Malam itu, nyatanya Sebastian ketagihan untuk kembali memainkan sebuah permainan. Dengan semangat, Sebastian mencoba berbagai jenis permainan yang tersedia. Ia memulai dengan permainan dart, di mana ia harus tepat mengenai balon-balon kecil yang digantung.Setelah beberapa kali mencoba, ia berhasil memenangkan hadiah kecil berupa gantungan kunci denga bentuk yang sangat unik dan juga menarik.“Ini untukmu!” Lagi-lagi, Sebastian memberikan hadiah itu kepada Clara dan segera diterima oleh wanita cantik itu.“Terima kasih, Tuan.”Tidak puas hanya dengan itu, Sebastian melanjutkan ke permainan memancing ikan mainan. Dengan hati-hati, ia mengarahkan pancingannya, berusaha menangkap ikan plastik yang terus bergerak di dalam kolam kecil. Tepuk tangan riuh dari Clara terdengar ketika ia berhasil menangkap beberapa ekor ikan sekaligus.Hadiah kali ini berupa bantal berbentuk hati dengan hiasan bulu di tepian bantal. Clara jelas saja menerima hadiah itu dengan senang hati.Permainan terakhir ya
Ekspresi wajah Sebastian berubah seketika begitu mendengar suara di ujung telepon. Tatapan matanya yang semula penuh ketenangan kini menjadi tajam, mencerminkan keterkejutan sekaligus rasa cemas yang tak dapat disembunyikan.Ia menggenggam telepon itu lebih erat, seolah-olah ingin memastikan bahwa suara yang baru saja ia dengar bukan sekadar ilusi. Detak jantungnya semakin cepat, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Dalam keheningan, Sebastian berusaha mengendalikan dirinya dan kembali fokus ke depan.“Untuk apa kamu menelponku?” hardik Sebastian. Suaranya terdengar sangat dingin seolah mampu menembus ke ujung sana. “Apa lagi, tentu saja karena aku merindukanmu. Bastian tahukah kamu, aku tidak pernah bisa melupakanmu,” ujar Bianca dengan nada yang mendayu-dayu pilu.Akan tetapi, itu justru terdengar menjijikkan di telinga Sebastian. Seperti yang pernah dia katakan kepada Clara, dirinya menerima Bianca hanya untuk melupakan teman masa kecilnya yang tak lain adalah C
Jantung Clara berdegup kencang, seolah-olah setiap denyutnya menggetarkan seluruh tubuhnya. Perasaan aneh dan cemas melanda dirinya, sementara kesadaran akan keberadaan Sebastian yang begitu dekat semakin mengganggu ketenangannya.Dengan hati yang berdebar, Clara berusaha mengalihkan pandangan, tetapi tak bisa menepis perasaan canggung yang menyelubungi dirinya. Ia menyadari betul betapa rapatnya jarak antara mereka, dan bagaimana setiap detail kecil—deru napas, sentuhan hangat udara—menciptakan rasa yang sulit dijelaskan.Sebastian berada tepat di atasnya, begitu dekat sehingga Clara bisa mendengar deru napasnya yang hangat menyentuh kulit wajahnya. Setiap hembusan napasnya terasa begitu dekat, seolah-olah itu bergetar di udara sekitarnya.“Tu-tuan, ini masih pagi.” Suara Clara terbata-bata.Tatapan Sebastian menghujam tepat ke arah wanita yang ada di bawahnya. “Memangnya kenapa kalau masih pagi, aku menunggumu semalaman, tapi kamu tidak bangun.” Sebastian mengoceh.Clara mengerjap p
Saat nama Bianca terdengar, ekspresi wajah Sebastian seketika berubah menjadi kelam. Seperti awan mendung yang menutupi langit cerah, keceriaan yang mungkin ada sebelumnya langsung lenyap.Tatapannya, yang semula tenang, kini memancarkan kilatan tajam penuh arti. Seolah-olah ada amarah yang tersimpan rapi di balik sorot matanya, sebuah emosi yang tak dapat disembunyikan meski bibirnya tetap terkatup rapat. Nama itu jelas membawa beban yang berat dalam benaknya, membuka kembali lembaran kisah yang mungkin ingin dia lupakan.Tangan Sebastian mengepal dengan kuat, menunjukkan ketegangan yang menguasai dirinya. Otot-otot di lengannya tampak tegang, seolah-olah menahan ledakan emosi yang hampir tak terkendali. Rahangnya mengeras, menandakan amarah yang terpendam di dalam dirinya.Wajahnya yang memerah dan sorot matanya yang tajam mencerminkan pergulatan batin yang tengah ia alami, seolah-olah ia sedang berjuang untuk tetap menguasai dirinya di tengah badai perasaan yang melanda.Clara memp
Kecemburuan tampak begitu nyata di wajah Bianca. Matanya yang biasanya penuh kehangatan kini menampilkan sorot yang dingin dan penuh rasa tidak suka. Bibirnya terkatup rapat, membentuk garis tipis yang menunjukkan usahanya untuk tetap tenang, meskipun emosi di dalam dirinya bergolak.Pipinya yang sedikit memerah menjadi bukti lain dari perasaan yang tak bisa ia sembunyikan. Bianca berusaha untuk tetap terlihat tenang, tetapi gerak-geriknya yang gelisah mengungkapkan segalanya. Perasaan yang ia coba kubur dalam-dalam kini terangkat ke permukaan, menjadi saksi bisu atas luka yang sedang ia rasakan.Sebastian tampak menikmati setiap jejak kecemburuan yang terpancar dari raut wajah Bianca. Tatapan matanya seolah menelanjangi emosi yang tak mampu disembunyikan oleh perempuan itu. Dengan senyum penuh kemenangan, Sebastian menunjukkan kepuasan yang nyata. Bibirnya melengkung halus, mencerminkan perasaan puas yang tak dapat ditutupi. Setiap gerakan kecil dari Bianca seakan menjadi hiburan ba
“Aku benci seseorang meremehkanku, jadi aku akan membuktikannya padamu.”Dalam hitungan detik, kemeja yang melekat di tubuh Sebastian telah terlepas, memperlihatkan sosoknya yang tegap dan berotot. Gerakannya begitu cepat dan penuh percaya diri, seolah hal itu adalah sesuatu yang biasa ia lakukan.Kain kemeja itu kini tergeletak di lantai, melipat dengan sembarangan, sementara Sebastian berdiri tegap, menatap ke depan dengan tatapan tajam. Tidak ada keraguan dalam gerakannya, hanya ketegasan yang mencerminkan karakter pribadinya. Suasana di sekitarnya terasa berbeda, seolah setiap tindakannya membawa dampak yang tidak bisa diabaikan.Clara yag melihat itu seketika merinding, dia memperhatikan sekitar, dan melihat Andrew tengah berdiri sembari menundukkan kepala. Lantas dia kembali menatap Sebastian.“Tuan, ini ruang tamu.” Clara berkata dengan nada sedikit ketakutan. Dia merasa Sebastian sudah tidak waras.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Menikmati ketakutan di wajah Clara. “Kenapa
"Maaf untuk apa?"Begitu mendengar suara Sebastian, Clara merasa seperti mendapat angin segar. Dia menggerakkan kepalanya, menatap ke samping. "Maaf untuk sikap saya kemarin," ucap Clara.Tatapan Sebastian yang sempat mengarah pada Clara, kini kembali lurus ke depan."Lupakan saja," kata Sebastian dengan raut wajah dingin. "Sampai kapan pun kamu tidak akan mengerti perasaanku," imbuhnya.Clara terdiam untuk beberapa saat. Apakah Sebastian sedang membahas masalah perasaan? Sedangkan Clara tidak pernah lupa kata Sebastian berkata bahwa dirinya tidak boleh menggunakan perasaan dalam hubungan ini."Tuan, Anda pernah berkata bahwa saya tidak boleh menggunakan perasaan saya dalam hubungan ini." Clara mencoba mengingatkan."Itu karena aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya." Sebastian tetap mempertahankan tatapannya ke depan. Namun, dalam detik selanjutnya, dia tidak bisa lagi mengalihkan perhatiannya dari wanita itu. "Clara, aku mencintaimu sejak pertama kali bertemu."M
Clara terdiam untuk beberapa saat, memastikan kembali bahwa dirinya tidak salah baca. Rupanya ekspektasi Clara tentang Sebastian ini terlalu tinggi. Entah mengapa dia ingin pria itu melarangnya seperti biasa.Menahannya dengan sejuta alasan. Mengancamnya dengan mengingatkan kembali masalah kontrak. Bila jauh, pria itu menyuruhnya datang. Lalu mengajaknya bermain seharian.Namun sekarang, semua itu hanya khayalan semata. Sebastian tidak akan melakukan itu karena dalam kondisi marah padanya. Clara kembali menghela napas. Menunggu beberapa saat, bisa saja Sebastian berubah pikiran.Namun, sepertinya Clara sudah menunggu terlalu lama. Dia membuka kembali aplikasi hijau miliknya dan melihat profil Sebastian, dan pria itu terlihat sudah menonaktifkan kontaknya.Napas berat kembali dihembuskan oleh Clara."Sebaiknya aku pergi sekarang." Clara melirik jam di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Clara segera menuju ke tepi jalan. Dia melihat taksi dari arah berlawanan dan seger
Keesokan paginya, Sebastian dan Clara kembali mengunjungi rumah sakit. Mereka membawa beberapa barang kesukaan Maxime, seperti selimut hangat, buku bacaan, dan foto-foto keluarga yang telah dipilih Clara semalam. Mereka ingin membuat ruangan rawat Maxime terasa lebih nyaman, lebih seperti rumah.Ketika mereka memasuki ruangan, Maxime tampak sudah jauh lebih segar. Pipi tuanya mulai bersemu merah, matanya tampak berbinar meski tubuhnya masih tampak rapuh."Kakek!" seru Kaisar kecil yang diajak serta. Dengan langkah kaku, balita itu berlari menuju ranjang Maxime.Maxime tertawa kecil, suaranya serak. Ia membuka kedua lengannya. "Kemarilah, jagoan kecilku," katanya lembut.Kaisar memanjat ke atas ranjang dengan bantuan Clara, lalu memeluk Maxime erat-erat. Pemandangan itu membuat Sebastian dan Clara tersenyum haru."Terima kasih kalian sudah datang," ujar Maxime lirih, menatap Sebastian dan Clara dengan penuh kebanggaan."Kami selalu di sini untuk Kakek," jawab Sebastian, mengambil kursi
Satu tahun berlalu, kehidupan keluarga besar Abraham terus dipenuhi dengan kebahagiaan dan keberkahan. Sejak penggabungan resmi antara Abraham Group dan Diamond Company, kedua perusahaan itu tumbuh pesat menjadi satu kekuatan bisnis yang mengagumkan. Di bawah kepemimpinan Sebastian Abraham yang penuh dedikasi, berbagai pencapaian baru terus diraih, mengukuhkan nama Abraham Group sebagai salah satu perusahaan terkuat di negara itu.Sebastian sendiri kini semakin disibukkan dengan berbagai agenda bisnis. Namun, di sela kesibukannya, ia tidak pernah melupakan keluarganya. Kaisar, putra kecilnya yang kini berusia dua tahun, menjadi sumber semangat baru dalam hidupnya dan Clara.Sementara itu, Dareen menunjukkan perkembangan yang luar biasa. Dengan kerja keras dan ketekunan yang tidak pernah surut, ia akhirnya dipercaya oleh Sebastian untuk naik jabatan menjadi seorang manajer. Kenaikan itu bukan semata-mata karena hubungan keluarga, melainkan murni atas kegigihan dan kerja keras yang tela
Minggu-minggu berlalu sejak kepulangan mereka dari Swiss. Kenangan manis liburan itu masih hangat membekas dalam ingatan mereka. Foto-foto perjalanan dipajang di ruang keluarga, Kaisar bahkan masih tidur dengan Luzie, boneka sapi kecil yang kini menjadi sahabat tidurnya.Sejak liburan itu, Clara dan Sebastian mulai menerapkan kebiasaan baru yang mereka sepakati: satu akhir pekan setiap bulan sebagai “Hari Keluarga.” Hari itu menjadi waktu khusus yang tidak boleh diganggu oleh pekerjaan, urusan luar, ataupun janji sosial lainnya. Mereka hanya akan bertiga, melakukan apa pun yang mereka sepakati bersama.Pada bulan pertama, mereka memilih mengunjungi kebun stroberi di daerah Puncak. Kaisar begitu gembira bisa memetik buah sendiri, sementara Clara dan Sebastian duduk di bawah pohon rindang sambil bercakap-cakap santai.“Sebastian,” ujar Clara saat mereka duduk di tikar piknik, “aku merasa sangat beruntung. Bukan karena kita pernah ke Swiss, atau punya rumah yang nyaman. Tapi karena kamu
248. Keesokan paginya, cahaya matahari musim dingin menyelinap lembut melalui jendela besar kamar hotel mereka. Clara terbangun lebih dulu. Ia bangkit perlahan, membiarkan Kaisar dan Sebastian masih terlelap di bawah selimut hangat. Ia berdiri di balkon, memandangi danau yang tenang, permukaannya memantulkan warna langit dan puncak-puncak bersalju.Tak lama kemudian, Sebastian keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah dan senyum di wajahnya. “Selamat pagi, nyonya Sebastian,” ujarnya sambil memeluk Clara dari belakang.Clara tertawa kecil. “Selamat pagi juga, tuan romantis. Si kecil masih tidur?”“Masih. Tapi kurasa tidak lama lagi. Bau sarapan khas Swiss di restoran bawah pasti akan membuatnya bangun,” jawab Sebastian.Mereka pun bersiap untuk menjelajahi hari terakhir liburan mereka. Rencana hari itu cukup sederhana: menikmati sarapan di hotel, lalu berjalan santai di sekitar danau Lucerne sebelum mengunjungi sebuah desa kecil di pegunungan yang terkenal dengan kerajinan tan
247. Clara dan Sebastian kembali menjalani kehidupan mereka yang normal, jauh dari gejolak emosi yang sempat menguji rumah tangga mereka. Kaisar tumbuh sehat dan ceria, menjadi pusat perhatian serta cinta di rumah itu.Setiap akhir pekan, mereka kerap mengunjungi perkebunan milik kedua orang tua Clara yang terletak di dataran tinggi. Perkebunan itu luas dan terawat, penuh dengan tanaman teh dan bunga-bunga yang tumbuh rapi. Udara di sana selalu segar, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang baru disiram embun pagi. Di tempat itulah Clara merasa paling damai.Meski kesibukan kerja kembali menyita waktu Sebastian, ia tidak pernah melewatkan waktu berkualitas bersama keluarganya. Ia menyadari bahwa kebahagiaan rumah tangganya tidak bisa dibeli dengan kesuksesan semata. Oleh sebab itu, setelah melalui berbagai pertimbangan, Sebastian merancang satu rencana besar—liburan untuk mereka bertiga. Bukan liburan singkat ke luar kota, tetapi sebuah perjalanan ke luar negeri. Ia ingin memberi
246. Beberapa minggu berlalu sejak pertemuan sore itu di taman. Hubungan antara Sebastian dan William mulai menemukan bentuk baru. Bukan sebagai rival, melainkan sebagai dua pria dewasa yang memilih saling menghargai, meskipun di masa lalu mereka berdiri di sisi yang berbeda. Kaisar, yang masih terlalu kecil untuk memahami kompleksitas hubungan orang dewasa, menerima kehadiran keduanya dengan gembira. Baginya, selama ada cinta dan perhatian, ia merasa utuh.Clara menyadari perubahan ini dengan rasa syukur. Bagi seorang ibu, tidak ada yang lebih melegakan daripada melihat anaknya dikelilingi kasih sayang, tanpa harus menjadi korban perselisihan orang dewasa. Namun di balik ketenangan itu, Clara tetap waspada. Ia tahu luka di hati William mungkin masih menganga, dan bisa saja berdarah kembali sewaktu-waktu.Suatu pagi yang cerah, Sebastian bersiap-siap untuk berangkat ke kantor. Ia mengenakan jas abu-abu rapi, sambil merapikan dasi di depan cermin. Clara masuk ke kamar membawa secangki
244Langkah kaki William terasa berat saat meninggalkan rumah Clara. Matahari mulai condong ke barat, memantulkan cahaya oranye yang suram di sepanjang jalan. Udara sore terasa pengap, seperti menyesakkan dadanya yang sudah lebih dulu penuh oleh kemarahan dan penyesalan.Ia mengemudi tanpa arah. Jalanan tampak kabur di matanya, bukan karena cuaca, melainkan oleh pikiran yang kacau. Kata-kata Clara tadi terus terngiang-ngiang di telinganya:“Kamu sendiri yang memilih jalan itu.”Ia tahu itu benar. Ia yang meninggalkan Clara, meninggalkan rumah, meninggalkan semua yang pernah dibangun bersama. Tapi saat itu, ia merasa tidak punya pilihan. Tekanan pekerjaan, pertengkaran kecil yang terus membesar, dan rasa tidak percaya diri sebagai suami membuatnya menjauh. Ia berpikir, dengan pergi, semuanya akan membaik.Ternyata tidak. Sejak berpisah, kehidupannya justru kosong. Ia mencoba menjalin hubungan baru, tapi tidak ada yang terasa seperti Clara. Bahkan saat bersama orang lain, pikirannya sel
243Sebastian duduk di beranda rumah mertuanya dengan perasaan lega bercampur haru. Hari itu adalah hari yang telah lama ia nantikan. Setelah sekian lama membuktikan ketulusan dan kesungguhannya, akhirnya restu yang selama ini terasa jauh kini datang mendekat. Richard dan Mariana—kedua orang tua Clara—akhirnya menerima Sebastian sebagai menantu mereka sepenuhnya.Perjalanan menuju titik ini bukan hal yang mudah. Sejak menikahi Clara, Sebastian harus menghadapi pandangan sinis dari Richard yang masih belum sepenuhnya bisa menerima kehadiran pria lain menggantikan posisi William, mantan suami anaknya. Mariana pun, meskipun lebih lembut dalam bersikap, tetap menunjukkan jarak.Namun Sebastian tidak pernah menyerah. Ia datang setiap minggu, membantu apa pun yang ia bisa di rumah orang tua Clara. Ia tak pernah mengeluh saat disuruh memperbaiki keran bocor atau ikut memanen sayur di kebun belakang. Ia bersabar saat omongan Richard menusuk harga dirinya. Ia melakukan semua itu bukan demi puj
Pagi itu langit terlihat cerah, burung-burung berkicau riang di pepohonan sekitar rumah keluarga Rein. Suasana yang tenang perlahan berubah ketika suara mesin mobil terdengar mendekat di halaman depan. Dari balik jendela ruang keluarga, Clara melirik keluar dan mendapati sosok yang sudah ia duga sejak semalam—William."Dia datang lagi,” gumam Clara pelan, sambil berdiri dan merapikan rok panjangnya.Sebastian yang duduk di kursi membaca koran hanya menoleh sekilas. Wajahnya tetap tenang, meskipun hatinya bergejolak. Ia tahu bahwa kedatangan William tidak sekadar kunjungan biasa. Ada sesuatu yang disimpan pria itu, dan Sebastian bersiap untuk segala kemungkinan.Pintu rumah terbuka. Rosalia Rein, ibu Clara, menyambut William dengan senyum yang hangat.“William, Nak, kau datang lagi pagi-pagi begini. Ada angin apa?” tanya Rosalia dengan ramah.William membungkuk sedikit memberi hormat, lalu menjawab, “Saya hanya ingin berbicara sebentar dengan Paman Richard. Sekaligus… bertemu Clara.”C