“Tenangkan dirimu, Daph.” Ia mengatur napasnya sekali lagi sambil meraba pakaian yang cukup terbuka dan kekurangan bahan itu.” Ini bukan pertama kalinya untukmu, okay? Anggap saja dia aktor terkenal.”
Kepalanya terangguk-angguk sampai ia menyibukkan diri dengan memendarkan pandangan ke sekeliling. Memerhatikan lampu utama yang mewah dan terkesan mahal menggantung tepat di atasnya.
“Baiklah ….” Napasnya ditarik cukup dalam. “Kau bisa memuaskannya dengan cepat dan mendapatkan bayaran, lalu–”
Daphne terperanjat begitu pintu kamar dengan fasilitas mewah itu terbuka. Didorong dari luar dan tak lama kemudian memunculkan sosok pria perawakan tinggi tegap.
Buru-buru Daphne menundukkan kepala dalam, belum memiliki keberanian mengangkat kepala demi bisa menangkap rupa pria itu apalagi membuat kontak mata. Jantungnya berdebar sejalan dengan langkah berat si pria yang menyerbak aroma musk samar itu.
“Emilyn Daphne?”
Sial! Tubuhnya nyaris tak berkutik sekarang. Selain nama lengkapnya disebut oleh suara baritone yang membuat seluruh tubuhnya meremang hebat, wewangian mahal yang menguar dari tubuh sang pria sungguh memabukkannya.
“Apa aku salah masuk kamar?” Suara berat itu kembali memenuhi ruangan. Tengkuknya kini seakan ditiup angin dan terasa dingin semilir. Dan Daphne tak punya pilihan lain untuk memberi tanggapan.
“Ya, Sir?” Detik itu pula Daphne mengangkat wajah dan menautkan pandangan pada mata coklat sang pria yang indah. “Kau tidak salah kamar.”
Napasnya terhela berat ketika pria berkulit tan itu mendekat, tingginya tampak menjulang di hadapannya. Pahatan hidung yang curam terlihat menarik sekali dipandang.
“Aku Adam Livingston,” ujar pria itu dengan senyum sopannya yang makin membuat kesadaran Daphne menguap.
Sialan! Daphne memaki dalam hati karena tergerus oleh pemandangan eksotis tersebut. Mana mungkin ia tak terhipnotis kalau pada bayangan ketakutannya selama ini, partner tidurnya adalah seorang pria tua dengan nafsu tinggi. Namun pada kenyataannya justru sosok tinggi tampan seperti Adam Livingston-lah yang datang.
Segera ia berpaling dan memilih menunduk, menatap dua tangannya yang bertaut satu sama lain. Seperti gadis muda yang belum pernah dijamah pria.
“Kita tidak bisa melakukannya jika kau terus menunduk dan enggan melihatku, Nona Emilyn Daphne,” singgung Adam Livingston yang anehnya langsung menyentuh dagu Daphne agar kepalanya mendongak. “Kau gugup?”
Rona merah muncul di kedua pipi Daphne ketika wajahnya pucat pasi. Hawa panas menyerang sekitar saat jemari si pria menyentuh dagunya tanpa basa-basi.
“Maaf,” bisiknya pelan sambil menggeleng ringan. “Maafkan aku, Sir.”
Pria itu menjauhkan tangan dan berlalu untuk duduk di tepian ranjang sambil melepas jas yang melekat baik di tubuh tegapnya. “Panggil aku Adam,” cetusnya bernada rendah dan cukup renyah di telinga.
Daphne menelan ludah. “Oh, baiklah.”
“Bagaimana denganmu?” Adam menyilangkan kedua kaki, tatapnya lurus mengarah pada Daphne. “Aku harus memanggilmu apa?”
“Uhm,” gumam Daphne sembari berpikir keras. Jemarinya saling memilin ujung lingerie yang ingin sekali ia tutupi dengan selimut. Sebab kedua pahanya cukup terlihat, bahkan pangkalnya bisa disaksikan Adam dengan baik dari jarak di antara mereka. “Daph, Daphne.”
“Baiklah, ke mari, Daphne.”
Telunjuk Adam bergerak, mengarahkan pada Dahpne untuk mendekat. Dengan rasa terkejut di dada, Daphne patuh dan beringsut. Kakinya yang telanjang itu bergerak perlahan hingga tiba di hadapan Adam.
Pria itu menarik tangannya segera. Ia berbaring di ranjang yang super empuk, dan Adam buru-buru meraih bibirnya. Melumat hingga tak ada kesempatan bagi Daphne untuk menyiapkan mental.
Tubuh Daphne bergerak sesuai naluri. Seolah paham apa yang harus dilakukan, sama seperti kebiasaannya berkegiatan bersama kekasihnya di apartemen mereka.
“Sudah tidak gugup?” Pertanyaan Adam meluncur ketika ciuman pembuka itu berakhir. Ada senyum samar penuh bangga yang terlintas di sana, dan Daphne menyukainya. Terlihat manis sekali dan mahal. “Aku akan membuatmu lebih rileks dari ini, Daphne.”
Tanpa sadar Daphne mendekatkan jemarinya ke bibir dan menggigiti kuku. Netranya mengerjap pelan saat Adam mulai melucuti kemeja hingga celana kain hitam yang cukup padu dengan tubuh besarnya.
“Tapi, seharusnya aku yang memuaskanmu, Adam,” ralat Daphne berusaha meluruskan. Ia terlihat tak tahu diri kalau pelanggannya yang justru membuatnya rileks. “Maafkan aku, seharusnya—”
Belum Daphne menyelesaikan ucapan, Adam sudah lebih dulu bergerak dan mengecup bibirnya. “Kau milikku malam ini, Daph.”
“A-adam ….” Napas Daphne terengah-engah. Kedua kakinya bergetar hebat begitu sosok pria di atasnya sukses menerbangkannya hingga puncak kenikmatan.
Dua tangannya mencengkeram kuat-kuat pundak Adam hingga kukunya masuk ke permukaan kulit pria itu. Daphne tak mampu mencegah, semua terlalu cepat terjadi dan ia begitu berbuai dengan semua perlakuan Adam.
“Ya, Daphne?” Adam melenguh sesaat. Jemari panjangnya membelai halus wajah Daphne. “Kau memerlukan sesuatu?”
“Uhm.” Daphne menggeleng pelan. Tatapnya bertaut pada mata Adam yang tak beralih darinya. “Ini aneh,” akunya jujur sambil menatap langit-langit kamar dengan kerjapan pelan.
Ya, benar-benar aneh. Sebab Daphne tak pernah merasakan sensasi gila itu pada pria lain sebelum ini. Dan keanehan itu bertambah ketika ia sadar akan suatu kebodohan besar.
“Kau menyukainya, ‘kan?” Adam kembali mendekatkan wajah dan mengecup pipinya. Pria itu sudah hendak menyatukan kembali tubuhnya dengan Daphne. “Kita harus melakukannya lagi sampai—”
“Tunggu, Adam!” Daphne buru-buru bangkit duduk dengan sedikit gugup. Ia mengangkat kepala dan berhadapan dengan Adam yang tampak berkeringat. Ini makin aneh, tapi keberanian Daphne dan hasratnya ingin menyentuh lawannya jauh lebih besar sekarang.
Adam beringsut mendekat, menorehkan raut panik yang samar di wajah. “Ada yang salah, Daph?”
Daphne menyelipkan helaian rambutnya yang menempel di wajah ke belakang telinga sebelum menjawab, “Kupikir, aku bisa memuaskanmu ….”
Kekehan kecil terlontar dari mulut Adam. “Jadi, kau ingin mencobanya?” balasnya terdengar sedikit menantang.
“Boleh?” cicit Daphne malu-malu.
Begitu mendapat anggukan persetujuan dari Adam, Daphne sontak mendorong tubuh Adam hingga pria itu berbaring di ranjang. Kemudian ia berani menaikinya dan mulai melancarkan tugas selayaknya wanita pada pria pada umumnya.
Perlahan Daphne turun begitu Adam dengan sengaja membuka lebar dua pangkal pahanya. Seakan menyerahkan diri untuk dipuaskan olehnya. Ia meraup milik Adam penuh dan mulai bergerak sesuai ritme.
“Daph ….” Adam melenguh di tengah pekerjaan Daphne. “Kau sungguh luar biasa. Kau … begitu memukau dan indah.”
Daphne mengulum senyum, sudah lama rasanya tak mendapat pujian seperti itu selagi bercinta. Meskipun hubungannya dengan sang kekasih cukup intens terjadi.
Adam mendesah hebat begitu mencapai puncak untuk kesekian kali. Ia meremas pundak Daphne kuat-kuat sambil melempar seringai. “Aku tak mengerti mengapa Nolan berani menipu dan menjebakmu untuk utang yang tak seberapa itu.”
Sekejap Daphne melepaskan tautan dan menghentikan gerakannya. Ia mengangkat kepala dan menatap lekat Adam dengan bingung.
“Nolan?” ulangnya sambil melotot kaget. “Kau … tahu semuanya?”
Tidak banyak orang tahu tujuannya memuaskan pria semalaman di tempat yang biasa didatangi orang kaya, seperti Adam. Daphne berusaha melakukan apa pun agar tidak ada lagi penagih utang yang mengatasnamakannya atas pinjaman Nolan.
“Soal kekasihmu?” Adam duduk dan mengulurkan tangan sambil menyeka bibir Daphne yang penuh. “Tentu aku tahu. Tentang tujuanmu memilih pekerjaan ini demi mendapatkan bayaran dan melunasi utang-utang itu.”
“A-aku ….” Daphne merasakan kerongkongannya tercekat. “Aku hanya ingin hidup normal lagi tanpa tekanan dan teror dari penagih biadab itu. Aku hanya–”
Ucapan Daphne terhenti tepat ketika Adam menangkup wajahnya. “Kau harus selesaikan tugasmu, Daph.”
Brak!
Daphne baru saja akan memulainya lagi, tapi gebrakan pintu cukup menggelegar membuatnya terhenyak. Di dekatnya, Adam refleks beringsut dari ranjang setelah melemparkan selimut untuknya.
“Siapa itu?” tanya Adam.
Daphne bergegas memakai selimut untuk menutupi tubuhnya. Ia menggeliat dan bersiap turun, tapi seseorang justru mendorong tubuh Adam kembali ke atas ranjang.
“Kupikir, pekerjaannya sudah cukup untukmu, Sayang.” Dapat Daphne lihat seorang wanita berambut panjang dengan gaun tidur itu menaiki tubuh Adam. Bahkan dua tangannya cukup lihai melingkar di leher pria seolah Adam miliknya.
“Sayang?” ulang Daphne yang diserang kebingungan. Tatapnya terpaku pada Adam yang sama sekali tak menolak atas sikap wanita itu. “Kau mengenalnya, Adam?”
“Tentu.” Adam menjawab sambil memeluk pinggung sang wanita begitu erat. “Dia istriku, Daph.”
“Wah, ini benar-benar gila.” Kaki Daphne mundur teratur hingga punggungnya menubruk dinding. Sorotnya memandang dua manusia yang tengah duduk berpangkuan di tepi ranjang. “Kalian pasangan suami istri? Dan kau membiarkan suamimu melakukan hubungan dengan wanita lain?”Wanita itu tersenyum sambil mengangguk usai mencuri kecup di bibir Adam sekilas. “Apa yang kau dengar tidak salah, Nona Emilyn Daphne.”“Aku benar-benar tidak mengerti.” Daphne menggeleng frustasi. “Kau … menerima semua ini ketika suamimu berhubungan? Bahkan melihatnya sendiri seperti ini?”“Mengapa tidak?” Wanita itu bangkit dari pangkuan Adam dan melangkah mendekati Daphne. Matanya yang hijau berkilauan itu menatap penuh selidik dari ujung kaki hingga kepala Daphne. Lalu tubuhnya direndahkan dan wajahnya tepat berhenti di depan perut Daphne, tak lama telunjuknya terulur dan menekan bagian yang ditutupi selimut erat-erat.“Hentikan!” pekik Daphne. “Hentikan tanganmu itu.”Istri Adam kembali berdiri tegak dan tertawa keci
“Mereka belum membayarmu sama sekali?”Belum ada satu jam lamanya Daphne terlelap, dan kehadiran Tabitha–sahabat terbaiknya– membuat masa istirahatnya harus terjeda entah sampai kapan. Seharian kemarin setelah kejadian itu, Daphne kesulitan merasakan kantuk. Ia bersusah payah mengenyahkan pikiran sekaligus bayangan dari pasangan Livingston dari kepalanya dan berakhir terjaga sepanjang hari hingga kini.“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau tidak menjelaskan semuanya?” balas Daphne ketus. “Soal kontrak itu … mereka memintaku hamil, bukan sekadar menjadi teman tidur pria kaya semalam.”“Oh, itu?” Bibir Tabitha menganga, rautnya terlihat bersalah. “Memang kau tidak membaca semuanya?”Daphne melempar kain tipis yang menghalau tubuhnya dari dinginnya angin. “Kau benar-benar teman yang buruk, Tab,” dengkusnya sambil menggeleng heran. “Aku meminta bantuan agar bisa membayar utang dan menghentikan seluruh teror ini. Aku lelah.”Bahkan telepon-telepon dan pesan-pesan mengancam masih ia ter
“Aku tidak bisa hamil anakmu,” cetus Daphne dengan perasaan lega setelah menahan sesak dua hari ini. “Lebih tepatnya, sulit bagiku membayangkan hamil di usia sekarang.”Tatapan Adam tak terlepas darinya. Pria itu masih diam, seolah sedang sibuk menimbang-nimbang jawaban tepat tanpa menyinggung siapa pun.“Akan ada orang yang membantumu, Daph.” Suara itu melembut seperti kapas di telinga Daphne. “Termasuk aku. Sesuai yang tertulis di kontrak, aku akan datang ke tempat tinggalmu tiga sampai empat kali dalam seminggu.”Daphne terkekeh miris. Nasibnya kelewat sial sampai berhadapan dengan keluarga sepenting Livingston begini. “Masih ada hal yang ingin aku capai. Impian, kebahagian, dan segalanya, Adam,” balasnya menekan. “Kau tidak akan mengerti karena begitu kau lahir, semua hal di dunia ini mampu kau miliki dengan mudah.”Mata cemerlang Adam yang kerap menghipnotis Daphne mengerjap pelan. “Tapi tidak dengan keturunan.” Bibirnya mengukir senyum tipis. “Hanya kau satu-satunya yang bisa di
“Segera hubungi aku, Nolan. Aku membutuhkanmu!”Daphne meremas rambutnya usai mengungkapkan kalimat permohonan melalui pesan suara yang dikirimkannya pada Nolan, kekasihnya. Sampai detik ini, pria itu tak kunjung muncul atau memberi kabar. Tepatnya semenjak para penagih utang datang dan menunjuk Daphne telah melakukan pinjaman besar, Nolan benar-benar menghilang—seolah ditelan bumi.“Ya Tuhan, kau benar-benar melakukan semua ini padaku ... Nolan?” decaknya sambil menahan air mata. Sampai bayangan Adam dan beberapa penawaran terbaik muncul di benaknya sekarang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya, membayar utang-utang kekasihku dengan cara mengandung anak Adam. Astaga ....”Baru Daphne merebahkan diri di sofa ruang tamunya, pintu digebrak dari luar. Lalu suara teriakan yang memanggil namanya pun menyusul tak lama kemudian. Daphne terhenyak, buru-buru bangkit dan mendekati pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya.“Akhirnya kau membukanya, Nona Emilyn Daphne.”Ia menahan na
Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya. “Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar. “Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.” Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?” Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne. Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“ “Semua am
Mungkin Adam benar-benar telah diperdaya. Ia bisa saja menolak dan meninggalkan Daphne setelah kecupan tak sengaja yang dilanjutkan dengan hal di luar duga. Bodohnya ia meminta lebih, memanfaatkan bagaimana kesempatan itu ada.“Daph ...” panggilnya lemah saat menatap Daphne yang wajahnya telah merah merona. Entah karena kepanasan atau sama terbakarnya seperti dirinya sekarang.Mata bulat itu membalas tatapnya cukup sendu. Bibirnya bergerak, tapi urung memberikan suara. Namun rupanya tangan mungil itu sudah beraksi di bawah sana, menyentuh milik Adam dari luar hingga mengacak-acak pertahanan.“Shit,” maki Adam sambil mengerang. “Daph, kau—“Daphne merendahkan diri. Wajahnya mengarah ke bagian bawah Adam dan refleks Adam membuka kedua kakinya seolah menyambut layanan si wanita. Kedua matanya memejam perlahan, menikmati tiap-tiap gerakan yang dibuat Daphne untuknya.Tubuhnya menegang bagai disengat lebah. Namun sengatan ini justru memabukkan. Remasan tangan Adam kian mengerat sejalan den
Adam mendekatkan jemarinya ke mulut, menggigiti kuku ketika gelisah menyerang. Sentuhan tangan Daphne masih membekas jelas di kepala, bahkan inti tubuhnya yang terus memunculkan tanda-tanda aneh. Tak biasanya ia bersikap seperti ini setelah berhubungan dengan wanita.Apalagi sensasinya sungguh liar dan menggaung seolah tak ingin dihempaskan. Pikirannya melulu tentang Daphne alih-alih Mosha, istrinya sendiri. Baru semalam ia menjamah istrinya, tapi kegiatan itu bagaikan rutinitas bukan kegiatan panas yang membakar kesadarannya seperti yang dilakukan Daphne padanya.“Sial, seperti anak remaja saja,” gumamnya dalam hati tentang sikapnya ini. “Kau bisa melakukannya dengan Mosha berkali-kali, Bodoh!”Adam melepaskan jas dan memberikannya pada salah satu bawahan yang membukakan pintu mobil untuknya. Ia turun dan melangkah panjang ke dalam bangunan luas nan megah.“Nolan Wynn baru saja keluar dari motel, Tuan.” Hiro, asistennya menyambut kedatangannya di ruang kerja kantornya dengan sejumput
Daphne terpaku pada benda yang terus menyuarakan dering telepon. Menampilkan nama Nolan yang tertera jelas di sana. Pedih dan bimbang ketika ia membiarkannya sampai layar redup dan dring tak lagi terdengar.“Kenapa tidak diangkat, Nona?” Kepala Maria menyembul di depannya sejalan dengan suara wanita itu yang tertetangkap telinga.Daphne membuang napas kasar, menoleh dan menatap Maria. “Kau pasti mendengar semuanya soal bagaimana Adam yang melarangku.”Ia sudah pasrah dengan pembicaraan yang diisi debat panas bersama Adam tadi akan didengar Maria dengan jelas. Ia pun tak peduli bagaimana tanggapan Maria tentangnya setelah itu.Maria mengangguk pelan. “Apa yang dikatakan Tuan mungkin ada benarnya, tapi semua itu kembali pada keputusan Nona.” Wanita itu beringsut ke samping Daphne. “Nona berhak atas semua itu, ‘kan?”Setelah menghadapi kekesalan serius yang memenuhi benaknya, Daphne menarik napas dalam-dalam. Mulai merasa lega.“Kau benar.” Senyum samar sedikit terukir di bibirnya. “Apa