BAB 1
Ganda Satya Andika, seorang duda tampan berusia 37 tahun yang sukses memiliki beberapa cabang restoran di kota-kota besar. Sejak berpisah dari sang istri, hidupnya menjadi tidak karuan. Penghianatan besar yang tidak dapat termaafkan membuatnya menganggap semua wanita sama.
'Cinta?' Dia sangat benci kata itu. Baginya cinta adalah pembodohan. Tidak ada dua insan yang benar-benar mencintai dengan sungguh. Jika salah satunya tulus, maka satunya lagi akan membuatmu terluka secara halus, dan itu sangat menyakitkan.
"Carikan aku satu wanita untuk menemaniku malam ini!" Dengan suara bariton yang khas, ia memerintah seseorang via telepon.
Begitulah ia sekarang, menjadikan wanita sebagai objek pemuas nafsu. Tidak ada cinta dalam permainan, hanya ada hasrat yang harus cepat diselesaikan. 'Menikah lagi?' Ah ... Jangan tanyakan itu. Bahkan untuk memikirkannya pun, ia enggan.
Meski putra semata wayangnya, Denis Raksatya Putra yang saat ini berusia 5 tahun sering menanyakan keberadaan ibunya, dia tidak perduli. Dia lebih memilih pergi atau bahkan mengalihkan pembicaraan agar sang anak tidak menanyakan pertanyaan yang membuat otak dan hatinya mendidih.
Pernah begitu mencintai lalu tersayat dusta yang mendalam, membuatnya enggan untuk membuka hati dan berjanji, tidak akan menjadi pria bodoh untuk yang kedua kali.
Di dalam sebuah ruang, lebih tepatnya salah satu kamar hotel. Di sini dia sekarang, bersandar pada kepala ranjang setelah pertempuran panas dengan seorang wanita yang bahkan dia tidak tahu siapa namanya. Menghisap satu batang rokok dengan ditemani wanita yang saat ini sedang bersandar manja di dada bidangnya."Apa kau mau lagi? Aku masih menginginkanmu," rayunya manja sembari mengubah posisi duduknya menjadi bersebelahan dengan si pria.
Dengan senyum nakal dan menggodanya ia mulai beraksi, mencoba membangkitkan gairah yang sempat padam dengan meniup dan mencium leher sang pria. Tidak tinggal diam, jemari lentiknya pun ikut bekerja, mengelus lembut dari perut menuju sesuatu yang berada di bawah pusar si pria.
"Stop! Hentikan itu. Kau boleh pulang sekarang!" Suara tegas itu menginstrupsi.
Namun, ternyata si wanita tidak mengindahkan ucapan si pria, dia terus melanjutkan aksinya lebih jauh, meremas lembut sesuatu yang diharapkannya 'bangun'. Bukan Ganda namanya, jika apa yang dikatakan tidak patuhi.
"Hentikan dan pergi dari sini secepatnya atau kau akan menyesal. Bayaranmu akan aku transfer!"
Dingin dan penuh peringatan. Si wanita pun tidak lagi melanjutkan aksinya. Dia pun bangkit dari ranjang, mengemasi pakaian yang sebelumnya dia pakai.
Di lain tempat, Delia Anastasia seorang gadis manis berusia 20 tahun sedang duduk melamun. Memikirkan nasibnya yang dirasa tidak baik. Ketidakpercayaan dirinya akan visual yang diberikan Tuhan membuatnya sedikit murung. Bagaimana tidak? Dia merasa yang paling jelek di antara teman-temannya. Kulit dengan tona gelap, hidung pesek, tubuh kurus dan aset wanita yang dia miliki pun sama sekali tidak menonjol, 'rata' mungkin hal tersebut yang membuatnya sulit mempunyai pacar.
Dalam hati ingin sekali seperti mereka, memiliki pacar yang royal, tampan, dan baik. Namun, apalah daya, seumur hidupnya, hingga kini ia berusia 20 tahun, dia sama sekali tidak pernah berpacaran. Bukan tidak ingin pacaran, tapi memang sama sekali tidak ada yang mengajaknya jadian (pacaran).
Sudah hampir 6 bulan Delia menganggur, entah sudah berapa kali Delia melamar pekerjaan, tapi selalu saja ditolak. Bukan Delia tidak bagus dalam bekerja, hanya saja para pelamar pekerjaan sangat banyak, membuat namanya tersisih dan terpilih orang lain.
Maklum, dia hanya gadis kampung lulusan SMA. Dengan ijazah SMA, jenis pekerjaan yang dilamarnya tentu bukan jenis pekerjaan dengan gaji tinggi, tapi pelamarnya sangat banyak. Delia bukan orang yang pemilih dalam pekerjaan, selama pekerjaan itu baik, dia akan lakukan dengan sepenuh hati. Dapat diterima sebagai karyawan toko atau cleaning service pun dia sudah sangat senang.
Seperti saat ini, dia tengah sibuk mencari-cari lowongan pekerjaan di media sosial. Dia tidak patah semangat, tak jarang ia pun sering bertanya kepada teman-temannya tentang lowongan pekerjaan.
"Del, ada loker ni!"
Ucapan teman seperjuangan Delia dalam mencari pekerjaan pun membuat mata Delia mengembang beberapa centi.
"Seriusan? Di mana? Kerja apa?Gajinya berapa?" cerca Delia dengan mata berbinar.
"Buset, dah. Sabar, Bu, Sabar!" balas Lila dengan tatapan malas.
"Buruan, ayo kita ke sana! keburu tuh tempat diisi orang." Delia sangat bersemangat.
"Tenang, ini ada cabang restoran baru, dan lagi butuh banyak karyawan," jelas Lila dengan santai.
"Nama restorannya apa?" tanya Delia penasaran.
"DF," jawab Lila singkat.
"DF itu apaan?" tanya Delia kembali.
"Deliciouse Food." Lila kembali menjawab.
"Ya, elahh. Pake disingkat segala," ujar Delia dengan menjulingkan bola mata.
Pagi-pagi buta, Delia dan Lila sudah bangun untuk bersiap pergi melamar pekerjaan ke lokasi cabang baru restoran tersebut. Delia dengan gaya rambut diikat satu pada bagian belakang kepala, dan pakaian casual-nya celana jeans putih, kemeja hitam dengan aksen pita dibagian dada, membuatnya terlihat sangat manis.
Sedangkan Lila yang biasa terlihat dengan pakaian kebanggannya yaitu daster, kali ini harus mengikuti prosedur para pelamar, yaitu berpakaian rapi. Lila terlihat sangat berbeda, dia terlihat sangat cantik.
"Aduhaiiii ... cantik bener si kawan, bisa-bisa naksir nih, para preman pasar. Haha," ledek Delia.
"Diem, berisik banget!" jawab Lila seolah tak peduli, meski dalam hati dia juga mengagumi dirinya sendiri 'cantik juga aku ya'. Iya, begitulah perempuan yang jarang berdandan, sekalinya berdandan orang-orang akan terheran begitu pun dirinya sendiri.
Di sinilah mereka sekarang, dalam salah satu ruangan luas di restoran tersebut. Mengantri duduk berbaris menunggu petugas memanggil nama mereka untuk sedikit diwawancara oleh manager restoran. Ternyata banyak pelamar yang datang, saat mereka tiba di lokasi pun tempat sudah padat, padahal mereka datang pada waktu pagi.
"Ya Tuhan ... sangat banyak pengangguran di negeri ini, kasihan sekali mereka," ujar Delia tanpa sadar. Lila yang mendengar pun tertawa.
"Iya, termasuk kamu." Lila menanggapi dengan sisa tawanya.
"Hehe ... termasuk kita, dong!" jawab Delia dengan bangga dan cengiran yang menunjukan gigi rapinya.
Setelah menunggu hampir 4 jam, akhirnya giliran Delia memasuki ruang wawancara. Sebelum memasuki ruangan, Delia sedikit menggerutu, sebab make up tipis yang dia pakai telah luntur. Meski ruangan luas tempatnya menunggu difasilitasi AC tapi tetap saja, kelamaan menunggu membuat make up-nya pudar.
Untung saja teman sebelah dia duduk, berbaik hati memberinya bedak dan lipstik, agar Delia terlihat lebih baik. Sebab sungguh tidak lucu, berhadapan dengan manager restoran untuk pertama kali dengan wajah yang kusam.
"Delia Anastasia," ujar manager sembari membuka lembaran CV Delia. Delia hanya diam, berdoa agar dia diterima bekerja di restoran ini. Tidak masalah meski dia dijadikan tukang parkir sekali pun.
BAB 2Keluar dari ruang wawancara Delia termenung, memikirkan tawaran manager restoran tadi. Bagaimana mungkin? Dia datang melamar pekerjaan ke sebuah restoran, tapi dia diminta untuk menjadi baby sitter? yang benar saja.-flashback-"Sebelum ini kamu pernah bekerja di mana saja?" tanya manager restoran."Banyak Pak, sejak lulus SMA saya bekerja sebagai karyawan toko, penjual jajanan di pinggir jalan, cleaning service di stasiun kereta api—"Belum selesai Delia berbicara, sang manager restoran yang bernama Yuda itu memotong. "Bagaimana dengan baby sitter?" tanya Yuda."Baby sitter? pengasuh anak maksudnya, Pak?" tanya Delia memastikan, dengan raut bingungnya."Iya, saya rasa kamu cocok menjadi baby sitter," jawab Yuda yakin."Tapi ini restoran, Pak. Apa restoran ini membutuhkan pengasuh anak? Saya melamar pekerjaan di sini sebagian karyawan restoran, ntah itu waiters atau apa pun. Bukan
BAB 3Delia POVDi sini aku sekarang, duduk dalam sebuah cafe menunggu seseorang yang sebelumnya sudah kuhubungi, tapi sudah hampir dua jam aku menunggu dia tidak datang juga. Dia benar-benar seenaknya! Dia yang menentukan waktu dan tempat bertemu, tapi dia juga yang lambat.Dasar! Apa semua orang berduit seperti itu? Semaunya saja pada orang yang membutuhkan! Sudah sedari tadi aku kesal dan terus memaki. Ini sudah di luar batas, mau berapa lama lagi aku menunggu? Sampai cafe ini tutup? sialan! Nomor teleponnya juga tidak aktif. Dia benar-benar keterlaluan. Lebih baik aku pulang sekarang, mungkin memang pekerjaan ini bukan untukku.Saat aku akan bangkit dari kursi yang hampir dua jam kududuki, seseorang mengintrupsiku."Delia!" Suaranya membuatku menoleh ke belakang, aku mengira itu Pak Yuda, ternyata bukan. Dia Beni, temanku dan Lila."Ha-hai ... Ben," jawabku kaku, tidak menyangka kita akan bertemu di sini.
BAB 4Ganda POVSetelah meeting dengan para chef, terkait menu baru yang akan dihadirkan di restoran DF selesai, aku langsung menemui teman sekaligus orang kepercayaanku, Yuda. Setelah beberapa hari lalu, dia kutugaskan untuk merekrut karyawan baru, aku sama sekali belum bertemu dengannya. Ditambah lagi, aku belum memakinya sebab mengganggu malamku dengan wanita bayaran itu."Hei, Kawan! Gimana, sukses meeting-nya?" sapanya, saat aku sudah duduk di hadapannya."Tentu saja. Secepatnya kita akan mempromosikan menu baru ini," jawabku sembari meminum cappuccino hangat yang sudah dipesankan olehnya."Bagus, semoga makin sukses!" ujarnya dengan mengangkat dua jempol miliknya."Baby sitter untuk Denis? Apa kau sudah menemukan orangnya?" tanyaku sembari mengambil cake chocolate milik Yuda.Sudah dari seminggu yang lalu, pengasuh Denis yang sekarang ini, ingin berhenti bekerja. Aku memintanya untuk menunggu, sampai aku
BAB 5"Maaf, O- om."Suaranya yang takut-takut membuatku enggan melepaskannya, dan tertarik untuk sedikit mengerjainya. Namun, niatku tidak terwujud, sebab beberapa pasang mata sudah menatap ke arah kami. Aku juga harus segera menemui Denis, dia sudah menunggu terlalu lama. Aku melepaskannya segera berjalan menuju meja tempatku dan Denis duduk tadi."Papa, kenapa lama sekali?" tanya Denis dengan wajah cemberutnya."Maaf, Sayang. Papa mengantri panjang tadi," jawabku memberi alasan. Dengan refleks Denis pun memutar kepala untuk melihat ke arah kasir."Tidak ada, Papa!" serunya menyanggah ucapanku, begitu dia melihat tidak ada satu orang pun di kasir."Tadi Papa menjadi pelanggan terakhir, Sayang," jawabku memberi alasan. Denis pun hanya menganggukan kepalanya.Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, entah kenapa aku merasa penasaran dengan gadis yang menabrak dan kutabrak tadi. Iya, dia adalah gadis
Deg.Ternyata ingatannya sangat tepat. Aku hanya bisa meringgis, menunjukkan gigi-gigiku yang tidak terlalu putih dengan senyum terpaksa."Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja. Saat itu, saya yang berjalan terburu-buru, sembari menunduk mencari ponsel di dalam tas, tidak melihat bapak," tuturku dengan penuh sopan."Saat itu juga, saya ingin menegurmu, berjalan itu pakai mata!" balasnya dengan sedikit penekanan."Berjalan itu pakai kaki, Pak. Kalau mata itu berfungsi untuk melihat," timpalku, dengan sedikit sewot.Dia yang sedang menikmati cappuccino hangatnya, tiba-tiba saja tersedak, setelah mendengar kalimatku. Mungkin, dia tidak menyangka, aku berani menimpali ucapannya.Dia pun menatapku dengan tidak percaya. Huh ... Aku sudah sangat sopan meminta maaf, tapi dia malah merespon seperti itu. Lagi pula, dia juga menabrakku, dan dia ingat itu. Meski dia juga yang menolongku, agar tidak terjatuh."I
BAB 7Author POVSetelah menyetujui beberapa persyaratan yang saling mereka ajukan, Ganda pun berniat mengantarkan Delia pulang, sembari dia pun ingin tahu tempat tinggal Delia. Namun dengan halus, Delia menolak, dia tidak ingin merepotkan.Ganda yang tidak ingin ditolak, terus-menerus memaksa Delia. Akhirnya Delia pun menurut, dia tidak ingin lagi mendebat Ganda.Dalam perjalanan menuju rumah sewa, keheningan menyelimuti mereka, keduanya sama-sama diam, sampai Ganda membuka suara."Ehem" deheman Ganda membuat Delia nenoleh ke arahnya."Kamu tinggal dengan siapa?" tanya Ganda membuka pembicaraan. Dia sedikit penasaran dengan kehidupan gadis yang akan menjadi pengasuh anaknya ini."Dengan teman saya, Pak" jawaban dari Delia membuat Ganda kembali bertanya."Dengan teman? orang tuamu di mana?" tanya Ganda kembali."Di pemakaman, Pak" tiga kata yang keluar dari mulut Delia membuat Ganda terdiam bebera
BAB 8Delia POVSetelah sadar dari lamunan panjangku, aku dikejutkan dengan posisi di mana mobil ini berhenti. Bagaimana mungkin bosku ini tau, tepatnya rumah tempatku dan Lila tinggal.Sepanjang perjalanan aku sibuk dengan isi pikiranku, siapa yang menunjukkannya arah? setan? tidak mungkin 'kan?"Bagaimana Bapak bisa tau? kalau ini rumah tempat saya tinggal" tanyaku dengan wajah bingung."Apa yang sedang kamu lamunkan, hah!?" dia balik bertanya dengan kesal."Sa-saya, tadi sa-saya" melihatnya kesal, membuat bibirku kelu, mendadak aku menjadi orang gagap."Sa-sa, apa! hah? sapi?" ucapnya yang membuatku berpikir 'dia sedang kesal atau sedang melawak'."Katakan, apa yang kamu pikirkan, hah?" tanyanya kembali dengan wajah yang mendekat ke wajahku.Dag.. dig.. dug..Posisi kami membuat jantungku berdetak tidak normal, biasanya aku akan marah jika ada lelaki yang sedekat ini de
BAB 8Delia POVSetelah sadar dari lamunan panjangku, aku dikejutkan dengan posisi di mana mobil ini berhenti. Bagaimana mungkin bosku ini tau, tepatnya rumah tempatku dan Lila tinggal.Sepanjang perjalanan aku sibuk dengan isi pikiranku, siapa yang menunjukkannya arah? setan? tidak mungkin 'kan?"Bagaimana Bapak bisa tau? kalau ini rumah tempat saya tinggal" tanyaku dengan wajah bingung."Apa yang sedang kamu lamunkan, hah!?" dia balik bertanya dengan kesal."Sa-saya, tadi sa-saya" melihatnya kesal, membuat bibirku kelu, mendadak aku menjadi orang gagap."Sa-sa, apa! hah? sapi?" ucapnya yang membuatku berpikir 'dia sedang kesal atau sedang melawak'."Katakan, apa yang kamu pikirkan, hah?" tanyanya kembali dengan wajah yang mendekat ke wajahku.Dag.. dig.. dug..Posisi kami membuat jantungku berdetak tidak normal, biasanya aku akan marah jika ada lelaki yang sedekat ini de
BAB 7Author POVSetelah menyetujui beberapa persyaratan yang saling mereka ajukan, Ganda pun berniat mengantarkan Delia pulang, sembari dia pun ingin tahu tempat tinggal Delia. Namun dengan halus, Delia menolak, dia tidak ingin merepotkan.Ganda yang tidak ingin ditolak, terus-menerus memaksa Delia. Akhirnya Delia pun menurut, dia tidak ingin lagi mendebat Ganda.Dalam perjalanan menuju rumah sewa, keheningan menyelimuti mereka, keduanya sama-sama diam, sampai Ganda membuka suara."Ehem" deheman Ganda membuat Delia nenoleh ke arahnya."Kamu tinggal dengan siapa?" tanya Ganda membuka pembicaraan. Dia sedikit penasaran dengan kehidupan gadis yang akan menjadi pengasuh anaknya ini."Dengan teman saya, Pak" jawaban dari Delia membuat Ganda kembali bertanya."Dengan teman? orang tuamu di mana?" tanya Ganda kembali."Di pemakaman, Pak" tiga kata yang keluar dari mulut Delia membuat Ganda terdiam bebera
Deg.Ternyata ingatannya sangat tepat. Aku hanya bisa meringgis, menunjukkan gigi-gigiku yang tidak terlalu putih dengan senyum terpaksa."Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja. Saat itu, saya yang berjalan terburu-buru, sembari menunduk mencari ponsel di dalam tas, tidak melihat bapak," tuturku dengan penuh sopan."Saat itu juga, saya ingin menegurmu, berjalan itu pakai mata!" balasnya dengan sedikit penekanan."Berjalan itu pakai kaki, Pak. Kalau mata itu berfungsi untuk melihat," timpalku, dengan sedikit sewot.Dia yang sedang menikmati cappuccino hangatnya, tiba-tiba saja tersedak, setelah mendengar kalimatku. Mungkin, dia tidak menyangka, aku berani menimpali ucapannya.Dia pun menatapku dengan tidak percaya. Huh ... Aku sudah sangat sopan meminta maaf, tapi dia malah merespon seperti itu. Lagi pula, dia juga menabrakku, dan dia ingat itu. Meski dia juga yang menolongku, agar tidak terjatuh."I
BAB 5"Maaf, O- om."Suaranya yang takut-takut membuatku enggan melepaskannya, dan tertarik untuk sedikit mengerjainya. Namun, niatku tidak terwujud, sebab beberapa pasang mata sudah menatap ke arah kami. Aku juga harus segera menemui Denis, dia sudah menunggu terlalu lama. Aku melepaskannya segera berjalan menuju meja tempatku dan Denis duduk tadi."Papa, kenapa lama sekali?" tanya Denis dengan wajah cemberutnya."Maaf, Sayang. Papa mengantri panjang tadi," jawabku memberi alasan. Dengan refleks Denis pun memutar kepala untuk melihat ke arah kasir."Tidak ada, Papa!" serunya menyanggah ucapanku, begitu dia melihat tidak ada satu orang pun di kasir."Tadi Papa menjadi pelanggan terakhir, Sayang," jawabku memberi alasan. Denis pun hanya menganggukan kepalanya.Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, entah kenapa aku merasa penasaran dengan gadis yang menabrak dan kutabrak tadi. Iya, dia adalah gadis
BAB 4Ganda POVSetelah meeting dengan para chef, terkait menu baru yang akan dihadirkan di restoran DF selesai, aku langsung menemui teman sekaligus orang kepercayaanku, Yuda. Setelah beberapa hari lalu, dia kutugaskan untuk merekrut karyawan baru, aku sama sekali belum bertemu dengannya. Ditambah lagi, aku belum memakinya sebab mengganggu malamku dengan wanita bayaran itu."Hei, Kawan! Gimana, sukses meeting-nya?" sapanya, saat aku sudah duduk di hadapannya."Tentu saja. Secepatnya kita akan mempromosikan menu baru ini," jawabku sembari meminum cappuccino hangat yang sudah dipesankan olehnya."Bagus, semoga makin sukses!" ujarnya dengan mengangkat dua jempol miliknya."Baby sitter untuk Denis? Apa kau sudah menemukan orangnya?" tanyaku sembari mengambil cake chocolate milik Yuda.Sudah dari seminggu yang lalu, pengasuh Denis yang sekarang ini, ingin berhenti bekerja. Aku memintanya untuk menunggu, sampai aku
BAB 3Delia POVDi sini aku sekarang, duduk dalam sebuah cafe menunggu seseorang yang sebelumnya sudah kuhubungi, tapi sudah hampir dua jam aku menunggu dia tidak datang juga. Dia benar-benar seenaknya! Dia yang menentukan waktu dan tempat bertemu, tapi dia juga yang lambat.Dasar! Apa semua orang berduit seperti itu? Semaunya saja pada orang yang membutuhkan! Sudah sedari tadi aku kesal dan terus memaki. Ini sudah di luar batas, mau berapa lama lagi aku menunggu? Sampai cafe ini tutup? sialan! Nomor teleponnya juga tidak aktif. Dia benar-benar keterlaluan. Lebih baik aku pulang sekarang, mungkin memang pekerjaan ini bukan untukku.Saat aku akan bangkit dari kursi yang hampir dua jam kududuki, seseorang mengintrupsiku."Delia!" Suaranya membuatku menoleh ke belakang, aku mengira itu Pak Yuda, ternyata bukan. Dia Beni, temanku dan Lila."Ha-hai ... Ben," jawabku kaku, tidak menyangka kita akan bertemu di sini.
BAB 2Keluar dari ruang wawancara Delia termenung, memikirkan tawaran manager restoran tadi. Bagaimana mungkin? Dia datang melamar pekerjaan ke sebuah restoran, tapi dia diminta untuk menjadi baby sitter? yang benar saja.-flashback-"Sebelum ini kamu pernah bekerja di mana saja?" tanya manager restoran."Banyak Pak, sejak lulus SMA saya bekerja sebagai karyawan toko, penjual jajanan di pinggir jalan, cleaning service di stasiun kereta api—"Belum selesai Delia berbicara, sang manager restoran yang bernama Yuda itu memotong. "Bagaimana dengan baby sitter?" tanya Yuda."Baby sitter? pengasuh anak maksudnya, Pak?" tanya Delia memastikan, dengan raut bingungnya."Iya, saya rasa kamu cocok menjadi baby sitter," jawab Yuda yakin."Tapi ini restoran, Pak. Apa restoran ini membutuhkan pengasuh anak? Saya melamar pekerjaan di sini sebagian karyawan restoran, ntah itu waiters atau apa pun. Bukan
BAB 1Ganda Satya Andika, seorang duda tampan berusia 37 tahun yang sukses memiliki beberapa cabang restoran di kota-kota besar. Sejak berpisah dari sang istri, hidupnya menjadi tidak karuan. Penghianatan besar yang tidak dapat termaafkan membuatnya menganggap semua wanita sama.'Cinta?' Dia sangat benci kata itu. Baginya cinta adalah pembodohan. Tidak ada dua insan yang benar-benar mencintai dengan sungguh. Jika salah satunya tulus, maka satunya lagi akan membuatmu terluka secara halus, dan itu sangat menyakitkan."Carikan aku satu wanita untuk menemaniku malam ini!" Dengan suara bariton yang khas, ia memerintah seseorang via telepon.Begitulah ia sekarang, menjadikan wanita sebagai objek pemuas nafsu. Tidak ada cinta dalam permainan, hanya ada hasrat yang harus cepat diselesaikan. 'Menikah lagi?' Ah ... Jangan tanyakan itu. Bahkan untuk memikirkannya pun, ia enggan.Meski putra semata wayangnya, Denis Raksatya Putra yang saat ini beru