Share

4. Kemarilah Adam!

“Aku tidak bisa hamil anakmu,” cetus Daphne dengan perasaan lega setelah menahan sesak dua hari ini. “Lebih tepatnya, sulit bagiku membayangkan hamil di usia sekarang.”

Tatapan Adam tak terlepas darinya. Pria itu masih diam, seolah sedang sibuk menimbang-nimbang jawaban tepat tanpa menyinggung siapa pun.

“Akan ada orang yang membantumu, Daph.” Suara itu melembut seperti kapas di telinga Daphne. “Termasuk aku. Sesuai yang tertulis di kontrak, aku akan datang ke tempat tinggalmu tiga sampai empat kali dalam seminggu.”

Daphne terkekeh miris. Nasibnya kelewat sial sampai berhadapan dengan keluarga sepenting Livingston begini. “Masih ada hal yang ingin aku capai. Impian, kebahagian, dan segalanya, Adam,” balasnya menekan. “Kau tidak akan mengerti karena begitu kau lahir, semua hal di dunia ini mampu kau miliki dengan mudah.”

Mata cemerlang Adam yang kerap menghipnotis Daphne mengerjap pelan. “Tapi tidak dengan keturunan.” Bibirnya mengukir senyum tipis. “Hanya kau satu-satunya yang bisa diandalkan. Kau akan menerima balasan setimpal jika bayi hadir di rahimmu, Daph.”

“Bagaimana kalau tidak?” Nada suaranya pelan, tapi dari lubuk hati terdalam, ia berniat menantang. 

“Kau sudah menandatanganinya, mustahil jika kau menolak dan pergi dari kami. Mosha tidak akan tinggal diam. Dia benar-benar seputus asa itu, sama sepertimu yang harus membayar hutang.”

“Itu hutang Nolan,” Daphne meluruskan dengan cepat. Tatapnya perlahan bergerak pada foto ukurang sedang yang ada di atas meja. Sebuah potretnya bersama Nolan ketika kencan kedua mereka di tahun pertama. “Kekasihku menggunakan kartu identitasku sebagai penjamin dan ketika dia tidak mampu membayar apalagi melunasi, aku yang kena semua ini. Aku pikir, malam itu tugasku hanya satu. Memuaskanmu di ranjang dan selesai.”

“Aku turut prihatin dengan kesalahpahaman itu.” Adam mengikuti arah pandang Daphne dan mengangguk dua kali. “Berapa lama kalian berpacaran?”

Pertanyaan itu sontak membuat kepala Daphne menoleh. Membalas tatapan Adam yang tepat memandanginya. “Empat. Ini tahun ke-4 kami.”

“Oh, cukup lama.” Adam tersenyum tipis sekali. “Tapi kau harus pikirkan baik-baik, Daph. Kalau kau menolak, Mosha bisa menjebloskanmu ke penjara dan hutang-hutang itu … akan terus ada sampai kapan pun. Mungkin bunganya akan menumpuk dan bertambah banyak sejalan dengan waktu.”

Seolah ada batu kerikil di tenggorokannya, Daphne kesulitan menelan. Kerongkongannya sakit, belum lagi dadanya kian sesak menyadari hidupnya yang malang. 

“Lucu sekali hidupku,” kekehnya di sela menahan diri agar tidak menumpahkan air mata di hadapan Adam. 

“Jika kau membantuku dan Mosha, aku akan membuat hidupmu terjamin,” gumam Adam sambil menyentuh pundak Daphne. Kemudian menepuk-nepuknya pelan sebelum menarik diri. “Pegang ucapanku, Daph.”

***

Malam itu tidak ada yang menyambut kepulangannya seperti biasa. Hanya beberapa pelayan yang bertugas menerima jas dan tasnya. Adam melangkah cepat pada ruang makan, tempat yang biasa istrinya tempati ketika ia pulang dari kantor.

Sebuah meja besar nan panjang yang diisi beberapa piring jamuan makan malam. Tampak utuh dan belum tersentuh sama sekali. 

“Di mana Mosha, Olla?” Adam bertanya pada wanita usia 40 tahun-an yang baru muncul. “Dia sedang bepergian sampai melewatkan makan malam?”

Olla menggeleng. “Istri Anda sedang di ruang santai, Tuan.”

“Ada masalah seharian ini?”

“Masih memikirkan hal sama seperti sebelumnya.”

Adam berjalan cepat pada ruang yang letaknya di lantai dua. Ia menaiki tangga sambil melepaskan kancing kemeja bagian kerah leher. Perasaannya berubah tak karuan, makin tak enak melihat istrinya meratapi satu perkara itu.

“Mosha?” Adam memanggil. Istrinya lekas menoleh dan menarik jemarnya dari tuts grand piano. “Aku pulang.”

“Hai, Sayang.” Mosha bangkit dan menyambut Adam dengan kedua tangannya yang terentang lebar. “Maafkan aku sibuk dengan piano ini sampai tidak sadar kepulanganmu.”

“Tidak apa-apa. Tapi, kau melewatkan makan malam,” balas Adam seraya memeluk Mosha erat. “Apa karena masalah Daphne?”

Perlakuan Adam lembut dan penuh kasih sayang sepert biasa. Namun tidak dengan Mosha yang tiba-tiba mengakhiri pelukan dan melangkah mundur. Wanita itu menatapnya sengit dan menusuk.

“Jangan sebut namanya,” sembur Mosha tegas, tapi masih ada selipan nada manja di sana. “Dia perempuan jal*ng!”

Adam mendekat tanpa permisi. Ia menarik lengan istrinya agar jarak mereka hilang dalam sekejap. Keduanya kembali melekat dan menempel seperti perangko dan surat.

“Mosha, tapi dia satu-satunya pilihan yang sempurna untuk keturunan keluarga kita,” tuturnya meyakinkan sang istri.

“Kau benar, tapi tetap saja.” Mosha menghela napas panjang. Wajahnya masih memberengut. “Aku tidak senang dengan kepribadiannya. Dia terlalu bodoh dan naif.”

Sejauh Adam mengenal Daphne pada dua pertemuan mereka, ia tak menemukan dua sifat yang disebutkan Mosha itu. Baginya, Daphne sosok wanita pintar dan mudah berempati pada orang lain. 

Sekalipun wanita itu tadi terus menolak penawarannya, Adam bisa menangkap keprihatinan yang terpancar dari mata hijau Daphne. Bibir wanita yang mengucapkan kekesalan pun terdengar lembut dan mampu menggetarkan jiwanya. 

“Aku sudah membujuknya tadi,” gumamnya memberi tahu.

“Kau?” Mata biru Mosha yang serupa kolam indah itu membelalak kaget. “Apa yang kau lakukan, Adam?”

Mosha Reindeer dengan segala sifat cemburunya mulai muncul ke permukaan. Dan Adam sudah menyiapkan diri sejak beberapa waktu lalu untuk ini. Ia memegangi bahu Mosha yang dibalut gaun tidur tipis dan menerawang. 

Lantas kepala Adam mengangguk mengiyakan dengan pelan. “Aku mengunjungi apartemen Daphne,” akunya jujur.

“Apa?” Sontak dada Adam didorong keras oleh Mosha. “Itu tidak masuk akal! Bagaimana mungkin kau pergi ke tempat perempuan itu?”

Mendapati perlakuan kasar dari istrinya tak membuat Adam serta merta kesal atau marah. Ia justru berusaha memahami perasaan Mosha. Tak mudah memang menerima suami yang pergi ke tempat wanita lain, dan Adam mengerti.

“Semua demi dirimu.” Kali itu Adam meraih tangan Mosha, walau sulit karena kerap ditepis beberapa kali. “Aku ingin kau berhenti menyalahkan diri sendiri.”

Sudah lima tahun lamanya Mosha selalu mendapat cemooh dari pihak keluarga Adam. Tentang ketidakmampuannya mengandung seperti wanita kebanyakan. Kendati demikian, Adam selalu menjadi garda terdepan untuk membela istrinya dari hadapan banyak orang. 

Sekalipun menentang kedua orang tuanya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Adam hanya ingin Mosha bahagia dengan dirinya tanpa perlu memikirkan pendapat orang lain. Walaupun tanpa anak di rumah mereka.

“Ini memang salahku,” timpal Mosha yang mulai bercucuran air mata. “Aku tidak bisa memberikanmu anak. Banyak sekali kekuranganku, Adam.”

Dan Adam tak akan membiarkan Mosha bersedih lebih lama. Ia menarik istrinya masuk ke dalam pelukan, mendekapnya erat-erat dan memberikannya kehangatan. “Aku mencintaimu,” sahutnya lembut. “Kita saling mencintai. Hanya itu yang aku perlukan.”

“Tapi itu tidak cukup.” Mosha menggeleng cepat. “Kita hidup dalam masyarakat. Hampir semua orang melihat keluarga ini. Kita disorot banyak pasang mata di luar sana.”

“Aku tahu.” Adam mengendurkan pelukan. Menatap lekat mata biru Mosha yang mampu menghanyutkan kesadarannya. “Maka dari itu, aku akan melakukan apa pun agar orang-orang berhenti mencela istriku. Kita akan mendapatkan persetujuan dari Daphne, hanya dia yang bisa membantu kita, Mosha.”

Kekesalan yang terpancar di wajah Mosha perlahan meredup. Bibir penuhnya terbuka dan mengucap, “Adam ….”

“Ya, My Love.”

“Terima kasih, kau benar-benar pria terbaik dari seluruh pria di dunia ini,” ujar Mosha. 

Adam membiarkan istrinya mencuri kecup dan menggapai bibirnya beberapa kali. Rasanya ia sudah dibuat melayang akibat pujian yang terdengar sangat tulus itu. Saat Mosha mengakhiri kecupan itu, Adam sudah terpancing untuk meminta lebih. 

Tak lama kemudian, Adam menggeliat tepat ketika ponsel di saku celananya bergetar dan berdering nyaring. Ia bergegas melepaskan diri dan fokus pada layar ponselnya. 

“Sebentar, ada telepon,” sahutnya seraya mengangkat benda pipih itu.

“Adam, kau sedang bersamaku sekarang.” Mosha mulai merengek tak terima. Lengan Adam digoyangkan asal. “Bisakah kau—”

“Daphne,” potong Adam tegas. “Daphne meneleponku, Mosha.”

Mosha mendengkus pelan. “Dan kau lebih memilih mengangkat telepon perempuan itu daripada bersenang-senang dengan istrimu sendiri?”

Sebelum menerima telepon, Adam membuang napas dan kembali mengajak istrinya bicara, “Daphne akan memberikan jawaban atas penawaran kita. Tunggulah sebentar.”

Tanpa memedulikan keluhan Mosha, Adam segera mengangkat dan menempelkan ponsel di telinga. “Malam, Daphne.”

“Oh, iya. Malam juga, Adam.” Suara Daphne gugup. “Maafkan aku sudah mengganggu malammu. Soal tadi … aku sudah memikirkannya matang-matang.”

 “Hmm, okay.” Muncul kelegaan di benak Adam begitu mendengarnya. “Jadi, kau sudah memutuskan?” 

“Ya … mungkin.”

Adam tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Katakan saja padaku. Aku ingin mendengarnya.”

“Adam … begini ….” Ada jeda cukup panjang di sela ucapan Daphne di seberang.

“Rileks, jangan gugup.” Buru-buru Adam menyarankan bersama suara lembutnya itu. “Tetap tenang, aku akan menunggu sampai kau mengatakan semuanya.”

Helaan napas Daphne terdengar baik di telinganya. “Uhm, aku sudah memutuskan untuk … menerimanya. Aku mau.”

“Mau?” ulang Adam.

“Yeah, maksudku aku menerima penawaranmu dan Mosha. Aku akan memberikan kalian anak dan tolong lunasi utang-utang Nolan secepatnya. Kumohon ….”

Mata Adam memicing begitu mendengar suara Daphne terengah-engah seolah sedang menahan sakitnya. “Daph, kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.

“Ke mari sekarang juga, Adam!” teriak Daphne lantang di seberang sambungan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status