“Mereka belum membayarmu sama sekali?”
Belum ada satu jam lamanya Daphne terlelap, dan kehadiran Tabitha–sahabat terbaiknya– membuat masa istirahatnya harus terjeda entah sampai kapan. Seharian kemarin setelah kejadian itu, Daphne kesulitan merasakan kantuk. Ia bersusah payah mengenyahkan pikiran sekaligus bayangan dari pasangan Livingston dari kepalanya dan berakhir terjaga sepanjang hari hingga kini.
“Seharusnya aku yang bertanya, kenapa kau tidak menjelaskan semuanya?” balas Daphne ketus. “Soal kontrak itu … mereka memintaku hamil, bukan sekadar menjadi teman tidur pria kaya semalam.”
“Oh, itu?” Bibir Tabitha menganga, rautnya terlihat bersalah. “Memang kau tidak membaca semuanya?”
Daphne melempar kain tipis yang menghalau tubuhnya dari dinginnya angin. “Kau benar-benar teman yang buruk, Tab,” dengkusnya sambil menggeleng heran. “Aku meminta bantuan agar bisa membayar utang dan menghentikan seluruh teror ini. Aku lelah.”
Bahkan telepon-telepon dan pesan-pesan mengancam masih ia terima pagi ini. Belum lagi semalam, ada saja hal yang terlintas di kepalanya untuk mengakhiri hidup karena lelah.
“Maafkan aku, Daph.” Tabitha bangkit, memeluk Daphne dari samping dengan suara lembut. “Tapi menurutku, ini jauh lebih baik. Kau bisa membayar utang Nolan dan membersihkan namamu secepat mungkin.”
Daphne tak mengelak perlakuan sahabatnya saat itu, ia hanya meliriknya tajam karena kurang setuju. “Walaupun dengan cara mengandung anak orang lain, begitu?” balasnya menyindir.
“Dia Livingston!” Suara Tabitha melengking. Terdengar antusias sekali. “Anakmu nanti akan ada garis keturunan bangsawan, Daph. Aku yakin hidupmu akan berubah setelah ini.”
Daphne menarik diri, melangkah mendekati jendela kamar. “Mimpiku bukan menjadi wanita simpanan bangsawan, Tab. Aku ingin jadi aktor terkenal,” tanggapnya penuh keyakinan.
“Daph, kau tahu itu sulit.”
Perjalanan karirnya memang tidak mudah. Daphne harus bersikeras menghadapi lawan aktor yang bernaung di agensi besar yang siap sedia mencarikan job. Sementara ia pontang-panting sendirian mencarinya.
“Aku tidak tahu harus bagaimana lagi.” Daphne menyandarkan punggung di dinding. Lalu tubuhnya merosot dan duduk di atas ubin beralaskan karpet yang dulu dibelikan Nolan.
Tak lama ponselnya berbunyi nyaring, lekas Daphne bangkit dan menyambar benda pipih itu dari nakas. Bahunya merosot ketika melihat nomor asing memanggilnya tanpa henti. Ia mendekati Tabitha dan memperlihatkan semuanya.
“Lihat, penagih utang jahanam itu masih menelepon dan mengirimi pesan ancaman!” teriaknya frustasi.
Tabitha membuang napas dan menatapnya prihatin. “Jalan satu-satunya ambil kesempatan itu. Terima penawaran Livingston segera.”
“Tak pernah aku bayangkan akan hamil di usia sekarang.” Daphne mengerang, dua tangan menutupi wajah yang makin frustasi.
Sulit membayangkan bagaimana mengandung, melahirkan, bahkan mengurus bayi. Daphne tatap perutnya yang kurus, aneh benar menerima makhluk kecil akan hadir di sana jika perbuatan Adam berhasil.
“Bahkan anak-anak sekarang sebelum usia mereka legal pun sudah punya anak dua, Daph,” tanggap Tabitha santai. “Tunggu apa lagi?”
Sesaat Daphne menatap sahabatnya lekat. Ia mengerjapkan mata seraya mengalihkan pandangan ke ponsel di pangkuan. “Tab, beri aku waktu untuk berpikir.”
Tabitha memenuhi keinginan Daphne, menyediakan waktu memang, tapi hanya beberapa menit. Sebab wanita itu melontarkan suara cukup melengking tak lama kemudian.
“Oh, tidak!” Tabitha histeris sampai memegang kedua pipinya menggunakan tangan. “Lihat di bawah, ada mobil mewah yang sepertinya tamu spesial untukmu, Emilyn Daphne.”
Mata bulat Daphne melebar, bayangan Adam langsung terlintas begitu mendengar mobil mewah datang. Terlebih tamu spesial untuknya yang terucap dari mulut Tabitha.
Daphne mendekat ke jendela. Tatapnya mengarah pada mobil yang ditunjuk Tabitha. “Oh, Tuhan,” ujar Daphne seraya menggigit ujung kukunya secara refleks.
“Itu Adam Livingston, bukan?” Tabitha menyengir senang. “Lihat, pria seksi itu keluar dari mobil mewah dengan kulit eksotis yang terbakar matahari. Ah, indah sekali.”
Bisa Daphne lihat dengan mata kepala sendiri bagaimana sosok Adam turun dari mobil. Pria itu mengenakan kemeja putih yang sedikit kontras dengan kulit tannya. Ia hampir mengangguk, menyetujui ucapan Tabitha karena hanyut dalam pesona Adam di bawah sana.
Lekas Daphne menimpali, “Hentikan pikiran mesummu itu, Tab.”
Sayangnya Tabitha belum mau berhenti, wanita itu menatapnya penuh kode menggelikan. “Apa kemampuannya di ranjang benar-benar—”
“Diamlah!” Daphne menyela cepat.
Tabitha hanya terkekeh. Lalu debat itu terhenti ketika suara ketukan pintu terdengar. Daphne mendesah kasar, belum siap menerima tamu. Sekalipun itu adalah orang penting seperti Adam.
Daphne sengaja mengulur waktu, tapi usahanya gagal karena Tabitha diam-diam membukakan pintu. Saat wajah Adam terlihat, Daphne melangkah cepat dan mendahului Tabitha.
“Untuk apa kau datang kemari?” sergah Daphne begitu berhadapan langsung dengan Adam. Ia perlu mendongakkan kepala agar bisa melihat dua mata cemerlang itu dari dekat.
“Bolehkah aku masuk lebih dulu?” pinta Adam dengan suara seraknya. Daphne menghela napas kasar sambil memutar kedua bola matanya malas. Lantas mengedik dan membiarkan Adam masuk. “Terima kasih, Daph.”
“Oh, hai, Tuan Livingston.” Di balik pintu, Tabitha menyapa Adam begitu pria itu berhasil memasuki teritorial Daphne.
“Ini temanku,” timpal Daphne cepat.
Tabitha masih menyunggingkan senyum lebarnya yang aneh. “Tabitha Meyer,” katanya sambil merendahkan tubuh sesaat seperti kebiasaan orang-orang ketika bertemu keturunan bangsawan.
“Adam Livingston.” Adam membalas seolah tak keberatan sama sekali. Kepalanya terangguk sebentar dan menyibukkan diri dengan mengalihkan pandangan ke sekeliling, meneliti seluruh bagian tempat tinggal Daphne.
“Aku tidak ada waktu untuk membuatkanmu teh,” tukas Daphne yang sontak menghentikan kegiatan Adam. “Jadi duduk dan cepat bicara. Apa yang kau inginkan?”
Adam membalikkan tubuh tegapnya dan menghadap Daphne sepenuhnya sebelum menduduki sofa. “Baiklah, aku hanya ingin memastikan dirimu baik-baik saja,” balasnya super lembut.
“Aku tidak hamil,” cetus Daphne terus terang. “Itu kan informasi yang kau ingin dengar?”
Melihat bagaimana orang penting dan menawan itu datang tiba-tiba begini ke tempat tinggalnya, Daphne paham sekali niat tersebut. Cara Adam, dari tatapan, suara, hingga gerak-geriknya masih sama. Namun ada yang membedakannya ketika Mosha turut serta.
Adam tampak tulus mencintai istrinya. Dan mungkin kesudiannya untuk datang ke apartemen Daphne adalah bentuk cinta Adam untuk Mosha—seorang.
“Belum hamil,” koreksi Adam cepat. “Benar, ‘kan?”
Bahu Daphne melorot kompak. “Adam.”
Pria itu menautkan jemari, matanya terarah lurus pada si tuan rumah. “Daph, aku akan bersikeras. Kita bisa melakukannya lagi,” bujuknya berusaha meyakinkan lagi dan lagi.
Tak jauh dari keberadaan mereka, Tabitha berdehem pendek. Seakan berusaha bergabung pada percakapan. “Kalian tidak akan melakukannya di sini, bukan?”
“Hentikan pikiran kotormu itu sekarang juga, Tab!” dengkus Daphne sebal yang lucunya, suhu tubuhnya mulai naik dan membuat pipinya panas sekarang.
“Daph—”
“Aku belum memutuskan apa pun, jadi kau bisa pulang sekarang,” potongnya langsung seraya membuang wajah ke sisi lain.
“Kalian sudah makan siang?” Alih-alih memenuhi ucapan Daphne, Adam justru mengalihkan topik dengan bahasan baru penuh basa-basi.
Mata Daphne melotot tajam sekarang. “Adam, kumohon—”
“Belum!” sembur Tabitha dengan raut tanpa dosanya. “Kebetulan kami sangat lapar, apalagi Daphne. Dia selalu berusaha untuk diet ketat.”
Bola mata Daphne memutar malas. “Jangan mengada-ada, Tab,” cebiknya pada Tabitha yang terus saja mencerocos. Melontarkan kata-kata yang merujuk padanya.
Ringannya tangan Adam memberikan satu kartu pada Tabitha tanpa banyak bicara. “Oke, aku akan memesan makanan lebih dulu dengan uang Tuan Livingston.” Seakan mengerti suasana hati Daphne, Tabitha pun berpamit. Ia menghampiri dan menepuk pundak Daphne sepintas. “Baik-baik di sini, Daphne.”
Daphne memandang kepergian Tabitha hingga keluar dan menutup pintu rapat-rapat. Ada sisi hatinya yang lega selepas wanita itu pergi, tapi ia baru menyadari bahwa sekarang hanya ada Adam dan dirinya di satu atap.
“Jangan lakukan itu lagi, Daph,” gumam Adam kemudian.
Daphne menoleh dengan kening berkerut. “Apa?”
“Diet ketat. Kupikir, tubuhmu sudah cukup bagus.”
Daphne mendengkus kesal. “Hentikan tatapanmu itu, Adam.”
Daphne akui, ia tak bisa berlama-lama menghadapi dua mata cemerlang Adam yang kerap memabukan itu. Saat kejadian malam tersebut, mustahil bagi Daphne untuk melupakan segala apa yang terjadi di antara keduanya.
Dimulai dari sentuhan lembut, perlakuan Adam, suara berat yang mendesah di telinganya, Daphne ingat segalanya. Sampai kegilaan itu menariknya dari realita. Kenyataan bahwa Adam milik orang lain dan sikap Adam hanyalah siasat belaka yang dibuat Mosha.
“Kenapa dengan tatapanku?” Adam menaikkan kedua tangan, bertanya-tanya.
“Berhenti menatap seolah kau sudah melihat tubuhku tanpa busana.”
“Memang begitu adanya.” Adam terkekeh kecil. Sorot matanya yang dalam dan hangat itu menusuk pertahanan Daphne. “Kita sudah melakukan hal-hal yang menyenangkan, kau bahkan memanggil namaku di antara lenguhanmu.”
Dan Daphne membencinya. “Bisa kau pergi sekarang?”
“Aku tidak bisa hamil anakmu,” cetus Daphne dengan perasaan lega setelah menahan sesak dua hari ini. “Lebih tepatnya, sulit bagiku membayangkan hamil di usia sekarang.”Tatapan Adam tak terlepas darinya. Pria itu masih diam, seolah sedang sibuk menimbang-nimbang jawaban tepat tanpa menyinggung siapa pun.“Akan ada orang yang membantumu, Daph.” Suara itu melembut seperti kapas di telinga Daphne. “Termasuk aku. Sesuai yang tertulis di kontrak, aku akan datang ke tempat tinggalmu tiga sampai empat kali dalam seminggu.”Daphne terkekeh miris. Nasibnya kelewat sial sampai berhadapan dengan keluarga sepenting Livingston begini. “Masih ada hal yang ingin aku capai. Impian, kebahagian, dan segalanya, Adam,” balasnya menekan. “Kau tidak akan mengerti karena begitu kau lahir, semua hal di dunia ini mampu kau miliki dengan mudah.”Mata cemerlang Adam yang kerap menghipnotis Daphne mengerjap pelan. “Tapi tidak dengan keturunan.” Bibirnya mengukir senyum tipis. “Hanya kau satu-satunya yang bisa di
“Segera hubungi aku, Nolan. Aku membutuhkanmu!”Daphne meremas rambutnya usai mengungkapkan kalimat permohonan melalui pesan suara yang dikirimkannya pada Nolan, kekasihnya. Sampai detik ini, pria itu tak kunjung muncul atau memberi kabar. Tepatnya semenjak para penagih utang datang dan menunjuk Daphne telah melakukan pinjaman besar, Nolan benar-benar menghilang—seolah ditelan bumi.“Ya Tuhan, kau benar-benar melakukan semua ini padaku ... Nolan?” decaknya sambil menahan air mata. Sampai bayangan Adam dan beberapa penawaran terbaik muncul di benaknya sekarang. “Aku tidak yakin bisa melakukannya, membayar utang-utang kekasihku dengan cara mengandung anak Adam. Astaga ....”Baru Daphne merebahkan diri di sofa ruang tamunya, pintu digebrak dari luar. Lalu suara teriakan yang memanggil namanya pun menyusul tak lama kemudian. Daphne terhenyak, buru-buru bangkit dan mendekati pintu. Ia menarik napas dalam-dalam sebelum membukanya.“Akhirnya kau membukanya, Nona Emilyn Daphne.”Ia menahan na
Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya. “Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar. “Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.” Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?” Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne. Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“ “Semua am
Mungkin Adam benar-benar telah diperdaya. Ia bisa saja menolak dan meninggalkan Daphne setelah kecupan tak sengaja yang dilanjutkan dengan hal di luar duga. Bodohnya ia meminta lebih, memanfaatkan bagaimana kesempatan itu ada.“Daph ...” panggilnya lemah saat menatap Daphne yang wajahnya telah merah merona. Entah karena kepanasan atau sama terbakarnya seperti dirinya sekarang.Mata bulat itu membalas tatapnya cukup sendu. Bibirnya bergerak, tapi urung memberikan suara. Namun rupanya tangan mungil itu sudah beraksi di bawah sana, menyentuh milik Adam dari luar hingga mengacak-acak pertahanan.“Shit,” maki Adam sambil mengerang. “Daph, kau—“Daphne merendahkan diri. Wajahnya mengarah ke bagian bawah Adam dan refleks Adam membuka kedua kakinya seolah menyambut layanan si wanita. Kedua matanya memejam perlahan, menikmati tiap-tiap gerakan yang dibuat Daphne untuknya.Tubuhnya menegang bagai disengat lebah. Namun sengatan ini justru memabukkan. Remasan tangan Adam kian mengerat sejalan den
Adam mendekatkan jemarinya ke mulut, menggigiti kuku ketika gelisah menyerang. Sentuhan tangan Daphne masih membekas jelas di kepala, bahkan inti tubuhnya yang terus memunculkan tanda-tanda aneh. Tak biasanya ia bersikap seperti ini setelah berhubungan dengan wanita.Apalagi sensasinya sungguh liar dan menggaung seolah tak ingin dihempaskan. Pikirannya melulu tentang Daphne alih-alih Mosha, istrinya sendiri. Baru semalam ia menjamah istrinya, tapi kegiatan itu bagaikan rutinitas bukan kegiatan panas yang membakar kesadarannya seperti yang dilakukan Daphne padanya.“Sial, seperti anak remaja saja,” gumamnya dalam hati tentang sikapnya ini. “Kau bisa melakukannya dengan Mosha berkali-kali, Bodoh!”Adam melepaskan jas dan memberikannya pada salah satu bawahan yang membukakan pintu mobil untuknya. Ia turun dan melangkah panjang ke dalam bangunan luas nan megah.“Nolan Wynn baru saja keluar dari motel, Tuan.” Hiro, asistennya menyambut kedatangannya di ruang kerja kantornya dengan sejumput
Daphne terpaku pada benda yang terus menyuarakan dering telepon. Menampilkan nama Nolan yang tertera jelas di sana. Pedih dan bimbang ketika ia membiarkannya sampai layar redup dan dring tak lagi terdengar.“Kenapa tidak diangkat, Nona?” Kepala Maria menyembul di depannya sejalan dengan suara wanita itu yang tertetangkap telinga.Daphne membuang napas kasar, menoleh dan menatap Maria. “Kau pasti mendengar semuanya soal bagaimana Adam yang melarangku.”Ia sudah pasrah dengan pembicaraan yang diisi debat panas bersama Adam tadi akan didengar Maria dengan jelas. Ia pun tak peduli bagaimana tanggapan Maria tentangnya setelah itu.Maria mengangguk pelan. “Apa yang dikatakan Tuan mungkin ada benarnya, tapi semua itu kembali pada keputusan Nona.” Wanita itu beringsut ke samping Daphne. “Nona berhak atas semua itu, ‘kan?”Setelah menghadapi kekesalan serius yang memenuhi benaknya, Daphne menarik napas dalam-dalam. Mulai merasa lega.“Kau benar.” Senyum samar sedikit terukir di bibirnya. “Apa
“Aku dengar, apa kau mengikuti Nolan Wynn?”Mendengar nama kekasih Daphne disebut, punggung Adam terasa basah. Gugup menyerang ketika Mosha menatapnya lurus melalui pantulan cermin.“Hmm, ya.” Adam menghentikan gerak tangannya saat mengenakan arloji dan bergerak memutar ke belakang untuk menghadapi Mosha. “Aku pikir itu perlu dilakukan agar Daphne bisa fokus dengan pekerjaannya. Sampai anakku lahir nanti.” “Tapi kurasa itu berlebihan.” Mosha menelengkan kepala. “Kau terlihat ikut campur dengan kehidupan pribadi Emilyn Daphne.”“Aku hanya mengurangi resiko, My Love,” kata Adam melembut sambil mendekati Mosha yang masih mengenakan gaun tidur. “Kalau Nolan berani mendekati Daphne dan mengacaukan semuanya, rencana kita tidak akan berhasil.”“Mengurangi resiko, ya?” ulang Mosha dengan suara menekan dan penuh intimidasi. “Aku melihatnya lain dari sorot matamu, Adam. Kau begitu peduli dengan Daphne alih-alih istri sendiri.”Adam membuang napas pelan, lalu menyangkal, “Jangan berlebihan, Mosh
Bab 11.Pandangan Daphne masih terpaku pada tautan yang dibuat Adam di tangannya. Saat ia sudah naik ke mobil pun, Adam belum melepaskannya sama sekali. Jika alasannya karena Nolan, bukankah seharusnya pria itu mengakhirinya begitu duduk di mobil seperti sekarang?“Aku akan tinggal sedikit lebih lama,” kata Adam pada asisten pribadinya yang sigap membukakan pintu begitu tiba di lobi apartemen.“Baik, Tuan.”Adam menoleh ke arahnya sekilas sambil mengeratkan pegangan. Tanpa banyak bicara, ia melangkah di belakang pria itu hingga memasuki kotak besi menuju lantai yang dituju.“Bisakah kau melepaskan tanganmu dariku?” tanya Daphne lirih sambil menatap jemari Adam yang masih tersemat cincin pernikahan.“O-oh, maafkan aku!” seru Adam yang sontak melepaskan tangan Daphne. Ia menatap telapak tangan sekilas sebelum memasukkanya ke dalam saku celana. “Aku tidak menyangka Nolan akan menemuimu pagi ini.”“Well, itulah yang dilakukan pria pada kekasihnya,” balas Daphne sedikit menyombongkan diri.
Ini hari kesekian Adam mengunjungi Daphne di apartemen. Mereka terus melakukannya sampai tanda-tanda kehamilan muncul. Daphne tak lagi mengeluhkan apa pun, ia bertahan dan menghadapi segalanya bersama Adam.“Kau akan langsung pergi setelah ini?” tanya Daphne sambil menyentuh lengan Adam yang kala itu hendak beringsut dari ranjang. “Tidakkah kau ingin tinggal sebentar di sini?”Adam menoleh sesaat dan melemparkan senyum tipis. Pria berkulit eksotis itu meraih tangan Daphne dan menyingkirkan dari lengannya pelan.“Ada banyak pekerjaan di kantor, kalau kau butuh sesuatu bilang saja pada Maria,” tandas Adam yang gelagatnya makin menarik diri—setiap hari. “Atau pada asisten pribadiku.”“Mosha sedang berkeliling luar negeri untuk menyelesaikan lukisannya, Adam.” Daphne menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Tinggallah di sini sebentar saja. Aku hanya ingin melihatmu lebih lama, tidak seperti ini.”“Daph, kau tau semua ini kesalahan?”Suara Adam yang berat itu menyapu ruangan. Sesaat pria
Taman di area apartemen mewah yang ditinggalinya cukup menyita perhatian. Ada banyak hal yang bisa digalinya dengan baik, terutama pemandangan dengan berbagai bunga. Daphne tersenyum senang. Ini sudah dua kalinya ia keluar unit dan menyambangi taman bunga tersebut. Daripada berdiam diri di apartemen dan menghabiskan waktu menonton drama, lebih baik seperti ini."Tuan Adam ada di sini, Nona." Suara Maria mengalun pelan tepat di sebelah telinga kanan Daphne. "Mungkin dalam beberapa menit akan sampai."Daphne berjengkit kemudian. Ia lekas menoleh pada Maria yang tersenyum senang padanya."Dia benar-benar datang?" tanyanya tak percaya. Begitu mendapat anggukan dari Maria, Daphne pun yakin. "Kita harus kembali ke unit, Maria. Sekarang!"Maria menggeleng sambil menyentuh lengan Daphne pelan. "Tuan akan ke mari. Dia sudah tahu kau ada di sini, Nona.""Benarkah?" Gelenyar hangat dan membahagiakan memenuhi benak Daphne. Ia sudah menunggu kehadiran Adam dalam waktu cukup lama. Lalu sekarang,
Adam menghampiri Mosha yang fokus dengan peralatan lukisnya. Wanita itu telah menghabiskan beberapa hari di ruang sendiri untuk menggoreskan kuas di atas kanvas putih. Dan itu membuat hubungan Adam dan Mosha kian renggang.“Aku membuatkan makan malam untukmu, kau mau mencobanya sedikit?” tanyanya setelah memerhatikan Mosha dari belakang dan berani lebih mendekat.Tanpa menoleh, Mosha menjawab, “Taruh saja di meja, aku akan memakannya nanti.”“Akhir-akhir ini kau selalu sibuk,” tukas Adam yang kini memberanikan diri bersisian dengan Mosha. “Apa yang sedang kau kerjakan, My Love?”Tubuh Adam direndahkan untuk bisa melihat hasil lukisan sang istri dengan baik. Tentunya ingin lebih memahami makna yang dilukis sang istri.Namun baru beberapa detik, Mosha menyingkirkan kanvas itu dan meletakkanya di lantai. Seolah tak berharga sama sekali.“Aku mencoba melukis lagi,” balas Mosha seraya bangkit dan membelakangi Adam. “Beberapa galeri menanyakanku.”Adam menatap punggung Mosha yang dibalut ou
"Kudengar program soal wanita sewaan yang akan melahirkan keturunan Livingston gagal?"Adam berusaha tenang menghadapi sindiran dari ayah mertuanya. Setelah Adam pergi meninggalkan Mosha di negeri orang karena Daphne, sudah sepantasnya ia mendapatkan tanggapan negatif dari orang tua sang istri—seperti sekarang."Apa kau akan mengulangi lagi dari awal atau mencari wanita yang lebih subur dan mandiri?"Adam menelan ludah, tapi rautnya masih cukup terlihat tenang di atas bangkunya. Ia sempat menatap Mosha yang tetap diam seperti boneka dengan gaun peraknya yang tampak elegan.Wanita itu rupanya tetap datang, bahkan setelah kejadian pilu ini. Ingin sekali Adam menanyakan kabar Mosha dan apa yang tengah dirasakan wanita itu, tapi jarak duduk mereka terlampau jauh. Mosha menempati kursi di ujung, sementara Adam diapit kedua orang tuanya.Sampai kemudian, ibu Mosha angkat suara dan ikut mengompori, "Setidaknya jangan asal merekrut wanita yang manja dan membuat istrimu cemburu. Kau tentu mas
“Kau bicara apa, sih?”Adam mendengkus dan memalingkan wajah ke lain sisi alih-alih membalas tatapan pongah Tabitha.Pria itu sepertinya sudah siap menyangkal apa pun yang dituduhkan Tabitha. Salah satunya soal dugaan perasaan khususnya pada Daphne yang terkesan konyol. “Tuan Adam Livingston, kau harus tahu aku melihat pakaian-pakaianmu di kamar Daphne. Bukankah itu tidak masuk akal kalau hubungan kalian sekadar partner bisnis?” Tabitha makin percaya diri saat melontarkan kata-katanya. “Kau bahkan meninggalkan pakaian dalammu!”Melihat hal itu, Daphne menghela napas. Tak percaya sahabatnya berani mengungkap fakta tentang Adam cukup blak-blakan.“Tabitha, hentikan—“ pinta Daphne yang kontan dipotong Tabitha bersama pelototan galaknya. “Berhentilah menutupi itu semua, Daph. Kalian ini benar-benar seperti anak remaja yang sedang menggebu-gebu untuk bercinta. Astaga ....” Tabitha bergidik ngeri menyaksikan Daphne dan Adam saling berubah malu-malu kucing. Sampai kemudian, Adam memaling
“Apa kau berniat mengakhiri ini semua?” Adam angkat suara setelah Tabitha keluar dari ruangan dengan wajah dongkol. “Tabitha ... apa yang dibicarakannya tadi, kau akan pergi?”Setelah memandangi pintu yang ditutup dari luar, tatapan Daphne beralih pada Adam. kepalanya mendongak karena perbedaan tinggi tubuh mereka sekarang.“Menurutmu?” tanya Daphne serak.Tangan Daphne menarik pinggiran kaus yang dikenakan Adam. Ia meremasnya kuat-kuat sejalan dengan nyeri yang makin terasa bersamaan dengan sosok pria itu yang kini kian mendekat padanya. Bahkan ia bisa merasakan aroma khas tubuh Adam dan sapuan napas berat sang pria yang dirindukannya.Tanpa meminta apa-apa, Adam merengkuhnya. Membawa tubuh Daphne dalam pelukan hangat untuk menguatkan. Sapuan di punggung terasa nyaman dan itulah yang Daphne butuhkan sejak lama.“Aku tidak tahu seperti apa ke depannya, Daph,” gumam Adam di sela pelukan.Napas Daphne tersumbat. Pipinya melekat pada dada bidang Adam yang membusung. “Bayinya ... bayimu s
Kedua tangan Daphne mencengkeram erat sisi bajunya yang telah diganti dengan yang baru. Lebih bersih dan tak lagi berbau anyir seperti sebelumnya.“Dengan berat hati, kami tidak bisa mempertahankannya, Nona,” ungkap dokter yang menanganinya dengan raut prihatin.Daphne tak sanggup melihat wanita itu. Ia memalingkan wajah dan menatap ke arah tirai yang menutupi jendela. Hari sudah petang dan langit mulai diserbu taburan bintang.Perihal kehilangan, sejauh ini Daphne sudah banyak melaluinya dengan batin lapang. Namun tidak secepat dan semenyesakkan ini. Ia baru menyadari kehadiran si janin dan mengakuinya sebagai darah dagingnya sendiri, tapi bayi itu pergi lebih cepat tanpa memberikan salam perpisahan.Sudah banyak air mata yang dikeluarkan. Mata Daphne memanas saat merasakan nyeri di batinnya. Ia meraba perutnya yang kembali rata dan kosong tanpa berpenghuni.“Terima kasih, Dokter,” kata Tabitha mewakili Daphne.Begitu dokter dan perawat keluar dari ruangan, Daphne menghalau matanya m
“Apa yang kau lakukan, Mosha?”Kening Adam masih berkerut dalam, kedua alisnya pun bertaut begitu membaca nama Daphne masuk ke daftar peneleponnya beberapa jam lalu. Tepatnya saat ia tertidur, wanita itu menelepon setelah sekian lama.Adam mengira semua ini mimpi karena selama ini Daphne tak mencarinya. Ia sendiri pun menghilang karena memikirkan perasaan sang istri. Namun sekarang, rasanya ia baru dikhianati karena Mosha menyembunyikan itu semua darinya—terutama tentang Daphne.Mosha meliriknya sesaat dan melanjutkan mengenakan rangkaian skin care ke wajah. Mata wanita itu menatapnya melalui pantulan cermin besar.“Kau tidak mau menjawabnya?” Adam bangkit sejalan dengan pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. “Kenapa kau tidak bilang kalau Daphne menghubungiku?”Adam makin geram, tapi tetap mencoba tenang. Bertahun-tahun mengenal Mosha, ia cukup paham menghadapi sang istri. Sekalipun kesabarannya makin menipis saat menyaksikan betapa santainya wanita itu merawat diri alih-alih menja
Daphne sudah mencobanya. Menyantap masakan Tabitha dan Maria, tapi hasilnya tetap sama. Ia kembali memuntahkan semuanya dan berakhir lemas di ranjang.“Bukankah kau harus ke rumah sakit?” kata Tabitha cemas.Daphne hanya menatap, tak sanggup menggeleng karena kepalanya kelewat pening. “Kupikir aku hanya butuh istirahat.”“Tapi keadaan Nona sangat buruk,” timpal Maria memberi komentar. “Saya akan coba menghubungi sopir agar bisa mengantar kita ke rumah sakit.”Satu tangan Daphne terangkat dan bergerak mengibas. “Biarkan aku istirahat lebih dulu, Maria,” pintanya lemah. “Maafkan aku sudah banyak merepotkan kalian.”Tabitha terdecak dan bergerak mendekati Daphne. “Hentikan rasa tak enakmu itu!” dengkusnya. “Kau harus bertahan, setidaknya untuk dirimu sendiri. Kau ingat ada bayi di dalam perutmu ini, ‘kan?”Tentu saja Daphne tak lupa. Ia juga berusaha mempertahankan bayi Adam, tapi usahanya justru belum membuahkan hasil. Sekarang ia hanya ingin berdiam diri dan beristirahat sejenak setela