“Aku benci seseorang meremehkanku, jadi aku akan membuktikannya padamu.”Dalam hitungan detik, kemeja yang melekat di tubuh Sebastian telah terlepas, memperlihatkan sosoknya yang tegap dan berotot. Gerakannya begitu cepat dan penuh percaya diri, seolah hal itu adalah sesuatu yang biasa ia lakukan.Kain kemeja itu kini tergeletak di lantai, melipat dengan sembarangan, sementara Sebastian berdiri tegap, menatap ke depan dengan tatapan tajam. Tidak ada keraguan dalam gerakannya, hanya ketegasan yang mencerminkan karakter pribadinya. Suasana di sekitarnya terasa berbeda, seolah setiap tindakannya membawa dampak yang tidak bisa diabaikan.Clara yag melihat itu seketika merinding, dia memperhatikan sekitar, dan melihat Andrew tengah berdiri sembari menundukkan kepala. Lantas dia kembali menatap Sebastian.“Tuan, ini ruang tamu.” Clara berkata dengan nada sedikit ketakutan. Dia merasa Sebastian sudah tidak waras.Sebastian menyunggingkan senyumnya. Menikmati ketakutan di wajah Clara. “Kenapa
"Maaf untuk apa?"Begitu mendengar suara Sebastian, Clara merasa seperti mendapat angin segar. Dia menggerakkan kepalanya, menatap ke samping. "Maaf untuk sikap saya kemarin," ucap Clara.Tatapan Sebastian yang sempat mengarah pada Clara, kini kembali lurus ke depan."Lupakan saja," kata Sebastian dengan raut wajah dingin. "Sampai kapan pun kamu tidak akan mengerti perasaanku," imbuhnya.Clara terdiam untuk beberapa saat. Apakah Sebastian sedang membahas masalah perasaan? Sedangkan Clara tidak pernah lupa kata Sebastian berkata bahwa dirinya tidak boleh menggunakan perasaan dalam hubungan ini."Tuan, Anda pernah berkata bahwa saya tidak boleh menggunakan perasaan saya dalam hubungan ini." Clara mencoba mengingatkan."Itu karena aku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu yang sesungguhnya." Sebastian tetap mempertahankan tatapannya ke depan. Namun, dalam detik selanjutnya, dia tidak bisa lagi mengalihkan perhatiannya dari wanita itu. "Clara, aku mencintaimu sejak pertama kali bertemu."M
Clara terdiam untuk beberapa saat, memastikan kembali bahwa dirinya tidak salah baca. Rupanya ekspektasi Clara tentang Sebastian ini terlalu tinggi. Entah mengapa dia ingin pria itu melarangnya seperti biasa.Menahannya dengan sejuta alasan. Mengancamnya dengan mengingatkan kembali masalah kontrak. Bila jauh, pria itu menyuruhnya datang. Lalu mengajaknya bermain seharian.Namun sekarang, semua itu hanya khayalan semata. Sebastian tidak akan melakukan itu karena dalam kondisi marah padanya. Clara kembali menghela napas. Menunggu beberapa saat, bisa saja Sebastian berubah pikiran.Namun, sepertinya Clara sudah menunggu terlalu lama. Dia membuka kembali aplikasi hijau miliknya dan melihat profil Sebastian, dan pria itu terlihat sudah menonaktifkan kontaknya.Napas berat kembali dihembuskan oleh Clara."Sebaiknya aku pergi sekarang." Clara melirik jam di pergelangan tangan. Waktu menunjukkan pukul 7 malam. Clara segera menuju ke tepi jalan. Dia melihat taksi dari arah berlawanan dan seger
Suara lantang itu refleks mengalihkan perhatian Clara. Dia menoleh ke arah sumber suara dan seketika membulatkan matanya."Papa, Mama."Orang yang sedang Clara hindari akhirnya datang. Clara segera menegakkan tubuhnya. Wajahnya menegang seketika.Julia melangkah cepat mendekati Clara. "Untuk apa kamu datang kemari?" cecar Julia dengan tatapan tajam."Kenapa, Ma/ Tentu saja untuk mengunjungi suamiku," ujar Clara."Cih, kamu kira aku tidak tahu? Kamu tidak pernah datang kemari, kenapa? Kamu menjadi simpanan bos kamu itu, ha?" Suara Julia melengking nyaring.Clara membulatkan. Ini terdengar seperti tamparan bagi Clara. Apa yang sebenarnya Julia ketahui tentang hubungannya dengan Sebastian? Tidak mungkin wanita itu mengetahui semuanya. Atau jangan-jangan Julia pernah melihat dirinya jalan berdua bersama Sebastian?"Ma, apa yang Mama katakan?""Kamu tidak dengar aku bicara? Apa saja yang kamu lakukan sampai tidak sempat datang kemari?" tanya Julia."Tentu saja aku bekerja," jawab Clara.La
Clara seketika merasa tubuhnya menegang, seperti es yang membeku dalam sekejap. Pandangannya tertuju pada segerombolan orang di depannya, yang kini berdiri dengan sikap mengintimidasi.Tatapan mereka begitu tajam, menusuk seperti belati yang siap mengoyak pertahanannya. Clara merasakan hawa dingin menyelinap di tengkuknya, seolah niat buruk terpancar jelas dari sorot mata mereka. Dalam hati, ia berjuang menenangkan diri, meski bayangan akan bahaya yang mengintai semakin nyata di benaknya.Clara merasakan rasa takut menjalar di seluruh tubuhnya ketika segerombolan orang itu mulai melangkah mendekat. Langkah mereka perlahan namun penuh ancaman, membuat udara di sekitarnya terasa semakin berat.Tanpa pikir panjang, Clara berbalik dan berlari sekuat tenaga, berharap bisa meloloskan diri dari bahaya yang mengintai. Namun, langkahnya terhenti tiba-tiba. Sebuah tangan kasar mencengkeram lengannya dengan kuat, menariknya kembali ke arah segerombolan itu.“Tolong!”Jeritan keras lolos dari bib
Ramon kini berdiri tegap, sorot matanya penuh dengan tekad yang membara. Tanpa ragu, dia melangkah maju, mengambil alih posisi Sebastian yang mulai muak menghadapi para penjahat itu. Gerakannya tegas, penuh keyakinan, menunjukkan bahwa dia siap memberikan perlawanan sengit.Tangannya yang terbungkus sarung tangan hitam terkepal kuat, Ramon menghadapi mereka satu per satu, melindungi atasannya tanpa sedikit pun gentar.Setiap pukulan yang diarahkan padanya dia tangkis dengan cekatan, membalas dengan serangan yang tak kalah kuat. Da seperti dinding kokoh yang tidak mudah digoyahkan, membuat para penjahat itu mulai kehilangan keberanian. Ramon telah mengambil alih pertempuran, menjadi sosok pelindung yang tak kenal takut.Sebastian melangkah mendekati Clara yang terduduk lemas di atas aspal dingin. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam saat dia berhenti tepat di hadapannya. Dengan perlahan, dia merunduk, menekuk satu kakinya hingga sejajar dengan posisi Clara.Tangannya yang ko
Sebastian terkejut. Sebuah kejutan yang datang begitu mendalam, seakan waktu berhenti sejenak saat kata-kata itu terdengar. Matanya yang biasanya tajam dan penuh kewaspadaan kini berubah, ada kilatan kebahagiaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Untuk beberapa detik, dia hanya terdiam, mencerna kenyataan baru yang begitu indah itu. Walau tak mengucapkan sepatah kata pun, ekspresi wajahnya mengungkapkan lebih dari apa yang bisa diungkapkan dengan kata-kata.Ada perasaan yang luar biasa dalam dirinya, perasaan yang sulit dijelaskan, namun jelas tergambar dalam tatapannya yang tajam—kebahagiaan yang datang tanpa diduga, dan harapan yang baru saja tumbuh di dalam hati Sebastian.“Apa? Hamil?” Sebastian mempertegas ucapannya.“Ya, Tuan. Usia kandungannya delapan minggu.”Tanpa menunggu penjelasan lebih lanjut dari dokter, Sebastian melesat memasuki ruangan dengan langkah cepat, matanya langsung tertuju pada Clara yang duduk di atas brankar, tampak lelah dan cemas.Tanpa ragu, dia mend
Ramon benar-benar murka. Wajahnya memerah, dan kedua tangannya terkepal erat, menahan amarah yang hampir meledak. Preman itu tetap bersikeras bungkam, tidak mau mengungkapkan siapa yang telah menginstruksikan mereka untuk bertindak.Ramon mendekat, sorot matanya tajam seperti elang yang mengincar mangsa. Meskipun berbagai pertanyaan telah dilontarkan, jawaban yang diharapkannya tak kunjung terucap. Keheningan preman itu membuat kesabaran Ramon semakin menipis, seperti api yang disiram minyak.“Aku tidak punya waktu untuk permainan seperti ini,” ucap Ramon dengan nada tegas, suaranya penuh tekanan. Namun, preman itu justru tertawa, seolah menikmati wajah Ramon.Tawa pria itu membuat Ramon semakin murkan, dia menekan kakinya dan seketika pria di bawah sana memekik.“Cepat katakan! Atau kepalamu kulenyapkan!” ancam Ramon. Dia sudah berada pada batas kesabaran. Namun, lagi-lagi tawa pria itu terdengar.“Sialan!” umpatan yang Ramon lontarkan bersamaan dengan gerakan kakinya menendang. Suara
Sebastian berjalan dengan lambat. Mendekati Clara yang kini menatapnya penuh keterkejutan. Wajahnya terlihat tenang. Namun manik indahnya menyiratkan sebuah kemarahan. Kedua tangannya memegang botol mineral dengan sangat erat, seolah melampiaskan kemarahannya pada benda di tangan, dan ketika dia tiba di dekat Clara, dia memposisikan dirinya di depan Clara, seolah ingin melindungi wanita itu dari siapa pun yang ingin mengambil wanita itu darinya. Terutama pria di hadapannya saat ini.“Jadi kau yang mengikuti kami sejak tadi?”Ucapan Sebastian sukses mengejutkan William kaget. Bukan hanya Willian, tetapi juga wanita yang ada di belakangnya.Salah satu bibir Sebastian ditarik ke samping. Seolah menikmati keterkejutan di wajah saingan cintanya itu. “Apa kamu baik-baik saja, kamu terlihat kaget. Kamu juga orang yang berkeliaran di dekat rumahku ‘kan?” Sebastian tertawa setelah mengatakannya. Lagi-lagi dia merasa sangat puas melihat William. Dia merasa menang karena telah mengetahui rahasia
Kehadirannya yang begitu tiba-tiba membuat Clara terkejut seketika.Jantungnya seakan berhenti sejenak, dan perasaan campur aduk memenuhi hatinya. Dia tidak menyangka akan bertemu dengan William di tempat ini, terlebih setelah sekian lama tidak bertemu. Clara menatapnya dengan mata terbelalak, mencoba menghilangkan kebingungannya.William, dengan senyuman yang tampak ramah, berdiri di depan Clara, seolah tidak ada jarak waktu yang telah memisahkan mereka. Kerinduan terlihat di matanya, bercampur dengan rasa bersalah."Clara?" suara William terdengar lembut, namun sangat jelas.Itu cukup untuk membuat Clara terperangah. Dia tidak bisa menahan keterkejutannya, bahkan ada sedikit rasa bingung yang muncul di wajahnya.Dalam sekejap, serangkaian pertanyaan melintas di benaknya. Apa yang membawanya ke sini? Mengapa dia muncul begitu saja? Semua itu. Berputar di kepala. Namun, dia segera menyadari sesuatu. William adalah suaminya, wajar bila lelaki itu mencari dirinya.William yang berdiri
Sesuaikan dengan keinginan Clara, wanita itu sangat ingin pergi ke taman yang terletak di pusat kota. Melihat kebahagiaan di mata Clara, Sebastian dengan senang hati mengabulkan permintaannya. Tanpa menunda, dia segera memberi perintah kepada sopirnya untuk mengarahkan mobil menuju ke taman tersebut.“Ke taman pusat kota!” titah Sebastian.Mendapat perintah, sang sopir menoleh ke samping sejenak kemudian mengangguk. “Baik, Tuan.”Mereka berdua duduk di kursi belakang dengan suasana yang tenang, menikmati perjalanan yang terasa begitu ringan. Sebastian tersenyum, melihat Clara yang tampak penuh antusias. Di tengah perjalanan, pemandangan kota yang sibuk menjadi latar belakang yang kontras dengan suasana damai yang terasa di dalam mobil.Sesampainya di taman kota, suasana yang ramai langsung menyambut kedatangan Sebastian dan Clara. Keduanyan, segera turun dengan Sebastian yang membantu Clara dengan mengulurkan sebelah tangan.“Hati-hati, Sayang.” Di sepanjang jalan setapak yang membent
Clara merasakan mual yang begitu hebat. Perutnya mulai bergejolak tak terkendali. Dengan cepat, dia menutup mulutnya, berusaha menahan rasa tidak nyaman yang semakin kuat. Dia berlari terburu-buru menuju kamar mandi. Setibanya di sana, tubuhnya tak dapat lagi menahan dorongan yang datang, dan dengan segera dia memuntahkan isi perutnya.Melihat itu, kekhawatiran kembali menyergap Sebastian. Lekas dia menyusul Clara ke kamar mandi dan melihat Clara berjongkok di depan wetafel.“Sayang, kamu tidak apa-apa?” tanya Sebastian. Dia hendak mendekat, namun gerakan tangan Clara yang terulur ke depan membuat langkahnya terhenti.“Jangan mendekat!”Seketika itu, Sebastian menyadari sesuatu. Dia mencium aroma tubuhnya sendiri. Tidak ada yang aneh. Aroma parfum dan keringat menjadi satu. Tetapi, ini tidak terlalu buruk. Namun, mampu membuat isi perut Clara keluar.Tidak ingin memperparah keadaan, Sebastian keluar dari kamar, lalu memerintahkan pelayan untuk memeriksa kondisi Clara. Jadwal pemeriksa
Sebastian berlari kecil menaiki anak tangga. Tujuannya sudah pasti kamarnya, yang dia tempati bersama Clara. Ketika dia mendengar bahwa Clara tidak mau makan, Sebastian khawatir. Ini bisa berdampak buruk bagi bayinya. Sebastian harus mencari tahu. Apa ini efek dari kandungannya? Atau justru karena hal lain?Untuk memastikannya, Sebastian harus menemui Clara secara langsung. Tiba di depan pintu kamar, Sebastian memegang handle, kemudian menekannya dengan sedikit mendorong. Akan tetapi, pintu tidak dapat terbuka.Andrew yang diam-diam mengikuti jelas tahu apa yang harus dia lakukan.Kunci cadangan.Andrew bergegas mengambilnya, dan memberikannya pada Sebastian."Ini, Tuan.""Ya, sebaiknya kau siapkan makanan!" titah Sebastian."Baik, Tuan."Sementara Andrew kembali ke dapur, Sebastian berhasil membuka pintu.Ketika dia memasuki ruangan, dia melihat tubuh tertutup selimut di atas kasurnya yang besar. Sebastian segera menghampirinya. Pertama-tama, dia memeriksa kondisi Clara dengan cara m
Sebastian dan Ramon datang ke perusahaan saat malam hari, ketika kegiatan di kantor sudah selesai dan hanya beberapa orang yang masih berada di dalam gedung. Mereka berjalan dengan hati-hati, menghindari deteksi oleh kamera pengawas dan penjaga keamanan. Untuk membangun perusahaan sendiri, dia harus menyalin beberapa data penting yang dapat membantunya dalam mengembangkan bisnisnya.Setelah beberapa menit berjalan, mereka akhirnya tiba di ruang server perusahaan, tempat di mana semua data dan sistem operasional perusahaan disimpan. Sebastian mengeluarkan peralatan yang telah dia bawa, dan mulai bekerja untuk mengakses sistem server. Ramon berdiri di sampingnya, mengawasi sekitar untuk memastikan bahwa tidak ada orang lain yang mendekati.“Tak akan kubiarkan orang lain menikmati kerja kerasku,” gumam Sebastian.Sebastian bekerja dengan cepat dan efisien, menggunakan kemampuan hackingnya untuk mengakses sistem server. Dia mulai menyalin data penting, seperti rahasia perusahaan, strategi
Dareen yang mendapati bahwa orang suruhannya gagal. Dia terlihat marah. Namun, itu hanya sesaat. Dareen yang telah kembali ke rumah hanya menyuruh mereka pergi setelah memberikan bayaran yang sesuai dengan yang dia janjikan kepada mereka.Akan tetapi, Lucia, sang ibu justru mencegahnya. Dia melangkah mendekati mereka. Meraih amplop yang diberikan oleh Dareen kepada kepala preman itu dengan kasar, kemudian menatap puteranya."Kamu ini bodoh atau bagaimana, Dareen? Mereka ini sudah gagal. Jadi mereka tidak pantas menerima bayaran ini!" cetus Lucia menatap tajam puteranya."Tapi, Mom. aku sudah menjanjikan uang pada mereka," bantah Dareen."Benar itu, Nyonya," sahut para preman itu."Diam kalian!" bentak Lucia. "Kalian ini sudah gagal, untuk apa kalian mengharapkan bayaran?” maki Lucia. “Sebaiknya kalian pergi!" usir Lucia dengan mata yang melotot tajam.Hal itu jelas membuat para preman pasar itu ciut. Mereka pikir, Lucia adalah menantu dari orang kaya yang berpengaruh. Wanita itu bisa
"Ramon?" ucap Sebastian dengan suara yang terengah-engah.Mendengar namanya disebut, Ramon menoleh ke samping. Namun, ekor matanya menangkap raut wajah Sebastian yang nampak terkejut dengan kedatangannya.“Maaf, saya terlambat datang,” ucapnya.Sebastian menghela. Ini adalah sebuah kebetulan yang menguntungkan. Ramon datang di waktu yang tepat.Ramon melompat ke dalam pertarungan, menghadapi lawan-lawan Sebastian dengan kemampuan bela diri yang sangat baik. Dia menyerang dengan cepat dan tepat, menangkis serta membalas dan membuat lawan-lawan Sebastian terkejut dan tidak siap.“Sialan!” umpat salah satu musuh yang serangannya berhasil ditepis oleh Ramon. Dia merasa aura Ramon lebih menakutkan dari lawan sebelumnya.Ramon berdiri tegap. Tatapannya terihat tajam dan waspada. Seperti serigala yang mengunci mangsanya. Setelan hitamnya, membuat Ramon seperti malaikat pencabut nyawa. Senyumnya mengembang sempurna ketika melihat lawannya ciut karenanya.“Rupanya mereka hanya preman pasar,”
"Nona, apa yang terjadi?" Seruan suara pelayan menembus gendang telinga Clara. Dia pun seketika tersadar dari lamunannya tentang foto itu. Dia juga menyadari apa yang dirinya perbuat. Dia segera meraih benda pipih yang tergeletak di tanah.Layarnya telah menghitam, namun foto itu terekam jelas di benak Clara. Bagaimana Sebastian begitu mesra memeluk wanita itu. Clara tahu siapa wanita itu. Bianca Weadow adalah seorang perancang perhiasan sekaligus mantan kekasih Sebastian."Nona, Anda tidak apa-apa?" tanya pelayan yang tampak khawatir dengan perubahan ekspresi wajah Clara.Clara pun terkesiap."Ya, aku tidak apa-apa. Aku ingin kembali ke mansion saja. Mendadak aku merasa pusing." Clara segera membalik diri. Kemudian melangkah menuju ke mansion. Clara segera menuju ke kamarnya tanpa menoleh. Dan ketika dia sampai, Clara seketika menitihkan air matanya.Sebastian memang telah pergi, namun Bianca masih berada di Abraham Group. Itu karena dia memiliki sebuah urusan yang sangat penting.