Jantung Janice masih berdebar kencang melihat wajah bengis Harlan, supervisor di Orion Group enam tahun yang lalu. Sontak Janice segera menunduk, layaknya karyawan lain yang tidak berani menatap wajah pimpinannya. Namun, tidak dapat dipungkiri kalau tubuh Janice gemetar sekarang. Bagaimana ini? Bagaimana ini? Janice tidak pernah menyangka akan bertemu dengan pria itu lagi. 'Tapi dasar bodoh, Janice!' rutuk Janice pada dirinya sendiri. Bukankah memang dulu pria itu bekerja di perusahaan Edgard? Berarti memang besar kemungkinan kalau pria itu akan muncul lagi. Walaupun sungguh Janice berharap pria itu sudah mengundurkan diri atau bahkan mati saja. Jantung Janice makin memacu kencang sekarang. Janice pun masih berdiri gelisah sampai tidak lama kemudian, ia mendengar suara Edgard. "Tante Miriam! Tante di sini? Kapan Tante datang dan mengapa Tante tidak memberitahuku dulu?" "Edgard Sayang ... Tante memang sengaja tidak memberitahu siapa pun, Edgard."Miriam tersenyum menatap Edgard
"Apa Tante akan lama di sini?" tanya Edgard setelah mereka selesai membicarakan tentang bisnis. "Kali ini Tante akan cukup lama di sini sekaligus mengatur pertunanganmu dengan Anneth, Edgard." Dan perasaan lega Edgard pun meluap seketika. Ini adalah salah satu hal yang tidak ia sukai dari Miriam, selalu memaksanya bertunangan dan menikah. Edgard pun mengembuskan napas kesalnya. Rasanya ia selalu ingin marah setiap membahasnya. "Tante, masalah itu ...." "Kita sudah membicarakannya berulang kali, Edgard. Tapi keputusan Tante tetap sama. Kau harus menikah agar ada yang mengurusmu, Edgard. Selain itu, kau juga harus punya anak untuk melanjutkan keturunan kita." Edgard terdiam sejenak mendengarnya. Punya anak bukan hal yang sulit karena ia sudah mempunyai anak sekarang, bukan hanya satu, melainkan dua sekaligus, tapi Edgard sama sekali bukan pria yang bisa diatur seperti itu. "Tante, bisakah tentang itu biar aku yang mengurusnya sendiri?""Tidak bisa, Edgard. Karena Tante tahu kala
Janice masih tidak bisa berkonsentrasi sampai sore itu. Membayangkan wajah bengis Harlan masih membuatnya menegang dan Janice terus berharap semoga Harlan tidak mengingatnya. "Janice, kau kenapa? Ada apa lagi? Kau menjadi aneh lagi! Apa Pak Edgard menyuruhmu yang macam-macam lagi?" tanya Wina yang melihat Janice terus melamun. "Eh, tidak! Aku tidak sempat bicara dengan Pak Edgard karena mendadak ada seorang wanita yang datang, tantenya," sahut Janice setengah berdusta. Wina pun membelalak mendengarnya. "Eh, Tantenya? Apa maksudmu Bu Miriam?""Eh, kau juga tahu tentang wanita itu?" "Ya ampun, tentu saja! Kau benar-benar tidak mengikuti berita tentang Pak Edgard sama sekali ya?"Janice menggeleng. Ia memang tidak mengikuti berita apa pun tentang Edgard. Selama satu bulan bekerja di Orion Group dulu, Janice hanya mengenal beberapa orang di divisinya dan juga Harlan yang merupakan supervisor yang sering ia lihat, karena ia memang masih training Edgard yang sebagai CEO atau tantenya
"Selamat tidur, Collin!""Selamat tidur, Calista!" "Selamat tidur, Uncle!" seru Collin dan Calista bersamaan. Edgard pun mengangguk dan mematikan lampunya lalu ia pun keluar dari kamar itu. Edgard yang begitu kegirangan karena kedua anaknya pulang kembali ke rumahnya pun tidak bisa menyembunyikan perasaannya. Sejak mereka pulang ke rumah tadi, Edgard sudah menyiapkan begitu banyak makanan kesukaan si kembar yang sebagian besar sama dengan kesukaan Edgard juga dan melihat si kembar yang makan dengan begitu lahap, Edgard pun sangat senang. Bahkan Edgard juga menemani mereka tidur di kamarnya dan Edgard mendadak menjadi family man sampai Jefry yang melihatnya kagum sendiri. Sedangkan Janice memilih masuk ke kamar Nara dan berbicara dengan ibunya itu tentang apa yang terjadi tadi di kantor. "Apa, Janice? Kau bertemu lagi dengan pria itu?""Harlan namanya. Dulu dia supervisor di Orion Group dan dua perusahaan itu sama-sama milik Edgard, Ibu." Janice yang sudah mengakui pada ibunya
"Mengapa kau lama sekali, Janice?" tegur Edgard saat Janice akhirnya masuk ke kamarnya. Janice sendiri masih terlalu fokus memikirkan hubungan antara Miriam, Harlan, dan semuanya dengan jantung yang berdebar kencang sampai ia bengong di luar dan barusan masuk ke kamar Edgard. "Ah, itu ...."Belum sempat Janice menjawab, Edgard sudah bertanya lagi. "Apa Jefry tidak memanggilmu tadi?" "Eh, Jefry memanggilku. Tadi aku hanya sedang mengobrol dengan ibuku." "Apa lagi yang kalian obrolkan? Apa selama ini waktu kalian berdua belum cukup sampai masih harus mengobrol lagi? Seharusnya kau menemaniku di sini kan?" Edgard yang sudah duduk di ranjangnya nampak kesal, namun Janice pun ikut membelalak mendengarnya. "Hei, kau tahu kalau ikatan antara orang tua dan anak itu sifatnya selamanya dan aku tidak akan pernah merasa cukup bersama ibuku. Begitulah orang tua dan anak. Jadi jangan mencoba memisahkan kami, waktuku boleh tersita oleh anak-anakku atau oleh suamiku nanti, teman-temanku, atau
Suara lantang Janice membuat Edgard seketika mematung sejenak. "Apa katamu, Janice? SIM itu ... bagaimana?""Itu ... menikah. Kau sudah mendengarnya kan? Kalau sudah menikah, bukankah pria dan wanita bebas melakukan apa saja?" ulang Janice dengan suara yang gemetar. Bukannya ia takut karena ia sedang mempertahankan harga dirinya sekarang. Hanya saja, Janice tidak percaya diri dan khawatir kalau reaksi Edgard tidak seperti harapannya. Edgard sendiri kembali mematung sejenak, sebelum akhirnya ia pun mengembuskan napas panjangnya. "Baiklah! Janice ... kau ... sial! Kau sadar apa yang kau katakan kan? Kau memintaku untuk menikahimu dulu agar aku bisa menyentuhmu?" tanya Edgard dengan nada frustasi. Janice sendiri ikut mengembuskan napas panjangnya dan kembali mengumpulkan keberaniannya. "Benar! Kalau kau mau menyentuhku seperti tadi ... kau harus menikahiku!"Edgard yang mendengarnya lagi-lagu mengumpat. Rasanya walau sudah diulang beberapa kali, Edgard masih belum bisa percaya kal
Edgard masih tidak berhenti mengomel saat ia melangkah kembali ke arah kamarnya sendiri. Saran Jefry benar-benar absurd dan tentu saja Edgard tidak akan menurutinya. Edgard pun terus menenangkan dirinya dan membuka pintu kamarnya. Namun, saat ia masuk ke sana, alih-alih tenang, Edgard malah makin gelisah melihat Janice sedang tidur cantik di sana. Bahkan Edgard sempat terdiam sejenak dan hanya menatapnya dari pintu, sebelum akhirnya ia melangkah ke ranjang. "Ternyata dia benar-benar tidur di sini ya? Ck, tapi kalau dia tidur di kamar lain, mungkin aku akan memindahkannya juga," gumam Edgard lagi yang sudah naik ke ranjangnya lalu menatap Janice yang sedang tidur telentang itu. Wajah polosnya nampak cantik alami dan bersih dari make up, rambutnya pun tergerai kusut di atas bantal sampai Edgard memicingkan mata menatapnya. Apalagi saat tanpa sadar Janice memalingkan wajahnya ke arah yang berbeda sampai leher jenjang wanita itu tersaji di hadapan Edgard. Bagaikan vampir yang haus
Janice masih menganga tak percaya saat Edgard malah membawa mereka semua pergi ke mall untuk berbelanja. Tentu saja tadi Janice menolak, tapi si kembar sudah terlalu antusias sampai Janice tidak punya pilihan lain selain ikut. Mereka pun melangkah bersama di mall yang besar itu yang masih cukup sepi karena baru buka. Si kembar begitu senang pergi ke mall sampai mereka berlarian sambil terus terkikik. Edgard dan Jefry yang melihatnya pun ikut senang, namun Edgard merasakan sesuatu yang mengganjal sampai ia pun mendekati Janice. "Kapan terakhir kali kau mengajak anak-anak ke mall?"Janice mengernyit tidak suka. "Apa pedulimu? Mereka tidak suka ke mall, mereka hanya suka beli keju di supermarket," seru Janice yang memang hampir tidak pernah mengajak anak-anaknya ke mall. Edgard pun mendesis mendengarnya. "Mereka tidak suka ke mall atau kau yang tidak pernah mengajaknya, hah? Tidak ada anak-anak yang tidak suka ke mall!" "Ck, kau tahu sendiri uangku terbatas dan ke mall itu berarti