Mama dulu, Yank." Suara Ghani memecah keheningan. Terdengar tegas dan penuh penekanan.

"Ngapain, Mas? Mending kita langsung pulang. Ntar aku nggak sempet masak. Soalnya siang, kan, aku masuk kerja," kata Tania berusaha menolak ajakan suaminya.

Bukan tanpa alasan, Tania tau jika Ghani tengah diliputi emosi. Jika dituruti, takutnya malah akan menimbulkan keributan nantinya.

"Kita harus segera menyelesaikan masalah ini. Jika dibiarkan terus, maka mereka akan semakin menjadi-jadi. Mereka sudah keterlaluan, menjual nama kamu agar ingin mereka terpenuhi. Mas nggak suka! kamu itu tanggung jawab Mas. Jadi, jika ada masalah tentang kamu, maka Mas sendiri yang akan menyelesaikannya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status