Share

2. Pasangan Gila

“Wah, ini benar-benar gila.” Kaki Daphne mundur teratur hingga punggungnya menubruk dinding. Sorotnya memandang dua manusia yang tengah duduk berpangkuan di tepi ranjang. “Kalian pasangan suami istri? Dan kau membiarkan suamimu melakukan hubungan dengan wanita lain?”

Wanita itu tersenyum sambil mengangguk usai mencuri kecup di bibir Adam sekilas. “Apa yang kau dengar tidak salah, Nona Emilyn Daphne.”

“Aku benar-benar tidak mengerti.” Daphne menggeleng frustasi. “Kau … menerima semua ini ketika suamimu berhubungan? Bahkan melihatnya sendiri seperti ini?”

“Mengapa tidak?” Wanita itu bangkit dari pangkuan Adam dan melangkah mendekati Daphne. Matanya yang hijau berkilauan itu menatap penuh selidik dari ujung kaki hingga kepala Daphne. Lalu tubuhnya direndahkan dan wajahnya tepat berhenti di depan perut Daphne, tak lama telunjuknya terulur dan menekan bagian yang ditutupi selimut erat-erat.

“Hentikan!” pekik Daphne. “Hentikan tanganmu itu.”

Istri Adam kembali berdiri tegak dan tertawa kecil. “Aku harap benih Adam akan segera tumbuh sehat di sana, Daphne,” katanya sambil mengulas perut Daphne pelan.

“Apa-apaan ini?” Daphne refleks menepis tangan itu dari tubuhnya. “Kalian … kalian menjebakku?”

Sekejap Daphne memendarkan pandangan. Ia meraih tas yang tersampir di mini sofa, lalu mengaduk isiannya. Teringat satu botol obat kontrasepsi yang sudah dipersiapkan sebelum datang tadi. Sekiranya beberapa pil sudah di telapak tangan, ia tatap sesaat sebelum memasukkannya ke dalam mulut.

“Jangan minum, Daph!” Seruan Adam muncul bersamaan dengan tangannya yang dipukul dan sontak membuat beberapa pil di tangan berhamburan di karpet. “Singkirkan obat murahan itu!”

Mendadak Adam menyambar tas hingga botol obatnya. Daphne menatap nanar dan berteriak histeris karena takut kemungkinan buruk sebentar lagi menyerangnya. 

“Apa yang kau lakukan, Adam?”

Adam memilih mengabaikannya. Pria itu masuk ke kamar mandi dan membuang sisa pil-pil di botol ke kloset. Kemudian keluar dengan memakai jubah mandi dan mendekati Daphne yang masih berdiri dengan tatapan tak percaya.

“Adam, kau benar-benar gila!” pekik Daphne dan berjalan cepat masuk ke kamar mandi. Mulutnya menganga saat mendapati pil-pilnya sudah lenyap tanpa sisa.

“Biarkan hubungan kita tadi berhasil dan janin bisa tumbuh di rahimmu, Daph,” ujar Adam begitu Daphne keluar dari kamar mandi. “Jangan kau hambat dia berkembang.”

“A-apa kau bilang?” Daphne membuang napas kasar, tak percaya. “Kau ….” Keningnya berkerut-kerut ketika menangkap kekehan dari istri Adam yang tak terlihat bersalah sama sekali. “Rupanya kalian … sengaja melakukan ini?”

“Kau sudah menandatangani kontrak denganku.” Dengan santainya Adam berjalan gontai, meraih jas dan merogoh saku untuk mengambil sekotak rokok. “Bukankah kau sudah sudah membaca semuanya?”

“Apa maksudmu?” Tubuh yang hanya dibalut selimut itu meremang hebat saat menyadari ada beberapa hal yang ia abaikan. Ia ingat pernah menandatangi sebuah berkas, tapi isiannya urung dibaca lengkap. Sebab sahabatnya memintanya bergerak cepat dan saat itu ia diburu waktu. “Aku hanya diminta memuaskanmu semalam, itu saja. Tidak ada yang ….” 

Daphne menjelaskan apa-apa yang diingatnya, sementara Adam menggeleng cepat. Seakan yakin dengan keyakinannya sendiri. Sampai kemudian pria itu mendengkus bersama kekehan kecilnya yang terkesan remeh.

“Astaga, mana mungkin aku dan Mosha mengeluarkan uang sereceh itu hanya untuk menyewa wanita semalam?”

Bibir Daphne terbuka, matanya mengerjap bingung. Sampai detik masih berlanjut pun, ia tak mampu menangkap kejelasan lebih dari wajah pria di hadapannya. 

“Mosha? Siapa—”

“Well, aku Mosha. Istri sah Adam Livingston.” Wanita yang masih menatap dirinya penuh harap itu tersenyum lebar dan makin membuatnya terlihat mengerikan. “Dan kau wanita yang datang pada kami untuk sejumlah uang receh, ‘kan?”

“Apa kau bilang?”

Mosha mengangkat dagu tinggi-tinggi. Wajahnya begitu ayu paripurna dan terlihat elegan di bawah sorot lampu utama. “Apa pun akan aku lakukan demi bisa membuat Adam memiliki keturunan,” katanya santai.

“Hah?” Daphne melotot frustasi. Ia menyibak rambut berantakannya dengan asal. Tatapnya kini turun pada bagian perut, lalu tangan ikut bergerak dan meremasnya kuat-kuat. “Dan kau pikir aku akan sudi membuat rahimku ditinggali bayi dari Adam? Jangan mimpi!”

Sebelum mendapati tanggapan baik dari Mosha maupun Adam, Daphne segera meraih tas. Napasnya kian terasa sesak jika terus menetap di kamar itu dan mengingat bahwa semua ini jebakan gila.

“Kalau kau pergi dari sini, bayaranmu tidak akan kami beri,” ancam Mosha yang sukses membuat gerak kaki Daphne terhenti. 

Mosha bangkit, menjauh dari pangkuan Adam dan menatap lurus Daphne. Sementara Adam menghampiri Daphne, berusaha membujuk, “Berhentilah kekanakan, Daph. Dengar dan duduklah dengan tenang.”

“Jangan sentuh aku!” seru Daphne kesal dan segera menepis tangan Adam yang hinggap di pundaknya. “Kalian penipu!”

“Seharusnya kau baca baik-baik kontrak itu.” Mosha kembali bicara dengan nada naik setingkat. “Dan berhenti memanggil kami penipu.”

Sesaat Daphne melirik Mosha, ia ingin membalas dengan suara melengking, tapi tenaganya sudah habis. Lantas ia tatap Adam yang masih berdiri di hadapannya, masih menatapnya dengan lembut. Sorot yang Daphne temukan selama mereka beradu di ranjang. 

“Aku ingin pulang sekarang.” Napas Daphne tercekat, dua kakinya sudah lemas sekarang. “Aku ingin pulang, Adam. Kumohon ….”

Saat kedua tangan kekar Adam menopang tubuhnya yang lemas, suara Mosha kembali menggema, “Lalu uangmu? Bukankah kau membutuhkan uang untuk membayar utang?”

“Aku tak membutuhkannya,” balas Daphne ngotot. “Terima kasih!”

Harus Daphne akui, kepribadian Mosha cukup mengerikan. Wanita itu mudah sekali terpancing emosi. Sebab sekarang, Daphne menegakkan punggung dan mendapati Mosha yang mencondongkan tubuh ke arahnya. 

Mata hijau itu tampak intimidatif sekali untuk seorang wanita secantik Mosha. Cukup kontras dengan kepribadian Adam yang sabar dan lembut. “Jika kau berani keluar dari kamar ini, aku akan melaporkanmu ke polisi.” Lagi, Mosha mengancam dan Adam hanya pasrah. “Di depan kamar sudah ada pengacaraku yang siap membawamu ke penjara.”

“Aku akan mengantarmu pulang setelah ini, Daph,” bisik Adam lembut. “Tenangkan dirimu dulu, aku dan Mosha berjanji tidak akan menyakitimu. Kami juga tidak bermaksud menjebakmu. Percayalah.”

Panik dan rasa takut itu anehnya mereda perlahan ketika rungu menangkap suara lembut Adam. Daphne bahkan mau-mau saja menuruti kemauan Adam yang mengantarnya hingga apartemen. Tanpa sopir pribadi, hanya mereka berdua di mobil mewah.

“Kenapa kalian melakukan ini?” Pertanyaan itu akhirnya terlontar dari mulut Daphne tepat ketika mobil yang harganya selangit itu tiba di pelataran apartemen. “Kenapa, Adam?”

Adam melepaskan sabuk pengaman dan bergerak menghadap Daphne. Mata coklatnya yang indah itu menatap Daphne lekat dan lama. 

“Aku memerlukan keturunan. Lebih tepatnya, Livingston harus memiliki penerus, tapi Mosha tidak bisa memberikannya.” Adam menjeda beberapa detik untuk mengambil napas dan melepaskannya perlahan. “Istriku lahir tanpa rahim, Daph.”

Niat Daphne menimpali pun menyusut karena diterjang syok. Di hadapannya Adam justru tersenyum manis, seolah hal itu bukan lagi masalah besar baginya. 

“Aku harap kau mau mempertimbangkannya, karena jika tidak, Mosha akan bertindak lebih jauh.” Adam membuang napas dan menatap ke luar jendela mobil. “Apalagi jika kau hamil karena ulahku tadi.”

Batin Daphne menggelitik. “Kenapa harus aku?” katanya sedikit terdengar merengek.

“Kau wanita baik, Daph.” Adam mengulurkan tangan dan mengusap lembut pipi Daphne tanpa beban. “Aku percaya itu.”

“Adam ….”

Pria itu meringis sambil mengangguk ringan. “Aku yang memilihmu dari banyaknya wanita, Daph. Kau wanita tulus, bahkan untuk melunasi utang-utang kekasihmu saja, kau rela melakukan ini semua.”

“Apa hanya itu alasanmu?” Entah mengapa Daphne berharap Adam akan melontarkan alasan lain yang lebih masuk akal. Atau lebih menghangatkan jiwanya. “Tidak ada hal lain?”

“Jangan berharap lebih padaku hanya karena hubungan kita yang singkat tadi,” Adam memberi peringatan dengan suaranya yang hangat. “Aku melakukan semuanya demi Mosha, istriku.”

“Well, kau benar-benar mencintainya.” Daphne tergelak, lebih menertawakan dirinya sendiri yang sudah membayangkan hal-hal mustahil dengan Adam. “Sayangnya aku masih punya harga diri, aku bukan perebut suami orang.”

“Aku percaya itu, Daph.” Sebelum pertemuan itu berakhir, Adam membelai rambutnya sejenak. “Selamat beristirahat, Emilyn Daphne. Kutunggu kabar kehamilanmu," ujarnya dengan seringai manis.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status