Share

Bab 4

Sukma merenggangkan otot-otot yang terasa kaku sebab sejak subuh tak berhenti bekerja. Semua makanan yang tadi ia masak sudah terhidang manis diatas meja. Rumah juga sudah rapi, mereka tinggal menunggu kedatangan teman-teman Dara saja.

Tok ... tok ... tok ...

Wanita itu mengernyit heran mendengar suara ketukan di pintu depan, dia melihat jam yang tergantung di dinding meja makan, masih pukul 10 lewat sedikit. Apa mungkin itu teman-teman Dara? Pikirnya.

Sukma bergegas keluar. Saat pintu ia buka, mulutnya menganga melihat siapa yang datang. Ternyata bukan teman-teman Dara, melainkan Ghani dan Tania.

"Ngapain kalian kemari?" ketus wanita itu.

Bukannya mempersilahkan anak dan menantunya untuk masuk, dia malah berdiri didepan pintu dengan tangan bersedekap di dada, tak lupa tatapan sinis ia layangkan.

"Aku mau ngomong sama Mama dan juga Dara. Kita masuk dulu," kata Ghani. Lelaki itu meminta agar sang istri mendorong kursi rodanya masuk.

"Eh, eh ... kalian mau kemana? Kalau mau ngomong, ya, di sini aja! Ngapain malah masuk kedalam segala?" cegah Sukma saat Tania dan Ghani berhasil masuk.

Keduanya tak menghiraukan ucapan Sukma, mereka terus berlalu dan berhenti di ruang tamu. Tak lama wanita itu pun menyusul dengan wajah masamnya.

"Sebenarnya kalian mau ngomongin apa? Buruan! Mama nggak punya banyak waktu!" ketus Sukma sinis.

"Memangnya Mama mau kemana? Nungguin tamu-tamu yang diundang Dara?" sindir Ghani tak kalah sinis.

Sukma sempat tergemap, tapi kembali bisa menguasai diri. Wanita itu menatap menantu dan anaknya pongah.

"Jadi kalian sudah tau? Baguslah! Kalau begitu, silahkan kalian pulang. Kalian tak ada undangan, bukan?" usir Sukma.

"Kami akan pulang, tapi bayar dulu hutang yang Mama tinggalkan atas nama Tania di warung Bu Sukma! Totalnya ada 750 ribu," tekan Ghani menatap Mamanya tajam.

"Dasar pelit! Harusnya kalau kalian sudah bayar nggak perlu minta lagi sama Mama, dong! Mau jadi anak durhaka kalian?" timpal Dara.

Gadis itu baru saja keluar dari kamarnya sebab mendengar sedikit keributan. Sama seperti sang Mama, dia ikut bersikap pongah terhadap kakak dan iparnya.

"Yang punya acara siapa? Kamu, kan? Harusnya kamu yang bayar semuanya, bukan malah kami! Seperti yang Mama katakan tadi, kami tidak diundang, tapi kenapa malah kami yang harus bayar?" Kali ini Tania yang bersuara.

"Makanya jangan miskin! Jadi kerasa banget, kan, kalo ngeluarin duit? Padahal nominalnya juga nggak banyak, kok. Nggak nyampe jutaan, kan?" ejek Dara tak tau malu.

"Ngomongin kita miskin, tapi minta bayarin ke kita juga, kan? Jadi yang miskin itu siapa? Aku, atau kamu?" balas Tania sinis.

"Amalan buruk apa, sih, yang Mama kerjakan dulu sampai-sampai dapat menantu kurang ajar kayak gini?"

"Dara! Jangan ucapanmu! Dimana letak sopan santunmu itu, hah? Begini sikap anak berpendidikan tinggi menurutmu?" bentak Ghani.

Wajah lelaki itu sudah memerah menahan amarah, Tania segera mengusap-usap bahu suaminya agar lelaki itu bisa lebih tenang.

Tanpa rasa bersalah, Dara malah mencibir Ghani. Menurutnya sikap Ghani sangat berlebihan dalam membela istrinya.

"Sudah, Mas. Tahan emosimu," kata Tania menenangkan.

"Mending kalian pulang, deh! Bikin keributan aja!" Untuk kedua kalinya, Sukma mengusir Ghani dan Tania.

"Bayar dulu!" tekan Ghani menatap Mamanya tajam.

"Nggak! Mama nggak punya uang. Sesekali kalian yang bayarin nggak bakal jadi masalah. Yang ada malah rejeki kalian itu akan semakin meluber-luber." Tanpa tau malu, Sukma tetap menolak membayar uang Tania.

"Baiklah. Kalau begitu, bawa pulang semua makanan yang mereka masak, Yank! Atau kalau kamu nggak sanggup, acak-acak aja semuanya, biar mereka malu acaranya batal gitu aja," titah Ghani.

Lelaki itu memberi kode pada istrinya, agar Tania segera bertindak. Mendengar ancaman Ghani, tentu saja membuat Sukma dan Dara panik.

"Eh, jangan kurang ajar, ya, kamu!" pekik Sukma saat Tania mulai berjalan ke arah dapur.

Sukma dan Dara bergegas mengikuti langkah Tania, begitu juga dengan Ghani. Lelaki itu terkekeh melihat kepanikan Mama dan adiknya, padahal jelas itu hanya sebuah gertakan saja.

"Tania! Taruh kembali!" perintah Sukma tegas. Matanya sudah menatap Tania tajam, sebenarnya perempuan itu sedikit takut, sebab baru kali ini melihat kemarahan tampak jelas di wajah mertuanya.

"Bayar dulu, atau semua ini akan benar-benar aku acak-acak?" gertak Tania sembari menadahkan tangan.

"Kamu!" Sukma mengeram kesal.

Kepanikan Sukma dan Dara makin bertambah begitu mendengar suara klakson mobil dari arah luar. Wajah gadis itu memucat, apalagi ia yakin jika itu adalah teman-temannya.

Apa kata mereka jika sampai menyaksikan kekacauan yang ada? Gadis itu frustasi, kemudian dengan terpaksa meminta sang Mama agar membayar saja uang Tania.

"Bayar, Ma! Temen-temen aku udah pada datang itu!" desak Dara.

"Tap–" Belum sempat Sukma menyelesaikan ucapannya, suara ketukan pintu disertai ucapan salam terdengar. Dara makin panik, kemudian gegas keluar menuju pintu depan.

Dengan terpaksa, Sukma mengalah. Wanita itu meraih dompet yang ia simpan pada saku dasternya, kemudian mengeluarkan lembaran uang merah dan menghitungnya.

Belum sempat ia selesai menghitung uang di tangannya, Tania sudah lebih dulu menyambar. Ingin Sukma memaki, tapi keadaan tak memungkinkan. Terlebih ia mendengar suara teman-teman Dara yang sudah masuk kedalam rumah.

"Lebih 50 ribu. Itung-itung bonus, gara-gara Mama udah berani jual nama aku di warung Bu Sumi." Tania mengibas-ngibaskan lembaran uang itu, senyum perempuan itu merekah, begitu juga dengan Ghani.

"Dan ingat, ini terakhir kalinya kalian membuat tingkah memalukan seperti ini. Jangan sampai aku dan Tania bertindak lebih jauh. Kami menghargai Mama, jadi tolong hargai kami juga." Ghani menekankan setiap katanya.

Setelah dirasa cukup, Ghani mengajak Tania pergi dari sana. Saat di ruang tamu, mereka berpas-pasan dengan teman-teman Dara, mereka tersenyum menyapa dan dibalas hal serupa oleh Ghani dan Tania. Tanpa mereka sadari, sebelumnya peperangan hampir saja terjadi jika mereka tak datang tepat waktu.

*

Dua hari sudah berlalu sejak kejadian itu. Tania merasa hidupnya sudah lebih tenang, terlebih mertua dan juga iparnya sudah tak pernah datang lagi ke rumahnya.

Untuk pertama kalinya Tania merasa hidup yang benar-benar hidup. Ternyata benar kata orang-orang, menjauh dari orang-orang toxic adalah salah satu cara mewaraskan diri.

Namun, ketenangannya ternyata tak berlangsung lama. Pagi itu, Tania sedang bersiap-siap hendak menaiki motornya, tapi seseorang malah datang dan menagih uang yang sama sekali tak pernah ia pinjam.

"Maaf, Mbak Hani. Tapi uang apa? Saya nggak pernah minjem perasaan. Atau Mas Ghani yang ngutang?" tanya Tania. Dia pikir mungkin suaminya yang sudah meminjam uang dan lupa membayar, meski dirinya sendiri tak yakin suaminya seperti itu.

"Bukan. Yang ngutang memang bukan kamu atau Mas Ghani. Tapi Dara, adik iparmu."

Mata Tania membulat mendengar pernyataan perempuan didepannya. Ternyata pikirannya salah, dia pikir mereka sudah benar-benar lepas dari dua manusia toxic itu, nyatanya mereka makin menjadi.

Dada Tania bergemuruh menahan amarah. Tangannya mengepal. Namun, sebisa mungkin ia mencoba bersikap tenang. Berulang kali perempuan itu menarik napas dalam dan menghembuskan secara perlahan.

'Ternyata kamu semakin berani, Dara. Lihat saja bagaimana aku mempermalukanmu didepan banyak orang!' batin Tania penuh amarah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status