Bagian 92
“Aduh, bagaimana ini?” Aku langsung panik. Tari lebih lagi. Dia langsung menggigil ketakutan. Wajahnya bersimbah air mata dengan mulut yang memanggil-manggil lirih nama Mama.
“Ma .”
“Jangan dikerubuti biar dapat pasokan oksigen yang cukup. Kita bawa ke kamarnya saja. Sini aku gendong beliau.” Mas Vadi langsung berinisiatif untuk mengangkat Mama menuju kamarnya. Aku yang sangat terkejut sebab mendapati Mama sampai jatuh pingsan, langsung merasa begitu bersalah. Semoga beliau tidak apa-apa, pikirku.
“Risa, buatkan mamanya Rauf teh manis cepat.” Aku yang berjalan tergopoh-gopoh mengikuti Mas Vadi dan Mas Tama yang saling bantu
Bagian 93 “Aku … t-tidak h-ha-mil, Mas ….” Tari terbata-bata sekaligus tersedu saat mengatakan kalimat memilukan tersebut. Mata Mas Rauf kulihat semakin berkaca. Air matanya pun akhirnya sudah tak dapat lagi terbendung. Lelaki itu menangis. Namun, kulihat sudut di bibirnya melengkungkan senyuman. “Jadi, kamu hanya berbohong, Ri? Kamu tidak benar-benar hamil karena hanya menjebakku, begitu?” Pertanyaan Mas Rauf bernada sindiran. Lelaki itu mengangkat sebelah tangannya dengan lemah untuk menghapus air mata. Sementara tangan kanannya yang digenggam oleh Tari pelan-pelan dia tarik. “Tidak, Mas! Bukan begitu. Hasil test pack yang kugunakan memang positif, tetapi tidak ada janin di dalam rahimku. Dokter bilang … hanya ta
Bagian 94 “Maaf ya, Ma. Maafkan aku. Semoga Mama bisa kuat dan tabah dalam menghadapi segala cobaan yang sedang diberikan oleh Allah.” Aku mencoba untuk memberikan support kepada Mama. Mengulas senyum ke arahnya, kemudian bangkit dari lantai untuk mengemasi kotak-kotak makan yang telah tandas isinya. “Biar aku bantu beresin ya, Ma,” ujarku dengan nada yang lembut. Wanita tua itu pun langsung tampak berbinar matanya. Terlihat begitu senang dengan apa yang kulakukan. “Bu, Tari, kalian ke depan aja. Aku sebelum pulang mau bantu Mama beres-beres sebentar.” Kutatap ke arah Ibu dan Tari yang kini ikut bangkit dari duduk. Keduanya sama-sama mengangguk dan keluar dari kamar.&n
Bagian 95 “Saya terima nikahnya, Risa Sarasdewi binti Mono dengan maskawin gedung beserta isi dari Rumah Sakit Umum Saras Medika dan logam mulia 24 karat seberat 100 gram, tunai!” “Sah!” “Alhamdulillah Ya Allah!” Seruan keras dari Abah sontak membuat air mataku jatuh bersimbah membasahi pipi yang telah bersaput make up ini. Kedua tanganku yang telah berhias dengan henna berwarna putih langsung menengadah memanjatkan doa dengan kondisi tremor akibat terharu yang luar biasa. Aku menangis sesegukan. Duduk di samping pria yang mengenakan jas dan celana serba putih. Lelaki berkopiah putih dengan hiasan manik-manik kristal tersebut lantas menoleh ke arahku. Dia sempat-sempatnya menghapus air mata ini meskipun doa belum usai di
Bagian 1 “Iya, Ma. Kami selalu mendoakan untuk kebaikan Mas Rauf.” Seketika itu, Mama pun langsung memeluk erat tubuhku. Wanita itu menumpahkan air matanya di bahu ini. Tersedu-sedu seolah sedang menangisi nasib malang putra sulungnya. “Makasih, Ris. Makasih banyak untuk bantuannya selama ini. Berkat kamu juga, Mama bisa buka usaha lagi dan Indy bisa tetap sekola, meskipun kamu bukan istri Rauf lagi.” Pelukan kami pun saling terlepas. Aku melihat wajah Mama benar-benar basah dengan air mata. Wanita itu buru-buru mengusap sisa air matanya dengan ujung hijab yang ia kenakan. Aku sebenarnya jadi tak enak hati dengan suamiku. Ini adalah hari bahagia kami berdua. Bukan saatnya lagi untuk bermelo ria membahas tentang masa lalu, apalagi tentang kes
Bagian 2 Pagi-pagi sekali kami berdua bangun. Tepatnya sebeluma azan Subuh berkumandang. Aku yang membangunkan Mas Vadi. Ya, meskipun lelaki itu awalnya tampak keberatan untuk membuka mata. “Ayo kita mandi bersama, Sayang,” kataku membisikinya saat Mas Vadi hendak menarik selimut kembali. Entah mengapa, mata Mas Vadi langsung membelalak lebar. Dia buru-buru bangun dan menyibak bedcover tebal milik hotel. Lelaki tak berpakaian itu pun langsung mendaratkan kecupannya dan memeluk tubuhku erat-erat. “Kamu paling bisa membuatku semangat, Ris,” ucapnya mesra dengan sungging senyum yang merekah. Betapa kemalu-maluannya aku. Mas Vadi, tak kusangka dia begitu sangat agresif saat berduaan di ranjang begini. Hangat, romantis, dan penuh inisiatif.
Bagian 3 Kami akhirnya salat Subuh masing-masing. Sebab sakit hati, aku memutuskan untuk tutup mulut dan memilih kembali rebahan di kasur. Padahal hari semakin beranjak pagi. Namun, aku benar-benar tidak mood untuk sekadar turun ke bawah menikmati sarapan prasmanan hotel. Awalnya Mas Vadi ikut terdiam. Dia memilih untuk duduk di atas sofa sambil memainkan gadgetnya. Tentu aku makin panas hati. Perempuan itu kalau sedang ngambek harusnya dibujuk, bukan dicuekin! “Ris,” panggil Mas Vadi tiba-tiba saat mataku semakin berat dan hampir saja ketiduran. Malas, kubuka mata. Menatap lelaki yang ternyata sudah duduk di samping tubuhku. “Apa?” Suaraku dingin. Masih meraj
Bagian 4 Sikap Mas Vadi yang agresif sekali dalam masalah ranjang, benar-benar membuatku begitu kewalahan. Padahal, dari segi usia, aku masih jauh sangat muda. Entahlah. Rasanya sangat melelahkan saat lelaki tampan bertubuh atletis itu mengajak lagi dan lagi untuk bergumul di bawah bedcover hotel yang sudah sangat kusut tersebut. Menjelang siang kami berdua baru turun dari kamar. Mas Vadi mengajakku untuk mencari sarapan yang kesiangan atau makan siang yang keawalan tersebut di restoran yang lokasinya tepat berada di seberang bangunan hotel. Kami memilih untuk berjalan kaki sambil bergandengan tangan demi tiba ke resto yang tampak belum terlalu padat parkirannya. “Sayang, kamu cantik sekali hari ini. Benar-benar cantik.” Mas Vadi tak hentinya memuji dir
Bagian 5 “Bagaimana suasana di sini, Ris? Kamu betah tidak?” Abah bertanya kepadaku saat kami baru saja sehari menginjakkan kaki di tanah kelahiran Mas Vadi, Samarinda. Saat itu aku, Mas Vadi, Ibu, dan Abah tengah bersantai di kursi besi yang berada di tepi kolam renang luas kepunyaan Abah. Kolam yang hampir tak pernah digunakan oleh penghuni rumah ini cukup luas, yakni dengan panjang 50 meter dan lebar 25 meter. Kata Abah, kolam ini memiliki kedalaman setinggi 2 meter dengan perawatan rutin sebanyak tiga kali dalam sebulan. “Betah, Bah. Di sini menyenangkan, meski tak sehiruk pikuk tempat kami di pulau Jawa sana.” Aku mengulaskan senyum tipis. Memandang ke arah Ibu yang dengan setianya selalu mendampingi Abah sampai lelaki don juan tersebut mencukupkan diri dengan satu istri saja.&