Me and My dad.... Sebuah novel yang menceritakan perjalanan hidup seorang Gadis bernama Ganeeta Tan Harsa. Terlahir sebagai anak seorang gangster kelas kakap bernama Ganandra Tan Harsa dan ibu seorang tentara berpangkat Jendral bernama Gayatri Pradipta Pasha Ganeeta kecil terpaksa harus kehilangan seorang ibu, dia menyaksikan ibunya meninggal tepat didepan matanya. Ibunya dibunuh oleh musuh ayahnya. Semenjak kejadian itu dia terpaksa dipisahkan dari sang Ayah dan diasuh serta di didik oleh sang kakek. Dia didik di sekolah intelijen untuk menjadi gadis yang mahir dalam bidang kemileteran dan pintar dalam berfikir bersama dengan dua orang paman kembarnya. Dua belas tahun berlalu, Ganeeta kembali ke kota kelahirannya untuk mencari sang Ayah, mencari pembunuh ibunya dan menyelesaikan misi rahasia yang ditugaskan kepadanya. Akan kah Ganeeta menemukan sang ayah dan berhasil menyelesaikan misinya?
View MoreBRAK!
Suara bantingan pintu yang terbuka paksa terdengar oleh Gayatri Pradipta Pasha. Aya biasa dia dipanggil langsung bergegas bangun dan membawa anaknya bersembunyi disebuah ruangan rahasia, yang ada didalam otaknya saat ini hanyalah bagaimana dia bisa menyelamatkan anaknya.
Sesampai di ruang rahasia tersebut dia melihat ke layar monitor. Rumahnya memang sengaja dipasang cctv agar bisa memantau keadaan. Dilayar itu dia melihat banyak orang dengan membawa senjata.
Aya sadar meskipun dirinya adalah seorang prajurit yang terlatih tapi dia tidak akan menang menghadapi semua orang itu sendirian. Aya kemudian memandangi buah hatinya. ‘Sayang jika ini memang pertemuanmu dengan ibu untuk terakhir kalinya. Ibu mohon jadilah gadis yang Pemberani, cerdas dan mandiri.’ ucapnya dalam hati.
DOR! DOR! DOR!
Suara tembakan membuyarkan lamunan Aya, dia kemudian berdiri dan mempersiapkan diri untuk menghadapi mereka.
“Aneet, dengarkan Ibu!” pinta Aya ambil memegang wajah Ganeeta Tan Harsa (Aneet) dengan tangannya. “Sayang, lihat Ibu!... Lihat di layar itu, Nak!” perintahnya lagi sambil menunjuk layar monitor. “Aneet, sekarang kita sedang bermain petak umpet dengan paman-paman yang ada disana. Yang menang adalah yang tidak ketemu paman-paman disana. Aneet hanya boleh keluar jika opa atau ayah yang memanggil. Aneet pahamkan?” Aya berusaha menjelaskannya dengan pelan supaya gadis berusia lima tahun itu paham.
“Iya bu, Aneet tau.” jawab Aneet dengan senyum kecil yang mengembang dibibirnya yang sangat mungil.
“Habis ini ibu akan keluar, ibu akan bantu Aneet menang dengan menyuruh paman-paman di sana agar pergi supaya tidak bisa menemukan Aneet. Dan ingat! Aneet jangan sekali – kali keluar kecuali opa atau ayah yang memanggil. Aneet pahamkan?!” Aya mengingatkan lagi agar Aneet selalu mengingatnya.
“Iya bu, Aneet paham.”
Aya memegang wajah Aneet dengan kedua tangganya. “Sayang, lihat mata ibu! Dengarkan ibu! Jika dalam permainan ini nanti ibu kalah. Aneet tidak boleh kalah, Aneet harus tetap di sini dan menjadi pemenang. Tumbuhlah menjadi putri ibu yang pemberani, cerdas dan mandiri.”
Aya menghembuskan nafas lega dan berharap putri kecilnya paham. Sebelum keluar dia mencium sang putrinya terlebih dahulu. Berkali – kali dia mencium dan memeluk putrinya.
“Ingat kata ibu, apapun yang terjadi Aneet hanya boleh keluar jika Oppa atau Ayah yang memanggil.” Tegasnya sekali lagi.
“Iya bu, Aneet ingat.”
Aya tersenyum lalu meninggalkan Aneet sendirian. Sebelum pergi aya memasangkan ke leher Aneet sebuah kalung dengan liontin setengah hati. Sebutir air matanya menetes saat dirinya melakukan hal berlalu meninggalkan Aneet.
DOR! DOR! DOR!
Desisan peluru yang didengar oleh Aneet, membuat laki – laki yang terlihat dilayar jatuh. Aneet begitu senang.
“Hore! Aneet pasti akan menang dibantu sama ibu.” ucap anak kecil itu sambil melompat dikursi.
Paman-paman yang awalnya Aneet lihat banyak, sekarang jumlahnya tinggal beberapa saja.
Hingga akhirnya dia melihat pemandangan yang sangat tidak dia duga.
“Ibu!” suara yang keluar dari bibirnya yang mungi
Gadis kecil itu melihat penampakan dilayar. Ibunya digelandang oleh beberapa pria dengan tangan yang terikat ke belakang. Aneet juga melihat sang ibu yang ditendang hingga tubuhnya tersungkur ke lantai.
“I – i – bu.” panggil Aneet dengan suara yang bergetar. Anak berusia lima tahun itu kembali melihat ibunya dipukul, ditampar dan dianiaya oleh para pria yang dilihatnya dari layar kaca.
“Kata ibu, Aneet tidak boleh menangis! Jadi Aneet tidak mau nangis.” Kedua tangan kecil itu menghapus air matanya.
Seorang pria dengan tubuh yang tinggi, berjubah hitam dan memakai sall berwarna putih nampak berdiri di depan ibunya. Dia todongkan pistol kepada yang ibu dengan jarak yang tidak terlalu jauh.
Dor! Dor! Dor!
“Ibu!....”
***
Dua belas tahun berlalu....
Ganeeta Tan Harsa bangun dengan nafas terengah dan keringat membasahi wajahnya. Ganeeta gadis dengan wajah yang imut ini nampak begitu ketakutan, tangannya terlihat gemetar.
Dua orang pria masuk dari luar enggan salah satunya membawa segelas air putih dan yang satu memeluk Aneet untuk menenangkannya.
“Aneet, tenanglah paman disini dan tidak akan terjadi apa – apa?” ucap paman yang biasa Aneet panggil paman ying.
“Ayo minun dulu Sayang.” kata salah seorang paman lain yang biasa Aneet panggil yang.
Aneet mengambil minumnya dari paman yang, dia menghabiskan satu gelas penuh minumnya tanpa jeda. Aneet berusaha mengatur nafasnya agar lebih tenang.
“Paman, kenapa setelah dua belas tahun berlalu Aneet masih terus memimpikan hal itu?” tanya Aneet yang sudah mulai tenang.
“Trauma masa kecil, jadi wajar.” jawab Gayang
“Udah tidak usah dipikir, ayo buruan tidur. Besuk penerbangan kita pagi, katanya mau pengin cepat balik.” sahut Gaying
Mereka tidur bertiga dengan posisi Aneet berada di tengah.
***
Pagi ini pukul 06.00 waktu setempat, Aneet dan kedua pamannya baru saja tiba disebuah lapangan udara milik badan intelijen tulip, tempat mereka bernaung.
Suara gemuru terdengar oleh mereka bertiga saat memasuki landasan pacu. Guntur sengaja menyiapkan sebuah jet pribadi untuk menjemput mereka pulang.
“Mas Ying! Pesawatnya sudah siap, silahkan naik!” pinta Salah seorang anak buah opa dengan suara keras.
“Ayo naik!” Gaying berkata
Tidak lama setelah naik, pesawat lepas landas dari bandara.
“Aaa...!!!” teriak Aneet saat pesawat telah terbang. “Akhirnya pulang juga!” lanjut Aneet berteriak
Gayang dan Gaying hanya tersenyum melihat kesenangan keponakannya. Wajah yang jarang dia lihat karena setiap harinya hanya diisi dengan latihan dan latihan.
Sudah Tiba...
Selama lebih dari lima jam, mereka menempuh perjalanan dengan jet pribadi itu. Dari udara Aneet sudah melihat landasan pacu yang akan mereka gunakan untuk take off. Mendengar instruksi dari sang pramugari mereka bersiap untuk take off
Senyum lebar mengembang dari bibir Aneet saat pesawat menyentuh landasan pacu. “Aneet pulang Bu.” ucapnya lirih
“Seneng ya pulang?” tanya gayang.
“Heem.” jawab Aneet sambil menganggukkan kepalanya. “Paman, habis ini langsung ke makam ibu ya.” pinta Aneet.
Gaying dan Gayang hanya saling bertatapan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. “Aneet kangen sama ibu Paman, please!” ucapnya memohon.
“Nanti tunggu opa dulu ya Sayang.” jawab Gaying
“Aneet kan tau kalau udah sama opa semua keputusan ada ditangan opa.” sambung Gayang menjawab permintaan Aneet. “Yang penting kita udah di sini dulu.” Lanjut Gayang
Pintu jet pribadi yang membawa mereka sudah dibuka oleh pramugari. Sambil memegang tangan Aneet Gaying berkata, “Sekarang kita keluar dulu!”
Mereka bangkit dari duduknya, berjalan menuju pintu pesawat. Aneet menghidup udara dalam-dalam sambil memejamkan matanya.
‘Bu! Aneet sudah sampai. Aneet janji akan membalaskan kematian ibu kepada paman-paman itu.’ Ucapnya dalam hati, dua tangan menggenggam kuat saat itu seakan – akan siap untuk memukul. Melihat hal tersebut Gaying dan Gayang langsung memegang tangan Aneet, membuat mata Aneet yang terpejam menjadi terbuka.
Gaying, Gayang dan Aneet turun dengan bergandengan tangan menghampiri orang – orang yang menyambutnya.
***
Disebuah apartemen yang lumayan mewah dipusat ibu kota. Ganandra Tan Harsa seorang mafia kelas kakap, kepala cabang wilayah lima. Dia juga merupakan ayah dari Aneet, sedang berdiskusi dengan Jarot Handoko tangan kanannya yang dia sudah anggap sebagai saudara sendiri. Bertempat di mini bar miliknya mereka membicarakan perkembangan wilayah.
Prang!
Gelas yang dibawa Annan biasa Gannandra di panggil tiba-tiba terjatuh tanpa sebab. Jatuhnya gelas Annan bersamaan saat kaki Aneet pertama kali menginjak dilandasan pacu.
“Kenapa kak?” tanya jarot.
“Aku kok tiba – tiba rindu dengan Aneet.” jawab Annan dengan tatapan kosongnya.
“Jan! Tolong bersihkan bekas gelas kakak.” pinta Jarot. “Kak!” lanjut jarot sambil memegang bahu Annan dan memberikan minuman baru.
“Sudah dua belas Tahun aku tidak ketemu dengan putriku. Ya... dua belas tahun karena beberapa bulan lagi Aneet akan berusia tujuh belas tahun.”
“Kakak sudah mencoba mencari tau dimana Aneet ke papah Guntur?”
“Beberapa kali aku ke sana Jar untuk menanyakan, tapi papah selalu bilang jika Aneet baik – baik saja dan dalam pengawasan tangan yang tepat.” jelas Annan, dia lalu terdiam dan mengambil nafas panjang.
“Kakak yang sabar, jika sudah waktunya pasti Aneet akan mencari kakak.” Jarot berusaha menghibur Annan.
“Jarot, temani aku! Aku mau ke makamnya gayatri.” pinta Annan.
“Okey kak.” jawab jarot sambil mengacungkan jari jempolnya
*** Bersambung ***
Tubuh Tomo tersentak bersamaan tiga buah peluru yang bersarang di dadanya. Mata Tomo membuka dengan begitu lebar, bahkan manik matanya sempat melirik ke arah Cokky.“Ka-kamu,” ucap Tomo dengan jari telunjuk yang mengarah ke Cokky.Tidak lama setelah itu, tubuh Tomo terpelanting ke lantai dengan matanya yang masih terbelalak.Waktu seakan berhenti, situasi begitu hening. Semua pasang mata langsung menatap Cokky dengan penuh kecurigaan.“Annan, kamu tidak perlu berterima kasih kepadaku.” Cokky bertutur memecah suasana hening. “Kenapa kalian semua dia, tidak usah terkesan karena ini adalah kewajibanku membela wilayah angka.”“Saudara-saudaraku di wilayah angka, kalian semua saksinya jika telah terjadi pembunuhan di sini... Bagaimanapun negara ini adalah negara hukum, jadi pasti kejadian ini akan diusut oleh polisi.” Lambang menunjuk dengan tangan sambil memegang cerutu.“Tunggu! Tunggu!&rdqu
“Merunduk!” halau Aneet sembari menarik tangan Gaying dan Gayang.Dor!Aneet melepaskan tembakan dari pistol yang dia ambil di samping kiri pinggang Gayang. Tembakan itu tepat mengenai pistol yang dibawa oleh Tomo dan terpental turun ke bawah.Dengan senyum yang dingin Aneet bangkit. Mengarahkan lurus pistol yang dia bawa ke tengah kepala Tomo.“Apa mau kamu?” tanya Tomo yang mulai ketakutan dengan kepala yang celingukan.“Aku ingin nyawamu,” jawab Aneet dengan nada lambat.“Aku tidak punya urusan sama kamu, jadi jangan ikut campur dengan urusanku,” ujar Tomo.Tawa kemenangan keluar dari bibir mungil Aneet. Senyum kepuasan menghiasi wajahnya sembari terus berjalan mendekati Tomo. Sementara Gaying dan Gayang melihat dengan heran apa yang sedang keponakannya tersebut lakukan.“Cuih!” Aneet meludah ketika posisinya dengan Tomo hanya berjarak beberapa meter. “Siapa b
“Semua pasukan, segera menempati posisi yang telah di tentukan!” Asisten Pramono memerintah setelah beberapa detik mengakhiri pembicaraannya dengan Gayang.“Siap, Pak!” jawab mereka serentak dengan begitu tegas.Pasukan khusus itu melangkah dengan senyap. Mereka mengepung gedeng tersebut pada setiap titik untuk mengantisipasi buronan kabur.“Mereka di mana?” Pramono bertanya.“Mungkin sudah di dalam pak, karena mereka menjawab dengan suara yang pelan,” jawab asisten.“Terlalu gegabah, mana ada petugas keamanan yang ikut pertemuan antar gangster. Apalagi mereka bertiga itu petugas khusus kepolisian,” protes Pramono.“Bukannya itu sudah menjadi pekerjaan mereka pak?” tanya Asisten dengan ragu.Pramono hanya melirik sang Asisten saja, dia kemudian masuk ke dalam mobil yang dipenuhi dengan perlengkapan IT yang begitu canggih. Tidak lama setelah memastikan semua pasukan sudah berada
Beberapa orang yang membawa pemukul bola pada olahraga kasti keluar dari mobil yang berukuran lebih besar itu.Bruk! Bruk! Bruk!Prang!“Aahhh!” Yuli berteriak ketika dia terkejut setelah jendela kaca di sebelahnya mendapatkan pukulan dari pria-pria yang sengaja mengikuti mobil mereka.“Kak Willy, apa yang harus kita lakukan?” tanya Dayat dengan wajahnya yang ketakutan.“Bagaimana ini Wil?” Sarah yang mulai cemas juga bertanya pada orang tertua di wilayah lima tersebut.“Kalau kita keluar melawan mereka, kita semua hanya akan mati konyol,” ujar Willy sembari celingukan untuk mengetahui kekuatan lawan. “Telepon Annan, kita cari bantuan.” Willy memerintah Sarah.“Tidak akan sempat, mobilku tidak akan mampu menahan pukulan terlalu lama,” sanggah Sarah.“Ada mobil mendekat ke sini!” seru Brian.Harapan seketika muncul di benak mereka setelah melihat Gayi
“Jarot! Ayo kita ke gedung pemilihan,” ajak Annan sambil memakai jam tangan yang hampir sama dengan Jarot, cuma berbeda warna saja.“Mari kak,” sahut Jarot, lalu berjalan beriringan dengan Annan. “Kak Annan menunggu di sini apa ikut ambil mobil?” tanya Jarot saat berada di teras depan.“Ikut saja!” jawab Annan singkat.Mobil milik Annan yang akan mereka gunakan terparkir satu sisi dengan Aneet yang sedang merendam kakinya di kolam renang.Ketika Jarot hendak membuka pintu dia tak sengaja melihat Aneet. “Kak Annan! Sebentar ya.”Jarot lalu menutup kembali pintu mobilnya lalu melangkah mendekati Aneet.“Sayang! Kamu sedang apa di situ?” tanya Jarot. Aneet menaikkan kakinya dari dalam kolam dan berdiri menyambut Jarot yang datang ke arahnya.“Mau berenang Paman.” Aneet menjawab dengan alibi apa yang terlintas di otaknya.“Paman berangkat dulu ya. Doakan pama
“Halo kantor polisi.... Pak ini dengan rumah sakit kepolisian. Pak telah terjadi pembunuhan di sini, korban atas nama Sultan yang merupakan tersangka titipan dari kepolisian kota.” Seorang perawat berbicara.Setelah beberapa saat telah terdiam mendengarkan lawan bicaranya merespons diujung telepon perawat tersebut menutup teleponnya.Polisi yang sedang bertugas dan menerima laporan tersebut. Meneruskan laporannya kepada Pramono sebagai penanggung jawab wilayah. Pramono ditemani oleh asistennya bergerak ke rumah sakit setelah mendapatkan laporan tersebut.“Silakan Pak!” seorang polisi yang sudah datang terlebih dahulu mempersilahkan Pramono masukDengan pelan Pramono membuka bantal yang menutupi wajah sultan. Dahi Pramono berkerut dan sedikit membuang wajahnya, ketika dia melihat ekspresi wajah ekstrim sultan.“Kuburkan dia dengan layak!” perintah Pramono, “Yang paling penting cari pelakunya sampai dapat,” titah
Di tempat persembunyiannya, Tomo yang masih merasakan sakit ditangannya karena luka tembak yang dihadiahkan oleh Aneet. Terpaksa tetap mengadakan koordinasi dengan seluruh pimpinan gangs wilayah dua. Dia lalu menyuruh Cokky untuk segera menghubungi para pimpinan gangs di bawah naungannya.“Bagaimana kak Tomo kondisinya?” tanya Hendra“Ya... Seperti yang kamu lihat.” Tomo menunjukkan tangan kanannya yang terbalut perban dengan sedikit bercak merah. “Brengsek! Gadis kecil anaknya Annan itu, berani – beraninya menyarangku!” lanjutnya mengumpat Aneet dengan geram dan salah satu tangannya mengepal.“Ini aku bawa obat pereda rasa sakit, semoga bisa membantu.” Hendra meletakkan sebuah kantung plastik transparan di meja yang berisi beberapa jenis obat.“Terima kasih, Hend!” ucap Tomo.Mengisi waktu sambil menunggu yang lain berkumpul, Tomo menyempatkan terlebih dahulu untuk meminum obat ya
“Tapi Yah!” Aneet masih sangat ingin membuat orang yang berada di dalam mobil itu berhenti, untuk mengetahui dalang di balik peristiwa ini.“Sayang! Mereka sudah jauh, kalau dipaksa bisa membahayakan pengguna jalan yang lain... Kita urus yang sudah tertangkap dulu, kita cari informasi dari mereka,” ucap Annan membujuk sang putri dengan memegang tangan Aneet yang saat ini memegang pistol.Annan mengajak sang putri untuk pergi dari jalan agar tidak mengganggu pengguna jalan lain. Dengan lembut Annan menggandeng tangan Aneet untuk melangkah.Kelima orang bertopeng itu diamankan oleh Gaying, Gayang dan Jarot di sudut toko. Empat orang dengan tangan terikat sabuk dan satu orang di sampingnya terkapar dengan luka tembak tapi dia tidak membuatnya meregang nyawa karena Annan sengaja menembak pada bagian tangan yang memegang pistol.Bak! Bak! Bak!Kaki Jarot menendang ke arah empat orang dengan tangan terikat, dia masih terbakar emosi dengan t
Pramono yang penasaran dengan terburu – buru mengambil berkas tersebut.“Bangsat! Ternyata dia orangnya!” umpat Pramono setelah melihat dan pelajari dokumen yang Aneet berikan.“Bapak pasti tidak menyangkakan?” celetuk Aneet. “Jika dalam setahun ini operasi yang bapak lakukan selalu gagal karena orang ini telah memberi informasi kepada target bapak.” Aneet melanjutkan pembicaraannya dengan pandangan yang serius.“Terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini,” tutur Pramono sembari menjabat tangan Aneet. “Oh ya, sampaikan salam dan terima kasihku kepada Ying dan Yang,” sambung Pramono yang membalas pandangan Aneet juga dengan serius.“Dengan senang hati pak,” balas Aneet dengan senyum.Pramono berpamitan untuk kembali ke kantor polisi dan berjanji kepada Aneet untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera.Aneet yang masih memegang pergelangan tangan Anees, meng
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments