Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya.
“Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar. “Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.” Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?” Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne. Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“ “Semua aman,” Jordy menyela. “Aku sudah memerintahkan anak-anak untuk membereskannya. Kau tidak perlu khawatir, Nona.” Mendapati pernyataan itu, Daphne menyerah. Ia memilih diam dan kembali membaringkan tubuhnya di ranjang rumah sakit. Semua terkesan terlalu cepat. Apalagi sekarang hidupnya akan berada di bawah kendali Mosha dan Adam. Pasangan itu memang sudah berjasa membayar semua utang-utangnya dan sekarang ia yang harus membalasnya dengan mengandung anak Adam. “Akan aku bangunkan jika Nyonya Mosha datang,” ujar Jordy sesaat sebelum mengakhiri percakapan. Entah bagaimana caranya Daphne terlelap. Ia hanya mencoba memejamkan mata dan hanyut dalam kantuk, lalu masuk ke dalam kubangan mimpi. Sampai kemudian tubuhnya digoyangkan pelan oleh tangan-tangan asing. Daphne membuka mata dan menangkap sosok Mosha sudah berada di depannya sekarang. Mosha dengan perawakannya yang ideal itu menggunakan pakaian mahal dari atas hingga bawah. Daphne cukup terkesima melihat bagaimana sempurnanya istri Adam itu. Sangat jauh berbeda dengan keadaannya yang berantakan di pagi ini. “Tidurmu cukup nyenyak, ya.” Kata-kata Mosha terdengar seperti sindiran menyebalkan. Namun Daphne hanya mengulum senyum sambil bergerak duduk dari posisi berbaringnya. “Sebentar lagi kau dipindahkan ke tempat tinggal baru.” Daphne mengangguk mengerti, mulai beradaptasi dengan semua ini. “Baiklah.” “Adam akan datang tiga sampai empat kali dalam seminggu ke apartemenmu nanti,” sambung Mosha. “Tapi kupikir, kalian cukup melakukannya tiga kali sampai kau benar-benar hamil.” Daphne menelan ludah kala mendengar penjelasan Mosha yang terkesan menganggapnya seperti barang, alih-alih manusia. Akan tetapi, kali itu ia menahan diri untuk tidak meluapkan emosi atau pertentangan karena tahu kepribadian Mosha berbeda jauh dengan Adam. “Saat kalian melakukannya, jangan sekali-sekali memuaskan Adam.” Mosha menyeringai saat menaiki ranjang dan menangkup wajah Daphne. “Kau harus tahu siapa dia, Daphne. Dia milikku dan akan terus menjadi milikku. Ingat statusmu yang hanya dijadikan tempat keturunan kami tumbuh. Paham?” Sudut bibir Daphne bergetar. Ia mencoba mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Pedih rasanya diperlakukan seperti ini, tapi ia tak memiliki jalan lain. Adam dan Mosha sudah membayar cukup banyak uang, lalu sekarang ia harus membalasnya dengan baik. “Penjelasan lengkap kontrak antara kita akan dijelaskan Jordy. Terutama kebutuhan sehari-harimu sampai bayi itu lahir,” ujar Mosha seraya menjauh dari ranjang. “Dan aku masih memiliki hati nurani untukmu. Jadi, kau akan tetap mendapatkan bayaran setimpal begitu melahirkan. Aku akan menjamin karirmu sebagai aktor. Bagaimana menurutmu?” Senyum Daphne yang awalnya dipaksakan, kini berubah lebar dan terlihat lebih tulus. Menjadi aktor yang sukses dengan banyaknya project adalah impiannya, tapi apakah itu mungkin ia dapatkan di saat tak memiliki banyak kenalan di bidangnya? Namun sekarang Mosha menawarkan, bahkan mengulurkan tangan untuknya. “Tentu!” sembur Daphne penuh semangat. “Aku tidak akan menolak.” “Bagus kalau begitu.” Mosha tersenyum lebar penuh kemenangan. “Maka lakukan tugasmu dengan baik, Emilyn Daphne.” *** Beberapa kali Daphne mengerjap dan mengucek matanya agar pandangannya lebih jelas. Namun semua benda dan apa-apa yang dilihatnya terlihat sama. Daphne masih terkesima saat tiba di tempat tinggalnya yang baru. Ini bukan apartemen yang biasa ia tinggali sebelumnya, melainkan tempat tinggal mewah yang mampu dimiliki orang-orang kelebihan uang. Belum lagi satu wanita yang akan mendampinginya selama tinggal di sana. Maria namanya, seorang wanita 40-an yang cukup cekatan dan terlihat mampu diajak kerjasama. “Jangan menyentuh apa pun, Nona,” Maria memberi peringatan begitu Daphne ingin mengeluarkan barang-barangnya. “Aku hanya ingin memindahkan beberapa barang ke kamar, Maria,” balas Daphne tanpa menoleh. “Nona?” Maria memanggil pelan seolah sudah pasrah. “Tolong—“ “Apa kau selalu bebal seperti ini, Daphne?” Suara Maria lenyap dan digantikan oleh suara berat milik seseorang. Daphne menegakkan tubuh saat sadar pemilik suara itu. Ia sontak membalikkan tubuh dan menangkap Adam sedang berdiri di ambang pintu sambil menyandarkan kepala. Tatapan Adam yang mengagumkan itu mengarah padanya sekarang. “A-adam?” Pria itu mengulum senyum sambil mengangkat tangan untuk menyapa. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya seraya melangkah maju di saat Maria berlalu keluar dari ruangan. “Kulihat kau sangat sibuk sekarang?” Daphne menahan napas ketika kata-kata Mosha yang menerangkan aturan kedatangan Adam ke tempat tinggalnya adalah untuk melakukan hubungan. Namun ia tidak berpikir akan secepat ini melakukan tugasnya. Terlebih setelah pulang dari rumah sakit sejam lalu. “Adam, aku ....” Mendadak Daphne tergagal sewaktu Adam berdiri menjulang di dekatnya. “Maaf, tapi aku baru saja pulang, dan—“ Pelan, Adam merendahkan tinggi tubuhnya hingga bisa sejajar dengan Daphne. “Kau tidak perlu minta maaf, duduklah,” katanya sambil mengedik pada sofa panjang di dekat mereka. “Denganku.” “Oh, baiklah.” Daphne menelan ludah dan membalas tatapan Adam sesaat sebelum beringsut lebih dulu. Kini keduanya duduk berdampingan. Lebih tepatnya Adam mengarahkan posisinya pada Daphne, membuat situasi kembali canggung dan aneh. “Aku lega melihatmu sudah sehat seperti ini,” gumam Adam tenang. “Kau menyukainya?” Kepala Daphne menunduk mulanya, lalu menengadah seketika karena kaget. “Hah?” “Maksudku tempat ini,” ralat Adam buru-buru. “Aku sengaja yang memilihkannya untukmu, walaupun harus berdebat kecil dengan istriku. Aku harap, kau menyukainya, Daph.” “Ya, kau benar.” Daphne mengangguk-angguk sambil memendarkan pandangan. “Ini sangat bagus dan mewah untuk orang sepertiku.” “Jangan merendahkan dirimu.” Daphne bisa merasakan sentuhan tangan Adam menimpa jemarinya. Membuat sensasi aneh seperti tersengat listrik dadakan. “Kau tahu itu, ‘kan?” “Ah, ya.” Perlahan Daphne menarik tangannya dan sontak membuat Adam berdehem pendek. Mungkin sama kagetnya dengan Daphne tadi. “Maaf, aku tidak bermaksud—“ Daphne bergerak sedikit mengambil jarak dari tubuh Adam. “Kupikir, aku belum siap untuk melakukannya hari ini,” cetusnya jujur, mengingat dirinya masih dibayang-bayangi kejadian semalam. “Aku minta maaf.” “Maksudmu?” Kerut muncul di kening Adam, mulanya samar-samar dan berubah sejelas itu. “Aku kemari bukan untuk memintamu melakukannya. Ini ... bukan.” Adam menggelengkan kepalanya lemah. “Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja, Daphne.” Refleks Daphne melotot kaget. Lalu ia menutup mulutnya karena malu. “Astaga, maafkan aku. Kupikir kau datang untuk—“ Kekehan Adam membuat Daphne menjeda ucapan. “Kita bisa memulainya besok, atau di saat kau benar-benar siap,” katanya gamblang. “Memangnya kau pikir aku setega itu memintamu melakukannya sekarang?” Daphne membasahi bibir. “A-aku mungkin akan tetap melakukannya jika kau yang meminta, Adam ....” Anggap saja Daphne gila karena sudah bertindak seterus terang itu, tapi respon Adam justru membuatnya semangat. Pria itu meraih pinggulnya agar mendekat. Kemudian bibir itu menghujam milik Daphne tanpa aba-aba. “Daphne, aku—“ Daphne menggeleng. “Lanjutkan, Adam ...” katanya di sela lenguhan.Mungkin Adam benar-benar telah diperdaya. Ia bisa saja menolak dan meninggalkan Daphne setelah kecupan tak sengaja yang dilanjutkan dengan hal di luar duga. Bodohnya ia meminta lebih, memanfaatkan bagaimana kesempatan itu ada.“Daph ...” panggilnya lemah saat menatap Daphne yang wajahnya telah merah merona. Entah karena kepanasan atau sama terbakarnya seperti dirinya sekarang.Mata bulat itu membalas tatapnya cukup sendu. Bibirnya bergerak, tapi urung memberikan suara. Namun rupanya tangan mungil itu sudah beraksi di bawah sana, menyentuh milik Adam dari luar hingga mengacak-acak pertahanan.“Shit,” maki Adam sambil mengerang. “Daph, kau—“Daphne merendahkan diri. Wajahnya mengarah ke bagian bawah Adam dan refleks Adam membuka kedua kakinya seolah menyambut layanan si wanita. Kedua matanya memejam perlahan, menikmati tiap-tiap gerakan yang dibuat Daphne untuknya.Tubuhnya menegang bagai disengat lebah. Namun sengatan ini justru memabukkan. Remasan tangan Adam kian mengerat sejalan den
Adam mendekatkan jemarinya ke mulut, menggigiti kuku ketika gelisah menyerang. Sentuhan tangan Daphne masih membekas jelas di kepala, bahkan inti tubuhnya yang terus memunculkan tanda-tanda aneh. Tak biasanya ia bersikap seperti ini setelah berhubungan dengan wanita.Apalagi sensasinya sungguh liar dan menggaung seolah tak ingin dihempaskan. Pikirannya melulu tentang Daphne alih-alih Mosha, istrinya sendiri. Baru semalam ia menjamah istrinya, tapi kegiatan itu bagaikan rutinitas bukan kegiatan panas yang membakar kesadarannya seperti yang dilakukan Daphne padanya.“Sial, seperti anak remaja saja,” gumamnya dalam hati tentang sikapnya ini. “Kau bisa melakukannya dengan Mosha berkali-kali, Bodoh!”Adam melepaskan jas dan memberikannya pada salah satu bawahan yang membukakan pintu mobil untuknya. Ia turun dan melangkah panjang ke dalam bangunan luas nan megah.“Nolan Wynn baru saja keluar dari motel, Tuan.” Hiro, asistennya menyambut kedatangannya di ruang kerja kantornya dengan sejumput
Daphne terpaku pada benda yang terus menyuarakan dering telepon. Menampilkan nama Nolan yang tertera jelas di sana. Pedih dan bimbang ketika ia membiarkannya sampai layar redup dan dring tak lagi terdengar.“Kenapa tidak diangkat, Nona?” Kepala Maria menyembul di depannya sejalan dengan suara wanita itu yang tertetangkap telinga.Daphne membuang napas kasar, menoleh dan menatap Maria. “Kau pasti mendengar semuanya soal bagaimana Adam yang melarangku.”Ia sudah pasrah dengan pembicaraan yang diisi debat panas bersama Adam tadi akan didengar Maria dengan jelas. Ia pun tak peduli bagaimana tanggapan Maria tentangnya setelah itu.Maria mengangguk pelan. “Apa yang dikatakan Tuan mungkin ada benarnya, tapi semua itu kembali pada keputusan Nona.” Wanita itu beringsut ke samping Daphne. “Nona berhak atas semua itu, ‘kan?”Setelah menghadapi kekesalan serius yang memenuhi benaknya, Daphne menarik napas dalam-dalam. Mulai merasa lega.“Kau benar.” Senyum samar sedikit terukir di bibirnya. “Apa
“Aku dengar, apa kau mengikuti Nolan Wynn?”Mendengar nama kekasih Daphne disebut, punggung Adam terasa basah. Gugup menyerang ketika Mosha menatapnya lurus melalui pantulan cermin.“Hmm, ya.” Adam menghentikan gerak tangannya saat mengenakan arloji dan bergerak memutar ke belakang untuk menghadapi Mosha. “Aku pikir itu perlu dilakukan agar Daphne bisa fokus dengan pekerjaannya. Sampai anakku lahir nanti.” “Tapi kurasa itu berlebihan.” Mosha menelengkan kepala. “Kau terlihat ikut campur dengan kehidupan pribadi Emilyn Daphne.”“Aku hanya mengurangi resiko, My Love,” kata Adam melembut sambil mendekati Mosha yang masih mengenakan gaun tidur. “Kalau Nolan berani mendekati Daphne dan mengacaukan semuanya, rencana kita tidak akan berhasil.”“Mengurangi resiko, ya?” ulang Mosha dengan suara menekan dan penuh intimidasi. “Aku melihatnya lain dari sorot matamu, Adam. Kau begitu peduli dengan Daphne alih-alih istri sendiri.”Adam membuang napas pelan, lalu menyangkal, “Jangan berlebihan, Mosh
Bab 11.Pandangan Daphne masih terpaku pada tautan yang dibuat Adam di tangannya. Saat ia sudah naik ke mobil pun, Adam belum melepaskannya sama sekali. Jika alasannya karena Nolan, bukankah seharusnya pria itu mengakhirinya begitu duduk di mobil seperti sekarang?“Aku akan tinggal sedikit lebih lama,” kata Adam pada asisten pribadinya yang sigap membukakan pintu begitu tiba di lobi apartemen.“Baik, Tuan.”Adam menoleh ke arahnya sekilas sambil mengeratkan pegangan. Tanpa banyak bicara, ia melangkah di belakang pria itu hingga memasuki kotak besi menuju lantai yang dituju.“Bisakah kau melepaskan tanganmu dariku?” tanya Daphne lirih sambil menatap jemari Adam yang masih tersemat cincin pernikahan.“O-oh, maafkan aku!” seru Adam yang sontak melepaskan tangan Daphne. Ia menatap telapak tangan sekilas sebelum memasukkanya ke dalam saku celana. “Aku tidak menyangka Nolan akan menemuimu pagi ini.”“Well, itulah yang dilakukan pria pada kekasihnya,” balas Daphne sedikit menyombongkan diri.
12“Akhir-akhir ini kau pulang terlambat, Adam,” singgung Mosha yang duduk di ruang tengah begitu Adam memasuki kediamannya. “Apa begitu banyak masalah di perusahaan dan kau yang turun tangan menyelesaikan semuanya?”Adam menelan ludah mendapati perkataan penuh sindiran dari sang istri. Ia merangkum wajah Mosha ketika berdiri di hadapan wanita itu setelah buru-buru menghampiri. Jas yang dikenakannya perlahan dilepas dan diberikan pada sang istri, mengingat musim dingin mulai tiba.Urung membalas, Adam merangkul pinggul istrinya dan mengajaknya masuk ke kamar. Ia tak ingin membuat pelayan heboh bergosip tentang hubungannya di rumah. Apalagi kalau sampai hal itu didengar orang tuanya, ia mungkin langsung dipanggil untuk menghadap.“Maafkan aku, My Love.” Adam menangkup wajah Mosha yang kecil begitu berhasil menutup pintu kamar rapat-rapat. “Aku harus membagi jadwal untuk ke apartemen Daphne.”Selalu ada ketakutan dan kekhawatiran yang menyerang benak Adam ketika Mosha menyambutnya denga
Di bawah shower menyala, Daphne mengamati kedua kakinya yang basah. Busa dari sabun cairnya sudah luruh dan mengalir ke lubang pembuangan. Namun ia tetap merasa kotor tiap kali Adam mencumbunya.Hampir sebulan lamanya Daphne berserah diri. Bahkan ia tetap menyambut kedatangan Adam yang selalu singgah hampir setiap hari. Pria itu benar-benar menyalahi aturan yang dibuat Mosha, tapi Daphne tidak mengeluh sama sekali. Perlahan, ia mulai terbiasa dan berpikir menikmati tiap waktu yang ada.“Kau sudah bertemu Nolan lagi setelah di kafe itu?” tanya Adam saat Daphne keluar dari kamar mandi dengan balutan bathrobe putih.“Apa pedulimu?” Daphne melirik sekilas dan melanjutkan langkah mengambil pakaian di walk in closet.“Jawab saja.” Adam saat itu tengah duduk di mini sofa, hanya mengenakan celana pendek dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Ia mengarahkan tatap tajam pada Daphne
Hamil. Satu kata itu tak terlintas di kepala Daphne dalam waktu sesingkat ini. Hubungannya dengan Adam baru terjalin kurang lebih sebulan memang, tapi ia tak menduga akan mengalami kondisi begini. Terlebih di saat ada Nolan dan pria itu menyaksikan seluruh kejadian itu.“Dokter akan datang,” bisik Adam. “Kau memerlukan sesuatu?”Daphne menelan ludah ketika tubuhnya baru diturunkan dari tangan Adam ke ranjang tidurnya. Sementara itu tatapan Nolan menatapnya tajam seolah tak ingin melepaskan pandangan sedetik pun. Awalnya ia ingin menjelaskan semuanya pada Nolan, tapi rasa mualnya terus merajalela hingga sekarang.Meski perutnya masih tak enak setelah mengeluarkan cairan beberapa kali, Daphne menggeleng pelan. Ketika Adam mengangguk dan bersiap bergerak menjauh dari ranjang, Daphne menarik kemeja Adam dan pria itu menoleh.“Aku ingin bicara dengan Nolan,” tutur Daphne lirih karena lemas.Mata coklat Adam membelalak sejenak. “Apa aku tidak salah dengar?” balas Adam sarkas.“Aku harus men
Ini hari kesekian Adam mengunjungi Daphne di apartemen. Mereka terus melakukannya sampai tanda-tanda kehamilan muncul. Daphne tak lagi mengeluhkan apa pun, ia bertahan dan menghadapi segalanya bersama Adam.“Kau akan langsung pergi setelah ini?” tanya Daphne sambil menyentuh lengan Adam yang kala itu hendak beringsut dari ranjang. “Tidakkah kau ingin tinggal sebentar di sini?”Adam menoleh sesaat dan melemparkan senyum tipis. Pria berkulit eksotis itu meraih tangan Daphne dan menyingkirkan dari lengannya pelan.“Ada banyak pekerjaan di kantor, kalau kau butuh sesuatu bilang saja pada Maria,” tandas Adam yang gelagatnya makin menarik diri—setiap hari. “Atau pada asisten pribadiku.”“Mosha sedang berkeliling luar negeri untuk menyelesaikan lukisannya, Adam.” Daphne menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Tinggallah di sini sebentar saja. Aku hanya ingin melihatmu lebih lama, tidak seperti ini.”“Daph, kau tau semua ini kesalahan?”Suara Adam yang berat itu menyapu ruangan. Sesaat pria
Taman di area apartemen mewah yang ditinggalinya cukup menyita perhatian. Ada banyak hal yang bisa digalinya dengan baik, terutama pemandangan dengan berbagai bunga. Daphne tersenyum senang. Ini sudah dua kalinya ia keluar unit dan menyambangi taman bunga tersebut. Daripada berdiam diri di apartemen dan menghabiskan waktu menonton drama, lebih baik seperti ini."Tuan Adam ada di sini, Nona." Suara Maria mengalun pelan tepat di sebelah telinga kanan Daphne. "Mungkin dalam beberapa menit akan sampai."Daphne berjengkit kemudian. Ia lekas menoleh pada Maria yang tersenyum senang padanya."Dia benar-benar datang?" tanyanya tak percaya. Begitu mendapat anggukan dari Maria, Daphne pun yakin. "Kita harus kembali ke unit, Maria. Sekarang!"Maria menggeleng sambil menyentuh lengan Daphne pelan. "Tuan akan ke mari. Dia sudah tahu kau ada di sini, Nona.""Benarkah?" Gelenyar hangat dan membahagiakan memenuhi benak Daphne. Ia sudah menunggu kehadiran Adam dalam waktu cukup lama. Lalu sekarang,
Adam menghampiri Mosha yang fokus dengan peralatan lukisnya. Wanita itu telah menghabiskan beberapa hari di ruang sendiri untuk menggoreskan kuas di atas kanvas putih. Dan itu membuat hubungan Adam dan Mosha kian renggang.“Aku membuatkan makan malam untukmu, kau mau mencobanya sedikit?” tanyanya setelah memerhatikan Mosha dari belakang dan berani lebih mendekat.Tanpa menoleh, Mosha menjawab, “Taruh saja di meja, aku akan memakannya nanti.”“Akhir-akhir ini kau selalu sibuk,” tukas Adam yang kini memberanikan diri bersisian dengan Mosha. “Apa yang sedang kau kerjakan, My Love?”Tubuh Adam direndahkan untuk bisa melihat hasil lukisan sang istri dengan baik. Tentunya ingin lebih memahami makna yang dilukis sang istri.Namun baru beberapa detik, Mosha menyingkirkan kanvas itu dan meletakkanya di lantai. Seolah tak berharga sama sekali.“Aku mencoba melukis lagi,” balas Mosha seraya bangkit dan membelakangi Adam. “Beberapa galeri menanyakanku.”Adam menatap punggung Mosha yang dibalut ou
"Kudengar program soal wanita sewaan yang akan melahirkan keturunan Livingston gagal?"Adam berusaha tenang menghadapi sindiran dari ayah mertuanya. Setelah Adam pergi meninggalkan Mosha di negeri orang karena Daphne, sudah sepantasnya ia mendapatkan tanggapan negatif dari orang tua sang istri—seperti sekarang."Apa kau akan mengulangi lagi dari awal atau mencari wanita yang lebih subur dan mandiri?"Adam menelan ludah, tapi rautnya masih cukup terlihat tenang di atas bangkunya. Ia sempat menatap Mosha yang tetap diam seperti boneka dengan gaun peraknya yang tampak elegan.Wanita itu rupanya tetap datang, bahkan setelah kejadian pilu ini. Ingin sekali Adam menanyakan kabar Mosha dan apa yang tengah dirasakan wanita itu, tapi jarak duduk mereka terlampau jauh. Mosha menempati kursi di ujung, sementara Adam diapit kedua orang tuanya.Sampai kemudian, ibu Mosha angkat suara dan ikut mengompori, "Setidaknya jangan asal merekrut wanita yang manja dan membuat istrimu cemburu. Kau tentu mas
“Kau bicara apa, sih?”Adam mendengkus dan memalingkan wajah ke lain sisi alih-alih membalas tatapan pongah Tabitha.Pria itu sepertinya sudah siap menyangkal apa pun yang dituduhkan Tabitha. Salah satunya soal dugaan perasaan khususnya pada Daphne yang terkesan konyol. “Tuan Adam Livingston, kau harus tahu aku melihat pakaian-pakaianmu di kamar Daphne. Bukankah itu tidak masuk akal kalau hubungan kalian sekadar partner bisnis?” Tabitha makin percaya diri saat melontarkan kata-katanya. “Kau bahkan meninggalkan pakaian dalammu!”Melihat hal itu, Daphne menghela napas. Tak percaya sahabatnya berani mengungkap fakta tentang Adam cukup blak-blakan.“Tabitha, hentikan—“ pinta Daphne yang kontan dipotong Tabitha bersama pelototan galaknya. “Berhentilah menutupi itu semua, Daph. Kalian ini benar-benar seperti anak remaja yang sedang menggebu-gebu untuk bercinta. Astaga ....” Tabitha bergidik ngeri menyaksikan Daphne dan Adam saling berubah malu-malu kucing. Sampai kemudian, Adam memaling
“Apa kau berniat mengakhiri ini semua?” Adam angkat suara setelah Tabitha keluar dari ruangan dengan wajah dongkol. “Tabitha ... apa yang dibicarakannya tadi, kau akan pergi?”Setelah memandangi pintu yang ditutup dari luar, tatapan Daphne beralih pada Adam. kepalanya mendongak karena perbedaan tinggi tubuh mereka sekarang.“Menurutmu?” tanya Daphne serak.Tangan Daphne menarik pinggiran kaus yang dikenakan Adam. Ia meremasnya kuat-kuat sejalan dengan nyeri yang makin terasa bersamaan dengan sosok pria itu yang kini kian mendekat padanya. Bahkan ia bisa merasakan aroma khas tubuh Adam dan sapuan napas berat sang pria yang dirindukannya.Tanpa meminta apa-apa, Adam merengkuhnya. Membawa tubuh Daphne dalam pelukan hangat untuk menguatkan. Sapuan di punggung terasa nyaman dan itulah yang Daphne butuhkan sejak lama.“Aku tidak tahu seperti apa ke depannya, Daph,” gumam Adam di sela pelukan.Napas Daphne tersumbat. Pipinya melekat pada dada bidang Adam yang membusung. “Bayinya ... bayimu s
Kedua tangan Daphne mencengkeram erat sisi bajunya yang telah diganti dengan yang baru. Lebih bersih dan tak lagi berbau anyir seperti sebelumnya.“Dengan berat hati, kami tidak bisa mempertahankannya, Nona,” ungkap dokter yang menanganinya dengan raut prihatin.Daphne tak sanggup melihat wanita itu. Ia memalingkan wajah dan menatap ke arah tirai yang menutupi jendela. Hari sudah petang dan langit mulai diserbu taburan bintang.Perihal kehilangan, sejauh ini Daphne sudah banyak melaluinya dengan batin lapang. Namun tidak secepat dan semenyesakkan ini. Ia baru menyadari kehadiran si janin dan mengakuinya sebagai darah dagingnya sendiri, tapi bayi itu pergi lebih cepat tanpa memberikan salam perpisahan.Sudah banyak air mata yang dikeluarkan. Mata Daphne memanas saat merasakan nyeri di batinnya. Ia meraba perutnya yang kembali rata dan kosong tanpa berpenghuni.“Terima kasih, Dokter,” kata Tabitha mewakili Daphne.Begitu dokter dan perawat keluar dari ruangan, Daphne menghalau matanya m
“Apa yang kau lakukan, Mosha?”Kening Adam masih berkerut dalam, kedua alisnya pun bertaut begitu membaca nama Daphne masuk ke daftar peneleponnya beberapa jam lalu. Tepatnya saat ia tertidur, wanita itu menelepon setelah sekian lama.Adam mengira semua ini mimpi karena selama ini Daphne tak mencarinya. Ia sendiri pun menghilang karena memikirkan perasaan sang istri. Namun sekarang, rasanya ia baru dikhianati karena Mosha menyembunyikan itu semua darinya—terutama tentang Daphne.Mosha meliriknya sesaat dan melanjutkan mengenakan rangkaian skin care ke wajah. Mata wanita itu menatapnya melalui pantulan cermin besar.“Kau tidak mau menjawabnya?” Adam bangkit sejalan dengan pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. “Kenapa kau tidak bilang kalau Daphne menghubungiku?”Adam makin geram, tapi tetap mencoba tenang. Bertahun-tahun mengenal Mosha, ia cukup paham menghadapi sang istri. Sekalipun kesabarannya makin menipis saat menyaksikan betapa santainya wanita itu merawat diri alih-alih menja
Daphne sudah mencobanya. Menyantap masakan Tabitha dan Maria, tapi hasilnya tetap sama. Ia kembali memuntahkan semuanya dan berakhir lemas di ranjang.“Bukankah kau harus ke rumah sakit?” kata Tabitha cemas.Daphne hanya menatap, tak sanggup menggeleng karena kepalanya kelewat pening. “Kupikir aku hanya butuh istirahat.”“Tapi keadaan Nona sangat buruk,” timpal Maria memberi komentar. “Saya akan coba menghubungi sopir agar bisa mengantar kita ke rumah sakit.”Satu tangan Daphne terangkat dan bergerak mengibas. “Biarkan aku istirahat lebih dulu, Maria,” pintanya lemah. “Maafkan aku sudah banyak merepotkan kalian.”Tabitha terdecak dan bergerak mendekati Daphne. “Hentikan rasa tak enakmu itu!” dengkusnya. “Kau harus bertahan, setidaknya untuk dirimu sendiri. Kau ingat ada bayi di dalam perutmu ini, ‘kan?”Tentu saja Daphne tak lupa. Ia juga berusaha mempertahankan bayi Adam, tapi usahanya justru belum membuahkan hasil. Sekarang ia hanya ingin berdiam diri dan beristirahat sejenak setela