Pagi hari setelah bangun tidur, Raina duduk dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kasur, lalu ia mengambil gelas berisikan air di meja sebelah kiri kasur. Setelah minum, ia melakukan sedikit peregangan, beranjak dari kasur, lalu membuka jendela dan menghirup udara segar sebentar. Itu semua adalah rutinitas pagi Raina sebelum ia keluar kamar tidur nya di pagi hari.
Raina menuruni anak tangga, ia segera berjalan menuju dapur untuk membantu mama nya memasak, menu hari ini cukup mudah yaitu nasi goreng daging sapi dengan telur orak-arik dan juga jus melon tanpa gula ataupun pemanis apapun.
“Mah hari ini aku izin ya mau ke pameran.” Raina sedang membuat telur orak-arik.
“Ke pameran apa kak, lukisan? sama siapa?” Mama menuturkan pertanyaan.
“Iya pameran lukisan, sama Tian boleh kan mah?” Raina beralih menatap wajah mamahnya.
“Mama sih boleh aja asalkan kamu tahu waktu, izin sama papa juga nanti ya.”
“Makasih ma, iya nanti aku izin papa juga kok.” Raina tersenyum senang, mama pun juga tersenyum. Tidak lama Aruma datang ke dapur, ia baru pulang dari bersepeda dengan Berlian dan Arvian. Ia membantu untuk menata makanan di meja makan, mengambil piring dan sendok.
“Rum, kamu udah cuci tangan belum?” Mama memotong melon untuk di blender.
“Udah ma.” Aruma mengisi air di gelas nya dari dispenser dekat meja makan.
Mama Ajeng memanggil Papa, Rifki, dan Arvian yang sedang menonton televisi, lalu mereka semua berkumpul di meja makan dan menikmati sarapan.
“Pa, nanti aku izin mau ke pameran ya.” Raina menuang jus ke dalam gelas nya.
“Kamu mau ke pameran apa lagi Ra?” Raina memang sering pergi ke pameran.
“Pameran lukisan pa, sama Tian kok, boleh kan?” Raina memohon pada papa nya.
“Kamu itu apa-apa tentang lukisan terus, kayak nggak ada yang lain aja.” Papa menggelengkan kepala nya, lalu meminum jus nya.
“Aku kan suka lukisan pa, boleh kan?” Raina mengulangi pertanyaan nya.
“Sudah bolehin aja pa, dia kan memang suka melukis ataupun hal-hal yang berhubungan sama seni, dia jadi tambah wawasannya juga kan.” Mama membujuk.
“Ya boleh, tapi jangan kesorean pulang nya. Nanti kamu bawa motor?” Papa akhirnya mengizinkan Raina.
“Nggak akan ke sorean kok, makasih ya papa mama. Aku nggak bawa motor, barengan aja sama Tian.” Raina meminum jus yang sudah ia tuang sejak tadi.
“Kamu jangan ngerepotin Tian terus ya, kenapa nggak bawa motor sendiri?”
“Lagi males nyetir pa, tenang aja aku nggak banyak repotin dia kok.” Raina meringis dan mengacungkan kedua jempol nya. Papa nya hanya geleng-geleng saja. Hari ini Rifki, Arvian, dan Aruma berencana untuk berjalan-jalan mengelilingi kota.
“Ra kamu mau ke pameran jam berapa?” Rifki bertanya pada adik nya.
“Jam sembilan berangkat dari rumah mas, kenapa?” Raina menaruh gelas nya di meja.
“Tadinya mas mau ajak kalian bertiga jalan-jalan, udah lama nggak pergi berempat.” Rifki memakan suapan terakhir nasi goreng nya.
“Yah aku nggak bisa ikut dong ya, nggak enak udah janji sama Tian.” Raina terlihat sedih.
“Jangan sedih gitu dong, kan bisa ikut lain kali, ya kan dik?” Arvian menoleh kearah Aruma yang berada di kursi hadapan nya.
“Iya, betul tuh kata mas Arvi.” Aruma menepuk pundak Raina.
“Pokoknya lain kali aku harus ikut lho, bilangin ke aku dari hari sebelumnya mas.” Raina menatap kearah Rifki.
“Iya tenang aja Ra.” Rifki menganggukkan kepala nya.
Selesai makan dan mengobrol, Raina mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke pameran, ia mengenakan Kemeja lengan pendek berwarna army polos dan celana kulot bahan berwarna hitam yang ia padukan dengan tote bag hitam berbahan kanvas. Setelah selesai berpakaian, ia menuruni anak tangga, disana adik dan kedua kakak nya juga sudah siap untuk pergi, begitu pun dengan mama papa nya yang akan pergi ke kondangan. Raina masuk ke kamar orang tua nya tanpa mengetuk, karena pintu nya sedang terbuka.
“Mama sama papa mau berangkat sekarang juga?” Raina bertanya pada mama nya.
“Iya acara nya kan mulai jam sepuluh, perjalanan dari rumah ke sana aja lebih dari satu jam.” Mama menjelaskan sambil memilih warna lipstick yang akan ia pakai.
“Jauh banget ma, emang itu nikahan siapa?” Aruma tiba-tiba saja datang.
“Anak teman SMA papa mu dulu, kalian coba sini tolong pilihin, mama bagusan pakai lipstick warna apa?” Mama belum juga selesai memilih, sekarang ia menanyakan pada kedua putri nya itu. Kedua nya melihat ke meja rias dengan delapan warna lipstick yang berbeda.
“Pakai yang ini aja ma.” Raina mengambil lipstik warna peach.
“Emang itu cocok di mama ya, terlalu terang nggak?” Mama sedikit ragu.
“Cocok ma, bagus itu nggak keterangan.” Aruma memberikan pendapat.
Terdengar suara ketukan dari pintu depan, Arvian membuka pintu, rupanya Tian sudah datang, Arvian mempersilahkan Tian masuk ke ruang keluaga. Ia mencium tangan papa Raina, dan duduk di sofa dengan papa, Rifki, dan Arvian.
“Tian maaf ya Hira ngerepotin kamu terus.” Papa menepuk pundak Tian.
“Nggak apa-apa udah biasa kok pa.” Perkataan Tian membuat mereka ber empat tertawa.
“Gantian repotin dia aja Ian.” Arvian ikut mengobrol.
“Tenang aja mas, kita sama-sama suka ngerepotin.” Memang itu kenyataannya.
“Bisa aja lo. Udah lama nggak ketemu nih, apa kabar Ian?”
“Baik mas. Lagi sibuk sama percetakan ya.” Rifki mengangguk.
“Pasti baik lah mas, buktinya dia masih bisa nyetir kesini, ya kan Ian?”
“Iya seratus buat mas Arvi.” Tian bertepuk tangan lalu mereka ber empat tertawa.
Setelah selesai memakai lipstick, berdandan, dan merapihkan pakaian, mama dan kedua putri nya keluar kamar saat pria-pria di sofa sedang tertawa.
“Eh Ian, kamu udah sarapan belum?” Mama bertanya dengan heboh.
“Udah, wah mama cantik banget.” Mata Tian berbinar lalu ia mencium tangan mama.
“Aduh kamu ini mama jadi malu, biasanya memang mama nggak cantik?” Mama bergurau.
“Mama mah setiap hari cantik.” Tian menggombali mama, lalu semua tertawa.
Setelah siap, mereka berangkat ke tujuan masing-masing, mama dan papa pergi terlebih dahulu dengan mobil berwarna hitam. Rifki mengeluarkan mobil berwarna putih, lalu Arvian dan Aruma menaiki nya. Tian juga mengeluarkan sepeda motor nya, ketika Raina sedang mengambil sepatu, ia memilih sepatu kanvas berwarna army. Raina pun keluar dan mengunci gerbang rumah nya, dirumah ia tidak memiliki satpam, maupun asisten rumah tangga yang tinggal menetap di rumah mereka, jadi saat semua pergi, rumah dalam keadaan kosong.
Rifki menitipkan pesan pada Tian agar menjaga Hira dan jangan macam-macam pada nya, walau ia tahu Tian tidak akan berbuat hal tidak pantas, tetapi ia tetap berjaga-jaga. Setelah Raina menaiki sepeda motor Tian, adik dan kakak Raina melambaikan tangan pada mereka.
“Tian, tadi mas Rifki ngomong apa sama lo?” Raina memakai helm milik nya.
“Jangan mau boncengin lo lagi, soalnya berat.” Tian berbicara dengan santai.
“Nggak mungkin, boong lo.” Raina memukul pelan punggung Tian, sedangkan yang di pukul hanya tertawa saja. Disepanjang jalan mereka banyak mengobrol dan bergurau, lalu bertukar cerita satu sama lain.
Setelah sampai di pameran, Tian memarkirkan motornya, melepaskan helm dan turun dari motor nya, begitu pun dengan Raina. Mereka berdua memasuki gedung tempat pameran berlangsung dan mengikuti rangkaian acara yang berlangsung.
…
Pagi setelah bangun tidur, Tian membuka jendela nya, menghirup udara segar dan melihat pemandangan di depan gerbang rumah nya dengan pepohonan yang lebat. Tian menuruni anak tangga, ia melihat Bunda dan kakak nya sedang memasak di dapur sedangkan adik nya sedang mengikat rambut, Berlian memakai kaos oversize lengan pendek berwarna biru dan celana berwarna hitam sebawah lutut.
“Lia mau kemana pagi-pagi?” Tian duduk di kursi bar yang terletak di dapur.
“Mau naik sepeda keliling komplek sama Aruma, kak Arvi.” Berlian mengambil botol minum yang ada di meja hadapan Tian untuk dibawa nya bersepada.
“Kalau nanti ada jajanan gitu, beli ya Li.” Tian mengambil segelas air di meja dan meminumnya. Lia pura-pura berfikir, ia mengetukkan jari telunjuk nya ke kepala.
“Beliin nggak ya? aku mau berangkat sekarang, liat nanti ya kak.” Berlian tertawa lalu ia mencium tangan ibu nya dan keluar rumah dengan sepeda nya.
Tian pindah ke teras rumah, ia duduk di kursi kayu dengan ayah nya yang sedang meminum secangkir kopi hangat dan membaca koran. Udara pagi itu membuatnya ingin bermalas-malasan, tetapi pikiran itu segera hilang karena ia merasa bosan, Tian memilih untuk menyiram tanaman di halaman rumah nya, lalu bermain dengan Choco dan Sunny, kucing peliharaannya yang baru berumur lima bulan, kedua nya sama-sama memiliki ras kucing Scottish fold, choco berwarna putih, dan sunny berwarna krem.
“Ian bawa Choco sama Sunny ke dalem gih, udah kakak siapin makanan mereka. Habis itu kamu cuci tangan,sarapan, bunda udah selesai masak.” Mutiara menhampiri Tian yang masih berada di halaman rumah.
“Iya kak, ini mereka juga udah laper kayaknya.” Tian menggendong mereka.
“Mereka atau kamu yang laper?” Mutiara merapihkan cangkir yang sudah kosong.
“Dua-dua nya kak.” Tian dan Mutiara tertawa, lalu mereka masuk ke dalam rumah.
Pada waktu yang bersamaan Berlian membuka pintu gerbang lalu memasukkan sepeda nya, ia selesai bersepeda setelah satu jam. Terlihat di tangan kanannya ia membawa kantung plastik berwarna putih.
“Lia kamu cuci tangan dulu ya, habis itu kita sarapan.” Mutiara mengingatkan.
“Oke. Kak tolong bawain ini ke dapur ya, tadi aku beli kue pukis.” Berlian memberikan kantung plastik tadi, karena ia ingin memarkirkan sepedanya ke garasi terlebih dahulu. Tian membawa Sunny dan Choco ke dapur, setiap pagi mereka makan di dekat meja makan agar sarapan bersama keluarga Tian.
Tian dan keluarga nya sudah berkumpul di meja makan, Bunda membuat lasagna dan teh lemon hangat untuk sarapan. Mereka makan, mengobrol bersama dan sesekali bermain dengan sunny dan choco ketika makanan mereka sudah habis.
“Ayah, bunda aku mau ke pameran hari ini sama Hira.” Tian menyuap potongan lasagna terakhir nya.
“Pasti ke pameran lukisan lagi, jam berapa kesana nya? Bunda mengelus lembut Choco dan Sunny secara bergantian.
“Hehe iya ke pameran lukisan, jam sembian bun.” Bunda sudah hafal tujuan Tian.
“Kamu hati-hati nanti, berangkat naik apa, mobil?” Sekarang Ayah yang bertanya.
“Naik motor yah, lagi males bawa mobil.” Tian sekarang menggendong Choco.
“Yaudah nanti kamu jangan macam-macam ya, jagain Hira, jangan ngebut juga bawa motor nya.” Ayah memberikan nasihat, lalu Tian mengangguk anggukkan kepala nya. Mutiara mengambil pukis yang sudah ia tata di piring dari meja bar dan membawa nya ke meja makan putih itu.
“Ian pergi nya sama Hira terus, kamu suka sama dia ya?” Mutiara menggoda nya.
“Ye apaan, emang kakak mau ikut ke pameran?” Tian mengambil sepotong pukis.
“Nggak sih, maksudku kamu lebih sering sama Hira daripada teman cowo kamu.” “Karena dia paling deket rumah nya kak, sering main sama yang lain juga kok.” Tian memasang senyum segaris, kemudian yang lain tertawa melihat nya.
“Hari ini aku sama kak Mutiara juga mau keluar, bawa Sunny sama Choco ke dokter hewan buat di cek.” Berlian membawa Sunny ke pangkuannya.
“Bunda sama Ayah mau jalan-jalan juga deh kalo gitu, jadi pergi semua hari ini.”
“Tiba-tiba gini, mau ngapain ke mall bun?” Ayah kebingungan.
“Belanja lah, makan-makan, jalan-jalan, cari mainan buat Sunny sama Choco.” Bunda tersenyum. Ayah hanya memasang wajah datar saja.
Tian bersiap-siap untuk berangkat, ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna army yang dilapisi dengan jaket denim, celana panjang berwarna hitam dan sepatu kanvas berwarna hitam, ia juga membawa tas kecil yang berwarna hitam untuk menaruh kamera dan barang-barang nya. Setelah selesai, Tian menelepon Raina untuk memberi tahu bahwa ia akan segera berangkat.
“Sunny sama Choco kok nggak ada di kandang, mereka di mana bun?” Tian.
“Mereka lagi ke dokter hewan kan sama kakak, adik kamu.” Bunda mengingatkan.
“Oh sudah berangkat, kirain nggak bakal sepagi ini. Kalau gitu aku pamit ya mau berangkat sekarang.” Tian mencium tangan kedua orang tua nya.
“Hati-hati ya Ian, jangan lupa bawa jas hujan, cuaca hari ini agak mendung.” Ayah. “Iya, udah ada di dalam bagasi kok jas hujan nya.” Tian.
“Ya sudah sana berangkat, salam buat Hira ya.” Bunda menitipkan salam nya.
Tian berangkat dengan sepeda motor nya, ia tidak membawa helm lagi, karena Raina akan memakai helm milik nya sendiri. Ketika sampai di rumah Raina, ia berbincang dahulu dengan keluarga Raina, rupanya semua orang di rumah itu juga akan pergi, karena mereka semua terlihat berpakaian rapi, baik formal maupun santai. Ketika Raina sedang mengunci pintu, Rifki berbicara dengan Tian.
“Tian titip jagain Hira, jangan macam-macam lo ya.” Rifki berbicara dari dalam mobil, ia dan adik-adik nya akan berangkat jika Raina sudah menaiki motor Tian.
“Iya siap mas, walau pun ngerepotin, bakal tetep dijagain kok.” Tian bergurau.
“Walaupun ngerepotin gitu, lo suka kan?” Rifki menaikkan sebelah alisnya.
“Nggak mungkin lah mas, dia juga ngeselin orangnya.” Tian berusaha tenang walaupun jantung nya berdetak sangat cepat karena perkataan Rifki barusan. Rifki hanya tertawa melihat tingkah Tian, setelah Raina menaiki motor, mereka berangkat ke tujuan yang berbeda.
“Ra kan udara nya agak dingin, lo kenapa nggak pake jaket?” Tian baru menyadari nya saat mereka hampir sampai ke tempat pameran dilaksanakan.
“Males dan nggak terlalu dingin juga sekarang, lagian gue kan nggak lebay kayak lo, pergi jauh sedikit pakai jaket.” Raina menjulurkan lidah kearah kaca spion.
“Bukan lebay, tapi biar gak masuk angin.” Tian melihat Raina dari kaca spion.
Mereka tiba di pameran, hari ini pengunjung yang datang cukup ramai, mungkin karena akhir pekan. Tian melepaskan jaket dan menaruh nya di bagasi, lalu mereka berdua masuk ke dalam pameran. Tian mengambil foto di setiap sudut pameran, pasti nya ia juga mengambil foto Raina maupun diri nya sendiri.
“Ian tolong fotoin gue di sini dong.” Raina berdiri di samping lukisan yang memiliki tinggi dua kali lipat dari tubuh nya itu, lalu Tian memotret dengan kamera nya dan ponsel milik Raina, setelah Tian memotret Raina, sekarang giliran Raina yang memotret Tian, dan terakhir mereka meminta tolong orang lain, untuk mengambil foto mereka berdua.
“Ian baju kita kok bisa mirip gini sih.” Ia baru menyadari nya setelah melihat hasil foto mereka berdua.
“Lah lo kemana aja dari tadi, baru nyadar sekarang.” Tian hanya terdiam.
“Sama sekali gak nyadar, lo ngikutin baju gue mulu sih.” Raina menyipitkan mata.
“Ngikutin dari mana nya, gue udah niat pake baju ini dari semalem.”
“Gue udah dari kemaren pagi.” Raina beralasan karena tidak mau kalah dari Tian. “Bohong banget lo, sebenernya lo yang ngikutin gue kan?” Tian menyelidik.
“Ngapain gue ngikutin lo.” Raina melanjutkan berkeliling meninggalkan Tian.
Setelah cukup lama mengelilingi pameran, mereka berdua pergi ke restoran untuk makan siang. Raina memesan nasi goreng udang dan ice chocolate untuk makan siang nya, sedangkan Tian memesan Nasi bistik ayam dan jus melon.
"Ian gue mau cerita." Raina menghentikan makan nya, ia terlihat bersemangat. "Yaudah cerita aja." Tian mengambil sesendok nasi dan menyuapkan ke mulut nya. "Soal kemarin gue jalan sama kak Nio." Raina menatap wajah Tian, yang ditatap terlihat tidak antusias untuk mendengarkan. Saat berbicara Raina memang lebih nyaman untuk melihat wajah lawan bicara nya, fakta itu tentu diketahui oleh Tian, tetapi ia malas untuk mendengarkan hal yang berhubungan dengan Nio. "Tian Pramana Putra liat ke arah gue dong." Raina menggoyangkan lengan kiri Tian, karena Tian masih asyik dengan makanannya. " Iya iya, ayo cerita sekarang." Tian yang melihat Raina mulai kesal, mengalihkan pandangan dari makanannya menjadi ke arah lawan bicara nya itu, lalu ia menempatkan kedua tangannya di bawah dagu. "Jadi habis pulang dari kelas lukis, dia beneran ngajak gue jalan dong, kita nonton bioskop, makan berdua, dan.... dia minta nomor telepon gu
Pagi ini, ketika ayam mulai berkokok, dan burung-burung bernyanyi dengan riang, cahaya matahari pagi yang baru saja terbit masuk ke dalam kamar Raina, melalui celah-celah yang ada pada jendela, udara pagi yang sangat menyenangkan. Raina sudah bangun sejak pagi tadi, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena itu ia memutuskan untuk bangun dan tidak melanjutkan tidur nya. Sekarang Raina sedang duduk di sofa lantai kesukaan nya yang berwarna coklat, ia termenung beberapa saat dan memutuskan untuk melukis sejenak sebelum memulai rutinitas pagi nya.Sebelum melukis, ia mencari posisi ternyaman dan mengarahkan sofa nya untuk menyampingi jendela, agar cahaya matahari dapat menerangi dari sisi kiri nya dan ia bisa merasakan kehangatan dari cahaya itu. Raina ingin melukis untuk meluapkan segala perasaannya sekarang, perasaan yang bercampur aduk. Perlahan ia mulai memberi warna dan menuangkan satu persatu perasaannya ke dalam kanvas kecil itu. Sekarang jam menunjukkan pukul enam kuran
Raina sampai di rumahnya lima menit sebelum pukul enam. "Ra, makasih ya udah mau jalan-jalan sama aku." "Iya, sama-sama kak. Makasih juga udah ngajak aku." "Yaudah aku pulang dulu ya, kamu masuk gih, bersih-bersih terus istirahat." Nio tersenyum. "Iya, hati-hati ya kak nyetirnya." Raina juga tersenyum. Nio melajukan motor nya, dan Raina pun segera masuk ke dalam rumahnya, ia membuka pintu perlahan, lalu berjalan melewati ruang tamu, disana tidak ada siapa pun. Ia memasuki ruang keluarga, terlihat adiknya yang sedang menonton televisi, Aruma. "Rum, yang lain dimana?" Raina bertanya pada adiknya, tapi tidak ada jawaban dari gadis itu, ia tetap asik dengan televisinya, seolah-olah tidak ada yang mengajak nya berbicara. "Aruma, jawab dong, kamu denger nggak sih." Raina terlihat sedikit jengkel, ia akhirnya menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Raina sudah selesai mandi, ia merebahkan badan
Halo semua!! Pertama saya ingin meminta maaf kepada semua pembaca, dikarenakan sudah cukup lama saya belum memposting bab baru. Tentu penyebab utamanya karena saya sedang banyak kesibukan, dan kondisi tubuh terkadang menjadi kurang sehat, jadi belum sempat untuk melanjutkan cerita. Kedua, saya ingin berterima kasih kepada semua yang sudah membaca cerita saya, dan setia menunggu setiap bab baru (walaupun jadwal saya memposting sangat tidak teratur). Setelah kesibukan ini, saya akan berusaha melanjutkan cerita dengan baik, dan menyajikannya kepada para pembaca. Terakhir, untuk semuanya jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatan, dan tidur yang cukup. Nantikan bab-bab yang akan tersedia selanjutnya ya~! Terima kasih banyak :)
Hari sabtu pagi Raina pergi ke sekolah untuk ikut kelas melukis, bakat melukisnya itu sudah ada sedari ia duduk di Sekolah Dasar, ia pun juga sudah mengikuti berbagai perlombaan, ia bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis. Sebelum ke sekolah ia bertemu dengan seseorang terlebih dahulu di cafe dengan mengendarai sepeda motor nya. Ia memasuki cafe dan melihat seorang pria melambaikan tangan, pria itu adalah teman sekolah sekaligus sahbatnya yang juga mengikuti kelas melukis, ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hitam dan celana panjang denim. “Tian kok baju lo mirip sama gue, ngikutin ya.” Raina yang juga mengenakan kemeja hitam tetapi lengan panjang dan celana panjang denim. “Lo kali yang ngikutin gue, udah duduk cepetan.” Tian menyuruhnya. “Iya ini