Clara seketika tercengang. Langkahnya ternundur beberapa langkah. Bagaimana mungkin? Sejak kapan? Dan mengapa? Pertanyaan-pertanyaan itu muncul di benak Clara. Manik indahnya menyusuri setiap bingkai berukuran besar yang menggantung di setiap sudut dinding. Nyaris tidak ada ruang kosong, semua terisi dengan bingkai dengan ukuran yang berbeda-beda.Yang membuat Clara terkejut adalah, dalam bingkai tersebut terdapat foto seorang wanita yang mirip sekali dengan dirinya. Clara menggeleng, tidak! Itu memang dirinya, bukan orang lain.Clara terus memperhatikan setiap bingkai yang tertatata dengan rapi itu. Dilihat dari pose dalam potret tersebut, diambil secara diam-diam. Clara memperhatikan salah satu foto di mana dirinya baru pertama kali bekerja di Abraham Group.Foto itu diambil tiga tahun yang lalu. Itu artinya Sebastian sudah memperhatikan dirinya selama itu. Namun sekali lagi yang menjadi pertanyaan adalah mengapa?Dari sekian banya foto di dinding, ada satu bingkai yang berisi foto
Clara berdiri, pandangannya kosong sejenak, seolah terhanyut dalam ingatan yang tiba-tiba muncul begitu saja. Adegan-adegan lama itu kembali datang, seperti film yang diputar ulang dalam pikirannya.Waktu itu, semuanya terasa begitu nyata, begitu dekat. Tapi sekarang, semua itu hanya kenangan samar yang melayang di udara. Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba mengusir bayang-bayang masa lalu.Kemudian, matanya bertemu dengan mata Sebastian yang sedang menatapnya, tajam dan penuh arti. Ada sesuatu dalam pandangannya yang membuat Clara merasa seperti dunia ini tiba-tiba berhenti berputar.Semuanya menjadi hening sejenak, seolah waktu tak lagi berjalan. Hati Clara berdebar, dan dia tahu, ada sesuatu yang tak bisa dia hindari. Dia tak bisa terus lari dari kenyataan, dari perasaan yang telah lama terkubur.“Ini tidak mungkin!” Clara merasa ini sangat mustahil. Insting Clara begitu kuat Sebastian adalah teman masa lalunya itu. Teman yang belum sempat dia tanyakan namanya.Sebastian terseny
Sebastian mengangkat Clara dengan lembut dan membawanya menuju sofa yang terletak di ruang tengah. Dengan hati-hati, ia menempatkan Clara di atas sofa tersebut, memastikan agar wanita itu merasa nyaman. Tatapan mereka saling bertemu dalam diam. Mata mereka berbicara lebih dari sekadar kata-kata, menyampaikan perasaan yang mendalam dan penuh makna. Setiap pandangan yang mereka tukar mengandung kerinduan yang tak terucapkan, seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang, hanya ada keduanya dalam kesunyian yang penuh harapan.Clara merasakan detak jantungnya semakin cepat saat Sebastian menatapnya dengan tatapan penuh emosi. Ada begitu banyak yang ingin mereka ungkapkan, namun kata-kata terasa tak cukup untuk menggambarkan apa yang ada di dalam hati mereka. Sebuah perasaan yang sudah lama terpendam kini muncul kembali, seakan tak mampu lagi untuk disembunyikan.Sebastian pun merasakan hal yang sama. Ia tak bisa mengalihkan pandangannya dari Clara, seolah segala kekhawatirannya hilang d
Tatapan Sebastian melebar sempurna. Wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya ini tidak asing. Dirinya sudah pernah bertemu beberapa kali di masa kini. Dan terlalu sering di masalalu. Bahkan bisa dibilang Sebastian sangat bosan melihatnya.Sebastian menatap Bianca dengan sorot mata yang tenang dan tanpa ekspresi, seolah berusaha menyembunyikan isi hatinya. Di tengah keheningan yang melingkupi mereka, tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang tak terucap.Bianca, yang berdiri di hadapannya, merasakan ada sesuatu yang tak terjangkau dalam tatapan tersebut, namun ia memilih untuk tetap diam, menunggu penjelasan yang mungkin tak pernah datang dengan senyum yang begitu menantang."Ini bukan perusahaanmu, alangkah baiknya kamu mengetuk pintu dulu!" tegur Sebastian dengan nada dingin."Ouh, Maafkan saya, Pak Bastian, mungkin karena saya terlalu bersemangat," ujar Bianca dengan senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Mungkin karena aku merindukan tempat ini," imbunya lag
Clara tertegun, nyaris tak percaya mendengar penuturan Sebastian yang begitu mengejutkan. Wajahnya yang semula tenang kini berubah menjadi campuran antara keheranan dan kekagetan.Namun, bukan hanya Clara yang terpaku dalam diam. Bianca, yang duduk tak jauh darinya, turut memperlihatkan raut wajah serupa—mata membulat dan bibir terkatup rapat seolah tak ingin kehilangan satu pun kata yang baru saja terucap.Bahkan, sang asisten yang biasanya tetap tenang dalam situasi apa pun, kini tampak sedikit gelisah, menatap Sebastian dengan sorot mata penuh tanya. Dalam keheningan yang seketika menyelimuti ruangan, setiap orang di sana seolah berusaha mencerna makna di balik kata-kata yang baru saja diutarakan.Clara menatap Bianca dengan canggung, pandangannya sejenak ragu-ragu sebelum akhirnya bertemu dengan mata wanita itu. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tak terucap namun terasa begitu nyata.Ia mencoba mengulas senyum tipis, tetapi senyum itu terasa kaku, nyaris tidak tu
Bianca kembali ke Jewelry Fashion dengan amarah yang membara. Wajahnya tegang, dan langkah kakinya terdengar berat di lantai. Sesampainya di ruang kerja, ia tidak mampu lagi menahan ledakan emosinya.Dengan penuh emosi, Bianca melampiaskan kemarahannya dengan melempar barang-barang di sekitarnya. Suara benda yang jatuh dan pecah memenuhi ruangan, seolah-olah menggambarkan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.Bianca berdiri dengan tubuh gemetar, matanya memerah menahan luapan emosi yang tak tertahankan. Suaranya menggema di seluruh ruangan saat ia berteriak, meluapkan kemarahan yang telah lama terpendam.Setiap kata yang keluar dari mulutnya menggambarkan betapa dalam perasaan kesalnya, seolah ia tak lagi peduli pada siapa pun yang mendengarkan."Berengsek!" Bianca mengumpat. Sorot matanya berkilat tajam. Wajah Clara kembali berkelebat. Tangannya yang menopang tubuh di atas meja seketika"Wanita itu! Beraninya dia mengambil Bastian dariku!"Selama ini Bianca selalu berpikir bahwa Se
“Apa?” Clara jelas kaget, pantas saja, tempat yang biasanya ramai ini terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa penjaga gerai dan wahana yang bertugas. “Tapi kenapa? Bukannya lebih bagus kalau banyak orang, apa lagi anak-anak, pasti akan sangat seru!” ucap Clara.“Tidak, aku lebih suka seperti ini, karena aku tidak suka diganggu,” ujar Sebastian. “Anak-anak sangat berisik,” imbuhnya.Clara mendelik. “Anda tidak suka anak-anak? Ah, kasihan sekali nanti yang menjadi anak Anda,” gerutu Clara.“Tentu saja beda, aku akan menyayangi anakku sendiri dengan sepenuh hati,” kata Sebastian. Clara mencebik tak percaya dan itu membuat Sebastian gemas, diraihnya pinggang wanita itu, kemudian hendak memberikan kecupan.“Tunggu, Tuan. Bagaimana kalau kita naik wahana, ayo…” Clara melepaskan diri dan segera berjalan menjauh Sebastian.Pria itu mendelik. “Awas saja kamu ya, aku akan mendapatkanmu nanti.”Clara tampak sangat bahagia saat berada di pasar malam yang penuh dengan gemerlap lampu dan keceriaan
Malam itu, nyatanya Sebastian ketagihan untuk kembali memainkan sebuah permainan. Dengan semangat, Sebastian mencoba berbagai jenis permainan yang tersedia. Ia memulai dengan permainan dart, di mana ia harus tepat mengenai balon-balon kecil yang digantung.Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil memenangkan hadiah kecil berupa gantungan kunci denga bentuk yang sangat unik dan juga menarik.“Ini untukmu!” Lagi-lagi, Sebastian memberikan hadiah itu kepada Clara dan segera diterima oleh wanita cantik itu.“Terima kasih, Tuan.”Tidak puas hanya dengan itu, Sebastian melanjutkan ke permainan memancing ikan mainan. Dengan hati-hati, ia mengarahkan pancingannya, berusaha menangkap ikan plastik yang terus bergerak di dalam kolam kecil. Tepuk tangan riuh dari Clara terdengar ketika ia berhasil menangkap beberapa ekor ikan sekaligus.Hadiah kali ini berupa bantal berbentuk hati dengan hiasan bulu di tepian bantal. Clara jelas saja menerima hadiah itu dengan senang hati.Permainan terakhir ya
Sebastian merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Ia tak bisa membiarkan ini berlarut-larut. Malam itu, setelah memastikan Clara dan Kaisar sudah tidur, ia duduk di ruang kerjanya, menatap foto-foto yang bertebaran di mejanya. Pikirannya berputar, mencoba menghubungkan titik-titik yang belum tersambung. Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan: "Siapa kau dan apa yang kau inginkan?" Pesan terkirim. Namun, tak ada balasan. Sebastian mendengus kesal. Ia tahu orang ini tidak akan memberi jawaban dengan mudah. Ia perlu mencari cara lain. Di sisi lain kota, pria berjas hitam kembali menerima pesan. Ia menyeringai. "Sebastian mulai gelisah," katanya kepada pria di seberangnya. "Itu berarti rencana kita berjalan sesuai harapan," jawab pria itu tenang. "Tapi jangan gegabah. Kita harus membuatnya semakin terpojok." "Aku punya sesuatu yang akan membuatnya tak bisa menghindar lagi," kata pria berjas hitam sambil mengeluarkan sebuah amplop lain dari dalam tasnya. Pagi harin
Pagi itu, Sebastian tiba di kantornya lebih awal dari biasanya. Pikirannya masih dipenuhi pertanyaan tentang pesan misterius yang ia terima. Ia berjalan melewati lorong-lorong dengan ekspresi serius, nyaris tak menyadari sapaan para karyawan yang lewat. Sesampainya di ruangannya, ia melemparkan jasnya ke kursi dan duduk di balik meja.Ia membuka laptop dan mulai memeriksa email. Namun, sebelum sempat berkonsentrasi, ponselnya kembali bergetar. Sebuah pesan masuk dari nomor yang sama seperti sebelumnya."Kau pasti sudah melihatnya. Kita akan bertemu segera. Bersiaplah."Sebastian mengepalkan tangannya. Ia tidak suka permainan seperti ini. Jika seseorang ingin menemuinya, kenapa tidak datang secara langsung? Namun, ia tahu lebih baik untuk tetap tenang dan menunggu langkah selanjutnya dari si pengirim pesan.Sementara itu, di mansion, Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan suaminya. Sebastian memang tidak banyak bicara pagi ini, dan cara ia menghindari pertanyaan hanya menamba
Di mansion, kehidupan terus berjalan dengan suasana yang semakin hangat. Hari-hari Sania dihabiskan bersama Kaisar dan Clara, menciptakan ikatan yang semakin erat di antara mereka. Sebastian, yang dahulu kaku dan menjaga jarak, mulai menunjukkan sisi lembutnya. Ia tak lagi canggung menyaksikan interaksi ibunya dengan Clara dan putranya. Suatu sore, Sania membawa Kaisar ke taman kecil di belakang mansion. Clara menemaninya, membawa selimut kecil untuk alas duduk mereka. Kaisar yang mulai aktif menggerakkan tangan dan kakinya tampak begitu ceria dalam dekapan neneknya. "Dia semakin aktif setiap hari," kata Clara sambil tersenyum. Sania mengusap kepala cucunya dengan lembut. "Ya, dia tumbuh dengan sangat baik. Aku bahagia bisa melihatnya berkembang seperti ini." Clara menatap Sania dengan penuh penghargaan. "Mom, aku ingin berterima kasih. Kehadiran Mom benar-benar membuat keluarga ini lebih lengkap. Aku bisa melihat Sebastian juga mulai menerima Mom sepenuhnya." Sania menatap Clara
Hari-hari berlalu dengan penuh kehangatan di mansion. Sania semakin sering datang, selalu membawa berbagai perlengkapan bayi atau hadiah kecil untuk Kaisar. Hubungan antara dirinya dan Clara pun semakin akrab.Sebastian yang awalnya masih menjaga jarak dengan ibunya, perlahan mulai menerima kehadiran Sania dalam kehidupan mereka. Ia melihat betapa ibunya benar-benar berusaha menebus kesalahan di masa lalu.Suatu sore, saat Sebastian baru saja pulang dari kantor, ia mendapati pemandangan yang menghangatkan hati. Sania tengah duduk di ruang keluarga, memangku Kaisar yang sudah tertidur pulas. Di sampingnya, Clara tersenyum sambil menyesap teh hangat.Sebastian berjalan mendekat dan duduk di samping istrinya. "Sepertinya Kaisar semakin dekat dengan Mom," ujarnya pelan.Sania mengangkat wajahnya dan tersenyum. "Tentu saja. Dia adalah cucuku, dan aku ingin berada di sisinya sebanyak mungkin."Sebastian terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih, Mom."Sania menatap putranya de
Dareen mengernyitkan dahi, merasa tidak nyaman dengan nada tegas pria di hadapannya. "Apa maksud Anda?" tanyanya dengan nada kesal.Pria itu tetap tenang, tatapannya dingin dan profesional. "Reservasi Anda telah dibatalkan, Tuan. Kami menerima perintah langsung dari pemilik hotel. Anda memiliki waktu satu jam untuk meninggalkan tempat ini."Dareen terkekeh sinis. "Batal? Aku sudah membayar untuk satu bulan penuh!""Benar, namun pemilik hotel memiliki kebijakan untuk tidak menerima tamu dengan riwayat... mencurigakan," jawab pria itu tanpa ekspresi.Dareen semakin bingung. "Riwayat mencurigakan? Omong kosong macam apa ini?"Pria itu tidak menjawab, hanya menyerahkan sebuah amplop berisi dokumen. Dareen merobeknya dengan kasar dan membaca isi surat di dalamnya. Matanya membelalak saat melihat sebuah nama yang tidak asing baginya—Abraham."Brengsek..." gumamnya, meremas kertas di tangannya. Jadi ini ulah Abraham? Dia bahkan tidak menyangka pria tua itu masih memiliki pengaruh sebesar ini
Tiada hari tanpa kehadiran Sania. Pagi-pagi sekali wanita itu datang dengan beberapa tas belanja di tangan. Kedatangan wanita itu jelas membuat heboh penghuni mansion. Para pelayan tengah sibuk dengan pekerjaan dapur, perhatian mereka teralihkan oleh perhatian Sania. Penasaran lantaran kedatangan Nyonya besar mereka sepagi ini. Menimbulkan berbagai macam pertanyaan di benak mereka. "Apa yang membuat Nyonya Besar datang sepagi ini?" "Ada urusan apa?" Suara-suara bisikan itu menggema di antara suara dentingan peralatan dapur. Para pelayan yang belum terbiasa dengan kedatangan Sania jelas merasa heran. Seperti yang mereka tahu, tuannya sempat tidak menghendaki kedatangan kedua orang tuanya lantaran sempat berselisih paham dalam kurun waktu yang cukup lama.Namun, keberadaan Clara mampu mencairkan hubungan mereka yang sempat memanas. Kedatangan Clara dalam keluarga ini memang benar-benar membawa keberuntungan. "Semua berkat Nyonya Clara. Hubungan Tuan dan kedua orang tuanya jadi mem
Sejak hari itu, hubungan Clara dan kedua orang tua Sebastian mulai membaik. Sania kembali datang, kali ini dia seorang diri karena Leonard tengah disibukkan oleh urusan Abraham Group. Pria itu kembali menjadi pemimpin perusahaan tersebut dan kembali membangun kekuatan dari nol. "Nyonya Sania di sini, Nyonya." Clara yang tengah bersantai dengan Kaisar sembari berjemur segera menatap pelayan yang memberi laporan. Wanita cantik itu menyunggingkan senyumnya. Tidak terkejut, lantaran Sania sudah berkata akan kembali esok hari. Rupanya wanita itu menepati ucapannya. Clara lantas bangun, bersiap untuk menyambut kedatangan sang ibu mertua. Kaisar yang kini lelap dalam kereta bayi itu didorong masuk. Sania berdiri dari duduknya ketika mendengar suara ketukan sepatu yang mulai menggema, ketika dia menoleh, wajah antusiasnya segera terlihat. "Cucuku!" Sania melangkah cepat, sedikit berlari menghampiri Kaisar. Dia bahkan tidak menyapa Clara karena terlalu bersemangat terhadap cucunya. Bayi
Clara mendelik, pupil matanya membesar. Dari pada mendengarkan ucapannya, sepertinya suaminya ini tetap bersikeras dengan keinginannya untuk tidak memaafkan kedua orang tuanya. Sementara Clara memiliki pemikiran yang berbeda dengan pria itu. Bagi Clara, berhubungan baik dengan kedua orang tua adalah hal yang penting. Sania yang mendengar itu, wajahnya seketika berubah sendu. Sementara Leonard seperti sebelumnya, terlihat dingin dan datar seolah apa yang dikatakan oleh Sebastian adalah hal yang biasa. Kenyataannya, dia memang mulai terbiasa dengan sikap puteranya. Sebastian memperhatikan perubahan wajah Sania. Sedikit iba. Namun, dia masih tidak bisa melupakan perlakuannya terhadap Clara. Bisa jadi, hal itu akan terulang kembali suatu hari nanti. "Kalian pergi saja, acara sudah selesai. Hadiahnya juga sudah kami terima." Kali ini Sebastian bicara dengan nada sedikit ringan. Kemarahan yang sempat menghiasi wajahnya sedikit mereda. Clara yang sejak tadi mengamati, kini mendekati sua
Clara terpejam, kala sebuah sentuhan dia rasakan di bibirnya. Clara dapat merasakan hawa panas yang mengalir dari sentuhan bibir Sebastian. Deru napasnya yang begitu memburu kuat. Kemudian, pegangan di pinggangnya semakin mengencang. Membuat tubuh Clara seketika menegang. Clara refleks menekan kukunnya di pundak Sebastian, menekannya dengan kencang. Setiap pagutan terasa begitu liar, indera perasa Sebastian menjelajah memasuki rongga mulut istrinya. Clara merasakan mulutnya penuh. Dalam hatinya ingin sekali menolak, namun tubuhnya bereaksi berbeda. Bukan hanya sekedar menerima, melainkan mendorongnya untuk melakukan lebih. Sebelum Clara akhirnya benar-benar hanyut dalam permainan panas dan penuh gairah, Clara segera tersadar. Dia menarik diri, dan melepaskan pagutannya. "Sayang..." Dada bidang suaminya itu didorong pelan. Dan itu sempat membuat Sebastian kesal. "Kamu jangan coba menahanku, kamu tahu aku sudah lama berpuasa..." Clara tahu itu bohong. Buktinya saat hamil besar, s