“Wah, ini benar-benar gila.” Kaki Daphne mundur teratur hingga punggungnya menubruk dinding. Sorotnya memandang dua manusia yang tengah duduk berpangkuan di tepi ranjang. “Kalian pasangan suami istri? Dan kau membiarkan suamimu melakukan hubungan dengan wanita lain?”
Wanita itu tersenyum sambil mengangguk usai mencuri kecup di bibir Adam sekilas. “Apa yang kau dengar tidak salah, Nona Emilyn Daphne.”
“Aku benar-benar tidak mengerti.” Daphne menggeleng frustasi. “Kau … menerima semua ini ketika suamimu berhubungan? Bahkan melihatnya sendiri seperti ini?”
“Mengapa tidak?” Wanita itu bangkit dari pangkuan Adam dan melangkah mendekati Daphne. Matanya yang hijau berkilauan itu menatap penuh selidik dari ujung kaki hingga kepala Daphne. Lalu tubuhnya direndahkan dan wajahnya tepat berhenti di depan perut Daphne, tak lama telunjuknya terulur dan menekan bagian yang ditutupi selimut erat-erat.
“Hentikan!” pekik Daphne. “Hentikan tanganmu itu.”
Istri Adam kembali berdiri tegak dan tertawa kecil. “Aku harap benih Adam akan segera tumbuh sehat di sana, Daphne,” katanya sambil mengulas perut Daphne pelan.
“Apa-apaan ini?” Daphne refleks menepis tangan itu dari tubuhnya. “Kalian … kalian menjebakku?”
Sekejap Daphne memendarkan pandangan. Ia meraih tas yang tersampir di mini sofa, lalu mengaduk isiannya. Teringat satu botol obat kontrasepsi yang sudah dipersiapkan sebelum datang tadi. Sekiranya beberapa pil sudah di telapak tangan, ia tatap sesaat sebelum memasukkannya ke dalam mulut.
“Jangan minum, Daph!” Seruan Adam muncul bersamaan dengan tangannya yang dipukul dan sontak membuat beberapa pil di tangan berhamburan di karpet. “Singkirkan obat murahan itu!”
Mendadak Adam menyambar tas hingga botol obatnya. Daphne menatap nanar dan berteriak histeris karena takut kemungkinan buruk sebentar lagi menyerangnya.
“Apa yang kau lakukan, Adam?”
Adam memilih mengabaikannya. Pria itu masuk ke kamar mandi dan membuang sisa pil-pil di botol ke kloset. Kemudian keluar dengan memakai jubah mandi dan mendekati Daphne yang masih berdiri dengan tatapan tak percaya.
“Adam, kau benar-benar gila!” pekik Daphne dan berjalan cepat masuk ke kamar mandi. Mulutnya menganga saat mendapati pil-pilnya sudah lenyap tanpa sisa.
“Biarkan hubungan kita tadi berhasil dan janin bisa tumbuh di rahimmu, Daph,” ujar Adam begitu Daphne keluar dari kamar mandi. “Jangan kau hambat dia berkembang.”
“A-apa kau bilang?” Daphne membuang napas kasar, tak percaya. “Kau ….” Keningnya berkerut-kerut ketika menangkap kekehan dari istri Adam yang tak terlihat bersalah sama sekali. “Rupanya kalian … sengaja melakukan ini?”
“Kau sudah menandatangani kontrak denganku.” Dengan santainya Adam berjalan gontai, meraih jas dan merogoh saku untuk mengambil sekotak rokok. “Bukankah kau sudah sudah membaca semuanya?”
“Apa maksudmu?” Tubuh yang hanya dibalut selimut itu meremang hebat saat menyadari ada beberapa hal yang ia abaikan. Ia ingat pernah menandatangi sebuah berkas, tapi isiannya urung dibaca lengkap. Sebab sahabatnya memintanya bergerak cepat dan saat itu ia diburu waktu. “Aku hanya diminta memuaskanmu semalam, itu saja. Tidak ada yang ….”
Daphne menjelaskan apa-apa yang diingatnya, sementara Adam menggeleng cepat. Seakan yakin dengan keyakinannya sendiri. Sampai kemudian pria itu mendengkus bersama kekehan kecilnya yang terkesan remeh.
“Astaga, mana mungkin aku dan Mosha mengeluarkan uang sereceh itu hanya untuk menyewa wanita semalam?”
Bibir Daphne terbuka, matanya mengerjap bingung. Sampai detik masih berlanjut pun, ia tak mampu menangkap kejelasan lebih dari wajah pria di hadapannya.
“Mosha? Siapa—”
“Well, aku Mosha. Istri sah Adam Livingston.” Wanita yang masih menatap dirinya penuh harap itu tersenyum lebar dan makin membuatnya terlihat mengerikan. “Dan kau wanita yang datang pada kami untuk sejumlah uang receh, ‘kan?”
“Apa kau bilang?”
Mosha mengangkat dagu tinggi-tinggi. Wajahnya begitu ayu paripurna dan terlihat elegan di bawah sorot lampu utama. “Apa pun akan aku lakukan demi bisa membuat Adam memiliki keturunan,” katanya santai.
“Hah?” Daphne melotot frustasi. Ia menyibak rambut berantakannya dengan asal. Tatapnya kini turun pada bagian perut, lalu tangan ikut bergerak dan meremasnya kuat-kuat. “Dan kau pikir aku akan sudi membuat rahimku ditinggali bayi dari Adam? Jangan mimpi!”
Sebelum mendapati tanggapan baik dari Mosha maupun Adam, Daphne segera meraih tas. Napasnya kian terasa sesak jika terus menetap di kamar itu dan mengingat bahwa semua ini jebakan gila.
“Kalau kau pergi dari sini, bayaranmu tidak akan kami beri,” ancam Mosha yang sukses membuat gerak kaki Daphne terhenti.
Mosha bangkit, menjauh dari pangkuan Adam dan menatap lurus Daphne. Sementara Adam menghampiri Daphne, berusaha membujuk, “Berhentilah kekanakan, Daph. Dengar dan duduklah dengan tenang.”
“Jangan sentuh aku!” seru Daphne kesal dan segera menepis tangan Adam yang hinggap di pundaknya. “Kalian penipu!”
“Seharusnya kau baca baik-baik kontrak itu.” Mosha kembali bicara dengan nada naik setingkat. “Dan berhenti memanggil kami penipu.”
Sesaat Daphne melirik Mosha, ia ingin membalas dengan suara melengking, tapi tenaganya sudah habis. Lantas ia tatap Adam yang masih berdiri di hadapannya, masih menatapnya dengan lembut. Sorot yang Daphne temukan selama mereka beradu di ranjang.
“Aku ingin pulang sekarang.” Napas Daphne tercekat, dua kakinya sudah lemas sekarang. “Aku ingin pulang, Adam. Kumohon ….”
Saat kedua tangan kekar Adam menopang tubuhnya yang lemas, suara Mosha kembali menggema, “Lalu uangmu? Bukankah kau membutuhkan uang untuk membayar utang?”
“Aku tak membutuhkannya,” balas Daphne ngotot. “Terima kasih!”
Harus Daphne akui, kepribadian Mosha cukup mengerikan. Wanita itu mudah sekali terpancing emosi. Sebab sekarang, Daphne menegakkan punggung dan mendapati Mosha yang mencondongkan tubuh ke arahnya.
Mata hijau itu tampak intimidatif sekali untuk seorang wanita secantik Mosha. Cukup kontras dengan kepribadian Adam yang sabar dan lembut. “Jika kau berani keluar dari kamar ini, aku akan melaporkanmu ke polisi.” Lagi, Mosha mengancam dan Adam hanya pasrah. “Di depan kamar sudah ada pengacaraku yang siap membawamu ke penjara.”
“Aku akan mengantarmu pulang setelah ini, Daph,” bisik Adam lembut. “Tenangkan dirimu dulu, aku dan Mosha berjanji tidak akan menyakitimu. Kami juga tidak bermaksud menjebakmu. Percayalah.”
Panik dan rasa takut itu anehnya mereda perlahan ketika rungu menangkap suara lembut Adam. Daphne bahkan mau-mau saja menuruti kemauan Adam yang mengantarnya hingga apartemen. Tanpa sopir pribadi, hanya mereka berdua di mobil mewah.
“Kenapa kalian melakukan ini?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Daphne tepat ketika mobil yang harganya selangit itu tiba di pelataran apartemen. “Kenapa, Adam?”
Adam melepaskan sabuk pengaman dan bergerak menghadap Daphne. Mata coklatnya yang indah itu menatap Daphne lekat dan lama.
“Aku memerlukan keturunan. Lebih tepatnya, Livingston harus memiliki penerus, tapi Mosha tidak bisa memberikannya.” Adam menjeda beberapa detik untuk mengambil napas dan melepaskannya perlahan. “Istriku lahir tanpa rahim, Daph.”
Niat Daphne menimpali pun menyusut karena diterjang syok. Di hadapannya Adam justru tersenyum manis, seolah hal itu bukan lagi masalah besar baginya.
“Aku harap kau mau mempertimbangkannya, karena jika tidak, Mosha akan bertindak lebih jauh.” Adam membuang napas dan menatap ke luar jendela mobil. “Apalagi jika kau hamil karena ulahku tadi.”
Batin Daphne menggelitik. “Kenapa harus aku?” katanya sedikit terdengar merengek.
“Kau wanita baik, Daph.” Adam mengulurkan tangan dan mengusap lembut pipi Daphne tanpa beban. “Aku percaya itu.”
“Adam ….”
Pria itu meringis sambil mengangguk ringan. “Aku yang memilihmu dari banyaknya wanita, Daph. Kau wanita tulus, bahkan untuk melunasi utang-utang kekasihmu saja, kau rela melakukan ini semua.”
“Apa hanya itu alasanmu?” Entah mengapa Daphne berharap Adam akan melontarkan alasan lain yang lebih masuk akal. Atau lebih menghangatkan jiwanya. “Tidak ada hal lain?”
“Jangan berharap lebih padaku hanya karena hubungan kita yang singkat tadi,” Adam memberi peringatan dengan suaranya yang hangat. “Aku melakukan semuanya demi Mosha, istriku.”
“Well, kau benar-benar mencintainya.” Daphne tergelak, lebih menertawakan dirinya sendiri yang sudah membayangkan hal-hal mustahil dengan Adam. “Sayangnya aku masih punya harga diri, aku bukan perebut suami orang.”
“Aku percaya itu, Daph.” Sebelum pertemuan itu berakhir, Adam membelai rambutnya sejenak. “Selamat beristirahat, Emilyn Daphne. Kutunggu kabar kehamilanmu," ujarnya dengan seringai manis.
“Mereka belum membayarmu sama sekali?”Belum ada satu jam lamanya Daphne terlelap, dan kehadiran Tabitha–sahabat terbaiknya– membuat masa istirahatnya harus terjeda entah sampai kapan. Seharian kemarin setelah kejadian itu, Daphne kesulitan merasakan kantuk. Ia bersusah payah mengenyahkan pikiran sekaligus bayangan dari pasangan Livingston dari kepalanya dan berakhir terjaga sepanjang hari hingga kini.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau tidak menjelaskan semuanya?” balas Daphne ketus. “Soal kontrak itu … mereka memintaku hamil, bukan sekadar menjadi teman tidur pria kaya semalam.”“Oh, itu?” Bibir Tabitha menganga, rautnya terlihat bersalah. “Memang kau tidak membaca semuanya?”Daphne melempar kain tipis yang menghalau tubuhnya dari dinginnya angin. “Kau benar-benar teman yang buruk, Tab,” dengkusnya sambil menggeleng heran. “Aku meminta bantuan agar bisa membayar utang dan menghentikan seluruh teror ini. Aku lelah.”Bahkan telepon-telepon dan pesan-pesan mengancam masih ia ter
“Aku tidak bisa hamil anakmu,” cetus Daphne dengan perasaan lega setelah menahan sesak dua hari ini. “Lebih tepatnya, sulit bagiku membayangkan hamil di usia sekarang.”Tatapan Adam tak terlepas darinya. Pria itu masih diam, seolah sedang sibuk menimbang-nimbang jawaban tepat tanpa menyinggung siapa pun.“Akan ada orang yang membantumu, Daph.” Suara itu melembut seperti kapas di telinga Daphne. “Termasuk aku. Sesuai yang tertulis di kontrak, aku akan datang ke tempat tinggalmu tiga sampai empat kali dalam seminggu.”Daphne terkekeh miris. Nasibnya kelewat sial sampai berhadapan dengan keluarga sepenting Livingston begini. “Masih ada hal yang ingin aku capai. Impian, kebahagian, dan segalanya, Adam,” balasnya menekan. “Kau tidak akan mengerti karena begitu kau lahir, semua hal di dunia ini mampu kau miliki dengan mudah.”Mata cemerlang Adam yang kerap menghipnotis Daphne mengerjap pelan. “Tapi tidak dengan keturunan.” Bibirnya mengukir senyum tipis. “Hanya kau satu-satunya yang bisa di
“Segera hubungi aku, Nolan. Aku membutuhkanmu!”Daphne meremas rambutnya usai mengungkapkan kalimat permohonan melalui pesan suara yang dikirimkannya pada Nolan, kekasihnya. Sampai detik ini, pria itu tak kunjung muncul atau memberi kabar. Tepatnya semenjak para penagih utang datang dan menunjuk Daphne telah melakukan pinjaman besar, Nolan benar-benar menghilang—seolah ditelan bumi.“Ya Tuhan, kau benar-benar melakukan semua ini padaku ... Nolan?” decaknya sambil menahan air mata. Sampai bayangan Adam dan beberapa penawaran terbaik muncul di benaknya sekarang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya, membayar utang-utang kekasihku dengan cara mengandung anak Adam. Astaga ....”Baru Daphne merebahkan diri di sofa ruang tamunya, pintu digebrak dari luar. Lalu suara teriakan yang memanggil namanya pun menyusul tak lama kemudian. Daphne terhenyak, buru-buru bangkit dan mendekati pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya.“Akhirnya kau membukanya, Nona Emilyn Daphne.”Ia menahan na
Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya. “Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar. “Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.” Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?” Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne. Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“ “Semua am
Mungkin Adam benar-benar telah diperdaya. Ia bisa saja menolak dan meninggalkan Daphne setelah kecupan tak sengaja yang dilanjutkan dengan hal di luar duga. Bodohnya ia meminta lebih, memanfaatkan bagaimana kesempatan itu ada.“Daph ...” panggilnya lemah saat menatap Daphne yang wajahnya telah merah merona. Entah karena kepanasan atau sama terbakarnya seperti dirinya sekarang.Mata bulat itu membalas tatapnya cukup sendu. Bibirnya bergerak, tapi urung memberikan suara. Namun rupanya tangan mungil itu sudah beraksi di bawah sana, menyentuh milik Adam dari luar hingga mengacak-acak pertahanan.“Shit,” maki Adam sambil mengerang. “Daph, kau—“Daphne merendahkan diri. Wajahnya mengarah ke bagian bawah Adam dan refleks Adam membuka kedua kakinya seolah menyambut layanan si wanita. Kedua matanya memejam perlahan, menikmati tiap-tiap gerakan yang dibuat Daphne untuknya.Tubuhnya menegang bagai disengat lebah. Namun sengatan ini justru memabukkan. Remasan tangan Adam kian mengerat sejalan den
Adam mendekatkan jemarinya ke mulut, menggigiti kuku ketika gelisah menyerang. Sentuhan tangan Daphne masih membekas jelas di kepala, bahkan inti tubuhnya yang terus memunculkan tanda-tanda aneh. Tak biasanya ia bersikap seperti ini setelah berhubungan dengan wanita.Apalagi sensasinya sungguh liar dan menggaung seolah tak ingin dihempaskan. Pikirannya melulu tentang Daphne alih-alih Mosha, istrinya sendiri. Baru semalam ia menjamah istrinya, tapi kegiatan itu bagaikan rutinitas bukan kegiatan panas yang membakar kesadarannya seperti yang dilakukan Daphne padanya.“Sial, seperti anak remaja saja,” gumamnya dalam hati tentang sikapnya ini. “Kau bisa melakukannya dengan Mosha berkali-kali, Bodoh!”Adam melepaskan jas dan memberikannya pada salah satu bawahan yang membukakan pintu mobil untuknya. Ia turun dan melangkah panjang ke dalam bangunan luas nan megah.“Nolan Wynn baru saja keluar dari motel, Tuan.” Hiro, asistennya menyambut kedatangannya di ruang kerja kantornya dengan sejumput
Daphne terpaku pada benda yang terus menyuarakan dering telepon. Menampilkan nama Nolan yang tertera jelas di sana. Pedih dan bimbang ketika ia membiarkannya sampai layar redup dan dring tak lagi terdengar.“Kenapa tidak diangkat, Nona?” Kepala Maria menyembul di depannya sejalan dengan suara wanita itu yang tertetangkap telinga.Daphne membuang napas kasar, menoleh dan menatap Maria. “Kau pasti mendengar semuanya soal bagaimana Adam yang melarangku.”Ia sudah pasrah dengan pembicaraan yang diisi debat panas bersama Adam tadi akan didengar Maria dengan jelas. Ia pun tak peduli bagaimana tanggapan Maria tentangnya setelah itu.Maria mengangguk pelan. “Apa yang dikatakan Tuan mungkin ada benarnya, tapi semua itu kembali pada keputusan Nona.” Wanita itu beringsut ke samping Daphne. “Nona berhak atas semua itu, ‘kan?”Setelah menghadapi kekesalan serius yang memenuhi benaknya, Daphne menarik napas dalam-dalam. Mulai merasa lega.“Kau benar.” Senyum samar sedikit terukir di bibirnya. “Apa
“Aku dengar, apa kau mengikuti Nolan Wynn?”Mendengar nama kekasih Daphne disebut, punggung Adam terasa basah. Gugup menyerang ketika Mosha menatapnya lurus melalui pantulan cermin.“Hmm, ya.” Adam menghentikan gerak tangannya saat mengenakan arloji dan bergerak memutar ke belakang untuk menghadapi Mosha. “Aku pikir itu perlu dilakukan agar Daphne bisa fokus dengan pekerjaannya. Sampai anakku lahir nanti.” “Tapi kurasa itu berlebihan.” Mosha menelengkan kepala. “Kau terlihat ikut campur dengan kehidupan pribadi Emilyn Daphne.”“Aku hanya mengurangi resiko, My Love,” kata Adam melembut sambil mendekati Mosha yang masih mengenakan gaun tidur. “Kalau Nolan berani mendekati Daphne dan mengacaukan semuanya, rencana kita tidak akan berhasil.”“Mengurangi resiko, ya?” ulang Mosha dengan suara menekan dan penuh intimidasi. “Aku melihatnya lain dari sorot matamu, Adam. Kau begitu peduli dengan Daphne alih-alih istri sendiri.”Adam membuang napas pelan, lalu menyangkal, “Jangan berlebihan, Mosh