Deg.
Ternyata ingatannya sangat tepat. Aku hanya bisa meringgis, menunjukkan gigi-gigiku yang tidak terlalu putih dengan senyum terpaksa.
"Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja. Saat itu, saya yang berjalan terburu-buru, sembari menunduk mencari ponsel di dalam tas, tidak melihat bapak," tuturku dengan penuh sopan.
"Saat itu juga, saya ingin menegurmu, berjalan itu pakai mata!" balasnya dengan sedikit penekanan.
"Berjalan itu pakai kaki, Pak. Kalau mata itu berfungsi untuk melihat," timpalku, dengan sedikit sewot.
Dia yang sedang menikmati cappuccino hangatnya, tiba-tiba saja tersedak, setelah mendengar kalimatku. Mungkin, dia tidak menyangka, aku berani menimpali ucapannya.
Dia pun menatapku dengan tidak percaya. Huh ... Aku sudah sangat sopan meminta maaf, tapi dia malah merespon seperti itu. Lagi pula, dia juga menabrakku, dan dia ingat itu. Meski dia juga yang menolongku, agar tidak terjatuh.
"Iya, kamu benar, mata untuk melihat. Tapi kamu tidak menggunakan mata kamu," ujarnya santai.
Apa, yang benar saja? Berani sekali dia bicara seperti itu. Bukan hanya aku yang membutuhkan pekerjaan ini, tapi dia juga membutuhkanku untuk bekerja dengannya. Kita sama-sama membutuhkan, seharusnya dia bisa bicara lebih baik. Namun, apa ini? Huh ... untung saja dia orang tua, aku harus sabar.
"Saya menggunakan mata saya, Pak. Saat itu, saya menggunakan untuk mencari ponsel di dalam tas. Jadi, saya tidak melihat bapak. Tidak mungkin 'kan, saya menggunakan mata saya untuk melihat dua arah atau dua fokus sekaligus?" ucapku dengan tenang, aku tidak akan puas, jika bukan dia mengakhiri perdebatan kecil ini.
Dia terdiam, mungkin dia berpikir, kalimat apa lagi yang akan dikeluarkannya. Setelah beberapa detik, dia tertawa kecil dan berkata, "Oke-oke, kamu menang."
Aku pun langsung menjawab. "Menang? Kita sedang berlomba, Pak? Kalau saya penenangnya, hadiah apa yang saya dapatkan?" tanyaku.
Entah mengapa, aku masih ingin terus menimpalinya.
"Hadiah apa? Bagaimana jika tidur satu malam dengan saya?" jawabnya dengan kerlingan mata yang 'menakutkan' untukku.
"Bapak jangan kurang ajar!" ujarku dengan sedikit marah.
"Saya hanya menawarkan, kenapa kamu marah?" tanyanya santai, yang membuat mataku membulat.
"Bapak pikir saya perempuan seperti itu? Saya memang orang tak punya, tapi sebagai orang yang memilik harta lebih, seharusnya bapak bisa menghargai orang kecil seperti saya," ujarku berapi-api.
Untung saja, tidak banyak pengunjung di cafe ini, dan tempat duduk kami yang berada di sudut ruang, membuat kami jauh dari perhatian.
Aku jadi berpikir, pria dewasa di depanku ini sepertinya bukan orang baik. Aku takut dia akan melecehkanku nanti. Iya, sepertinya aku harus membatalkan niatku untuk bekerja dengannya.
Saat aku ingin membuka suara untuk mengutarakan niatku, dia berkata, "Maaf, maafkan saya. Saya hanya mencoba bercanda denganmu."
Apa? Apa tidak salah? Pria dewasa dan sudah mempunyai satu putra, bercanda seperti itu denganku?
"Maaf, Pak, tapi sepertinya, saya membatalkan niat saya untuk bekerja dengan bapak!" ujarku dengan sedikit tegas. Hilang sudah, cara bicaraku yang lembut dan penuh rasa sungkan tadi.
"Kamu kenapa? Tadi saya hanya bercanda. Seharusnya, kamu tidak perlu terbawa perasaan. Kamu terus menimpali ucapan saya, jadi saya beri kamu satu kalimat pelajaran 'bagaimana jika tidur satu malam dengan saya' agar kamu berhenti melanjutkan perdebatan kecil kita. Tolong, jangan ambil hati ucapan saya, atau berpikir yang tidak-tidak!" jelasnya sembari menghela napas di akhir kalimat, kemudian melanjutkan. "Lagi pula, saya tidak tergoda sedikit pun denganmu. Maaf, tapi kamu buka kriteria saya sama sekali".
Deg ... kurang ajar sekali dia. Setelah mengerjaiku dengan kalimatnya, meminta maaf dengan penjelasan yang begitu detail, kemudian menghinaku dan kembali lagi meminta maaf. Wah, benar-benar tidak punya hati!
Namun, pada bagian mana dia menghinaku? Dia berkata benar. Kenapa aku merasa terhina? Dia hanya mengatakan yang dirasanya, aku memang tidak menarik dan bukan kriterianya sama sekali. Kalaupun dia tidak mempunyai istri, dia bisa mendapat wanita yang diinginkannya.
Kami terdiam beberapa saat, dengan isi pikiran kami masing-masing. Sampai suaranya terdengar.
"Sekali lagi, Delia, saya minta maaf. Mungkin bicara saya keterlaluan dan terkesan tidak sopan pada pertemuan kedua kita ini. Tapi saya sama sekali tidak bermaksud begitu," ujarnya yang sedikit berhasil menenangkanku.
"Saya juga minta maaf, Pak. Mungkin saya yang terlalu terbawa perasaan. Bapak benar, tidak mungkin orang seperti bapak, tergoda dengan orang seperti saya, hehe," balasku dengan senyum terpaksa di akhir kalimat.
Meski sebenarnya ada rasa sakit di hatiku 'apa aku sama sekali tidak menarik? apa aku ini terlalu jelek?' tapi, ya sudahlah.
Ganda POV
Mendengarnya meminta maaf dan mengatakan; orang sepertiku tidak mungkin tertarik dengannya, membuat hatiku 'sedikit' iba. Apa ucapanku padanya tadi keterlaluan? Sebenarnya, jika dilihat-lihat wajah Delia manis, dia memiliki wajah berbentuk 'hati' dengan dagu sedikit runcing, bibirnya yang tipis, dan giginya yang rapi sangat menarik untuk dilihat ketika dia berbicara. Rambutnya yang hitam pekat dan lebat, sedikit ikal pada bagian ujung, membuatnya tampak tidak membosankan ketika dipandang. Apalagi, saat ini rambutnya diikat ke belakang kepala, menampakan leher jenjangnya. Kulitnya memang tidak glowing atau cerah, seperti gadis-gadis kebanyakan di luar sana, tapi hal itu sama sekali tidak mengurangi daya tarik dari seorang Delia. Sayang, tubuhnya memang kurus, tidak sesuai dengan tinggi yang dia memiliki. Mungkin, jika tubuh kurus itu sedikit berisi, Delia akan terlihat lebih menarik. Kecantikan natural gadis Indonesia ada padanya.
Kami kembali terdiam beberapa saat untuk kali kedua. Ah ... sepertinya aku harus mencari topik baru atau arah pembicaraan agar rasa tidak enak ini hilang.
"Delia, apa kamu masih bersedia menjadi baby sitter anak saya?" tanyaku dengan suara yang tegas, tetapi lembut.
Helaan napas terdengar dari bibir mungilnya, kemudian dia menjawab. "Iya, Pak, saya mau."
Mendengar jawaban dengan suara lemahnya, membuat aku urung, untuk mengutarakan beberapa persyaratan yang sebelumnya sudah aku tentukan. Namun, aku harus tetap mengatakan persyaratan ini, dan nantinya dia juga boleh meminta syarat dariku untuk kenyamanannya bekerja.
"Bagus, kalau kamu mau, saya senang mendengarnya. Tapi Delia, saya punya beberapa syarat sebelum—" Belum selesai aku berbicara dia langsung menyela.
"Syarat apa, Pak?!" tanyanya seperti terkejut, padahal aku belum memberi tahu syarat-syarat itu.
"Tentunya syarat ini untuk kebaikan anakku. Sebagai seorang ayah, aku ingin yang terbaik untuk anakku, dan kamu juga boleh memberiku syarat untuk kenyamananmu dalam bekerja," jelasku pada Delia
Setelah aku dan Delia sepakat dengan syarat yang saling kami ajukan, aku pun berniat mengantarkannya pulang.
"Baiklah, Delia, terima kasih. Semoga kamu bisa menjadi pengasuh yang baik untuk anak saya. Sekarang, bagaimana jika saya antar kamu pulang? Besok siang, saya akan jemput kamu untuk ke rumah saya."
BAB 7Author POVSetelah menyetujui beberapa persyaratan yang saling mereka ajukan, Ganda pun berniat mengantarkan Delia pulang, sembari dia pun ingin tahu tempat tinggal Delia. Namun dengan halus, Delia menolak, dia tidak ingin merepotkan.Ganda yang tidak ingin ditolak, terus-menerus memaksa Delia. Akhirnya Delia pun menurut, dia tidak ingin lagi mendebat Ganda.Dalam perjalanan menuju rumah sewa, keheningan menyelimuti mereka, keduanya sama-sama diam, sampai Ganda membuka suara."Ehem" deheman Ganda membuat Delia nenoleh ke arahnya."Kamu tinggal dengan siapa?" tanya Ganda membuka pembicaraan. Dia sedikit penasaran dengan kehidupan gadis yang akan menjadi pengasuh anaknya ini."Dengan teman saya, Pak" jawaban dari Delia membuat Ganda kembali bertanya."Dengan teman? orang tuamu di mana?" tanya Ganda kembali."Di pemakaman, Pak" tiga kata yang keluar dari mulut Delia membuat Ganda terdiam bebera
BAB 8Delia POVSetelah sadar dari lamunan panjangku, aku dikejutkan dengan posisi di mana mobil ini berhenti. Bagaimana mungkin bosku ini tau, tepatnya rumah tempatku dan Lila tinggal.Sepanjang perjalanan aku sibuk dengan isi pikiranku, siapa yang menunjukkannya arah? setan? tidak mungkin 'kan?"Bagaimana Bapak bisa tau? kalau ini rumah tempat saya tinggal" tanyaku dengan wajah bingung."Apa yang sedang kamu lamunkan, hah!?" dia balik bertanya dengan kesal."Sa-saya, tadi sa-saya" melihatnya kesal, membuat bibirku kelu, mendadak aku menjadi orang gagap."Sa-sa, apa! hah? sapi?" ucapnya yang membuatku berpikir 'dia sedang kesal atau sedang melawak'."Katakan, apa yang kamu pikirkan, hah?" tanyanya kembali dengan wajah yang mendekat ke wajahku.Dag.. dig.. dug..Posisi kami membuat jantungku berdetak tidak normal, biasanya aku akan marah jika ada lelaki yang sedekat ini de
BAB 1Ganda Satya Andika, seorang duda tampan berusia 37 tahun yang sukses memiliki beberapa cabang restoran di kota-kota besar. Sejak berpisah dari sang istri, hidupnya menjadi tidak karuan. Penghianatan besar yang tidak dapat termaafkan membuatnya menganggap semua wanita sama.'Cinta?' Dia sangat benci kata itu. Baginya cinta adalah pembodohan. Tidak ada dua insan yang benar-benar mencintai dengan sungguh. Jika salah satunya tulus, maka satunya lagi akan membuatmu terluka secara halus, dan itu sangat menyakitkan."Carikan aku satu wanita untuk menemaniku malam ini!" Dengan suara bariton yang khas, ia memerintah seseorang via telepon.Begitulah ia sekarang, menjadikan wanita sebagai objek pemuas nafsu. Tidak ada cinta dalam permainan, hanya ada hasrat yang harus cepat diselesaikan. 'Menikah lagi?' Ah ... Jangan tanyakan itu. Bahkan untuk memikirkannya pun, ia enggan.Meski putra semata wayangnya, Denis Raksatya Putra yang saat ini beru
BAB 2Keluar dari ruang wawancara Delia termenung, memikirkan tawaran manager restoran tadi. Bagaimana mungkin? Dia datang melamar pekerjaan ke sebuah restoran, tapi dia diminta untuk menjadi baby sitter? yang benar saja.-flashback-"Sebelum ini kamu pernah bekerja di mana saja?" tanya manager restoran."Banyak Pak, sejak lulus SMA saya bekerja sebagai karyawan toko, penjual jajanan di pinggir jalan, cleaning service di stasiun kereta api—"Belum selesai Delia berbicara, sang manager restoran yang bernama Yuda itu memotong. "Bagaimana dengan baby sitter?" tanya Yuda."Baby sitter? pengasuh anak maksudnya, Pak?" tanya Delia memastikan, dengan raut bingungnya."Iya, saya rasa kamu cocok menjadi baby sitter," jawab Yuda yakin."Tapi ini restoran, Pak. Apa restoran ini membutuhkan pengasuh anak? Saya melamar pekerjaan di sini sebagian karyawan restoran, ntah itu waiters atau apa pun. Bukan
BAB 3Delia POVDi sini aku sekarang, duduk dalam sebuah cafe menunggu seseorang yang sebelumnya sudah kuhubungi, tapi sudah hampir dua jam aku menunggu dia tidak datang juga. Dia benar-benar seenaknya! Dia yang menentukan waktu dan tempat bertemu, tapi dia juga yang lambat.Dasar! Apa semua orang berduit seperti itu? Semaunya saja pada orang yang membutuhkan! Sudah sedari tadi aku kesal dan terus memaki. Ini sudah di luar batas, mau berapa lama lagi aku menunggu? Sampai cafe ini tutup? sialan! Nomor teleponnya juga tidak aktif. Dia benar-benar keterlaluan. Lebih baik aku pulang sekarang, mungkin memang pekerjaan ini bukan untukku.Saat aku akan bangkit dari kursi yang hampir dua jam kududuki, seseorang mengintrupsiku."Delia!" Suaranya membuatku menoleh ke belakang, aku mengira itu Pak Yuda, ternyata bukan. Dia Beni, temanku dan Lila."Ha-hai ... Ben," jawabku kaku, tidak menyangka kita akan bertemu di sini.
BAB 4Ganda POVSetelah meeting dengan para chef, terkait menu baru yang akan dihadirkan di restoran DF selesai, aku langsung menemui teman sekaligus orang kepercayaanku, Yuda. Setelah beberapa hari lalu, dia kutugaskan untuk merekrut karyawan baru, aku sama sekali belum bertemu dengannya. Ditambah lagi, aku belum memakinya sebab mengganggu malamku dengan wanita bayaran itu."Hei, Kawan! Gimana, sukses meeting-nya?" sapanya, saat aku sudah duduk di hadapannya."Tentu saja. Secepatnya kita akan mempromosikan menu baru ini," jawabku sembari meminum cappuccino hangat yang sudah dipesankan olehnya."Bagus, semoga makin sukses!" ujarnya dengan mengangkat dua jempol miliknya."Baby sitter untuk Denis? Apa kau sudah menemukan orangnya?" tanyaku sembari mengambil cake chocolate milik Yuda.Sudah dari seminggu yang lalu, pengasuh Denis yang sekarang ini, ingin berhenti bekerja. Aku memintanya untuk menunggu, sampai aku
BAB 5"Maaf, O- om."Suaranya yang takut-takut membuatku enggan melepaskannya, dan tertarik untuk sedikit mengerjainya. Namun, niatku tidak terwujud, sebab beberapa pasang mata sudah menatap ke arah kami. Aku juga harus segera menemui Denis, dia sudah menunggu terlalu lama. Aku melepaskannya segera berjalan menuju meja tempatku dan Denis duduk tadi."Papa, kenapa lama sekali?" tanya Denis dengan wajah cemberutnya."Maaf, Sayang. Papa mengantri panjang tadi," jawabku memberi alasan. Dengan refleks Denis pun memutar kepala untuk melihat ke arah kasir."Tidak ada, Papa!" serunya menyanggah ucapanku, begitu dia melihat tidak ada satu orang pun di kasir."Tadi Papa menjadi pelanggan terakhir, Sayang," jawabku memberi alasan. Denis pun hanya menganggukan kepalanya.Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, entah kenapa aku merasa penasaran dengan gadis yang menabrak dan kutabrak tadi. Iya, dia adalah gadis
BAB 8Delia POVSetelah sadar dari lamunan panjangku, aku dikejutkan dengan posisi di mana mobil ini berhenti. Bagaimana mungkin bosku ini tau, tepatnya rumah tempatku dan Lila tinggal.Sepanjang perjalanan aku sibuk dengan isi pikiranku, siapa yang menunjukkannya arah? setan? tidak mungkin 'kan?"Bagaimana Bapak bisa tau? kalau ini rumah tempat saya tinggal" tanyaku dengan wajah bingung."Apa yang sedang kamu lamunkan, hah!?" dia balik bertanya dengan kesal."Sa-saya, tadi sa-saya" melihatnya kesal, membuat bibirku kelu, mendadak aku menjadi orang gagap."Sa-sa, apa! hah? sapi?" ucapnya yang membuatku berpikir 'dia sedang kesal atau sedang melawak'."Katakan, apa yang kamu pikirkan, hah?" tanyanya kembali dengan wajah yang mendekat ke wajahku.Dag.. dig.. dug..Posisi kami membuat jantungku berdetak tidak normal, biasanya aku akan marah jika ada lelaki yang sedekat ini de
BAB 7Author POVSetelah menyetujui beberapa persyaratan yang saling mereka ajukan, Ganda pun berniat mengantarkan Delia pulang, sembari dia pun ingin tahu tempat tinggal Delia. Namun dengan halus, Delia menolak, dia tidak ingin merepotkan.Ganda yang tidak ingin ditolak, terus-menerus memaksa Delia. Akhirnya Delia pun menurut, dia tidak ingin lagi mendebat Ganda.Dalam perjalanan menuju rumah sewa, keheningan menyelimuti mereka, keduanya sama-sama diam, sampai Ganda membuka suara."Ehem" deheman Ganda membuat Delia nenoleh ke arahnya."Kamu tinggal dengan siapa?" tanya Ganda membuka pembicaraan. Dia sedikit penasaran dengan kehidupan gadis yang akan menjadi pengasuh anaknya ini."Dengan teman saya, Pak" jawaban dari Delia membuat Ganda kembali bertanya."Dengan teman? orang tuamu di mana?" tanya Ganda kembali."Di pemakaman, Pak" tiga kata yang keluar dari mulut Delia membuat Ganda terdiam bebera
Deg.Ternyata ingatannya sangat tepat. Aku hanya bisa meringgis, menunjukkan gigi-gigiku yang tidak terlalu putih dengan senyum terpaksa."Maafkan saya, Pak. Saya tidak sengaja. Saat itu, saya yang berjalan terburu-buru, sembari menunduk mencari ponsel di dalam tas, tidak melihat bapak," tuturku dengan penuh sopan."Saat itu juga, saya ingin menegurmu, berjalan itu pakai mata!" balasnya dengan sedikit penekanan."Berjalan itu pakai kaki, Pak. Kalau mata itu berfungsi untuk melihat," timpalku, dengan sedikit sewot.Dia yang sedang menikmati cappuccino hangatnya, tiba-tiba saja tersedak, setelah mendengar kalimatku. Mungkin, dia tidak menyangka, aku berani menimpali ucapannya.Dia pun menatapku dengan tidak percaya. Huh ... Aku sudah sangat sopan meminta maaf, tapi dia malah merespon seperti itu. Lagi pula, dia juga menabrakku, dan dia ingat itu. Meski dia juga yang menolongku, agar tidak terjatuh."I
BAB 5"Maaf, O- om."Suaranya yang takut-takut membuatku enggan melepaskannya, dan tertarik untuk sedikit mengerjainya. Namun, niatku tidak terwujud, sebab beberapa pasang mata sudah menatap ke arah kami. Aku juga harus segera menemui Denis, dia sudah menunggu terlalu lama. Aku melepaskannya segera berjalan menuju meja tempatku dan Denis duduk tadi."Papa, kenapa lama sekali?" tanya Denis dengan wajah cemberutnya."Maaf, Sayang. Papa mengantri panjang tadi," jawabku memberi alasan. Dengan refleks Denis pun memutar kepala untuk melihat ke arah kasir."Tidak ada, Papa!" serunya menyanggah ucapanku, begitu dia melihat tidak ada satu orang pun di kasir."Tadi Papa menjadi pelanggan terakhir, Sayang," jawabku memberi alasan. Denis pun hanya menganggukan kepalanya.Dalam perjalanan pulang, di dalam mobil, entah kenapa aku merasa penasaran dengan gadis yang menabrak dan kutabrak tadi. Iya, dia adalah gadis
BAB 4Ganda POVSetelah meeting dengan para chef, terkait menu baru yang akan dihadirkan di restoran DF selesai, aku langsung menemui teman sekaligus orang kepercayaanku, Yuda. Setelah beberapa hari lalu, dia kutugaskan untuk merekrut karyawan baru, aku sama sekali belum bertemu dengannya. Ditambah lagi, aku belum memakinya sebab mengganggu malamku dengan wanita bayaran itu."Hei, Kawan! Gimana, sukses meeting-nya?" sapanya, saat aku sudah duduk di hadapannya."Tentu saja. Secepatnya kita akan mempromosikan menu baru ini," jawabku sembari meminum cappuccino hangat yang sudah dipesankan olehnya."Bagus, semoga makin sukses!" ujarnya dengan mengangkat dua jempol miliknya."Baby sitter untuk Denis? Apa kau sudah menemukan orangnya?" tanyaku sembari mengambil cake chocolate milik Yuda.Sudah dari seminggu yang lalu, pengasuh Denis yang sekarang ini, ingin berhenti bekerja. Aku memintanya untuk menunggu, sampai aku
BAB 3Delia POVDi sini aku sekarang, duduk dalam sebuah cafe menunggu seseorang yang sebelumnya sudah kuhubungi, tapi sudah hampir dua jam aku menunggu dia tidak datang juga. Dia benar-benar seenaknya! Dia yang menentukan waktu dan tempat bertemu, tapi dia juga yang lambat.Dasar! Apa semua orang berduit seperti itu? Semaunya saja pada orang yang membutuhkan! Sudah sedari tadi aku kesal dan terus memaki. Ini sudah di luar batas, mau berapa lama lagi aku menunggu? Sampai cafe ini tutup? sialan! Nomor teleponnya juga tidak aktif. Dia benar-benar keterlaluan. Lebih baik aku pulang sekarang, mungkin memang pekerjaan ini bukan untukku.Saat aku akan bangkit dari kursi yang hampir dua jam kududuki, seseorang mengintrupsiku."Delia!" Suaranya membuatku menoleh ke belakang, aku mengira itu Pak Yuda, ternyata bukan. Dia Beni, temanku dan Lila."Ha-hai ... Ben," jawabku kaku, tidak menyangka kita akan bertemu di sini.
BAB 2Keluar dari ruang wawancara Delia termenung, memikirkan tawaran manager restoran tadi. Bagaimana mungkin? Dia datang melamar pekerjaan ke sebuah restoran, tapi dia diminta untuk menjadi baby sitter? yang benar saja.-flashback-"Sebelum ini kamu pernah bekerja di mana saja?" tanya manager restoran."Banyak Pak, sejak lulus SMA saya bekerja sebagai karyawan toko, penjual jajanan di pinggir jalan, cleaning service di stasiun kereta api—"Belum selesai Delia berbicara, sang manager restoran yang bernama Yuda itu memotong. "Bagaimana dengan baby sitter?" tanya Yuda."Baby sitter? pengasuh anak maksudnya, Pak?" tanya Delia memastikan, dengan raut bingungnya."Iya, saya rasa kamu cocok menjadi baby sitter," jawab Yuda yakin."Tapi ini restoran, Pak. Apa restoran ini membutuhkan pengasuh anak? Saya melamar pekerjaan di sini sebagian karyawan restoran, ntah itu waiters atau apa pun. Bukan
BAB 1Ganda Satya Andika, seorang duda tampan berusia 37 tahun yang sukses memiliki beberapa cabang restoran di kota-kota besar. Sejak berpisah dari sang istri, hidupnya menjadi tidak karuan. Penghianatan besar yang tidak dapat termaafkan membuatnya menganggap semua wanita sama.'Cinta?' Dia sangat benci kata itu. Baginya cinta adalah pembodohan. Tidak ada dua insan yang benar-benar mencintai dengan sungguh. Jika salah satunya tulus, maka satunya lagi akan membuatmu terluka secara halus, dan itu sangat menyakitkan."Carikan aku satu wanita untuk menemaniku malam ini!" Dengan suara bariton yang khas, ia memerintah seseorang via telepon.Begitulah ia sekarang, menjadikan wanita sebagai objek pemuas nafsu. Tidak ada cinta dalam permainan, hanya ada hasrat yang harus cepat diselesaikan. 'Menikah lagi?' Ah ... Jangan tanyakan itu. Bahkan untuk memikirkannya pun, ia enggan.Meski putra semata wayangnya, Denis Raksatya Putra yang saat ini beru