Bab 07

"Ma, tolong berhenti mengganggu rumah tangga kami. Apa mama nggak bosan begini terus?" ucap Ghani kesal.

"Siapa yang mengganggu rumah tangga kalian? Tanya istrimu itu, kenapa dia tega sekali mempermalukan adikmu didepan banyak orang?" kata Sukma, jarinya sudah menuding Tania dan menatap menantunya tajam.

Tatapan mertuanya tak sedikit pun membuat Tania ciut, perempuan itu malah membalas tatapan Sukma dengan tangan terlipat di dada.

"Ma, kalo anak salah itu, ya, jangan dibela! Bakal kebiasaan sampai tua!" ejek Tania.

"Apa masalahnya untukmu? Aku ini seorang ibu, siapa pun yang berani mengganggu anakku, akan berurusan denganku langsung! Naluri seorang ibu itu memang beda. Kamu mana tau? Hamil aja belum pernah. Dasar mandul!" tukas Sukma.

Tania langsung terdiam mendengar ucapan mertuanya. Dia refleks memegang perut ratanya, pernikahan mereka sudah menginjak satu tahun lebih, tapi sampai sekarang Tania belum juga hamil.

Setelah mengucapkan kalimat menyakitkan itu, Sukma segera beranjak dari sana. Tak ia hiraukan panggilan Ghani yang memintanya agar meralat kembali ucapannya tadi.

Apa yang mau diralat? Toh, memang benar, kan, jika Tania mandul? Pikir Sukma.

Tania berbalik dan berlari menuju kamar. Ghani memanggilnya tapi Tania tetap saja berlalu. Perempuan itu masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya di kasur. Di sana, ia menangis sejadi-jadinya. Ia akan terima jika dikatakan miskin atau ditindas separah apa pun. Tapi sungguh, kata-kata mandul yang mertuanya ucapkan begitu menusuk hatinya.

"Sayang," panggil Ghani mendekati istrinya yang tengah menangis tergugu.

Rasa bersalah kian merajai hati Ghani. Entah tingkah mau pun ucapan mamanya selalu saja menyakiti Tania. Entah apa lagi yang harus ia lakukan agar mama dan adiknya berhenti mengusik ketenangan rumah tangganya.

"Jangan ambil hati ucapan Mama tadi. Kamu kan, tau sendiri kalau Mama ngomong emang ceplas-ceplos begitu," kata Ghani mencoba membujuk istrinya.

Tania menghindari tatapan Ghani. Selama ini dia memang memaklumi setiap kata yang mertuanya keluarkan. Tapi kali ini Tania rasanya sudah tak tahan. Memangnya perempuan mana yang menolak hamil?

"Mama udah keterlaluan, Mas. Kenapa harus keadaanku yang ia jadikan bahan olok-olokan? Memangnya dia pikir itu semua keinginanku? Bukankah dokter sudah bilang tak ada masalah dengan kita? Itu artinya Allah belum memberi rezeki untuk kita, Mas! Tapi apa yang mamamu katakan? Dia dengan tega menuduhku mandul, Mas!" teriak Tania menumpahkan emosinya.

Tania melampiaskan amarahnya pada Ghani, lelaki itu pasrah saja sebab tau jika istrinya pasti sangat terluka sekarang.

Tak ingin sang istri berpikir jika ia tengah membela mamanya, maka Ghani memilih diam dan membiarkan Tania menangis sepuasnya.

Sementara itu, Sukma baru saja sampai di rumahnya. Wanita itu misuh-misuh karena kesal dengan sikap menantunya yang kian hari kian menjadi.

"Gimana, Ma? Mama udah marahin tu perempuan, kan?" tanya Dara.

"Udah! Besok-besok jangan minta Mama yang labrak tuh perempuan mandul lagi. Kamu sendiri aja yang maju," kesal Sukma.

"Lah, kenapa? Mama takut sama dia?" Dara mendekati sang Mama, Sukma mendelik tak suka dengan pertanyaan sang putri.

"Bukannya takut, Ra! Mama cuma bosen aja, masa tiap hari buang-buang tenaga terus buat ribut?" Sekarang giliran Dara yang berdecak kesal.

"Lagian nih, ya, kalau kita ribut terus sama dia, kemana lagi kita cari uang untuk bertahan hidup?" kata Sukma, Dara melengos.

"Masmu yang satunya juga sekarang sama, tadi Mama telpon minta transfer uang malah marah-marah. Mama pusing ini, mana uang tinggal 20 ribu. Besok kita mau makan apa coba?" oceh Sukma sambil memijit pelipisnya.

Wanita itu pusing memikirkan keuangannya. Dulu ia tak perlu susah-susah memikirkan akan makan apa besok, sebab setiap hari ia selalu makan di rumah Tania. Dan sekarang keadaannya berbeda, dia dan Tania sudah terlibat cekcok yang membuat menantunya tak lagi mungkin mengizinkan ia dan Dara untuk menumpang makan di sana.

"Terus kita harus apa, Ma?" tanya Dara ikut pusing. Dia yang biasanya bergaya hedon kini terhalang oleh keuangan yang tak lagi stabil.

"Kita harus baikin Tania. Kita kesana untuk minta maaf, berpura-pura baik padanya adalah pilihan yang tepat saat ini."

"Apa?! Minta maaf sama dia? Mama yang bener aja? Nggak ah, aku nggak mau!" tolak Dara mentah-mentah. Bagaimana bisa dia menjatuhkan harga diri dengan meminta maaf pada perempuan itu?

"Kamu mau tetap hidup apa enggak?" gertak Sukma. Dara menghembuskan napas kasar, mau tak mau dia pun menuruti ucapan sang Mama.

Sukma menarik tangan Dara agar mendekat, kemudian wanita itu membisikkan sesuatu ke telinga sang putri. Dara tersenyum licik mendengar rencana yang sudah mamanya atur. Kedua anak dan ibu itu sama-sama tertawa. Mereka yakin, rencana kali ini pasti akan berhasil.