“Aku tidak bisa hamil anakmu,” cetus Daphne dengan perasaan lega setelah menahan sesak dua hari ini. “Lebih tepatnya, sulit bagiku membayangkan hamil di usia sekarang.”
Tatapan Adam tak terlepas darinya. Pria itu masih diam, seolah sedang sibuk menimbang-nimbang jawaban tepat tanpa menyinggung siapa pun.
“Akan ada orang yang membantumu, Daph.” Suara itu melembut seperti kapas di telinga Daphne. “Termasuk aku. Sesuai yang tertulis di kontrak, aku akan datang ke tempat tinggalmu tiga sampai empat kali dalam seminggu.”
Daphne terkekeh miris. Nasibnya kelewat sial sampai berhadapan dengan keluarga sepenting Livingston begini. “Masih ada hal yang ingin aku capai. Impian, kebahagian, dan segalanya, Adam,” balasnya menekan. “Kau tidak akan mengerti karena begitu kau lahir, semua hal di dunia ini mampu kau miliki dengan mudah.”
Mata cemerlang Adam yang kerap menghipnotis Daphne mengerjap pelan. “Tapi tidak dengan keturunan.” Bibirnya mengukir senyum tipis. “Hanya kau satu-satunya yang bisa diandalkan. Kau akan menerima balasan setimpal jika bayi hadir di rahimmu, Daph.”
“Bagaimana kalau tidak?” Nada suaranya pelan, tapi dari lubuk hati terdalam, ia berniat menantang.
“Kau sudah menandatanganinya, mustahil jika kau menolak dan pergi dari kami. Mosha tidak akan tinggal diam. Dia benar-benar seputus asa itu, sama sepertimu yang harus membayar hutang.”
“Itu hutang Nolan,” Daphne meluruskan dengan cepat. Tatapnya perlahan bergerak pada foto ukurang sedang yang ada di atas meja. Sebuah potretnya bersama Nolan ketika kencan kedua mereka di tahun pertama. “Kekasihku menggunakan kartu identitasku sebagai penjamin dan ketika dia tidak mampu membayar apalagi melunasi, aku yang kena semua ini. Aku pikir, malam itu tugasku hanya satu. Memuaskanmu di ranjang dan selesai.”
“Aku turut prihatin dengan kesalahpahaman itu.” Adam mengikuti arah pandang Daphne dan mengangguk dua kali. “Berapa lama kalian berpacaran?”
Pertanyaan itu sontak membuat kepala Daphne menoleh. Membalas tatapan Adam yang tepat memandanginya. “Empat. Ini tahun ke-4 kami.”
“Oh, cukup lama.” Adam tersenyum tipis sekali. “Tapi kau harus pikirkan baik-baik, Daph. Kalau kau menolak, Mosha bisa menjebloskanmu ke penjara dan hutang-hutang itu … akan terus ada sampai kapan pun. Mungkin bunganya akan menumpuk dan bertambah banyak sejalan dengan waktu.”
Seolah ada batu kerikil di tenggorokannya, Daphne kesulitan menelan. Kerongkongannya sakit, belum lagi dadanya kian sesak menyadari hidupnya yang malang.
“Lucu sekali hidupku,” kekehnya di sela menahan diri agar tidak menumpahkan air mata di hadapan Adam.
“Jika kau membantuku dan Mosha, aku akan membuat hidupmu terjamin,” gumam Adam sambil menyentuh pundak Daphne. Kemudian menepuk-nepuknya pelan sebelum menarik diri. “Pegang ucapanku, Daph.”
***
Malam itu tidak ada yang menyambut kepulangannya seperti biasa. Hanya beberapa pelayan yang bertugas menerima jas dan tasnya. Adam melangkah cepat pada ruang makan, tempat yang biasa istrinya tempati ketika ia pulang dari kantor.
Sebuah meja besar nan panjang yang diisi beberapa piring jamuan makan malam. Tampak utuh dan belum tersentuh sama sekali.
“Di mana Mosha, Olla?” Adam bertanya pada wanita usia 40 tahun-an yang baru muncul. “Dia sedang bepergian sampai melewatkan makan malam?”
Olla menggeleng. “Istri Anda sedang di ruang santai, Tuan.”
“Ada masalah seharian ini?”
“Masih memikirkan hal sama seperti sebelumnya.”
Adam berjalan cepat pada ruang yang letaknya di lantai dua. Ia menaiki tangga sambil melepaskan kancing kemeja bagian kerah leher. Perasaannya berubah tak karuan, makin tak enak melihat istrinya meratapi satu perkara itu.
“Mosha?” Adam memanggil. Istrinya lekas menoleh dan menarik jemarnya dari tuts grand piano. “Aku pulang.”
“Hai, Sayang.” Mosha bangkit dan menyambut Adam dengan kedua tangannya yang terentang lebar. “Maafkan aku sibuk dengan piano ini sampai tidak sadar kepulanganmu.”
“Tidak apa-apa. Tapi, kau melewatkan makan malam,” balas Adam seraya memeluk Mosha erat. “Apa karena masalah Daphne?”
Perlakuan Adam lembut dan penuh kasih sayang sepert biasa. Namun tidak dengan Mosha yang tiba-tiba mengakhiri pelukan dan melangkah mundur. Wanita itu menatapnya sengit dan menusuk.
“Jangan sebut namanya,” sembur Mosha tegas, tapi masih ada selipan nada manja di sana. “Dia perempuan jal*ng!”
Adam mendekat tanpa permisi. Ia menarik lengan istrinya agar jarak mereka hilang dalam sekejap. Keduanya kembali melekat dan menempel seperti perangko dan surat.
“Mosha, tapi dia satu-satunya pilihan yang sempurna untuk keturunan keluarga kita,” tuturnya meyakinkan sang istri.
“Kau benar, tapi tetap saja.” Mosha menghela napas panjang. Wajahnya masih memberengut. “Aku tidak senang dengan kepribadiannya. Dia terlalu bodoh dan naif.”
Sejauh Adam mengenal Daphne pada dua pertemuan mereka, ia tak menemukan dua sifat yang disebutkan Mosha itu. Baginya, Daphne sosok wanita pintar dan mudah berempati pada orang lain.
Sekalipun wanita itu tadi terus menolak penawarannya, Adam bisa menangkap keprihatinan yang terpancar dari mata hijau Daphne. Bibir wanita yang mengucapkan kekesalan pun terdengar lembut dan mampu menggetarkan jiwanya.
“Aku sudah membujuknya tadi,” gumamnya memberi tahu.
“Kau?” Mata biru Mosha yang serupa kolam indah itu membelalak kaget. “Apa yang kau lakukan, Adam?”
Mosha Reindeer dengan segala sifat cemburunya mulai muncul ke permukaan. Dan Adam sudah menyiapkan diri sejak beberapa waktu lalu untuk ini. Ia memegangi bahu Mosha yang dibalut gaun tidur tipis dan menerawang.
Lantas kepala Adam mengangguk mengiyakan dengan pelan. “Aku mengunjungi apartemen Daphne,” akunya jujur.
“Apa?” Sontak dada Adam didorong keras oleh Mosha. “Itu tidak masuk akal! Bagaimana mungkin kau pergi ke tempat perempuan itu?”
Mendapati perlakuan kasar dari istrinya tak membuat Adam serta merta kesal atau marah. Ia justru berusaha memahami perasaan Mosha. Tak mudah memang menerima suami yang pergi ke tempat wanita lain, dan Adam mengerti.
“Semua demi dirimu.” Kali itu Adam meraih tangan Mosha, walau sulit karena kerap ditepis beberapa kali. “Aku ingin kau berhenti menyalahkan diri sendiri.”
Sudah lima tahun lamanya Mosha selalu mendapat cemooh dari pihak keluarga Adam. Tentang ketidakmampuannya mengandung seperti wanita kebanyakan. Kendati demikian, Adam selalu menjadi garda terdepan untuk membela istrinya dari hadapan banyak orang.
Sekalipun menentang kedua orang tuanya yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Adam hanya ingin Mosha bahagia dengan dirinya tanpa perlu memikirkan pendapat orang lain. Walaupun tanpa anak di rumah mereka.
“Ini memang salahku,” timpal Mosha yang mulai bercucuran air mata. “Aku tidak bisa memberikanmu anak. Banyak sekali kekuranganku, Adam.”
Dan Adam tak akan membiarkan Mosha bersedih lebih lama. Ia menarik istrinya masuk ke dalam pelukan, mendekapnya erat-erat dan memberikannya kehangatan. “Aku mencintaimu,” sahutnya lembut. “Kita saling mencintai. Hanya itu yang aku perlukan.”
“Tapi itu tidak cukup.” Mosha menggeleng cepat. “Kita hidup dalam masyarakat. Hampir semua orang melihat keluarga ini. Kita disorot banyak pasang mata di luar sana.”
“Aku tahu.” Adam mengendurkan pelukan. Menatap lekat mata biru Mosha yang mampu menghanyutkan kesadarannya. “Maka dari itu, aku akan melakukan apa pun agar orang-orang berhenti mencela istriku. Kita akan mendapatkan persetujuan dari Daphne, hanya dia yang bisa membantu kita, Mosha.”
Kekesalan yang terpancar di wajah Mosha perlahan meredup. Bibir penuhnya terbuka dan mengucap, “Adam ….”
“Ya, My Love.”
“Terima kasih, kau benar-benar pria terbaik dari seluruh pria di dunia ini,” ujar Mosha.
Adam membiarkan istrinya mencuri kecup dan menggapai bibirnya beberapa kali. Rasanya ia sudah dibuat melayang akibat pujian yang terdengar sangat tulus itu. Saat Mosha mengakhiri kecupan itu, Adam sudah terpancing untuk meminta lebih.
Tak lama kemudian, Adam menggeliat tepat ketika ponsel di saku celananya bergetar dan berdering nyaring. Ia bergegas melepaskan diri dan fokus pada layar ponselnya.
“Sebentar, ada telepon,” sahutnya seraya mengangkat benda pipih itu.
“Adam, kau sedang bersamaku sekarang.” Mosha mulai merengek tak terima. Lengan Adam digoyangkan asal. “Bisakah kau—”
“Daphne,” potong Adam tegas. “Daphne meneleponku, Mosha.”
Mosha mendengkus pelan. “Dan kau lebih memilih mengangkat telepon perempuan itu daripada bersenang-senang dengan istrimu sendiri?”
Sebelum menerima telepon, Adam membuang napas dan kembali mengajak istrinya bicara, “Daphne akan memberikan jawaban atas penawaran kita. Tunggulah sebentar.”
Tanpa memedulikan keluhan Mosha, Adam segera mengangkat dan menempelkan ponsel di telinga. “Malam, Daphne.”
“Oh, iya. Malam juga, Adam.” Suara Daphne gugup. “Maafkan aku sudah mengganggu malammu. Soal tadi … aku sudah memikirkannya matang-matang.”
“Hmm, okay.” Muncul kelegaan di benak Adam begitu mendengarnya. “Jadi, kau sudah memutuskan?”
“Ya … mungkin.”
Adam tersenyum sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Katakan saja padaku. Aku ingin mendengarnya.”
“Adam … begini ….” Ada jeda cukup panjang di sela ucapan Daphne di seberang.
“Rileks, jangan gugup.” Buru-buru Adam menyarankan bersama suara lembutnya itu. “Tetap tenang, aku akan menunggu sampai kau mengatakan semuanya.”
Helaan napas Daphne terdengar baik di telinganya. “Uhm, aku sudah memutuskan untuk … menerimanya. Aku mau.”
“Mau?” ulang Adam.
“Yeah, maksudku aku menerima penawaranmu dan Mosha. Aku akan memberikan kalian anak dan tolong lunasi utang-utang Nolan secepatnya. Kumohon ….”
Mata Adam memicing begitu mendengar suara Daphne terengah-engah seolah sedang menahan sakitnya. “Daph, kau baik-baik saja?” tanyanya khawatir.
“Ke mari sekarang juga, Adam!” teriak Daphne lantang di seberang sambungan.
“Segera hubungi aku, Nolan. Aku membutuhkanmu!”Daphne meremas rambutnya usai mengungkapkan kalimat permohonan melalui pesan suara yang dikirimkannya pada Nolan, kekasihnya. Sampai detik ini, pria itu tak kunjung muncul atau memberi kabar. Tepatnya semenjak para penagih utang datang dan menunjuk Daphne telah melakukan pinjaman besar, Nolan benar-benar menghilang—seolah ditelan bumi.“Ya Tuhan, kau benar-benar melakukan semua ini padaku ... Nolan?” decaknya sambil menahan air mata. Sampai bayangan Adam dan beberapa penawaran terbaik muncul di benaknya sekarang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya, membayar utang-utang kekasihku dengan cara mengandung anak Adam. Astaga ....”Baru Daphne merebahkan diri di sofa ruang tamunya, pintu digebrak dari luar. Lalu suara teriakan yang memanggil namanya pun menyusul tak lama kemudian. Daphne terhenyak, buru-buru bangkit dan mendekati pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya.“Akhirnya kau membukanya, Nona Emilyn Daphne.”Ia menahan na
Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya. “Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar. “Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.” Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?” Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne. Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“ “Semua am
Mungkin Adam benar-benar telah diperdaya. Ia bisa saja menolak dan meninggalkan Daphne setelah kecupan tak sengaja yang dilanjutkan dengan hal di luar duga. Bodohnya ia meminta lebih, memanfaatkan bagaimana kesempatan itu ada.“Daph ...” panggilnya lemah saat menatap Daphne yang wajahnya telah merah merona. Entah karena kepanasan atau sama terbakarnya seperti dirinya sekarang.Mata bulat itu membalas tatapnya cukup sendu. Bibirnya bergerak, tapi urung memberikan suara. Namun rupanya tangan mungil itu sudah beraksi di bawah sana, menyentuh milik Adam dari luar hingga mengacak-acak pertahanan.“Shit,” maki Adam sambil mengerang. “Daph, kau—“Daphne merendahkan diri. Wajahnya mengarah ke bagian bawah Adam dan refleks Adam membuka kedua kakinya seolah menyambut layanan si wanita. Kedua matanya memejam perlahan, menikmati tiap-tiap gerakan yang dibuat Daphne untuknya.Tubuhnya menegang bagai disengat lebah. Namun sengatan ini justru memabukkan. Remasan tangan Adam kian mengerat sejalan den
Adam mendekatkan jemarinya ke mulut, menggigiti kuku ketika gelisah menyerang. Sentuhan tangan Daphne masih membekas jelas di kepala, bahkan inti tubuhnya yang terus memunculkan tanda-tanda aneh. Tak biasanya ia bersikap seperti ini setelah berhubungan dengan wanita.Apalagi sensasinya sungguh liar dan menggaung seolah tak ingin dihempaskan. Pikirannya melulu tentang Daphne alih-alih Mosha, istrinya sendiri. Baru semalam ia menjamah istrinya, tapi kegiatan itu bagaikan rutinitas bukan kegiatan panas yang membakar kesadarannya seperti yang dilakukan Daphne padanya.“Sial, seperti anak remaja saja,” gumamnya dalam hati tentang sikapnya ini. “Kau bisa melakukannya dengan Mosha berkali-kali, Bodoh!”Adam melepaskan jas dan memberikannya pada salah satu bawahan yang membukakan pintu mobil untuknya. Ia turun dan melangkah panjang ke dalam bangunan luas nan megah.“Nolan Wynn baru saja keluar dari motel, Tuan.” Hiro, asistennya menyambut kedatangannya di ruang kerja kantornya dengan sejumput
Daphne terpaku pada benda yang terus menyuarakan dering telepon. Menampilkan nama Nolan yang tertera jelas di sana. Pedih dan bimbang ketika ia membiarkannya sampai layar redup dan dring tak lagi terdengar.“Kenapa tidak diangkat, Nona?” Kepala Maria menyembul di depannya sejalan dengan suara wanita itu yang tertetangkap telinga.Daphne membuang napas kasar, menoleh dan menatap Maria. “Kau pasti mendengar semuanya soal bagaimana Adam yang melarangku.”Ia sudah pasrah dengan pembicaraan yang diisi debat panas bersama Adam tadi akan didengar Maria dengan jelas. Ia pun tak peduli bagaimana tanggapan Maria tentangnya setelah itu.Maria mengangguk pelan. “Apa yang dikatakan Tuan mungkin ada benarnya, tapi semua itu kembali pada keputusan Nona.” Wanita itu beringsut ke samping Daphne. “Nona berhak atas semua itu, ‘kan?”Setelah menghadapi kekesalan serius yang memenuhi benaknya, Daphne menarik napas dalam-dalam. Mulai merasa lega.“Kau benar.” Senyum samar sedikit terukir di bibirnya. “Apa
“Aku dengar, apa kau mengikuti Nolan Wynn?”Mendengar nama kekasih Daphne disebut, punggung Adam terasa basah. Gugup menyerang ketika Mosha menatapnya lurus melalui pantulan cermin.“Hmm, ya.” Adam menghentikan gerak tangannya saat mengenakan arloji dan bergerak memutar ke belakang untuk menghadapi Mosha. “Aku pikir itu perlu dilakukan agar Daphne bisa fokus dengan pekerjaannya. Sampai anakku lahir nanti.” “Tapi kurasa itu berlebihan.” Mosha menelengkan kepala. “Kau terlihat ikut campur dengan kehidupan pribadi Emilyn Daphne.”“Aku hanya mengurangi resiko, My Love,” kata Adam melembut sambil mendekati Mosha yang masih mengenakan gaun tidur. “Kalau Nolan berani mendekati Daphne dan mengacaukan semuanya, rencana kita tidak akan berhasil.”“Mengurangi resiko, ya?” ulang Mosha dengan suara menekan dan penuh intimidasi. “Aku melihatnya lain dari sorot matamu, Adam. Kau begitu peduli dengan Daphne alih-alih istri sendiri.”Adam membuang napas pelan, lalu menyangkal, “Jangan berlebihan, Mosh
Bab 11.Pandangan Daphne masih terpaku pada tautan yang dibuat Adam di tangannya. Saat ia sudah naik ke mobil pun, Adam belum melepaskannya sama sekali. Jika alasannya karena Nolan, bukankah seharusnya pria itu mengakhirinya begitu duduk di mobil seperti sekarang?“Aku akan tinggal sedikit lebih lama,” kata Adam pada asisten pribadinya yang sigap membukakan pintu begitu tiba di lobi apartemen.“Baik, Tuan.”Adam menoleh ke arahnya sekilas sambil mengeratkan pegangan. Tanpa banyak bicara, ia melangkah di belakang pria itu hingga memasuki kotak besi menuju lantai yang dituju.“Bisakah kau melepaskan tanganmu dariku?” tanya Daphne lirih sambil menatap jemari Adam yang masih tersemat cincin pernikahan.“O-oh, maafkan aku!” seru Adam yang sontak melepaskan tangan Daphne. Ia menatap telapak tangan sekilas sebelum memasukkanya ke dalam saku celana. “Aku tidak menyangka Nolan akan menemuimu pagi ini.”“Well, itulah yang dilakukan pria pada kekasihnya,” balas Daphne sedikit menyombongkan diri.
12“Akhir-akhir ini kau pulang terlambat, Adam,” singgung Mosha yang duduk di ruang tengah begitu Adam memasuki kediamannya. “Apa begitu banyak masalah di perusahaan dan kau yang turun tangan menyelesaikan semuanya?”Adam menelan ludah mendapati perkataan penuh sindiran dari sang istri. Ia merangkum wajah Mosha ketika berdiri di hadapan wanita itu setelah buru-buru menghampiri. Jas yang dikenakannya perlahan dilepas dan diberikan pada sang istri, mengingat musim dingin mulai tiba.Urung membalas, Adam merangkul pinggul istrinya dan mengajaknya masuk ke kamar. Ia tak ingin membuat pelayan heboh bergosip tentang hubungannya di rumah. Apalagi kalau sampai hal itu didengar orang tuanya, ia mungkin langsung dipanggil untuk menghadap.“Maafkan aku, My Love.” Adam menangkup wajah Mosha yang kecil begitu berhasil menutup pintu kamar rapat-rapat. “Aku harus membagi jadwal untuk ke apartemen Daphne.”Selalu ada ketakutan dan kekhawatiran yang menyerang benak Adam ketika Mosha menyambutnya denga
Ini hari kesekian Adam mengunjungi Daphne di apartemen. Mereka terus melakukannya sampai tanda-tanda kehamilan muncul. Daphne tak lagi mengeluhkan apa pun, ia bertahan dan menghadapi segalanya bersama Adam.“Kau akan langsung pergi setelah ini?” tanya Daphne sambil menyentuh lengan Adam yang kala itu hendak beringsut dari ranjang. “Tidakkah kau ingin tinggal sebentar di sini?”Adam menoleh sesaat dan melemparkan senyum tipis. Pria berkulit eksotis itu meraih tangan Daphne dan menyingkirkan dari lengannya pelan.“Ada banyak pekerjaan di kantor, kalau kau butuh sesuatu bilang saja pada Maria,” tandas Adam yang gelagatnya makin menarik diri—setiap hari. “Atau pada asisten pribadiku.”“Mosha sedang berkeliling luar negeri untuk menyelesaikan lukisannya, Adam.” Daphne menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Tinggallah di sini sebentar saja. Aku hanya ingin melihatmu lebih lama, tidak seperti ini.”“Daph, kau tau semua ini kesalahan?”Suara Adam yang berat itu menyapu ruangan. Sesaat pria
Taman di area apartemen mewah yang ditinggalinya cukup menyita perhatian. Ada banyak hal yang bisa digalinya dengan baik, terutama pemandangan dengan berbagai bunga. Daphne tersenyum senang. Ini sudah dua kalinya ia keluar unit dan menyambangi taman bunga tersebut. Daripada berdiam diri di apartemen dan menghabiskan waktu menonton drama, lebih baik seperti ini."Tuan Adam ada di sini, Nona." Suara Maria mengalun pelan tepat di sebelah telinga kanan Daphne. "Mungkin dalam beberapa menit akan sampai."Daphne berjengkit kemudian. Ia lekas menoleh pada Maria yang tersenyum senang padanya."Dia benar-benar datang?" tanyanya tak percaya. Begitu mendapat anggukan dari Maria, Daphne pun yakin. "Kita harus kembali ke unit, Maria. Sekarang!"Maria menggeleng sambil menyentuh lengan Daphne pelan. "Tuan akan ke mari. Dia sudah tahu kau ada di sini, Nona.""Benarkah?" Gelenyar hangat dan membahagiakan memenuhi benak Daphne. Ia sudah menunggu kehadiran Adam dalam waktu cukup lama. Lalu sekarang,
Adam menghampiri Mosha yang fokus dengan peralatan lukisnya. Wanita itu telah menghabiskan beberapa hari di ruang sendiri untuk menggoreskan kuas di atas kanvas putih. Dan itu membuat hubungan Adam dan Mosha kian renggang.“Aku membuatkan makan malam untukmu, kau mau mencobanya sedikit?” tanyanya setelah memerhatikan Mosha dari belakang dan berani lebih mendekat.Tanpa menoleh, Mosha menjawab, “Taruh saja di meja, aku akan memakannya nanti.”“Akhir-akhir ini kau selalu sibuk,” tukas Adam yang kini memberanikan diri bersisian dengan Mosha. “Apa yang sedang kau kerjakan, My Love?”Tubuh Adam direndahkan untuk bisa melihat hasil lukisan sang istri dengan baik. Tentunya ingin lebih memahami makna yang dilukis sang istri.Namun baru beberapa detik, Mosha menyingkirkan kanvas itu dan meletakkanya di lantai. Seolah tak berharga sama sekali.“Aku mencoba melukis lagi,” balas Mosha seraya bangkit dan membelakangi Adam. “Beberapa galeri menanyakanku.”Adam menatap punggung Mosha yang dibalut ou
"Kudengar program soal wanita sewaan yang akan melahirkan keturunan Livingston gagal?"Adam berusaha tenang menghadapi sindiran dari ayah mertuanya. Setelah Adam pergi meninggalkan Mosha di negeri orang karena Daphne, sudah sepantasnya ia mendapatkan tanggapan negatif dari orang tua sang istri—seperti sekarang."Apa kau akan mengulangi lagi dari awal atau mencari wanita yang lebih subur dan mandiri?"Adam menelan ludah, tapi rautnya masih cukup terlihat tenang di atas bangkunya. Ia sempat menatap Mosha yang tetap diam seperti boneka dengan gaun peraknya yang tampak elegan.Wanita itu rupanya tetap datang, bahkan setelah kejadian pilu ini. Ingin sekali Adam menanyakan kabar Mosha dan apa yang tengah dirasakan wanita itu, tapi jarak duduk mereka terlampau jauh. Mosha menempati kursi di ujung, sementara Adam diapit kedua orang tuanya.Sampai kemudian, ibu Mosha angkat suara dan ikut mengompori, "Setidaknya jangan asal merekrut wanita yang manja dan membuat istrimu cemburu. Kau tentu mas
“Kau bicara apa, sih?”Adam mendengkus dan memalingkan wajah ke lain sisi alih-alih membalas tatapan pongah Tabitha.Pria itu sepertinya sudah siap menyangkal apa pun yang dituduhkan Tabitha. Salah satunya soal dugaan perasaan khususnya pada Daphne yang terkesan konyol. “Tuan Adam Livingston, kau harus tahu aku melihat pakaian-pakaianmu di kamar Daphne. Bukankah itu tidak masuk akal kalau hubungan kalian sekadar partner bisnis?” Tabitha makin percaya diri saat melontarkan kata-katanya. “Kau bahkan meninggalkan pakaian dalammu!”Melihat hal itu, Daphne menghela napas. Tak percaya sahabatnya berani mengungkap fakta tentang Adam cukup blak-blakan.“Tabitha, hentikan—“ pinta Daphne yang kontan dipotong Tabitha bersama pelototan galaknya. “Berhentilah menutupi itu semua, Daph. Kalian ini benar-benar seperti anak remaja yang sedang menggebu-gebu untuk bercinta. Astaga ....” Tabitha bergidik ngeri menyaksikan Daphne dan Adam saling berubah malu-malu kucing. Sampai kemudian, Adam memaling
“Apa kau berniat mengakhiri ini semua?” Adam angkat suara setelah Tabitha keluar dari ruangan dengan wajah dongkol. “Tabitha ... apa yang dibicarakannya tadi, kau akan pergi?”Setelah memandangi pintu yang ditutup dari luar, tatapan Daphne beralih pada Adam. kepalanya mendongak karena perbedaan tinggi tubuh mereka sekarang.“Menurutmu?” tanya Daphne serak.Tangan Daphne menarik pinggiran kaus yang dikenakan Adam. Ia meremasnya kuat-kuat sejalan dengan nyeri yang makin terasa bersamaan dengan sosok pria itu yang kini kian mendekat padanya. Bahkan ia bisa merasakan aroma khas tubuh Adam dan sapuan napas berat sang pria yang dirindukannya.Tanpa meminta apa-apa, Adam merengkuhnya. Membawa tubuh Daphne dalam pelukan hangat untuk menguatkan. Sapuan di punggung terasa nyaman dan itulah yang Daphne butuhkan sejak lama.“Aku tidak tahu seperti apa ke depannya, Daph,” gumam Adam di sela pelukan.Napas Daphne tersumbat. Pipinya melekat pada dada bidang Adam yang membusung. “Bayinya ... bayimu s
Kedua tangan Daphne mencengkeram erat sisi bajunya yang telah diganti dengan yang baru. Lebih bersih dan tak lagi berbau anyir seperti sebelumnya.“Dengan berat hati, kami tidak bisa mempertahankannya, Nona,” ungkap dokter yang menanganinya dengan raut prihatin.Daphne tak sanggup melihat wanita itu. Ia memalingkan wajah dan menatap ke arah tirai yang menutupi jendela. Hari sudah petang dan langit mulai diserbu taburan bintang.Perihal kehilangan, sejauh ini Daphne sudah banyak melaluinya dengan batin lapang. Namun tidak secepat dan semenyesakkan ini. Ia baru menyadari kehadiran si janin dan mengakuinya sebagai darah dagingnya sendiri, tapi bayi itu pergi lebih cepat tanpa memberikan salam perpisahan.Sudah banyak air mata yang dikeluarkan. Mata Daphne memanas saat merasakan nyeri di batinnya. Ia meraba perutnya yang kembali rata dan kosong tanpa berpenghuni.“Terima kasih, Dokter,” kata Tabitha mewakili Daphne.Begitu dokter dan perawat keluar dari ruangan, Daphne menghalau matanya m
“Apa yang kau lakukan, Mosha?”Kening Adam masih berkerut dalam, kedua alisnya pun bertaut begitu membaca nama Daphne masuk ke daftar peneleponnya beberapa jam lalu. Tepatnya saat ia tertidur, wanita itu menelepon setelah sekian lama.Adam mengira semua ini mimpi karena selama ini Daphne tak mencarinya. Ia sendiri pun menghilang karena memikirkan perasaan sang istri. Namun sekarang, rasanya ia baru dikhianati karena Mosha menyembunyikan itu semua darinya—terutama tentang Daphne.Mosha meliriknya sesaat dan melanjutkan mengenakan rangkaian skin care ke wajah. Mata wanita itu menatapnya melalui pantulan cermin besar.“Kau tidak mau menjawabnya?” Adam bangkit sejalan dengan pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. “Kenapa kau tidak bilang kalau Daphne menghubungiku?”Adam makin geram, tapi tetap mencoba tenang. Bertahun-tahun mengenal Mosha, ia cukup paham menghadapi sang istri. Sekalipun kesabarannya makin menipis saat menyaksikan betapa santainya wanita itu merawat diri alih-alih menja
Daphne sudah mencobanya. Menyantap masakan Tabitha dan Maria, tapi hasilnya tetap sama. Ia kembali memuntahkan semuanya dan berakhir lemas di ranjang.“Bukankah kau harus ke rumah sakit?” kata Tabitha cemas.Daphne hanya menatap, tak sanggup menggeleng karena kepalanya kelewat pening. “Kupikir aku hanya butuh istirahat.”“Tapi keadaan Nona sangat buruk,” timpal Maria memberi komentar. “Saya akan coba menghubungi sopir agar bisa mengantar kita ke rumah sakit.”Satu tangan Daphne terangkat dan bergerak mengibas. “Biarkan aku istirahat lebih dulu, Maria,” pintanya lemah. “Maafkan aku sudah banyak merepotkan kalian.”Tabitha terdecak dan bergerak mendekati Daphne. “Hentikan rasa tak enakmu itu!” dengkusnya. “Kau harus bertahan, setidaknya untuk dirimu sendiri. Kau ingat ada bayi di dalam perutmu ini, ‘kan?”Tentu saja Daphne tak lupa. Ia juga berusaha mempertahankan bayi Adam, tapi usahanya justru belum membuahkan hasil. Sekarang ia hanya ingin berdiam diri dan beristirahat sejenak setela