Tatapan Sebastian melebar sempurna. Wanita cantik yang kini berdiri di hadapannya ini tidak asing. Dirinya sudah pernah bertemu beberapa kali di masa kini. Dan terlalu sering di masalalu. Bahkan bisa dibilang Sebastian sangat bosan melihatnya.Sebastian menatap Bianca dengan sorot mata yang tenang dan tanpa ekspresi, seolah berusaha menyembunyikan isi hatinya. Di tengah keheningan yang melingkupi mereka, tatapan itu berbicara lebih banyak daripada kata-kata yang tak terucap.Bianca, yang berdiri di hadapannya, merasakan ada sesuatu yang tak terjangkau dalam tatapan tersebut, namun ia memilih untuk tetap diam, menunggu penjelasan yang mungkin tak pernah datang dengan senyum yang begitu menantang."Ini bukan perusahaanmu, alangkah baiknya kamu mengetuk pintu dulu!" tegur Sebastian dengan nada dingin."Ouh, Maafkan saya, Pak Bastian, mungkin karena saya terlalu bersemangat," ujar Bianca dengan senyum ramah yang terkesan dibuat-buat. "Mungkin karena aku merindukan tempat ini," imbunya lag
Clara tertegun, nyaris tak percaya mendengar penuturan Sebastian yang begitu mengejutkan. Wajahnya yang semula tenang kini berubah menjadi campuran antara keheranan dan kekagetan.Namun, bukan hanya Clara yang terpaku dalam diam. Bianca, yang duduk tak jauh darinya, turut memperlihatkan raut wajah serupa—mata membulat dan bibir terkatup rapat seolah tak ingin kehilangan satu pun kata yang baru saja terucap.Bahkan, sang asisten yang biasanya tetap tenang dalam situasi apa pun, kini tampak sedikit gelisah, menatap Sebastian dengan sorot mata penuh tanya. Dalam keheningan yang seketika menyelimuti ruangan, setiap orang di sana seolah berusaha mencerna makna di balik kata-kata yang baru saja diutarakan.Clara menatap Bianca dengan canggung, pandangannya sejenak ragu-ragu sebelum akhirnya bertemu dengan mata wanita itu. Ada sesuatu yang menggantung di udara, sesuatu yang tak terucap namun terasa begitu nyata.Ia mencoba mengulas senyum tipis, tetapi senyum itu terasa kaku, nyaris tidak tu
Bianca kembali ke Jewelry Fashion dengan amarah yang membara. Wajahnya tegang, dan langkah kakinya terdengar berat di lantai. Sesampainya di ruang kerja, ia tidak mampu lagi menahan ledakan emosinya.Dengan penuh emosi, Bianca melampiaskan kemarahannya dengan melempar barang-barang di sekitarnya. Suara benda yang jatuh dan pecah memenuhi ruangan, seolah-olah menggambarkan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya.Bianca berdiri dengan tubuh gemetar, matanya memerah menahan luapan emosi yang tak tertahankan. Suaranya menggema di seluruh ruangan saat ia berteriak, meluapkan kemarahan yang telah lama terpendam.Setiap kata yang keluar dari mulutnya menggambarkan betapa dalam perasaan kesalnya, seolah ia tak lagi peduli pada siapa pun yang mendengarkan."Berengsek!" Bianca mengumpat. Sorot matanya berkilat tajam. Wajah Clara kembali berkelebat. Tangannya yang menopang tubuh di atas meja seketika"Wanita itu! Beraninya dia mengambil Bastian dariku!"Selama ini Bianca selalu berpikir bahwa Se
“Apa?” Clara jelas kaget, pantas saja, tempat yang biasanya ramai ini terlihat sangat sepi, hanya ada beberapa penjaga gerai dan wahana yang bertugas. “Tapi kenapa? Bukannya lebih bagus kalau banyak orang, apa lagi anak-anak, pasti akan sangat seru!” ucap Clara.“Tidak, aku lebih suka seperti ini, karena aku tidak suka diganggu,” ujar Sebastian. “Anak-anak sangat berisik,” imbuhnya.Clara mendelik. “Anda tidak suka anak-anak? Ah, kasihan sekali nanti yang menjadi anak Anda,” gerutu Clara.“Tentu saja beda, aku akan menyayangi anakku sendiri dengan sepenuh hati,” kata Sebastian. Clara mencebik tak percaya dan itu membuat Sebastian gemas, diraihnya pinggang wanita itu, kemudian hendak memberikan kecupan.“Tunggu, Tuan. Bagaimana kalau kita naik wahana, ayo…” Clara melepaskan diri dan segera berjalan menjauh Sebastian.Pria itu mendelik. “Awas saja kamu ya, aku akan mendapatkanmu nanti.”Clara tampak sangat bahagia saat berada di pasar malam yang penuh dengan gemerlap lampu dan keceriaan
Malam itu, nyatanya Sebastian ketagihan untuk kembali memainkan sebuah permainan. Dengan semangat, Sebastian mencoba berbagai jenis permainan yang tersedia. Ia memulai dengan permainan dart, di mana ia harus tepat mengenai balon-balon kecil yang digantung.Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil memenangkan hadiah kecil berupa gantungan kunci denga bentuk yang sangat unik dan juga menarik.“Ini untukmu!” Lagi-lagi, Sebastian memberikan hadiah itu kepada Clara dan segera diterima oleh wanita cantik itu.“Terima kasih, Tuan.”Tidak puas hanya dengan itu, Sebastian melanjutkan ke permainan memancing ikan mainan. Dengan hati-hati, ia mengarahkan pancingannya, berusaha menangkap ikan plastik yang terus bergerak di dalam kolam kecil. Tepuk tangan riuh dari Clara terdengar ketika ia berhasil menangkap beberapa ekor ikan sekaligus.Hadiah kali ini berupa bantal berbentuk hati dengan hiasan bulu di tepian bantal. Clara jelas saja menerima hadiah itu dengan senang hati.Permainan terakhir ya
Ekspresi wajah Sebastian berubah seketika begitu mendengar suara di ujung telepon. Tatapan matanya yang semula penuh ketenangan kini menjadi tajam, mencerminkan keterkejutan sekaligus rasa cemas yang tak dapat disembunyikan.Ia menggenggam telepon itu lebih erat, seolah-olah ingin memastikan bahwa suara yang baru saja ia dengar bukan sekadar ilusi. Detak jantungnya semakin cepat, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Dalam keheningan, Sebastian berusaha mengendalikan dirinya dan kembali fokus ke depan.“Untuk apa kamu menelponku?” hardik Sebastian. Suaranya terdengar sangat dingin seolah mampu menembus ke ujung sana. “Apa lagi, tentu saja karena aku merindukanmu. Bastian tahukah kamu, aku tidak pernah bisa melupakanmu,” ujar Bianca dengan nada yang mendayu-dayu pilu.Akan tetapi, itu justru terdengar menjijikkan di telinga Sebastian. Seperti yang pernah dia katakan kepada Clara, dirinya menerima Bianca hanya untuk melupakan teman masa kecilnya yang tak lain adalah C
Jantung Clara berdegup kencang, seolah-olah setiap denyutnya menggetarkan seluruh tubuhnya. Perasaan aneh dan cemas melanda dirinya, sementara kesadaran akan keberadaan Sebastian yang begitu dekat semakin mengganggu ketenangannya.Dengan hati yang berdebar, Clara berusaha mengalihkan pandangan, tetapi tak bisa menepis perasaan canggung yang menyelubungi dirinya. Ia menyadari betul betapa rapatnya jarak antara mereka, dan bagaimana setiap detail kecil—deru napas, sentuhan hangat udara—menciptakan rasa yang sulit dijelaskan.Sebastian berada tepat di atasnya, begitu dekat sehingga Clara bisa mendengar deru napasnya yang hangat menyentuh kulit wajahnya. Setiap hembusan napasnya terasa begitu dekat, seolah-olah itu bergetar di udara sekitarnya.“Tu-tuan, ini masih pagi.” Suara Clara terbata-bata.Tatapan Sebastian menghujam tepat ke arah wanita yang ada di bawahnya. “Memangnya kenapa kalau masih pagi, aku menunggumu semalaman, tapi kamu tidak bangun.” Sebastian mengoceh.Clara mengerjap p
Saat nama Bianca terdengar, ekspresi wajah Sebastian seketika berubah menjadi kelam. Seperti awan mendung yang menutupi langit cerah, keceriaan yang mungkin ada sebelumnya langsung lenyap.Tatapannya, yang semula tenang, kini memancarkan kilatan tajam penuh arti. Seolah-olah ada amarah yang tersimpan rapi di balik sorot matanya, sebuah emosi yang tak dapat disembunyikan meski bibirnya tetap terkatup rapat. Nama itu jelas membawa beban yang berat dalam benaknya, membuka kembali lembaran kisah yang mungkin ingin dia lupakan.Tangan Sebastian mengepal dengan kuat, menunjukkan ketegangan yang menguasai dirinya. Otot-otot di lengannya tampak tegang, seolah-olah menahan ledakan emosi yang hampir tak terkendali. Rahangnya mengeras, menandakan amarah yang terpendam di dalam dirinya.Wajahnya yang memerah dan sorot matanya yang tajam mencerminkan pergulatan batin yang tengah ia alami, seolah-olah ia sedang berjuang untuk tetap menguasai dirinya di tengah badai perasaan yang melanda.Clara memp
Selera makan Sebastian tiba-tiba menghilang. Gerakan mulutnya yang semula mengoyak makanan tiba-tiba berhenti. Lalu gelas di atas meja diraih, ditenggaknya dengan cepat, guna mendorong makanan yang serasa sulit masuk ke tenggorokan. Napasnya sedikit memburu, entah karena kesal atau apa, tatapan Sebastian berubah tak sehangat sebelumnya. Kedua tangan yang memegang sendok dan garpu berubah mengeras, kemudian diletakkannya benda di tangannya itu dengan hati-hati. "Andrew, sepertinya faktor usia membuatmu lupa. Tidak ada yang boleh menggangguku saat sedang makan." Sebastian menatap Andrew yang tampak kebingungan. Entah lupa atau bagaimana, kepala pelayan itu untuk pertama kalinya telah melanggar peraturan rumah ini. Andrew tampak menghindari tatapan Sebastian. Kemudian dengan nada rendah, dia berkata, "Maaf, Tuan. Tapi Kakek Anda, beliau ingin bicara." "Kalau begitu tunggu sampai selesai makan." Setelah mengatakan itu, Sebastian kembali meraih sendok dan garpu, dan melanjutkan makan m
Hari-hari berlalu, dan Sebastian kembali tenggelam dalam kesibukannya. Sejak pagi, dia telah duduk di belakang meja kerjanya, dikelilingi tumpukan dokumen dan layar monitor yang menampilkan laporan keuangan serta proyek-proyek baru. Telepon di mejanya sesekali berdering, sementara suara ketikan cepat memenuhi ruangannya. Dia bekerja seperti biasa—seolah apa yang terjadi kemarin hanyalah angin lalu.Tidak ada yang berubah dalam sikapnya. Dia tetap profesional, fokus pada pekerjaannya, dan tidak membiarkan pikirannya terbebani oleh apa pun di luar tugasnya. Menurut informasi, kelurga Ziyon tidak terima dan memutuskan untuk membawa kasus ini ke pengadilan. Namun, semua hanya Sebastian anggap sebagai anjing menggonggong saja. Nyatanya, bukti-bukti surat yang telah ditandatangani Ziyon sangat kuat.Tidak ada yang bisa mengganggu gugat. Sebastian kembali memfokuskan pada pekerjaannya. Ziyon, perjanjian yang dibatalkan, dan reaksi keluarganya—semuanya berusaha dia kubur dalam-dalam.Hari i
Keesokan harinya, konferensi pers digelar. Suasana di ruang konferensi sebuah hotel mewah di pusat kota terasa tegang. Puluhan wartawan telah memenuhi ruangan, kamera-kamera siaran langsung siap merekam setiap momen yang akan terjadi.Mikrofon-mikrofon dari berbagai media terpasang rapi di atas meja panjang, menunggu pernyataan resmi yang akan segera diumumkan.Di tengah sorotan lampu kamera, seorang pria berjas elegan naik ke podium. Dia adalah perwakilan resmi yang akan menyampaikan keputusan penting terkait masa depan Abraham Group. Ziyon telah hadir didampingi oleh asistennya tampak menunduk lesu, seolah kehilangan gairah hidup. Dia duduk di kursi yang tersedia, di sebelah kanan podium. Suara bisik-bisik mulai terdengar di antara para wartawan, spekulasi terus berkembang sejak berita pertandingan balap mobil yang menegangkan pada hari sebelumnya.“Terima kasih telah hadir,” ujar pria itu dengan nada tegas. “Hari ini, kami secara resmi mengumumkan bahwa perjanjian yang menyatakan
Sebastian kehilangan kendali sehingga kendaraan miliknya bergerak tak tentu arah. Meski begitu, Sebastian mencoba bersikap tenang, dan mencoba mengendalikan laju kendaraan agar tetap berada di lintasan. Pandangannya di depan tertutup asap yang keluar dari kendaraannya. Sebastian tidak menyerah. Tetap melaju meski dengan sangat lambat. "Sial! Bagaimana bisa begini?" gerutu Sebastian. Ketika kemenangan sudah di depan mata, dia justru mengalami sesuatu yang harus membuatnya jauh tertinggal di belakang. Clara yang melihat itu segera berdiri dari duduknya. Tangannya yang memegang tas berubah meremas. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Satu tangannya yang kosong memegang perutnya. Meski dia belum memastikan siapa yang berada dalam kendaraan bermasalah itu, tetap saja Clara merasa khawatir. "Mudah-mudahan semua baik-baik saja," gumam Clara. Ramon, yang berdiri di dekat lintasan seketika panik. Apa yang dia lihat sangat mengganggu ketenangannya. Ramon sudah memastikan kendaraan d
Para rekan-rekan Ziyon terkejut dan saling pandang antara satu sama lain. Salah satu dari mereka menyenggol lengan rekan lainnya agar membuka suaranya. Seolah tidak memiliki keberanian untuk berbicara sendiri. "Memang apa yang kamu lakukan?" tanya Michael, rekan Ziyon yang lain. "Mobil yang ada di sana itu, tidak ada benar. Para mobil itu sudah disabotase," ucap Ziyon sinis. Dengan senyum tipis yang terukir di bibir tebalnya. "Ah begitu rupanya." Para rekannya mengangguk saja. Entah mengapa mereka merasa ini tidak seru karena sudah bisa ditebak siapa pemenangnya. "Tapi ingat, kalian harus tutup mulut, masing-masing saham lima persen untuk kalian." Detik itu juga mereka tersenyum lebar. Orang gila mana yang menolak saham diberikan secara cuma-cuma. Sementara tugas mereka hanya tutup mulut saja. Itu perkara yang gampang. Sebastian sudah bersiap di dekat kendaraannya yang terparkir di garis finish. Dengan ditemani Ramon, pria itu berdiri dengan raut tanpa ekspresi. Kemudian, Ziyon
Ziyon menatap berkas yang diberikan oleh Sebastian. Ragu, dia meraih berkas itu. "Apa ini?" tanya Ziyon saat berkas sudah berpindah tangan. "Buka dan baca. Bukankah kamu butuh penguat, Andai kamu menang, harus ada surat-surat yang menguatkan. Karena kamu akan mendapatkan semua yang aku punya, begitu juga sebaliknya," cetus Sebastian. Ziyon menyunggingkan senyumnya. "Kamu benar." Ziyon membuka berkas tersebut, senyum kecilnya berubah menjadi senyum lebar. Matanya yang normal penuh binaran bahagia. Bukan hanya perusahaan, bahkan Sebastian mengerahkan semua yang dia punya untuk bertaruh. Ziyon tertawa setelah menutup berkas itu. "Bastian, kamu tidak jauh beda dengan adikmu, sangat percaya diri. Apa kamu yakin akan menang? Apa kamu siap kehilangan semuanya jika kamu kalah?" Ziyon berbicara dengan nada mengejek. Sebastian tersenyum tipis, nyaris tak terlihat. Kemudian dia membalas ucapan Ziyon. "Baca baik-baik, Ziyon. Hal itu juga berlaku untuk dirimu, bila aku yang menang." Ziyon me
Sementara kabar tentang Abraham Group yang telah berpindah kepemilikan pada Zeus Group semakin santer terdengar. Beberapa media mengabarkan bahwa Abraham berada dalam jurang kehancuran setelah berganti kursi kepemimpinan. Nyatanya, Abraham Group terus mengalami masalah setelah ditinggalkan oleh Sebastian. Permasalahan finansial menjadi pemicu utama kehancuran perusahaan tersebut. Maxime telah siuman, namun setelah mendengar kabar yang menghiasi surat kabar maupun media elektronik itu kembali kritis. Sementara Leonard berusaha menekan kabar tersebut agar menghilang dari peredaran. Dia meminta bantuan Louis sang adik, tetapi adiknya itu justru sibuk dengan pekerjaan sendiri. "Louis, kamu harus menekan berita itu," kata Leonard. "Kakak, aku banyak pekerjaan. Aku juga harus mengamankan sahamku di Abraham Group," jawab Louis. Mendengar itu, rahang Leonard mengeras. Jemarinya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Tatapannya yang dingin berubah semakin gelap akibat
Sebastian turun ke lantai bawah, langkahnya sangat cepat menuruni anak tangga. Raut wajahnya dingin dan gelap. Tangannya yang mengepal sesekali bergerak gusar menyugar rambutnya. Semenjak Clara mengandung, Sebastian memang sangat sensitif jika menyangkut masalah keamanan. Saat Ramon melaporkan bahwa ada orang asing yang berkeliaran di luar mansionnya, Sebastian segera memberitahu para penjaga untuk bersiaga. Memeriksa CCTV bagian depan. Tetapi tidak menunjukkan tanda-tanda adanya seseorang. Sementara Ramon kini berada di dalam mobilnya, memperhatikan sosok berjubah hitam, dengan penutup kepala. Pria itu tampak menunggu, saat yang tepat untuk menangkap basah orang itu. Ramon memperhatikan, sosok itu bersembunyi kala penjaga memeriksa keluar pagar. Kemudian, kembali muncul saat penjaga kembali masuk. Entah apa tujuannya. Ingin mencuri, atau merampok? Ramon, membuka pintu mobilnya perlahan. Kemudian menutupnya tanpa menimbulkan suara. Dia lantas berjalan mengendap sembari terus mempe
Clara dapat merasakan panasnya jemari Sebastian yang menyentuh lembut dagunya. Mengangkatnya pelan, dan membuatnya mendongak ke atas. Bisa mencium aroma kuat parfum dan bercampur dengan aroma tubuh. Begitu kuat, memikat. Deru napas Sebastian terasa hangat menyentuh kulit wajah. Ketika bibir sensual milik suaminya itu mendekat, Clara memejamkan mata. Clara kembali merasakan lembutnya bibir suaminya yang menyatu dengan bibirnya. Kecupan singkat diberikan di awalnya. Selanjutnya, gerakan itu berubah menjadi sebuah pagutan yang penuh gelora. Ganasnya permainan Sebastian, membangkitkan sesuatu dalam diri Clara. Hasrat. Sebastian semakin berani, tangannya berselancar ke tengkuk, jemari kokohnya menelusup ke rambut istrinya. Sementara gerakan bibirnya semakin dalam dan menuntut. Clara membalas pagutan lebih dalam. Menggerakkan indera perasa menjelajah isi mulut Sebastian. Gigitan kecil dirasakan Clara, dan membuat wanita itu mengeluarkan suara. Dan selanjutnya, Clara melepasnya. "Kamu m