"Collin, Calista, jangan berlarian seperti itu!" teriak Nara yang sudah gelisah karena takut cucunya akan menyenggol manekin. Namun, Collin dan Calista masih tetap berlarian tanpa henti sambil terus memekik kegirangan sampai Nara menjadi gemas. Janice sendiri yang awalnya tidak antusias terus didorong oleh Edgard untuk mencoba baju. "Cobalah! Bajumu sudah terlalu jadul!" "Baju apa itu? Aku tidak terbiasa memakai yang terlalu terbuka! Lagipula ke mana aku harus memakai gaun seperti itu?" "Ini hanya dress santai, semua orang memakainya saat ke mall atau makan malam di restoran, ini biasa saja. Kau saja yang terlalu jadul." "Aku memang jadul! Sudah tidak usah dicoba saja! Lagipula dadanya rendah sekali!" Edgard mengernyit dan menatap gaun santai dengan belahan dada rendah itu dan ia pun mengembuskan napas panjang. "Baiklah, kau akan terlihat rata kalau memakainya!" seru Edgard begitu saja yang membuat Janice melotot kesal dan membuat satu pelayan toko mengulum senyumnya. Janice
Elizabeth dan Miriam masih menganga mendengar pengakuan dari Edgard bahwa kedua anak itu adalah anaknya. "Edgard, apa yang kau katakan? Anak siapa itu yang kau akui sebagai anakmu?" pekik Miriam tidak percaya. Ekspresi Miriam sudah begitu tidak terbaca, gabungan antara tidak percaya dan khawatir yang berlebih menatap kedua anak yang tidak jelas itu. Namun, ekspresi Elizabeth lebih lunak dan malah mengerjapkan matanya berulang kali. Elizabeth pun malah melangkah mendekati Edgard dan mencoba menyentuh pipi Calista yang sedang menatapnya dengan wajah imutnya itu. "Eh, kau anak Edgard? Anak Edgard dari mana? Siapa namamu tadi?" tanya Elizabeth pada Calista. "Calista, Grandma Buyut." "Calista?" ulang Elizabeth. "Kau cantik sekali! Dan satu lagi, kau siapa? Kau mirip sekali dengan Edgard waktu kecil," tanya Elizabeth sambil sekarang membungkuk dan menyentuh pipi Collin. Namun, belum sempat Collin menjawab, mendadak Miriam sudah memekik keras. "Ibu ini apa-apaan? Jangan sembarangan
Semua orang kembali membelalak mendengarnya. Setelah anak, sekarang kekasih. Nara dan Jerry tetap tidak berani berkomentar, sedangkan Janice sudah membelalak begitu lebar. Namun, gelapnya kacamata hitam yang ia pakai membuat semua orang tidak dapat melihat kedua matanya yang sudah membulat itu. Miriam dan Elizabeth sendiri juga kembali membelalak kaget. Miriam menegang dengan sempurna sampai urat lehernya tercetak jelas, namun Elizabeth mendadak tertawa begitu senang. "Astaga, Mefi! Mefi! Kemari! Haha, kau kalah bertaruh denganku kan? Lihat, kau selalu bilang Edgard tidak pernah berkencan, tapi aku berani bertaruh kalau Edgard diam-diam berkencan dan lihatlah aku benar kan? Bahkan Edgard dan kekasihnya sudah mempunyai anak!" pekik Elizabeth kegirangan. "Siapa namamu tadi?" tanya Elizabeth lagi sambil menatap Janice. "Aku ... Janice ...," jawab Janice terbata. "Jadi kau kekasihnya Edgard? Sudah berapa lama kalian berhubungan, hah?" tanya Elizabeth lagi kepo. "Hmm, itu ...." Ja
Janice akhirnya bisa bernapas lega saat ternyata Miriam dan Harlan tidak ikut berjalan-jalan bahkan Janice sudah berani melepas syalnya dari mulutnya, walaupun jantungnya tetap berdebar kencang karena nenek tua itu membawanya pergi entah ke mana. Janice pun beberapa kali menoleh ke belakang seolah memastikan kalau Miriam dan Harlan tidak mengikutinya sampai Elizabeth yang melihatnya pun mengernyit bingung. "Eh, kau mencari siapa, Janice? Kau mencari Edgard ya? Haha, sebentar lagi dia juga datang. Grandma kan baru saja meneleponnya." Janice pun terpaksa tertawa di hadapan Elizabeth. "Ah, iya, Nenek ...." "Eh, Grandma. Panggil aku Grandma, jangan Nenek! Hahaha!" "Oh, Grandma. Haha, Grandma ...," ulang Janice lagi sambil melirik Nara seolah memberi kode kalau ia lelah berakting. Tapi Nara tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa memprotes juga karena ia sendiri merasa cukup puas saat Edgard secara gentle memperkenalkan Janice sebagai kekasihnya dan si kembar sebagai anaknya. Sun
"Jadi kalian juga tinggal di sini ya? Baguslah kalau kalian sudah tinggal bersama, Grandma senang sekali." Elizabeth terus tertawa senang saat akhirnya mereka sudah pulang ke rumah Edgard. Bahkan Elizabeth sudah mulai nyaman bersama Collin dan Calista karena sejak tadi anak kembar bersikap sangat manis padanya. "Keluarga Janice memang sudah tinggal di sini, Grandma," sahut Edgard. "Ah, baguslah! Grandma tidak akan tenang kalau keturunan keluarga kita tinggal di tempat lain." Janice dan Nara yang mendengarnya hanya terus tersenyum tanpa banyak bicara. Sedangkan Colin dan Calista sendiri terus duduk di samping Elizabeth dengan patuh. "Grandma buyut, besok Calista mau jalan-jalan lagi sama Grandma buyut ya," kata Calista dengan manisnya. Tentu saja Elizabeth langsung tertawa senang dan memeluk cicitnya itu. "Kau manis sekali, Calista, cicitku! Tentu saja kita akan terus jalan-jalan. Kau mau ke mana? Grandma buyut akan menemanimu, haha, kau cantik sekali!" Elizabeth terlihat beg
"Apa kalian senang bertemu dengan Grandma buyut hari ini?" Edgard kembali menemani Collin dan Calista tidur malam itu dan Edgard pun tidur di ranjang kecil bersama Calista. "Collin suka sama Grandma buyut. Grandma buyut baik." "Calista juga suka." "Baguslah! Grandma buyut juga menyukai kalian. Kalian harus bersikap baik terus sama Grandma buyut ya." "Hehe, iya, Uncle!" sahut Calista sambil bersandar manja di dada Edgard. Edgard sendiri hanya memeluknya dengan sayang sampai Collin yang melihatnya pun iri. "Collin juga mau ke sana, Uncle. Uncle kok tidurnya sama Calista terus? Collin tidak mau sendirian." Collin pun langsung meloncat turun dari ranjangnya dan naik ke ranjang Calista lalu berdesakan di sana. Tentu saja ranjang itu masih cukup untuk menampung Collin juga, tapi Calista terus memekik akhirnya. "Collin, sempit! Kan ranjangmu di sana!" "Tapi Collin mau sama Uncle!" "Calista juga! Sana!" Collin dan Calista pun begitu ribut sampai Edgard hanya bisa menggelengkan ke
Jantung Janice berdebar tidak karuan mendengar kata menikah. Walaupun Janice pernah minta dinikahi dengan surat ijin menyentuh, tapi itu hanya refleks. Janice bukannya ingin menikah sungguhan. "Kau ... kau sudah gila, Edgard!""Aku tidak gila. Kau sendiri yang minta dinikahi kan agar aku boleh menyentuhmu? Dan aku mau. Asalkan aku bisa menyentuhmu setiap saat, aku mau menikahimu." Janice kembali membelalak mendengarnya. "Dasar gila! Dasar maniak! Apa kau menikah hanya karena menginginkan hubungan yang seperti itu? Kalau begitu tidak perlu menikah, kau kan punya banyak uang, bayar saja wanita murahan di luar sana!" "Ck, Janice, masalahnya aku hanya menginginkanmu. Kalau aku mau yang lain, sudah dari dulu aku melakukannya." Janice terdiam kali ini mendengarnya. Apa itu artinya Edgard menyukainya? Mengapa lagi-lagi ucapan Edgard terdengar ambigu. "Itu ... mengapa kau hanya menginginkan aku? Aku ... aku tidak cantik. Aku ... juga wanita yang biasa saja. Kau pasti hanya memanfaatkan
Suara Janice terdengar lantang dan penuh keyakinan sampai untuk sesaat Edgard pun terdiam mendengarnya. Janice pun ikut terdiam menunggu bagaimana reaksi Edgard karena Edgard begitu mempercayai Harlan. Dan dugaan Janice pun benar kalau Edgard masih mempercayai Harlan karena perlahan Edgard pun mulai tertawa, seolah menertawakan ucapan Janice. "Janice, kau sadar apa yang kau katakan kan? Ini bukan tentang Pak Buntoro atau rival bisnis lainnya tapi malah Harlan? Harlan, asisten Tante Miriam itu? Dia yang menyuruhmu mencelakaiku? Bukankah sudah kubilang kalau dia rela mengorbankan dirinya demi aku? Ini ...." "Aku tidak berbohong, Edgard! Aku tidak tahu bagaimana dia sebenarnya dan aku tidak mengenalnya sebelumnya, aku hanya tahu dia adalah supervisor di Orion. Walaupun aku tidak pernah berhubungan secara langsung dengannya tapi aku tahu wajah dan jabatannya." Edgard mengangguk mendengarnya. "Kau benar. Ya, enam tahun yang lalu memang Harlan masih menjabat sebagai supervisor di sana.