Hari sabtu pagi Raina pergi ke sekolah untuk ikut kelas melukis, bakat melukisnya itu sudah ada sedari ia duduk di Sekolah Dasar, ia pun juga sudah mengikuti berbagai perlombaan, ia bercita-cita untuk menjadi seorang pelukis. Sebelum ke sekolah ia bertemu dengan seseorang terlebih dahulu di cafe dengan mengendarai sepeda motor nya. Ia memasuki cafe dan melihat seorang pria melambaikan tangan, pria itu adalah teman sekolah sekaligus sahbatnya yang juga mengikuti kelas melukis, ia mengenakan kemeja lengan pendek berwarna hitam dan celana panjang denim.
“Tian kok baju lo mirip sama gue, ngikutin ya.” Raina yang juga mengenakan kemeja hitam tetapi lengan panjang dan celana panjang denim.
“Lo kali yang ngikutin gue, udah duduk cepetan.” Tian menyuruhnya.
“Iya ini gue duduk, lo udah pesen?” Raina menaruh tas nya di kursi samping nya.
“Udah, lo juga udah gue pesenin beef sandwich sama ice chocolate.”
“Pas banget gue lagi mau sandwich sama minuman cokelat, lo pesen spaghetti?”
“Iya sama jus melon, lo mah emang setiap hari minumnya cokelat.” Tian menyipitkan mata.
Setelah pesanan datang, mereka segera menyantap nya sambil mengobrol tentang lukisan, pameran yang akan mereka datangi, dan tentang apa saja. Selesai makan, mereka pergi ke sekolah bersama, Raina mengendarai sepeda motornya, begitupun dengan Tian yang mengendarai sepeda motornya juga.
Mereka memasuki ruangan ber ac, dengan kursi yang masing-masing terpisah. Terdapat 10 siswa per kelas, di dalam nya sudah tersedia kursi, easel atau papan untuk menjepit kanvas, dan kanvas. Jadi para siswa hanya perlu membawa kuas, palet dan cat saja dari rumah. Raina dan Tian duduk bersebelahan.
“Na tau gak sih, tadi ada kak Nio nyariin elo.” Vania menghampiri Raina dan berkata dengan penuh semangat. Nio adalah kakak kelas mereka yang disukai oleh Raina sejak kelas 1SMA, sekarang Raina kelas 2 SMA.
“Oh iya, ngapain dia nyariin gue?” Raina tersenyum senang.
“Nanti selesai kelas ditunggu di depan gerbang sekolah katanya.” Ara mengedipkan mata.
“Kalian nggak bohongin gue kan?” Raina memastikan karena ia cukup terkejut.
“Nggak lah, masa lo nggak percaya sama kita.” Ara menutup mulutnya dengan tangan kanan.
“Bukannya gue nggak percaya sama kalian, tapi gue kaget banget ini.” Raina.
“Iya kita paham kok, sukses nanti ya.” Vania tersenyum dan menepuk bahu Raina.
“Cie kayaknya lo mau diajak jalan nih, Tian sabar ya,” Ara menggoda Raina dan Tian.
“Emang nya gue kenapa?” Tian melihat wajah Ara dengan ekspresi datar andalannya.
“Santai bro maksud gue tuh karena lo selalu bareng sama Raina, gitu loh.” Ara menjelaskan. Tian hanya geleng-geleng saja, dan mereka bertiga tertawa.
Guru lukis mereka sudah masuk ke kelas, Vania dan Ara kembali ke tempat duduk mereka, dan kelas pun dimulai. Tema melukis hari ini adalah ‘hubungan manusia dengan alam sekitarnya’, mereka bebas melukis apa saja asalkan sesuai dengan tema yang diberikan. Setelah dua jam, kelas pun selesai.
“Ian lo pulang sendiri nggak apa-apa kan?” Raina merapihkan barang-barang nya.
“Ya nggak papa lah, lebay lo. Nanti gue mau ke pameran ah.” Tian menjulurkan lidah.
“Ih katanya mau sama gue, besok aja Ian.” Raina memasang wajah sedih dan kesal.
“Ribet ah kalo sama lo, jadi sekarang gaada yang gangguin gue.” Tian tertawa kecil.
"Ih Ian, yaudah besok-besok gue nggak mau temenin lo lagi." Raina bertambah kesal.
“Nggak masalah. Gue duluan ya, bye Hira.” Tian keluar kelas meninggalkan Raina.
Tian sering memanggil Raina dengan sebutan Hira, keluarga nya pun memanggil Raina dengan sebutan tersebut. Nama itu diambil dari nama lengkap Raina, yaitu Raina Bahira. Sedangkan nama lengkap Tian adalah Tian Pramana Putra, Raina terkadang memanggilnya Ian, karena keluarga nya juga memanggilnya seperti itu. Mereka adalah teman dari kecil, mereka juga sama-sama suka melukis, dan bersekolah di tempat yang sama dari duduk di bangku Sekolah Dasar. Orang tua mereka pun saling mengenal, dan tempat tinggal mereka hanya berjarak 10 menit saja.
Raina berjalan menuju gerbang sekolah, ia melihat Nio dengan motor gede nya, ia mengenakan jaket kulit berwarna hitam dan celana denim berwarna hitam. Wajah tampan Nio terlihat karena ia melepas helm nya.
“Kak Nio ada apa ya ngajak ketemuan disini?” Raina sedikit gugup.
“Hai Raina, niat nya aku mau ngomong tadi pagi, tapi kamu nya ternyata belum dateng. Hari ini ada acara nggak?” Nio tersenyum dan bertanya pada Raina.
“Iya tadi aku agak siang datengnya, hari ini aku nggak ada acara apa-apa kak.” Senyuman Nio mampu mebuat jantung Raina berdegup lebih cepat dari biasanya.
“Aku mau ajak kamu nonton film di bioskop, lagi ada film bagus, mau nggak?”
“Boleh kak.” Raina sudah lama tidak menonton film di bioskop, mungkin sekitar satu tahun yang lalu, bahkan ia tidak tahu film apa yang sedang ramai atau tayang sekarang. Ia hanya menonton beberapa yang memang kesukaannya seperti film-film disney ataupun animasi lainnya, dan film yang bercerita tentang kehidupan.
“Yaudah kita berangkat sekarang ya.” Nio menyerahkan sebuah helm kepada Raina.
“Maaf kak, tapi aku bawa motor sendiri.” Sebenarnya Vania menawarkan Raina agar ia yang membawa pulang motor nya, tetapi Raina menolak. Karena ia khawatir, bukan khawatir motor nya akan dibawa kabur oleh sahabatnya, melainkan ia belum terlalu mengenal Nio, jadi khawatir akan hal yang tidak diinginkan terjadi.
Mereka memasuki pusat perbelanjaan dan menaiki eskalator ke lantai empat. Nio membeli dua tiket untuk menonton film yang baru rilis paruh kedua bulan ini, yang bergenre horor, mereka duduk di kursi berurutan F7 dan F8. Setelah menonton, mereka pergi makan di salah satu restoran cepat saji yang lokasi nya juga berada di lantai empat. Selesai memesan, Raina mengeluarkan uang dan membayar tagihan makanan mereka.
“Raina nggak usah, biar aku aja yang bayar.” Nio menahan tangan Raina.
“Nggak apa-apa, kan tadi kakak udah bayarin tiket nonton aku. Mba, ini ya uangnya.” Raina tersenyum dan menyerahkan uang nya. Setelah pesanan selesai, mereka duduk berhadapan di tempat yang tidak jauh dari tempat memesan tadi.
“Raina ini buat gantiin yang tadi, kan aku yang ajak kamu kesini.” Nio memberikan uang kepada Raina.
“Nggak usah kak, aku malah nggak enak kalo nerima uang itu. Sekarang kita makan aja ya, kakak simpen lagi uangnya.” Nio memasukkan kembali uang nya ke dompet.
“Raina, aku boleh panggil kamu Rai atau Na?” Nio melihat ke wajah Raina.
“Boleh kak.” Raina menghindari bertatapan mata dengan Nio. “Kalo aku minta nomormu boleh?” Nio bertanya dengan hati-hati. Yang ditanya mengangguk pelan, Raina tidak menyangka akan bertukar nomor dengan Nio.
...
Di waktu yang bersamaan, Tian sedang berada di rumah Raina, ia tidak jadi pergi ke pameran, karena Tian diminta oleh Mama Raina mengambil masakan yang telah dibuatnya untuk keluarga Tian. Sebetulnya alasan utama ia tidak jadi ke pameran karena Raina, mereka sudah janji untuk pergi bersama ke pameran itu.
'Tok tok' Tian mengetuk pintu rumah Raina. Seorang laki-laki paruh baya membukakan pintu, itu papa Raina.
“Eh ada Tian, ayo masuk.” Papa Raina tersenyum dan mempersilahkan nya masuk.
“Iya pa.” Tian mencium tangan papa Raina. Ia memanggil kedua orang tua Raina seperti anak-anak mereka memanggilnya, karena mereka sendiri yang menyuruhnya.
“Kamu kok nggak pulang bareng Hira?” Biasanya mereka pulang bersama.
“Hira tadi ada urusan dulu sama temennya pa.” Tian tidak berbohong. Mereka sekarang duduk di sofa ruang keluarga.
“Tian ini mama bikin dimsum masih hangat, jadi bisa langsung dimakan ya.” Mama Raina membawakan sekotak besar dimsum dari dapur.
“Oke, makasih ya mama papa. Tian pulang dulu.” Tian mencium tangan mereka.
“Iya hati-hati kamu nyetir nya, salam buat ayah sama bunda mu.” Mama Raina.
“Iya nanti aku salamin.” Tian tersenyum dan mengacungkan jempol kanan nya.
Tian mengendarai sepeda motor nya dan sampai di rumah. Ia membuka pintu, membuka sepatu, menaruh tas, mencuci tangan dan kaki. Bunda dan ayah nya sedang menonton televisi.
“Bunda, ayah ini ada dimsum yang dibikin mama nya Hira.” Tian mengeluarkan sekotak dimsum dan menaruhnya di meja, lalu mengambil piring dan sendok.
“Wah pasti enak ini, bunda mau makan sekarang.” Bunda membuka kotak itu.
“Ayah juga mau. Tolong ambilkan piring, sendok sekalian ya kak.” Tian mengangguk. Setelah menaruh sendok dan piring, Ia menaiki anak tangga dan mengetuk salah satu pintu kamar lalu membuka nya.
“Lia, mau dimsum gak?” Tian memasuki kamar adik nya.
“Mau lah. Dimsum dari mama kak Hira ya, dimana dimsum nya?” Berlian mengalihkan pandangan dari laptop nya.
“Iya. Di meja depan tv, ayo kebawah.” Tian keluar dari kamar Berlian.
“Ayo, aku matiin laptop dulu kak.” Segera ia menyusul kakak nya itu. Mereka berempat makan bersama tanpa kaka nya Tian, karena ia sedang ada kuliah hari ini.
Tian mempunyai seorang adik perempuan bernama Berlian Pramana Putri, usianya hanya dua tahun lebih muda. Ia juga mempunyai seorang kakak perempuan bernama Mutiara Pramana Putri, usianya tiga tahun lebih tua dari nya. Ayah Tian bernama Pramana, biasa dipanggil Pram dan bunda nya bernama Mentari atau Tari.
…
Raina dan Nio langsung pulang setelah makan, tadinya Nio ingin mengajaknya berkeliling pusat perbelanjaan, tetapi Raina menolak. Ia takut dimarahi oleh orang tua nya karena ini sudah terlalu lama, kecuali ia pergi dengan Tian atau teman dekat nya yang orang tua nya sudah kenal. Nio mengantar Raina sampai ke depan gerbang rumah.
“Kak makasih ya buat hari ini.” Raina membuka helm nya.
“Aku yang makasih Ra, lain kali kamu mau kan pergi lagi sama aku?” Nio bertanya
“Mau kak.” Raina tersenyum malu yang membuat Nio tertawa kecil.
“Yaudah, aku pulang dulu ya Ra, sampai ketemu lagi.” Nio tersenyum.
“Hati-hati dijalan ya kak.” Raina melambaikan tangannya yang dibalas lambaian juga oleh Nio. Setelah itu, Nio menyalakan mesin motor nya dan melaju meninggalkan Raina yang masih di depan gerbang rumah nya. Raina membuka gerbang dan memasukkan motornya ke garasi.
Raina melihat ada kendaraan asing di halaman rumah, seperti nya rumah nya sedang kedatangan tamu, jadi ia memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang yang terhubung langsung dari garasi ke dapur.
“Loh Ra, kenapa lewat pintu belakang?” Arvian yang sedang membuat pasta di dapur, bingung melihat adiknya yang tiba-tiba muncul.
“Tadi aku liat ada mobil lain di halaman, berarti lagi ada tamu kan?” Raina meletakkan sepatu nya, dan mencuci tangan di wastafel.
“Itu mah om Ciko sama tante Ayu. Sana kedepan dulu Ra.” Om ciko adalah adik dari papa Raina, dan tante Ayu adalah istri nya.
“Loh, mas sendiri bukannya di depan. kenapa malah masak disini?”
“Ini pasta buat makan malem, lagian mas udah salaman tadi.” Raina memanyunkan bibir nya, sebelum bersalaman, ia menaiki anak tangga yang berada di ruang keluarga lalu masuk ke kamar nya untuk menaruh tas dan berganti pakaian. Setelah selesai, ia berjalan menuju ruang tamu. Disana terdapat tujuh orang yang sedang duduk sambil berbincang, papa, mama, adik nya, om, tante, dan kedua sepupu nya. Raina hanya berdiam diri sekitar lima menit di dekat lemari, ia tidak tahu bagaimana harus memulai pembicaraan saat bergabung nanti, untung mama melihat nya, dan langsung memanggil Raina. Ia bernafas lega. Sebenarnya ia cukup dekat dengan om dan tante nya, hanya saja sering kali ia merasa gugup dan bingung saat bertemu. Bahkan Raina di beberapa waktu merasa canggung dengan sepupu nya itu, padahal mereka terbilang sangat dekat. Setelah melakukan perbincangan, mereka makan malam, dengan pasta dan beberapa hidangan lainnya yang dibuat oleh Arvian.
“Rifki kok belum pulang juga ya, sudah lama nggak ketemu padahal.” Tante Ayu.
“Berapa hari ini lagi sibuk banget dia, kalo hari sabtu biasa nya pulang sore.” Kata Mama. Tidak berselang lama, Rifki pun pulang, ia membawa kotak makan dimsum yang tadi diberikan untuk keluarga Tian. Setelah mandi, berganti pakaian, dan merapihkan barang-barangnya, Tian bergabung di meja makan.
“Rifki sudah lama nggak ketemu, kamu lagi sibuk apa ?” Tante Ayu.
“Iya tante, ini karyawan aku 2 orang lagi cuti, pesanan juga lagi banyaknya. Jadi, sekarang aku lebih banyak waktu di kantor.” Rifki menjelaskan keadaannya.
“Oalah gitu, jangan terlalu sibuk Ki. Kapan rencana kamu mau nikah?” Pertanyaan itu membuat tante Ayu mendapat isyarat tatapan mata dari Om ciko, dan suasana menjadi hening.
“Belum kepikiran sampe situ tante, mau fokus ngembangin bisnis dulu.” Jawab Rifki.
“Lagian Rifki juga masih muda Yu. Lakuin dulu apa yang kamu mau Ki.” Rifki mengangguk. Om Ciko merasa tidak enak dengan Rifki karena pertanyaan istri nya tadi.
“Ya kan aku cuma tanya, nggak apa-apa kan Ki?” Rifki hanya mengangguk.
“Udah ayo sekarang makan es krim dulu, ini mba Tari yang bikin lho.” Mama memecah keheningan, dan mengambil es krim dari kulkas. Om Ciko dan keluarga nya saling mengenal dengan keluarga Tian.
“Kapan ngasihnya mah, kok aku nggak tahu?” Raina terheran.
“Tadi pas mas sampe rumah, Tian sama Lia dateng sekalian balikin tempat makan.” Rifki yang menjawab pertanyaan adiknya. Raina membulatkan bibir nya.
Setelah makan malam, om Ciko dan keluarga nya pulang ke rumah mereka. Anak pertama om Ciko dan tante Ayu, yaitu Alya memiliki usia yang sama dengan Arvian, sedangkan anak kedua mereka, Alika memiliki usia yang sama dengan adik Raina.
Raina mempunyai tiga saudara kandung, dua kakak laki-laki dan satu adik perempuan. Kakak pertama nya bernama Rifki Zildan yang usia nya sekarang dua puluh tiga tahun atau enam tahun lebih tua dari Raina, kakak kedua nya bernama Arvian Saka usianya hanya selisih dua tahun lebih tua dari Raina, dan adik perempuan nya bernama Aruma cantika yang usianya tiga tahun lebih muda. Mama Raina bernama Ajeng dan papa nya bernama Ridwan.
…
Tian sedang memainkan ponselnya di ruang keluarga, di sebelahnya duduk Mutiara yang sedang memakan dimsum sambil menonton tv bersama Berlian.
“Ian tolong kembalikan tempat makan tadi ke rumah Hira ya, sekalian kamu kasih es krim yang mama bikin ini.” Bunda meminta tolong kepada Tian.
“Oke, ada titipan yang lainnya nggak bun?” Tian berdiri dari sofa.
“Oh iya, tolong beliin martabak coklat sama gorengan yang di alun-alun, bunda lagi pengen banget.” Bunda membayangkan rasa martabak itu.
"Wih aun-alun, aku ikut ya kak.” Mata Berlian terlihat berbinar-binar.
“Iya, mau jalan-jalan kan pasti?” Tian seakan bisa membaca pikiran adik nya. Berlian mengangguk dan memberikan kedua jempolnya.
“Jangan lupa ya, harus martabak alun-alun, kalau nggak ada jangan beli di tempat lain.”
“Iya bunda.” Tian dan Berlian menjawab bersamaan.
Mereka sampai di depan pintu gerbang rumah Raina bersamaan dengan Rifki yang akan menutup pintu garasi. Kotak makan dan es krim itu dititipkan ke Rifki, lalu mereka berdua pergi ke alun-alun. Syukurlah martabak yang Bunda pesan ada, martabak itu sangat ramai, jadi mereka memesan terlebih dahulu dan mendapat nomor urut ke 40. Selesai memesan mereka berjalan mengelilingi alun-alun, lalu mereka membeli gorengan, dan duduk di kursi yang disediakan di dekat air mancur. Mereka bersama pengunjung lainnya sedang menunggu pertunjukkan air mancur berwarna-warni yang dimulai setiap pukul tujuh malam, delapan malam, dan sembilan malam. Setiap waktu yang dijadwalkan pertujukkan akan berlangsung selama lima belas menit.
“Kak ambil martabak nya tunggu air mancur nya selesai ya.” Ia menyukai pertunjukkan itu.
“Iya aku tau pasti alasan utama kamu ikut karena mau liat ini kan. Paling martabak juga belum selesai, tadi aja baru urutan ke 30.” Berlian tertawa mendengar jawaban kakak nya. Disela petunjukkan, Tian sesekali memotret air mancur, adiknya, dan suasana sekitar dengan kamera ponsel nya, Tian menyukai fotografi sebanyak ia menyukai melukis. Setelah pertunjukkan selesai, mereka mengambil pesanan martabak yang sudah jadi, walaupun ramai tapi pelayanan nya cukup cepat karena tersedia banyak kompor dan karyawan.
Begitu sampai di rumah, bunda dan yang lainnya sudah duduk manis di ruang keluarga, menantikan makanan yang dibawa dari alun-alun khususnya martabak. Bunda membuka bungkus martabak, terlihat coklat leleh yang melimpah dengan kacang dan susu diatas martabak, pemandangan itu dapat membuat orang yang melihatnya menjadi lapar walaupun naru saja makan dengan porsi yang banyak. Gorengan yang dibeli juga masih hangat dan garing, mereka berlima pun menikmati makanan sambil bercengkerama dan menonton tv.
Tian menaiki anak tangga, dan memasuki kamar nya yang terletak di sebelah kamar Berlian. Ia duduk di pinggir tempat tidur, memainkan kamera yang ia beli dua tahun lalu dari hasil menabung nya, itu adalah kamera pertama nya, selagi ia melihat foto-foto, ponsel nya berbunyi tanda masuk pesan. Tian membuka ponsel nya, ternyata pesan itu dari Raina.
Raina : Ian lo udah tidur belom?
Tian : Belom, kenapa?
Raina : Tadi siang lo kerumah ya?
Raina : Terus lo jadi ke pameran nggak ?
Tian : Iya gue ke rumah lo tadi, nggak jadi ke pameran
Raina : Katanya mau kesana biar gak ada yang ganggu.
Raina : Kenapa nggak jadi?
Raina : Kesepian lo ya, nggak ada gue.
Tian : Pede banget lo
Tian : Orang tadi gue disuruh kerumah sama mama
Tian : Jadi gue nggak ke pameran
Raina : Alesan lo, wlee
Raina : Padahal kan setelah ke rumah gue, masih sempet buat ke pameran
Raina : Terus kapan lo mau kesana?
Tian : Males gue bolak-balik nya
Tian : Nggak tau, besok mungkin
Raina : Yaudah besok aja, gue mau ikut
Tian : Katanya, lo gak mau temenin gue lagi
Raina : Tadi kan gue nggak serius ngomong nya ih
Raina : Soalnya lo ngeselinn banget
Tian : Hmmmm, jam berapa besok?
Raina : Jam sembilan aja, Ian bonceng ya hehe
Tian : Iya, siap-siap nya jangan lama Ra
Tian : Nanti gue tinggal
Raina : Iya gak lama, jangan tinggalin lho
Tian : Tergantung lo besok
Raina : Ih, pokoknya harus tungguin
Raina : Udah dulu ya, gue mau tidur bye ngeselin
Tian : Bye yang lebih ngeselin
Setelah percakapan itu, Tian merasa senang karena akhirnya ia akan pergi ke pameran bersama Raina. Tidak lama merapihkan kemeranya, ia pergi tidur, mungkin malam ini ia akan bermimpi indah.
Pagi hari setelah bangun tidur, Raina duduk dan menyandarkan tubuhnya di sandaran kasur, lalu ia mengambil gelas berisikan air di meja sebelah kiri kasur. Setelah minum, ia melakukan sedikit peregangan, beranjak dari kasur, lalu membuka jendela dan menghirup udara segar sebentar. Itu semua adalah rutinitas pagi Raina sebelum ia keluar kamar tidur nya di pagi hari. Raina menuruni anak tangga, ia segera berjalan menuju dapur untuk membantu mama nya memasak, menu hari ini cukup mudah yaitu nasi goreng daging sapi dengan telur orak-arik dan juga jus melon tanpa gula ataupun pemanis apapun. “Mah hari ini aku izin ya mau ke pameran.” Raina sedang membuat telur orak-arik. “Ke pameran apa kak, lukisan? sama siapa?” Mama menuturkan pertanyaan. “Iya pameran lukisan, sama Tian boleh kan mah?” Raina beralih menatap wajah mamahnya. “Mama sih boleh aja asalkan kamu tahu waktu, izin sama papa juga nanti ya.”
"Ian gue mau cerita." Raina menghentikan makan nya, ia terlihat bersemangat. "Yaudah cerita aja." Tian mengambil sesendok nasi dan menyuapkan ke mulut nya. "Soal kemarin gue jalan sama kak Nio." Raina menatap wajah Tian, yang ditatap terlihat tidak antusias untuk mendengarkan. Saat berbicara Raina memang lebih nyaman untuk melihat wajah lawan bicara nya, fakta itu tentu diketahui oleh Tian, tetapi ia malas untuk mendengarkan hal yang berhubungan dengan Nio. "Tian Pramana Putra liat ke arah gue dong." Raina menggoyangkan lengan kiri Tian, karena Tian masih asyik dengan makanannya. " Iya iya, ayo cerita sekarang." Tian yang melihat Raina mulai kesal, mengalihkan pandangan dari makanannya menjadi ke arah lawan bicara nya itu, lalu ia menempatkan kedua tangannya di bawah dagu. "Jadi habis pulang dari kelas lukis, dia beneran ngajak gue jalan dong, kita nonton bioskop, makan berdua, dan.... dia minta nomor telepon gu
Pagi ini, ketika ayam mulai berkokok, dan burung-burung bernyanyi dengan riang, cahaya matahari pagi yang baru saja terbit masuk ke dalam kamar Raina, melalui celah-celah yang ada pada jendela, udara pagi yang sangat menyenangkan. Raina sudah bangun sejak pagi tadi, ia tidak bisa tidur dengan nyenyak, karena itu ia memutuskan untuk bangun dan tidak melanjutkan tidur nya. Sekarang Raina sedang duduk di sofa lantai kesukaan nya yang berwarna coklat, ia termenung beberapa saat dan memutuskan untuk melukis sejenak sebelum memulai rutinitas pagi nya.Sebelum melukis, ia mencari posisi ternyaman dan mengarahkan sofa nya untuk menyampingi jendela, agar cahaya matahari dapat menerangi dari sisi kiri nya dan ia bisa merasakan kehangatan dari cahaya itu. Raina ingin melukis untuk meluapkan segala perasaannya sekarang, perasaan yang bercampur aduk. Perlahan ia mulai memberi warna dan menuangkan satu persatu perasaannya ke dalam kanvas kecil itu. Sekarang jam menunjukkan pukul enam kuran
Raina sampai di rumahnya lima menit sebelum pukul enam. "Ra, makasih ya udah mau jalan-jalan sama aku." "Iya, sama-sama kak. Makasih juga udah ngajak aku." "Yaudah aku pulang dulu ya, kamu masuk gih, bersih-bersih terus istirahat." Nio tersenyum. "Iya, hati-hati ya kak nyetirnya." Raina juga tersenyum. Nio melajukan motor nya, dan Raina pun segera masuk ke dalam rumahnya, ia membuka pintu perlahan, lalu berjalan melewati ruang tamu, disana tidak ada siapa pun. Ia memasuki ruang keluarga, terlihat adiknya yang sedang menonton televisi, Aruma. "Rum, yang lain dimana?" Raina bertanya pada adiknya, tapi tidak ada jawaban dari gadis itu, ia tetap asik dengan televisinya, seolah-olah tidak ada yang mengajak nya berbicara. "Aruma, jawab dong, kamu denger nggak sih." Raina terlihat sedikit jengkel, ia akhirnya menaiki anak tangga dan pergi ke kamarnya. Raina sudah selesai mandi, ia merebahkan badan
Halo semua!! Pertama saya ingin meminta maaf kepada semua pembaca, dikarenakan sudah cukup lama saya belum memposting bab baru. Tentu penyebab utamanya karena saya sedang banyak kesibukan, dan kondisi tubuh terkadang menjadi kurang sehat, jadi belum sempat untuk melanjutkan cerita. Kedua, saya ingin berterima kasih kepada semua yang sudah membaca cerita saya, dan setia menunggu setiap bab baru (walaupun jadwal saya memposting sangat tidak teratur). Setelah kesibukan ini, saya akan berusaha melanjutkan cerita dengan baik, dan menyajikannya kepada para pembaca. Terakhir, untuk semuanya jangan lupa untuk selalu menjaga kesehatan, dan tidur yang cukup. Nantikan bab-bab yang akan tersedia selanjutnya ya~! Terima kasih banyak :)