Share

3. Kita Bisa Melakukannya Berkali-kali

“Mereka belum membayarmu sama sekali?”

Belum ada satu jam lamanya Daphne terlelap, dan kehadiran Tabitha–sahabat terbaiknya– membuat masa istirahatnya harus terjeda entah sampai kapan. Seharian kemarin setelah kejadian itu, Daphne kesulitan merasakan kantuk. Ia bersusah payah mengenyahkan pikiran sekaligus bayangan dari pasangan Livingston dari kepalanya dan berakhir terjaga sepanjang hari hingga kini.

“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau tidak menjelaskan semuanya?” balas Daphne ketus. “Soal kontrak itu … mereka memintaku hamil, bukan sekadar menjadi teman tidur pria kaya semalam.”

“Oh, itu?” Bibir Tabitha menganga, rautnya terlihat bersalah. “Memang kau tidak membaca semuanya?”

Daphne melempar kain tipis yang menghalau tubuhnya dari dinginnya angin. “Kau benar-benar teman yang buruk, Tab,” dengkusnya sambil menggeleng heran. “Aku meminta bantuan agar bisa membayar utang dan menghentikan seluruh teror ini. Aku lelah.”

Bahkan telepon-telepon dan pesan-pesan mengancam masih ia terima pagi ini. Belum lagi semalam, ada saja hal yang terlintas di kepalanya untuk mengakhiri hidup karena lelah. 

“Maafkan aku, Daph.” Tabitha bangkit, memeluk Daphne dari samping dengan suara lembut. “Tapi menurutku, ini jauh lebih baik. Kau bisa membayar utang Nolan dan membersihkan namamu secepat mungkin.”

Daphne tak mengelak perlakuan sahabatnya saat itu, ia hanya meliriknya tajam karena kurang setuju. “Walaupun dengan cara mengandung anak orang lain, begitu?” balasnya menyindir.

“Dia Livingston!” Suara Tabitha melengking. Terdengar antusias sekali. “Anakmu nanti akan ada garis keturunan bangsawan, Daph. Aku yakin hidupmu akan berubah setelah ini.”

Daphne menarik diri, melangkah mendekati jendela kamar. “Mimpiku bukan menjadi wanita simpanan bangsawan, Tab. Aku ingin jadi aktor terkenal,” tanggapnya penuh keyakinan.

“Daph, kau tahu itu sulit.”

Perjalanan karirnya memang tidak mudah. Daphne harus bersikeras menghadapi lawan aktor yang bernaung di agensi besar yang siap sedia mencarikan job. Sementara ia pontang-panting sendirian  mencarinya.

“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.” Daphne menyandarkan punggung di dinding. Lalu tubuhnya merosot dan duduk di atas ubin beralaskan karpet yang dulu dibelikan Nolan. 

Tak lama ponselnya berbunyi nyaring, lekas Daphne bangkit dan menyambar benda pipih itu dari nakas. Bahunya merosot ketika melihat nomor asing memanggilnya tanpa henti. Ia mendekati Tabitha dan memperlihatkan semuanya. 

“Lihat, penagih utang jahanam itu masih menelepon dan mengirimi pesan ancaman!” teriaknya frustasi.

Tabitha membuang napas dan menatapnya prihatin. “Jalan satu-satunya ambil kesempatan itu. Terima penawaran Livingston segera.”

“Tak pernah aku bayangkan akan hamil di usia sekarang.” Daphne mengerang, dua tangan menutupi wajah yang makin frustasi.

Sulit membayangkan bagaimana mengandung, melahirkan, bahkan mengurus bayi. Daphne tatap perutnya yang kurus, aneh benar menerima makhluk kecil akan hadir di sana jika perbuatan Adam berhasil.

“Bahkan anak-anak sekarang sebelum usia mereka legal pun sudah punya anak dua, Daph,” tanggap Tabitha santai. “Tunggu apa lagi?”

Sesaat Daphne menatap sahabatnya lekat. Ia mengerjapkan mata seraya mengalihkan pandangan ke ponsel di pangkuan. “Tab, beri aku waktu untuk berpikir.”

Tabitha memenuhi keinginan Daphne, menyediakan waktu memang, tapi hanya beberapa menit. Sebab wanita itu melontarkan suara cukup melengking tak lama kemudian.

“Oh, tidak!” Tabitha histeris sampai memegang kedua pipinya menggunakan tangan. “Lihat di bawah, ada mobil mewah yang sepertinya tamu spesial untukmu, Emilyn Daphne.”

Mata bulat Daphne melebar, bayangan Adam langsung terlintas begitu mendengar mobil mewah datang. Terlebih tamu spesial untuknya yang terucap dari mulut Tabitha. 

Daphne mendekat ke jendela. Tatapnya mengarah pada mobil yang ditunjuk Tabitha. “Oh, Tuhan,” ujar Daphne seraya menggigit ujung kukunya secara refleks.

“Itu Adam Livingston, bukan?” Tabitha menyengir senang. “Lihat, pria seksi itu keluar dari mobil mewah dengan kulit eksotis yang terbakar matahari. Ah, indah sekali.”

Bisa Daphne lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sosok Adam turun dari mobil. Pria itu mengenakan kemeja putih yang sedikit kontras dengan kulit tannya. Ia hampir mengangguk, menyetujui ucapan Tabitha karena hanyut dalam pesona Adam di bawah sana.

Lekas Daphne menimpali, “Hentikan pikiran mesummu itu, Tab.”

Sayangnya Tabitha belum mau berhenti, wanita itu menatapnya penuh kode menggelikan. “Apa kemampuannya di ranjang benar-benar—”

“Diamlah!” Daphne menyela cepat.

Tabitha hanya terkekeh. Lalu debat itu terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar. Daphne mendesah kasar, belum siap menerima tamu. Sekalipun itu adalah orang penting seperti Adam.

Daphne sengaja mengulur waktu, tapi usahanya gagal karena Tabitha diam-diam membukakan pintu. Saat wajah Adam terlihat, Daphne melangkah cepat dan mendahului Tabitha. 

“Untuk apa kau datang kemari?” sergah Daphne begitu berhadapan langsung dengan Adam. Ia perlu mendongakkan kepala agar bisa melihat dua mata cemerlang itu dari dekat.

“Bolehkah aku masuk lebih dulu?” pinta Adam dengan suara seraknya. Daphne menghela napas kasar sambil memutar kedua bola matanya malas. Lantas mengedik dan membiarkan Adam masuk. “Terima kasih, Daph.”

“Oh, hai, Tuan Livingston.” Di balik pintu, Tabitha menyapa Adam begitu pria itu berhasil memasuki teritorial Daphne.

“Ini temanku,” timpal Daphne cepat. 

Tabitha masih menyunggingkan senyum lebarnya yang aneh. “Tabitha Meyer,” katanya sambil merendahkan tubuh sesaat seperti kebiasaan orang-orang ketika bertemu keturunan bangsawan.

“Adam Livingston.” Adam membalas seolah tak keberatan sama sekali. Kepalanya terangguk sebentar dan menyibukkan diri dengan mengalihkan pandangan ke sekeliling, meneliti seluruh bagian tempat tinggal Daphne. 

“Aku tidak ada waktu untuk membuatkanmu teh,” tukas Daphne yang sontak menghentikan kegiatan Adam. “Jadi duduk dan cepat bicara. Apa yang kau inginkan?”

Adam membalikkan tubuh tegapnya dan menghadap Daphne sepenuhnya sebelum menduduki sofa. “Baiklah, aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja,” balasnya super lembut.

“Aku tidak hamil,” cetus Daphne terus terang. “Itu kan informasi yang kau ingin dengar?”

Melihat bagaimana orang penting dan menawan itu datang tiba-tiba begini ke tempat tinggalnya, Daphne paham sekali niat tersebut. Cara Adam, dari tatapan, suara, hingga gerak-geriknya masih sama. Namun ada yang membedakannya ketika Mosha turut serta.

Adam tampak tulus mencintai istrinya. Dan mungkin kesudiannya untuk datang ke apartemen Daphne adalah bentuk cinta Adam untuk Mosha—seorang.

“Belum hamil,” koreksi Adam cepat. “Benar, ‘kan?”

Bahu Daphne melorot kompak. “Adam.”

Pria itu menautkan jemari, matanya terarah lurus pada si tuan rumah. “Daph, aku akan bersikeras. Kita bisa melakukannya lagi,” bujuknya berusaha meyakinkan lagi dan lagi.

Tak jauh dari keberadaan mereka, Tabitha berdehem pendek. Seakan berusaha bergabung pada percakapan. “Kalian tidak akan melakukannya di sini, bukan?”

“Hentikan pikiran kotormu itu sekarang juga, Tab!” dengkus Daphne sebal yang lucunya, suhu tubuhnya mulai naik dan membuat pipinya panas sekarang.

“Daph—”

“Aku belum memutuskan apa pun, jadi kau bisa pulang sekarang,” potongnya langsung seraya membuang wajah ke sisi lain.

“Kalian sudah makan siang?” Alih-alih memenuhi ucapan Daphne, Adam justru mengalihkan topik dengan bahasan baru penuh basa-basi.

Mata Daphne melotot tajam sekarang. “Adam, kumohon—”

“Belum!” sembur Tabitha dengan raut tanpa dosanya. “Kebetulan kami sangat lapar, apalagi Daphne. Dia selalu berusaha untuk diet ketat.”

Bola mata Daphne memutar malas. “Jangan mengada-ada, Tab,” cebiknya pada Tabitha yang terus saja mencerocos. Melontarkan kata-kata yang merujuk padanya.

Ringannya tangan Adam memberikan satu kartu pada Tabitha tanpa banyak bicara. “Oke, aku akan memesan makanan lebih dulu dengan uang Tuan Livingston.” Seakan mengerti suasana hati Daphne, Tabitha pun berpamit. Ia menghampiri dan menepuk pundak Daphne sepintas. “Baik-baik di sini, Daphne.”

Daphne memandang kepergian Tabitha hingga keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Ada sisi hatinya yang lega selepas wanita itu pergi, tapi ia baru menyadari bahwa sekarang hanya ada Adam dan dirinya di satu atap.

“Jangan lakukan itu lagi, Daph,” gumam Adam kemudian.

Daphne menoleh dengan kening berkerut. “Apa?”

“Diet ketat. Kupikir, tubuhmu sudah cukup bagus.”

Daphne mendengkus kesal. “Hentikan tatapanmu itu, Adam.”

Daphne akui, ia tak bisa berlama-lama menghadapi dua mata cemerlang Adam yang kerap memabukan itu. Saat kejadian malam tersebut, mustahil bagi Daphne untuk melupakan segala apa yang terjadi di antara keduanya.

Dimulai dari sentuhan lembut, perlakuan Adam, suara berat yang mendesah di telinganya, Daphne ingat segalanya. Sampai kegilaan itu menariknya dari realita. Kenyataan bahwa Adam milik orang lain dan sikap Adam hanyalah siasat belaka yang dibuat Mosha.

“Kenapa dengan tatapanku?” Adam menaikkan kedua tangan, bertanya-tanya.

“Berhenti menatap seolah kau sudah melihat tubuhku tanpa busana.”

“Memang begitu adanya.” Adam terkekeh kecil. Sorot matanya yang dalam dan hangat itu menusuk pertahanan Daphne. “Kita sudah melakukan hal-hal yang menyenangkan, kau bahkan memanggil namaku di antara lenguhanmu.”

Dan Daphne membencinya. “Bisa kau pergi sekarang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status