Share

6. Kesepakatan

Tubuh Daphne masih gemetaran sesekali ketika mendengar suara yang mengejutkannya. Meski kini ia bermalam di rumah sakit atas permintaan anak buah Mosha, rasanya tetap menegangkan. Bayangan pria-pria besar yang terlihat bengis terus terlintas di ingatannya.

“Sampai kapan aku di sini?” tanyanya pada seorang pria yang membawanya ke rumah sakit. Pria itu baru muncul setelah dua jam lalu pamit pergi keluar.

“Sebaiknya kau tidur, Nona.” Ajudan Mosha yang bernama Jordy itu menduduki kursi di dekat pintu. “Nyonya Mosha akan kembali pagi nanti. Ini masih jam 5.”

Daphne bangkit duduk sambil menyandarkan punggung di tumpukan bantal. “Aku tidak bisa tidur,” akunya. Sangat sulit untuk memejamkan mata setelah kejadian menegangkan itu di apartemennya. “Bisakah kau mengantarku pulang?”

Jordy menggeleng cepat. “Sepulang dari sini, kau akan pindah ke apartemen yang telah disediakan Tuan Livingston,” jelasnya mengejutkan Daphne.

Daphne meremas selimutnya kuat-kuat. “Lalu barang-barangku—“

“Semua aman,” Jordy menyela. “Aku sudah memerintahkan anak-anak untuk membereskannya. Kau tidak perlu khawatir, Nona.”

Mendapati pernyataan itu, Daphne menyerah. Ia memilih diam dan kembali membaringkan tubuhnya di ranjang rumah sakit. Semua terkesan terlalu cepat. Apalagi sekarang hidupnya akan berada di bawah kendali Mosha dan Adam. Pasangan itu memang sudah berjasa membayar semua utang-utangnya dan sekarang ia yang harus membalasnya dengan mengandung anak Adam.

“Akan aku bangunkan jika Nyonya Mosha datang,” ujar Jordy sesaat sebelum mengakhiri percakapan.

Entah bagaimana caranya Daphne terlelap. Ia hanya mencoba memejamkan mata dan hanyut dalam kantuk, lalu masuk ke dalam kubangan mimpi. Sampai kemudian tubuhnya digoyangkan pelan oleh tangan-tangan asing. Daphne membuka mata dan menangkap sosok Mosha sudah berada di depannya sekarang.

Mosha dengan perawakannya yang ideal itu menggunakan pakaian mahal dari atas hingga bawah. Daphne cukup terkesima melihat bagaimana sempurnanya istri Adam itu. Sangat jauh berbeda dengan keadaannya yang berantakan di pagi ini.

“Tidurmu cukup nyenyak, ya.” Kata-kata Mosha terdengar seperti sindiran menyebalkan. Namun Daphne hanya mengulum senyum sambil bergerak duduk dari posisi berbaringnya. “Sebentar lagi kau dipindahkan ke tempat tinggal baru.”

Daphne mengangguk mengerti, mulai beradaptasi dengan semua ini. “Baiklah.”

“Adam akan datang tiga sampai empat kali dalam seminggu ke apartemenmu nanti,” sambung Mosha. “Tapi kupikir, kalian cukup melakukannya tiga kali sampai kau benar-benar hamil.”

Daphne menelan ludah kala mendengar penjelasan Mosha yang terkesan menganggapnya seperti barang, alih-alih manusia. Akan tetapi, kali itu ia menahan diri untuk tidak meluapkan emosi atau pertentangan karena tahu kepribadian Mosha berbeda jauh dengan Adam.

“Saat kalian melakukannya, jangan sekali-sekali memuaskan Adam.” Mosha menyeringai saat menaiki ranjang dan menangkup wajah Daphne. “Kau harus tahu siapa dia, Daphne. Dia milikku dan akan terus menjadi milikku. Ingat statusmu yang hanya dijadikan tempat keturunan kami tumbuh. Paham?”

Sudut bibir Daphne bergetar. Ia mencoba mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Pedih rasanya diperlakukan seperti ini, tapi ia tak memiliki jalan lain. Adam dan Mosha sudah membayar cukup banyak uang, lalu sekarang ia harus membalasnya dengan baik.

“Penjelasan lengkap kontrak antara kita akan dijelaskan Jordy. Terutama kebutuhan sehari-harimu sampai bayi itu lahir,” ujar Mosha seraya menjauh dari ranjang. “Dan aku masih memiliki hati nurani untukmu. Jadi, kau akan tetap mendapatkan bayaran setimpal begitu melahirkan. Aku akan menjamin karirmu sebagai aktor. Bagaimana menurutmu?”

Senyum Daphne yang awalnya dipaksakan, kini berubah lebar dan terlihat lebih tulus. Menjadi aktor yang sukses dengan banyaknya project adalah impiannya, tapi apakah itu mungkin ia dapatkan di saat tak memiliki banyak kenalan di bidangnya? Namun sekarang Mosha menawarkan, bahkan mengulurkan tangan untuknya.

“Tentu!” sembur Daphne penuh semangat. “Aku tidak akan menolak.”

“Bagus kalau begitu.” Mosha tersenyum lebar penuh kemenangan. “Maka lakukan tugasmu dengan baik, Emilyn Daphne.”

***

Beberapa kali Daphne mengerjap dan mengucek matanya agar pandangannya lebih jelas. Namun semua benda dan apa-apa yang dilihatnya terlihat sama. Daphne masih terkesima saat tiba di tempat tinggalnya yang baru. Ini bukan apartemen yang biasa ia tinggali sebelumnya, melainkan tempat tinggal mewah yang mampu dimiliki orang-orang kelebihan uang.

Belum lagi satu wanita yang akan mendampinginya selama tinggal di sana. Maria namanya, seorang wanita 40-an yang cukup cekatan dan terlihat mampu diajak kerjasama.

“Jangan menyentuh apa pun, Nona,” Maria memberi peringatan begitu Daphne ingin mengeluarkan barang-barangnya.

“Aku hanya ingin memindahkan beberapa barang ke kamar, Maria,” balas Daphne tanpa menoleh.

“Nona?” Maria memanggil pelan seolah sudah pasrah. “Tolong—“

“Apa kau selalu bebal seperti ini, Daphne?”

Suara Maria lenyap dan digantikan oleh suara berat milik seseorang. Daphne menegakkan tubuh saat sadar pemilik suara itu. Ia sontak membalikkan tubuh dan menangkap Adam sedang berdiri di ambang pintu sambil menyandarkan kepala. Tatapan Adam yang mengagumkan itu mengarah padanya sekarang.

“A-adam?”

Pria itu mengulum senyum sambil mengangkat tangan untuk menyapa. “Bagaimana keadaanmu?” tanyanya seraya melangkah maju di saat Maria berlalu keluar dari ruangan. “Kulihat kau sangat sibuk sekarang?”

Daphne menahan napas ketika kata-kata Mosha yang menerangkan aturan kedatangan Adam ke tempat tinggalnya adalah untuk melakukan hubungan. Namun ia tidak berpikir akan secepat ini melakukan tugasnya. Terlebih setelah pulang dari rumah sakit sejam lalu.

“Adam, aku ....” Mendadak Daphne tergagal sewaktu Adam berdiri menjulang di dekatnya. “Maaf, tapi aku baru saja pulang, dan—“

Pelan, Adam merendahkan tinggi tubuhnya hingga bisa sejajar dengan Daphne. “Kau tidak perlu minta maaf, duduklah,” katanya sambil mengedik pada sofa panjang di dekat mereka. “Denganku.”

“Oh, baiklah.” Daphne menelan ludah dan membalas tatapan Adam sesaat sebelum beringsut lebih dulu.

Kini keduanya duduk berdampingan. Lebih tepatnya Adam mengarahkan posisinya pada Daphne, membuat situasi kembali canggung dan aneh.

“Aku lega melihatmu sudah sehat seperti ini,” gumam Adam tenang. “Kau menyukainya?”

Kepala Daphne menunduk mulanya, lalu menengadah seketika karena kaget. “Hah?”

“Maksudku tempat ini,” ralat Adam buru-buru. “Aku sengaja yang memilihkannya untukmu, walaupun harus berdebat kecil dengan istriku. Aku harap, kau menyukainya, Daph.”

“Ya, kau benar.” Daphne mengangguk-angguk sambil memendarkan pandangan. “Ini sangat bagus dan mewah untuk orang sepertiku.”

“Jangan merendahkan dirimu.” Daphne bisa merasakan sentuhan tangan Adam menimpa jemarinya. Membuat sensasi aneh seperti tersengat listrik dadakan. “Kau tahu itu, ‘kan?”

“Ah, ya.” Perlahan Daphne menarik tangannya dan sontak membuat Adam berdehem pendek. Mungkin sama kagetnya dengan Daphne tadi.

“Maaf, aku tidak bermaksud—“

Daphne bergerak sedikit mengambil jarak dari tubuh Adam. “Kupikir, aku belum siap untuk melakukannya hari ini,” cetusnya jujur, mengingat dirinya masih dibayang-bayangi kejadian semalam. “Aku minta maaf.”

“Maksudmu?” Kerut muncul di kening Adam, mulanya samar-samar dan berubah sejelas itu. “Aku kemari bukan untuk memintamu melakukannya. Ini ... bukan.” Adam menggelengkan kepalanya lemah. “Aku hanya ingin memastikan keadaanmu baik-baik saja, Daphne.”

Refleks Daphne melotot kaget. Lalu ia menutup mulutnya karena malu. “Astaga, maafkan aku. Kupikir kau datang untuk—“

Kekehan Adam membuat Daphne menjeda ucapan. “Kita bisa memulainya besok, atau di saat kau benar-benar siap,” katanya gamblang. “Memangnya kau pikir aku setega itu memintamu melakukannya sekarang?”

Daphne membasahi bibir. “A-aku mungkin akan tetap melakukannya jika kau yang meminta, Adam ....”

Anggap saja Daphne gila karena sudah bertindak seterus terang itu, tapi respon Adam justru membuatnya semangat. Pria itu meraih pinggulnya agar mendekat. Kemudian bibir itu menghujam milik Daphne tanpa aba-aba.

“Daphne, aku—“

Daphne menggeleng. “Lanjutkan, Adam ...” katanya di sela lenguhan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status