Angin bertiup lumayan kencang saat ini, membuat terbang semua benda-benda ringan. Di landasan pacu pesawat sudah menanti rombongan yang akan menjemput mereka. Terlihat Guntur dan Anna serta beberapa pengawalnya. Dengan digandeng oleh kedua pamannya Aneet menuruni tangga pesawat.
‘Ayah! Aneet pulang. Aneet ingin ketemu Ayah.’ dalam hati Aneet berucap saat kakinya menginjakkan landasan pacu pesawat.Aneet mengambil nafas panjangnya lagi kemudian dia berlari menghampiri oma dan opanya yang sudah menunggu, Aneet memeluk mereka berdua dengan sangat erat untuk melepaskan rasa rindu.“Oma, Opa.” ucap Aneet saat berada dipelukan oma dan opanya.“Oma rindu sekali dengan Aneet.” kata Anna, Septiana Baskara adalah nama oma dari aneet yang biasa disapa dengan Ana. Ana adalah seorang wanita kareir yang membantu bisnis berlian suaminya. Sementara Guntur Pradipta Pasha adalah pimpinan Pasha grub perusahan yang punya banyak anak cabang. Dia juga termasuk orang yang disegani dikalangan para mafia.Sebenarnya sebulan sekali Ana dan Guntur menjenguk Aneet dan kedua pamannya, tapi tiga bulan ini karena Aneet mau pulang hanya Guntur saja yang datang menjenguk.“Opa! Ayah tidak datang untuk menjemput Aneet?” tanya Aneet sambil menolehkan kepalanya kesana kemari. Aneet sendiri sekarang sudah agak lupa dengan wajah sang ayah karena sudah lama tidak ketemu. Bahkan lebih lama dari kematian sang ibu.“Opa memang tidak memberitahu Ayah jika hari ini kamu dan paman datang.” jawab Guntur. Mendengar jawaban Guntur Aneet memutarkan kedua bola matanya dan sedikit menurunkan bahunya.“Opa mau dalam waktu dekat ini kamu tidak bertemu dengan Ayah dulu. Beberapa waktu lalu kepala cabang wilayah tiga baru saja meningga. Pamanmu... Jarot adalah kandidat terkuat yang akan menggantikannya. Opa tidak mau kamu jadi korban dari persaingan ini, seperti ibumu.” Perintah Guntur.Aneet memejamkan mata dan merundukkan kepalanya sebagai respons tidak puas dengan perintah guntur.“Nanti kalau sudah saatnya pasti Aneet akan bertemu dengan ayah. Oma percaya Ayah juga merindukan Aneet.” hibur Ana sambil mengusap pipi Aneet.“Iya Oma.” Sambutan selamat datang beralih kepada putra kembar mereka Gaying dan Gayang. Mereka memeluknya dan memperlakukan hal yang sama dengan Aneet.Mereka berjalan keluar dari bandara, didepan bandara sudah berjajar beberapa mobil Alphard mewah untuk membawa mereka pulang kerumah.“Opa, Aneet mau ke makam ibu.” Pinta Aneet saat berada di dalam mobil. Guntur Pradipta Pasha adalah seorang pengusaha yang sukses di beberapa bidang usaha. Dia sangat sayang sekali dengan Aneeta, jadi sangat jarang permintaan Aneeta yang di tolaknya.“Pak Raden. Kita ke makamnya Gayatri.” Ucap Guntur pada sopir pribadinya. ‘Ke makam orang yang masih hidup. Aneh rasanya!’ ucapnya dalam hati.“Iya pak!” jawab Pak raden.Wajah Aneet yang sedari tadi kecewa berubah menjadi ceria. Senyumnya yang mengembang manis di bibir juga membuat seisi mobil juga bahagia.“Pak raden.” panggil Aneet“Iya Non, ada yang bisa bapak bantu?” tanya pak raden sembari masih fokus dengan kemudinya.“Nanti di depan jika ada toko bunga berhenti sebentar ya. Aneet mau beli bunga buat ibu.” Jawab Aneet.Pak Raden tidak lekas menjawab, dia menoleh ke arah Guntur menunggu isyarat dari guntur. Tak berapa lama anggukan kepala Guntur menjadi tanda setuju.“Iya Non, siap. Nanti pak Raden berhenti.” Jawaban Raden“Makasih ya pak.”Mobil dipacu dengan cepat oleh pak Raden, hingga mereka hampir tiba di area pemakaman. Disana berjajar beberapa toko bunga. Sampai akhirnya pak raden menepikan mobilnya pada toko bunga dengan cat tembok pink menghiasi dindingnya.“Non, beli disini saja ya.” Ucap pak Raden“Iya pak,” jawab Aneet. “Aneet turun sebentar ya oma.” pamit aneet“Mau ditemani?” tanya Ana“Biar Ying dan yang saja yang temani Aneet Mah.” sahut GayangPak Raden membuka pintu mobil dari kemudi. Mereka bertiga turun dan berjalan masuk kedalam, mereka mencari-cari bunga kesukaan Aya yaitu tulip berwarna putih. Mereka memisahkan diri dan terus mencari dengan cermat.“Non, ada yang bisa saya bantu?” tanya seorang nenek. Dia sudah sangat tua sekali dengan keriput di wajah dan tangannya.“Nenek, Aneet mencari bunga tulip putih punya?” tanya Aneet sambil jalan mendekat kearah sang nenek.“Kamu tidak sering datang kesini kan? Mau ziarah ke makam siapa mencari bunga tulip putih?” tanya nenek sambil berjalan ke arah meja. “Aku hanya tinggal punya 2 ikat, yang satu pasti diambil oleh seorang anak mudah yang berziarah ke makam istrinya.” Terangnya sambil mengeluarkan dua buah tulip putih yang masih segar.“Iya nenek aku memang tidak pernah kesini selama ini. Boleh satu ikatnya untuk saya?” Ucap lembut AneetDengan tersenyum sang nenek memberikan bunga itu kepada Aneet. Aneet menerima bunga itu dan mencium tangan si nenek. Aneet memberikan sejumlah uang kepada si nenek dengan nominal jauh lebih banyak dari harga bunganya.“Aku tidak meminta bayaran darimu.” ucap sang nenek kepada Aneet sambil menyodorkan uangnya kembali.Aneet dengan lembut mendorong tangan nenek itu lalu berkata. “ini bukan bayaran untuk bunga ini nek, tapi untuk nenek yang telah baik hati memberikan bunganya untuk saya. Mulai sekarang setiap akhir pekan nenek harus menyiapkan bunga yang sama dengan ini untuk saya.” Nenek itu menganggukkan kepalanya, Karena terburu-buru Aneet langsung berpamitan kepada nenek dan pergi.Mobil langsung dijalankan menuju makam. Hanya Gaying, Gayang dan Aneet yang turun ke makam. Sesampainya di depan makam sang ibu Aneet langsung merunduk dan menaruh bunganya. Dia termenung terdiam disana.***Setelah melakukan beberapa persiapan Annan dan Jarot siap untuk berangkat. Memakai pakai serba hitam dan berkata mata hitam, Mengendarai sebuah mobil Sports berwarna hitam mereka menembus jalanan. Tak lupa mereka mampir ke toko bunga langganannya yang terletak diujung perbatasan makam.Turun dari mobil, dia sibakkan rambutnya ke belakang lalu berjalan ke masuk.“Nek, mana bungaku.” Ucap Annan“Ini bungamu.” balas nenek itu sambil memberikan bunganya. “Tadi baru saja juga ada seorang gadis kesini mencari bunga yang sama. Anaknya sangat baik.” Lanjutnya“Bagus donk jadi nenek punya pendapatan.” kata Annan sembari menyalakan rokoknya menunggu bunganya selesai untuk dirangkai.“Bukan hanya baik tapi juga cantik, lembut bicaranya.” puji nenek, “Nih bungamu, jangan terlalu banyak merokok tidak baik untuk kesehatan.” lanjut sang nenek yang memberikan bunganya kepada Annan dan mengambil rokok yang ada dimulut Annan.Annan tak banyak komentar dia juga tidak marah karena sudah menganggap sang nenek adalah ibunya. Dia beri sejumlah uang lalu pergi meninggalkannya.Saat mobil Annan memasuki komplek makam dia berpapasan dengan rombongan mobil Guntur.“Kak, papah Guntur.” Jarot memberitahu Annan.Annan menoleh melihat iring – iringan mobil tersebut. “ tumben dia ziarah, sejak Aya tidak ada dia tidak pernah mau diajak kesini.”“Sudah mulai sadar kali kak, jadi dia kesini.”“Hus! Jangan bicara seperti itu sama orang tua.” larang AnnanMobil mereka menepi dan turun. Sampai di depan makam Aya. Annan terkejut dengan seikat bunga tulip putih yang berada dimakamnya aya.“Darimana Papah tahu soal tulip putih ini.” ucap Annan sambil mengangkat tulip itu dari tanah.“Maksudnya kak?” tanya Jarot heranAnnan tidak menghiraukan ucapan jarot, dia mencium tulip putih yang dia ambil. ‘Apa Aneet ada dalam rombongan tadi? Hanya Aku, Aya dan Aneet yang tau masalah tulip ini. Tapi tidak mungkin ah. Jika Aneet pulang papah pasti memberitahuku.’ Ucap Annan dalam lamunannya.“Kak Annan!” panggil Jarot kembali karena Annan tidak merespons pertanyaannya.“Hm!... Kenapa Jar?” tanya balik Annan*** Bersambung ***Tik! Tik! Tik!Tetesan Air hujan jatuh mengenai pipi Jarot yang membuatnya sedikit terkejut dan refleks memegang pipinya. Ditadahkan kepalanya ke atas untuk melihat kondisi, benar saja langit sudah mulai gelap pertanda hujan akan segera turun.“Kak Annan, ayo kita pergi! Sudah mau hujan.” ajak Jarot sembari memegang bahu Annan yang duduk di samping makam Aya.“Kamu duluan aja, sebentar lagi aku nyusul.” Kata Annan“Jarot tunggu di mobil kak.” balasnya yang lalu berjalan meninggalkan AnnanAnnan memegang nisan dengan tulisan Gayatri Pradipta Pasha binti Guntur Pradipta Pasha lalu dia berkata. “dua belas tahun kamu tinggalkan aku Aya, begitu juga dengan putri kita. Aya hari ini aku benar-benar sangat merindukan Aneet. Jika kamu sayang padaku tolong bantu aku ketemu dengan Aneet.”Hujan mulai turun agak banyak, Annan menghapus air matanya lalu berlari meninggalkan makam Aya.“Jalan Jar!&rdquo
BRAK! Terlihat sebuah tangan menggebrak meja yang Aneet gunakan untuk makan. Aneet terkejut tapi hanya memejamkan matanya tanpa bereaksi berlebih. Dia mencoba mencari tahu siapa yang melakukan hal tersebut dengan mengangkat kepalanya. Dilihatnya ada lima orang pria dengan tubuh yang lumayan tegap dengan setelan baju hitam berada di depannya, dia juga melihat meja di sekelilingnya yang tadinya rame menjadi sepi. Aneet hanya menaikkan bola matanya ke atas dan kembali lagi menikmati mienya. “Hai! kamu tidak lihat apa kita mau makan di sini!” bentak Ojan yang mendekatkan wajahnya ke Aneet. “kelihatannya dia orang baru di kota kita, sampai-sampai dia tidak tahu siapa kita,” bisik Samuel pada Ojan. Aneet hembuskan nafas panjangnya lalu berkata. “Silakan saja jika mau makan, di sini kan masih banyak kursi kosong... jadi kalian bisa pilih suka – suka mau duduk di mana.” “Tapi kami maunya di sini!” teriak Ojan lagi. “Satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh.” Aneet menghitung jumlah gan
Annan, Jarot, Ojan, Samuel dan Aneet terus berjalan menjauhi tempat mereka berkelahi tadi. Hingga mereka berlima sampai pada sebuah taman yang diluarnya berderet jajanan malam dengan aneka menu.Aroma dari jajan yang berderet itu benar-benar menusuk hidung dan membangkitkan selera makan.“Kak, berhenti dulu ya? Istirahat dulu. Haus!” pinta Ojan dengan nafas yang terengah-engah.“Ojan! Baru segini saja udah tidak kuat?! Kamu harus sering olahraga.” protes Annan sambil menepuk punggung ojan yang meringkuk. “Ya sudah, kamu beli minum dulu sana.” ucap Annan“Hei gadis kecil! Kamu mau minum apa?” tanya Samuel.“Gak paman, terima kasih. Aku masih kenyang.” jawab Aneet.Mereka berdua lalu pergi sementara Annan mengajak Aneet dan Jarot duduk disebuah gacebo yang tidak jauh dari tempatnya berdiri sekarang.“Em... BTW mereka tadi siapa ya? Paman-paman semua ada masalah apa sama orang-ora
Kukuruyuk! Petok! Petok!Cuit! Cuit! Cuiit!Cit! Cit! Cit!Suara Alaram pagi sudah terdengar di kediaman keluarga Guntur. Gaying, Gayang dan Aneet yang tidur bertiga dengan kompaknya menutup telinga dengan menggunakan bantal yang mereka gunakan untuk Alas.Sejak ditinggal oleh Aya ibu Aneet, setiap hari dia memang tidur dengan kedua pamanya sampai sekarang.Cring!Sinar matahari mulai memasuki kamar mereka ketika Ana membuka jendela besar di kamar mereka bertiga. Dia menggelengkan kepala saat mengetahui dua anak dan cucunya menutup muka mereka dengan bantal.“Ayo bangun-bangun!” ucap Ana sambil menepuk-nepukkan kedua tangannya.“Uh... Mamah, masih pagi Mah! Kenapa udah bising aja?” protes Gayang.“Ini udah siang, Ayo buruan bangun. Papah sudah menunggu kalian dibawah.” ucap Ana sambil menggoyang-goyangkan kaki Gayang.“Oma... Jam berapa ini? Perasaan Aneet baru tidur satu jam kenapa sudah pagi saja.” ucap Aneet sambil bangkit dari tidurnya, dia duduk de
Cciiitttt!!! Set! Mobil yang dikendarai oleh Gaying berhenti secara mendadak. Hal tersebut membuat badan Gayang dan Aneet sontak terpental ke depan. “Auw!” teriak Gayang dan Aneet, ketika tubuhnya membentur benda yang ada didepannya. “Ying! Gila loe ya! Mau bunuh kita loe! Kalau gak bisa nyetir bilang aja, biar gue yang gantiin!” protes marah Gayang yang menahan sakit dikepalanya karena kepalanya membentur dasbor depan. “Aneet kamu baik – baik saja?” tanya Gaying yang membalikkan badannya ke belakang untuk memastikan kondisi keponakannya. “Gak apa-apa paman, cuma kepala aja nih agak mantap.” keluh Aneet sambil memegang dahinya. “Sorry – sorry, tidak bermaksud gue. Cuma pintu gerbangnya sudah kelewatan di belakang!” ucap Gaying dengan wajah merasa bersalah. Gaying menyalakan lampu sand untuk memberi tanda bahwa mobilnya akan mundur. Dengan pelan dia mengundurkan mobilnya hingga sampai tepat di depan gerbang pas.
Malam ini udara di ibu kota lumayan sangat dingin. Tanpa terasa sudah satu jam Aneet berdiri mematung di seberang bangun Bar milik Annan. Dirinya bimbang apakah ingin masuk atau melewatinya.“Masuk ah, minimal dengan masuk kesana aku bisa melihat ayah walau cuma sebentar. Semoga saat ini ayah di dalam.” kata Aneet memantapkan hatinya.Aneet menarik tali tang punggungnya kedepan. Mengambil nafas dalam – dalam lalu menghembuskannya lewat mulut. Aneet langkahkan kakinya menyebari jalan dan terus berjalan menuju Bar tersebut.Tiba didepan Aneet berhenti sejenak, dia pejamkan matanya dan mengela nafasnya untuk kembali memantapkan hatinya.Sampai dipintu Aneet yang terlihat baru pertama datang diminta identitasnya oleh resepsionis. Aneet yang seorang itelijen pasti punya identitas ganda. Dia yang sebenarnya belum berusia tujuh belas tau bisa masuk karena memakai identitasnya yang lain.“Silahkan, ini identitasnya. Sebelum masuk silahkan unt
Annan langsung memeluk Aneet yang sedang panik dan wajahnya menampakkan kesedihan. Dia peluk dengan erat putrinya yang sudah lebih dari dua belas tahun tidak dia jumpai. Saat ini Annan benar – benar yakin jika gadis kecil yang berada di hadapannya sekarang adalah Ganeeta Tan Harsa putrinya dari seorang wanita yang sangat dia cintai Gayatri Pradipta Pasha.“Sudah jangan sedih dan bingung lagi.” ucap Annan sambil melepaskan pelukannya. “Ini kalung yang kamu cari bukan.” lanjut Annan sambil memberikan kalung yang dia temukan di punggungnya ke atas tangan Aneet.Aneet langsung mengubah wajah sedih dan kecemasan itu menjadi wajah yang datar tanpa ekspresi, lalu mengamati kalung yang diterimanya dari Anan.“Aaaaa!!!” teriak Aneet sembari tersenyum dan melompat kegirangan. Dia langsung menghapus peluh yang ada di wajah dengan bajunya.Muach!Muach!Aneet mencium pipi Annan dan Jarot bergantian.“Makasi
Muach!Muach!Muach!Annan mencium kedua pipi dan dahi purtinya bergantian. Sesaat setelah melepaskan pelukkannya kepada Aneet. Ciuman itu membuat Aneet tersadar dari lamunannya, Dia menatap wajah Annan dengan sungguh – sungguh mencoba mengembalikan memori ingatnya bentuk wajah sang Ayah.“Ayah rindu sekali sama Aneet.” ucap Annan sambil memegang wajah Aneet dengan kedua tangannya. “Putri kecil Ayah sekarang sudah tubuh jadi gadis luar biasa.” lanjut AnnanAneet hanya terdiam, sesekali dia memejamkan matanya untuk merasakan kelembutan tangan sang Ayah yang dia rindukan.Tapi disisi lain hatinya juga bergejolak marah dengan sejuta pertanyaan dimana keberadaannya saat mereka di keroyok oleh orang – orang itu.Aneet menghembuskan nafasnya dengan panjang mencoba menenangkan perasaanya yang bercampur antara rasa benci dan rasa kerinduan.“Boleh paman Jarot ikut peluk?” tanya Jarot me
Tubuh Tomo tersentak bersamaan tiga buah peluru yang bersarang di dadanya. Mata Tomo membuka dengan begitu lebar, bahkan manik matanya sempat melirik ke arah Cokky.“Ka-kamu,” ucap Tomo dengan jari telunjuk yang mengarah ke Cokky.Tidak lama setelah itu, tubuh Tomo terpelanting ke lantai dengan matanya yang masih terbelalak.Waktu seakan berhenti, situasi begitu hening. Semua pasang mata langsung menatap Cokky dengan penuh kecurigaan.“Annan, kamu tidak perlu berterima kasih kepadaku.” Cokky bertutur memecah suasana hening. “Kenapa kalian semua dia, tidak usah terkesan karena ini adalah kewajibanku membela wilayah angka.”“Saudara-saudaraku di wilayah angka, kalian semua saksinya jika telah terjadi pembunuhan di sini... Bagaimanapun negara ini adalah negara hukum, jadi pasti kejadian ini akan diusut oleh polisi.” Lambang menunjuk dengan tangan sambil memegang cerutu.“Tunggu! Tunggu!&rdqu
“Merunduk!” halau Aneet sembari menarik tangan Gaying dan Gayang.Dor!Aneet melepaskan tembakan dari pistol yang dia ambil di samping kiri pinggang Gayang. Tembakan itu tepat mengenai pistol yang dibawa oleh Tomo dan terpental turun ke bawah.Dengan senyum yang dingin Aneet bangkit. Mengarahkan lurus pistol yang dia bawa ke tengah kepala Tomo.“Apa mau kamu?” tanya Tomo yang mulai ketakutan dengan kepala yang celingukan.“Aku ingin nyawamu,” jawab Aneet dengan nada lambat.“Aku tidak punya urusan sama kamu, jadi jangan ikut campur dengan urusanku,” ujar Tomo.Tawa kemenangan keluar dari bibir mungil Aneet. Senyum kepuasan menghiasi wajahnya sembari terus berjalan mendekati Tomo. Sementara Gaying dan Gayang melihat dengan heran apa yang sedang keponakannya tersebut lakukan.“Cuih!” Aneet meludah ketika posisinya dengan Tomo hanya berjarak beberapa meter. “Siapa b
“Semua pasukan, segera menempati posisi yang telah di tentukan!” Asisten Pramono memerintah setelah beberapa detik mengakhiri pembicaraannya dengan Gayang.“Siap, Pak!” jawab mereka serentak dengan begitu tegas.Pasukan khusus itu melangkah dengan senyap. Mereka mengepung gedeng tersebut pada setiap titik untuk mengantisipasi buronan kabur.“Mereka di mana?” Pramono bertanya.“Mungkin sudah di dalam pak, karena mereka menjawab dengan suara yang pelan,” jawab asisten.“Terlalu gegabah, mana ada petugas keamanan yang ikut pertemuan antar gangster. Apalagi mereka bertiga itu petugas khusus kepolisian,” protes Pramono.“Bukannya itu sudah menjadi pekerjaan mereka pak?” tanya Asisten dengan ragu.Pramono hanya melirik sang Asisten saja, dia kemudian masuk ke dalam mobil yang dipenuhi dengan perlengkapan IT yang begitu canggih. Tidak lama setelah memastikan semua pasukan sudah berada
Beberapa orang yang membawa pemukul bola pada olahraga kasti keluar dari mobil yang berukuran lebih besar itu.Bruk! Bruk! Bruk!Prang!“Aahhh!” Yuli berteriak ketika dia terkejut setelah jendela kaca di sebelahnya mendapatkan pukulan dari pria-pria yang sengaja mengikuti mobil mereka.“Kak Willy, apa yang harus kita lakukan?” tanya Dayat dengan wajahnya yang ketakutan.“Bagaimana ini Wil?” Sarah yang mulai cemas juga bertanya pada orang tertua di wilayah lima tersebut.“Kalau kita keluar melawan mereka, kita semua hanya akan mati konyol,” ujar Willy sembari celingukan untuk mengetahui kekuatan lawan. “Telepon Annan, kita cari bantuan.” Willy memerintah Sarah.“Tidak akan sempat, mobilku tidak akan mampu menahan pukulan terlalu lama,” sanggah Sarah.“Ada mobil mendekat ke sini!” seru Brian.Harapan seketika muncul di benak mereka setelah melihat Gayi
“Jarot! Ayo kita ke gedung pemilihan,” ajak Annan sambil memakai jam tangan yang hampir sama dengan Jarot, cuma berbeda warna saja.“Mari kak,” sahut Jarot, lalu berjalan beriringan dengan Annan. “Kak Annan menunggu di sini apa ikut ambil mobil?” tanya Jarot saat berada di teras depan.“Ikut saja!” jawab Annan singkat.Mobil milik Annan yang akan mereka gunakan terparkir satu sisi dengan Aneet yang sedang merendam kakinya di kolam renang.Ketika Jarot hendak membuka pintu dia tak sengaja melihat Aneet. “Kak Annan! Sebentar ya.”Jarot lalu menutup kembali pintu mobilnya lalu melangkah mendekati Aneet.“Sayang! Kamu sedang apa di situ?” tanya Jarot. Aneet menaikkan kakinya dari dalam kolam dan berdiri menyambut Jarot yang datang ke arahnya.“Mau berenang Paman.” Aneet menjawab dengan alibi apa yang terlintas di otaknya.“Paman berangkat dulu ya. Doakan pama
“Halo kantor polisi.... Pak ini dengan rumah sakit kepolisian. Pak telah terjadi pembunuhan di sini, korban atas nama Sultan yang merupakan tersangka titipan dari kepolisian kota.” Seorang perawat berbicara.Setelah beberapa saat telah terdiam mendengarkan lawan bicaranya merespons diujung telepon perawat tersebut menutup teleponnya.Polisi yang sedang bertugas dan menerima laporan tersebut. Meneruskan laporannya kepada Pramono sebagai penanggung jawab wilayah. Pramono ditemani oleh asistennya bergerak ke rumah sakit setelah mendapatkan laporan tersebut.“Silakan Pak!” seorang polisi yang sudah datang terlebih dahulu mempersilahkan Pramono masukDengan pelan Pramono membuka bantal yang menutupi wajah sultan. Dahi Pramono berkerut dan sedikit membuang wajahnya, ketika dia melihat ekspresi wajah ekstrim sultan.“Kuburkan dia dengan layak!” perintah Pramono, “Yang paling penting cari pelakunya sampai dapat,” titah
Di tempat persembunyiannya, Tomo yang masih merasakan sakit ditangannya karena luka tembak yang dihadiahkan oleh Aneet. Terpaksa tetap mengadakan koordinasi dengan seluruh pimpinan gangs wilayah dua. Dia lalu menyuruh Cokky untuk segera menghubungi para pimpinan gangs di bawah naungannya.“Bagaimana kak Tomo kondisinya?” tanya Hendra“Ya... Seperti yang kamu lihat.” Tomo menunjukkan tangan kanannya yang terbalut perban dengan sedikit bercak merah. “Brengsek! Gadis kecil anaknya Annan itu, berani – beraninya menyarangku!” lanjutnya mengumpat Aneet dengan geram dan salah satu tangannya mengepal.“Ini aku bawa obat pereda rasa sakit, semoga bisa membantu.” Hendra meletakkan sebuah kantung plastik transparan di meja yang berisi beberapa jenis obat.“Terima kasih, Hend!” ucap Tomo.Mengisi waktu sambil menunggu yang lain berkumpul, Tomo menyempatkan terlebih dahulu untuk meminum obat ya
“Tapi Yah!” Aneet masih sangat ingin membuat orang yang berada di dalam mobil itu berhenti, untuk mengetahui dalang di balik peristiwa ini.“Sayang! Mereka sudah jauh, kalau dipaksa bisa membahayakan pengguna jalan yang lain... Kita urus yang sudah tertangkap dulu, kita cari informasi dari mereka,” ucap Annan membujuk sang putri dengan memegang tangan Aneet yang saat ini memegang pistol.Annan mengajak sang putri untuk pergi dari jalan agar tidak mengganggu pengguna jalan lain. Dengan lembut Annan menggandeng tangan Aneet untuk melangkah.Kelima orang bertopeng itu diamankan oleh Gaying, Gayang dan Jarot di sudut toko. Empat orang dengan tangan terikat sabuk dan satu orang di sampingnya terkapar dengan luka tembak tapi dia tidak membuatnya meregang nyawa karena Annan sengaja menembak pada bagian tangan yang memegang pistol.Bak! Bak! Bak!Kaki Jarot menendang ke arah empat orang dengan tangan terikat, dia masih terbakar emosi dengan t
Pramono yang penasaran dengan terburu – buru mengambil berkas tersebut.“Bangsat! Ternyata dia orangnya!” umpat Pramono setelah melihat dan pelajari dokumen yang Aneet berikan.“Bapak pasti tidak menyangkakan?” celetuk Aneet. “Jika dalam setahun ini operasi yang bapak lakukan selalu gagal karena orang ini telah memberi informasi kepada target bapak.” Aneet melanjutkan pembicaraannya dengan pandangan yang serius.“Terima kasih atas segala bantuan dan kerjasamanya selama ini,” tutur Pramono sembari menjabat tangan Aneet. “Oh ya, sampaikan salam dan terima kasihku kepada Ying dan Yang,” sambung Pramono yang membalas pandangan Aneet juga dengan serius.“Dengan senang hati pak,” balas Aneet dengan senyum.Pramono berpamitan untuk kembali ke kantor polisi dan berjanji kepada Aneet untuk menyelesaikan masalah ini dengan segera.Aneet yang masih memegang pergelangan tangan Anees, meng