"Mengapa kau lama sekali, Janice?" tegur Edgard saat Janice akhirnya masuk ke kamarnya. Janice sendiri masih terlalu fokus memikirkan hubungan antara Miriam, Harlan, dan semuanya dengan jantung yang berdebar kencang sampai ia bengong di luar dan barusan masuk ke kamar Edgard. "Ah, itu ...."Belum sempat Janice menjawab, Edgard sudah bertanya lagi. "Apa Jefry tidak memanggilmu tadi?" "Eh, Jefry memanggilku. Tadi aku hanya sedang mengobrol dengan ibuku." "Apa lagi yang kalian obrolkan? Apa selama ini waktu kalian berdua belum cukup sampai masih harus mengobrol lagi? Seharusnya kau menemaniku di sini kan?" Edgard yang sudah duduk di ranjangnya nampak kesal, namun Janice pun ikut membelalak mendengarnya. "Hei, kau tahu kalau ikatan antara orang tua dan anak itu sifatnya selamanya dan aku tidak akan pernah merasa cukup bersama ibuku. Begitulah orang tua dan anak. Jadi jangan mencoba memisahkan kami, waktuku boleh tersita oleh anak-anakku atau oleh suamiku nanti, teman-temanku, atau
Suara lantang Janice membuat Edgard seketika mematung sejenak. "Apa katamu, Janice? SIM itu ... bagaimana?""Itu ... menikah. Kau sudah mendengarnya kan? Kalau sudah menikah, bukankah pria dan wanita bebas melakukan apa saja?" ulang Janice dengan suara yang gemetar. Bukannya ia takut karena ia sedang mempertahankan harga dirinya sekarang. Hanya saja, Janice tidak percaya diri dan khawatir kalau reaksi Edgard tidak seperti harapannya. Edgard sendiri kembali mematung sejenak, sebelum akhirnya ia pun mengembuskan napas panjangnya. "Baiklah! Janice ... kau ... sial! Kau sadar apa yang kau katakan kan? Kau memintaku untuk menikahimu dulu agar aku bisa menyentuhmu?" tanya Edgard dengan nada frustasi. Janice sendiri ikut mengembuskan napas panjangnya dan kembali mengumpulkan keberaniannya. "Benar! Kalau kau mau menyentuhku seperti tadi ... kau harus menikahiku!"Edgard yang mendengarnya lagi-lagu mengumpat. Rasanya walau sudah diulang beberapa kali, Edgard masih belum bisa percaya kal
Edgard masih tidak berhenti mengomel saat ia melangkah kembali ke arah kamarnya sendiri. Saran Jefry benar-benar absurd dan tentu saja Edgard tidak akan menurutinya. Edgard pun terus menenangkan dirinya dan membuka pintu kamarnya. Namun, saat ia masuk ke sana, alih-alih tenang, Edgard malah makin gelisah melihat Janice sedang tidur cantik di sana. Bahkan Edgard sempat terdiam sejenak dan hanya menatapnya dari pintu, sebelum akhirnya ia melangkah ke ranjang. "Ternyata dia benar-benar tidur di sini ya? Ck, tapi kalau dia tidur di kamar lain, mungkin aku akan memindahkannya juga," gumam Edgard lagi yang sudah naik ke ranjangnya lalu menatap Janice yang sedang tidur telentang itu. Wajah polosnya nampak cantik alami dan bersih dari make up, rambutnya pun tergerai kusut di atas bantal sampai Edgard memicingkan mata menatapnya. Apalagi saat tanpa sadar Janice memalingkan wajahnya ke arah yang berbeda sampai leher jenjang wanita itu tersaji di hadapan Edgard. Bagaikan vampir yang haus
Janice masih menganga tak percaya saat Edgard malah membawa mereka semua pergi ke mall untuk berbelanja. Tentu saja tadi Janice menolak, tapi si kembar sudah terlalu antusias sampai Janice tidak punya pilihan lain selain ikut. Mereka pun melangkah bersama di mall yang besar itu yang masih cukup sepi karena baru buka. Si kembar begitu senang pergi ke mall sampai mereka berlarian sambil terus terkikik. Edgard dan Jefry yang melihatnya pun ikut senang, namun Edgard merasakan sesuatu yang mengganjal sampai ia pun mendekati Janice. "Kapan terakhir kali kau mengajak anak-anak ke mall?"Janice mengernyit tidak suka. "Apa pedulimu? Mereka tidak suka ke mall, mereka hanya suka beli keju di supermarket," seru Janice yang memang hampir tidak pernah mengajak anak-anaknya ke mall. Edgard pun mendesis mendengarnya. "Mereka tidak suka ke mall atau kau yang tidak pernah mengajaknya, hah? Tidak ada anak-anak yang tidak suka ke mall!" "Ck, kau tahu sendiri uangku terbatas dan ke mall itu berarti
"Collin, Calista, jangan berlarian seperti itu!" teriak Nara yang sudah gelisah karena takut cucunya akan menyenggol manekin. Namun, Collin dan Calista masih tetap berlarian tanpa henti sambil terus memekik kegirangan sampai Nara menjadi gemas. Janice sendiri yang awalnya tidak antusias terus didorong oleh Edgard untuk mencoba baju. "Cobalah! Bajumu sudah terlalu jadul!" "Baju apa itu? Aku tidak terbiasa memakai yang terlalu terbuka! Lagipula ke mana aku harus memakai gaun seperti itu?" "Ini hanya dress santai, semua orang memakainya saat ke mall atau makan malam di restoran, ini biasa saja. Kau saja yang terlalu jadul." "Aku memang jadul! Sudah tidak usah dicoba saja! Lagipula dadanya rendah sekali!" Edgard mengernyit dan menatap gaun santai dengan belahan dada rendah itu dan ia pun mengembuskan napas panjang. "Baiklah, kau akan terlihat rata kalau memakainya!" seru Edgard begitu saja yang membuat Janice melotot kesal dan membuat satu pelayan toko mengulum senyumnya. Janice
Elizabeth dan Miriam masih menganga mendengar pengakuan dari Edgard bahwa kedua anak itu adalah anaknya. "Edgard, apa yang kau katakan? Anak siapa itu yang kau akui sebagai anakmu?" pekik Miriam tidak percaya. Ekspresi Miriam sudah begitu tidak terbaca, gabungan antara tidak percaya dan khawatir yang berlebih menatap kedua anak yang tidak jelas itu. Namun, ekspresi Elizabeth lebih lunak dan malah mengerjapkan matanya berulang kali. Elizabeth pun malah melangkah mendekati Edgard dan mencoba menyentuh pipi Calista yang sedang menatapnya dengan wajah imutnya itu. "Eh, kau anak Edgard? Anak Edgard dari mana? Siapa namamu tadi?" tanya Elizabeth pada Calista. "Calista, Grandma Buyut." "Calista?" ulang Elizabeth. "Kau cantik sekali! Dan satu lagi, kau siapa? Kau mirip sekali dengan Edgard waktu kecil," tanya Elizabeth sambil sekarang membungkuk dan menyentuh pipi Collin. Namun, belum sempat Collin menjawab, mendadak Miriam sudah memekik keras. "Ibu ini apa-apaan? Jangan sembarangan
Semua orang kembali membelalak mendengarnya. Setelah anak, sekarang kekasih. Nara dan Jerry tetap tidak berani berkomentar, sedangkan Janice sudah membelalak begitu lebar. Namun, gelapnya kacamata hitam yang ia pakai membuat semua orang tidak dapat melihat kedua matanya yang sudah membulat itu. Miriam dan Elizabeth sendiri juga kembali membelalak kaget. Miriam menegang dengan sempurna sampai urat lehernya tercetak jelas, namun Elizabeth mendadak tertawa begitu senang. "Astaga, Mefi! Mefi! Kemari! Haha, kau kalah bertaruh denganku kan? Lihat, kau selalu bilang Edgard tidak pernah berkencan, tapi aku berani bertaruh kalau Edgard diam-diam berkencan dan lihatlah aku benar kan? Bahkan Edgard dan kekasihnya sudah mempunyai anak!" pekik Elizabeth kegirangan. "Siapa namamu tadi?" tanya Elizabeth lagi sambil menatap Janice. "Aku ... Janice ...," jawab Janice terbata. "Jadi kau kekasihnya Edgard? Sudah berapa lama kalian berhubungan, hah?" tanya Elizabeth lagi kepo. "Hmm, itu ...." Ja
Janice akhirnya bisa bernapas lega saat ternyata Miriam dan Harlan tidak ikut berjalan-jalan bahkan Janice sudah berani melepas syalnya dari mulutnya, walaupun jantungnya tetap berdebar kencang karena nenek tua itu membawanya pergi entah ke mana. Janice pun beberapa kali menoleh ke belakang seolah memastikan kalau Miriam dan Harlan tidak mengikutinya sampai Elizabeth yang melihatnya pun mengernyit bingung. "Eh, kau mencari siapa, Janice? Kau mencari Edgard ya? Haha, sebentar lagi dia juga datang. Grandma kan baru saja meneleponnya." Janice pun terpaksa tertawa di hadapan Elizabeth. "Ah, iya, Nenek ...." "Eh, Grandma. Panggil aku Grandma, jangan Nenek! Hahaha!" "Oh, Grandma. Haha, Grandma ...," ulang Janice lagi sambil melirik Nara seolah memberi kode kalau ia lelah berakting. Tapi Nara tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak bisa memprotes juga karena ia sendiri merasa cukup puas saat Edgard secara gentle memperkenalkan Janice sebagai kekasihnya dan si kembar sebagai anaknya. Sun