Di bawah shower menyala, Daphne mengamati kedua kakinya yang basah. Busa dari sabun cairnya sudah luruh dan mengalir ke lubang pembuangan. Namun ia tetap merasa kotor tiap kali Adam mencumbunya.
Hampir sebulan lamanya Daphne berserah diri. Bahkan ia tetap menyambut kedatangan Adam yang selalu singgah hampir setiap hari. Pria itu benar-benar menyalahi aturan yang dibuat Mosha, tapi Daphne tidak mengeluh sama sekali. Perlahan, ia mulai terbiasa dan berpikir menikmati tiap waktu yang ada.
“Kau sudah bertemu Nolan lagi setelah di kafe itu?” tanya Adam saat Daphne keluar dari kamar mandi dengan balutan bathrobe putih.
“Apa pedulimu?” Daphne melirik sekilas dan melanjutkan langkah mengambil pakaian di walk in closet.“Jawab saja.” Adam saat itu tengah duduk di mini sofa, hanya mengenakan celana pendek dan membiarkan tubuh bagian atasnya terbuka. Ia mengarahkan tatap tajam pada Daphne
Hamil. Satu kata itu tak terlintas di kepala Daphne dalam waktu sesingkat ini. Hubungannya dengan Adam baru terjalin kurang lebih sebulan memang, tapi ia tak menduga akan mengalami kondisi begini. Terlebih di saat ada Nolan dan pria itu menyaksikan seluruh kejadian itu.“Dokter akan datang,” bisik Adam. “Kau memerlukan sesuatu?”Daphne menelan ludah ketika tubuhnya baru diturunkan dari tangan Adam ke ranjang tidurnya. Sementara itu tatapan Nolan menatapnya tajam seolah tak ingin melepaskan pandangan sedetik pun. Awalnya ia ingin menjelaskan semuanya pada Nolan, tapi rasa mualnya terus merajalela hingga sekarang.Meski perutnya masih tak enak setelah mengeluarkan cairan beberapa kali, Daphne menggeleng pelan. Ketika Adam mengangguk dan bersiap bergerak menjauh dari ranjang, Daphne menarik kemeja Adam dan pria itu menoleh.“Aku ingin bicara dengan Nolan,” tutur Daphne lirih karena lemas.Mata coklat Adam membelalak sejenak. “Apa aku tidak salah dengar?” balas Adam sarkas.“Aku harus men
Malam itu Adam tidur belingsatan. Tak nyenyak sama sekali karena terus memikirkan kondisi Daphne. Sekalipun di sisinya Mosha memeluk lengannya erat-erat, tetap saja itu tak berhasil membuatnya berhenti memikirkan wanita lain.Menunggu hari esok layaknya berdiri di antara hidup dan mati. Baru ketika pegangan Mosha mengendur, Adam beringsut perlahan dari ranjang dan bergerak keluar kamar.“Tuan membutuhkan sesuatu?” Pelayannya sontak mendatangi Adam. “Biar saya siapkan—““Di mana Hiro?” potong Adam sambil memendar ke sekeliling mencari asisten pribadinya itu.Sampai kemudian yang dicari pun muncul dari lorong gelap dengan pakaian santainya. “Saya di sini, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?”Adam mengangguk sekali. “Soal test pack itu bagaimana?”“Maria sudah membelikannya di apotek, dari semua jenis telah diberikan ke Nona Daphne,” jelas Hiro tenang.“Lalu ... Daphne, apa dia sudah tidur sekarang?” Suara Adam sedikit terbata dan terdengar samar, tapi Hiro begitu tanggap dan langsung menger
“Kita akan melihatnya bersama,” kata Daphne lirih.Tubuh Adam masih menegang setelah mengucapkan kata ‘anak kita’ pada Daphne. Tampak Daphne juga canggung setelah mendengarkan permintaannya yang tak lama dipenuhi dokter dan perawat di sana.Adam kini duduk di kursi samping Daphne. Kedua kakinya bergerak kompak, menapaki lantai tak sabaran.“Lihatlah, dia masih sekecil itu,” gumam Daphne saat dokter menyerahkan foto hasil USG kepada Adam. “Belum membentuk tubuh selayaknya manusia, Adam.”“Aku tahu.” Adam mengangguk sambil meraba-raba permukaan foto itu dengan sorot mata haru. “Dia akan tumbuh sehat nantinya.”“Kau benar,” Daphne mengiyakan.Adam bisa merasakan detak jantungnya bertambah saat menangkap makhluk kecil yang merupakan darah dagingnya sendiri. Air matanya menggenang di pelupuk sampai akhirnya jatuh tak lama kemudian. Buru-buru ia menyeka dan kembali fokus menatap lembaran foto di tangan.“Kau berhasil, Adam,” ujar Daphne yang terkesan mengucapkan selamat. Adam menoleh dan me
“Kau harus bekerjasama denganku,” kata Daphne sambil mengelus perutnya yang rata. “Aku ingin pulang dan merebahkan diri di tempat tidur, jadi tolong kerja samanya, ya.”Sengaja Daphne menunggu di bilik toilet sampai rasa mualnya mereda. Ia malas jika harus bolak-balik dan mengeluarkan cairan dari lambungnya. Lalu sekarang ia meletakkan kepala di dinding untuk menenangkan diri.Baru setelahnya ia keluar dengan melangkah gontai. Tepat di depan pintu masuk toilet khusus wanita, tampak Nolan berdiri menunggu di sana.“Apa yang kau tunggu di sini, Nolan?”Suara Daphne sontak membuat Nolan menoleh dan langsung menyentuh pundaknya. Mata Nolan terlihat memancarkan kekhawatiran berlebih yang mengiris hati Daphne.“Kau tampak lemas dan kurang sehat, Daph.”Daphne menggeleng. “Ini karena mual dan ini normal, kok.” Ia tidak ingin melihat Nolan ikut campur lebih jauh.“Apa kau benar-benar hamil anak pria itu?” tanya Nolan ketika berjalan bersisian dengan Daphne menuju lobi. “Di perutmu ... ada bay
Pagi Daphne terasa menyakitkan ketika rasa mualnya meluap begitu kedua kakinya menapaki lantai dingin usai terbangun dari tidur. Langkahnya bergerak cepat menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Tepat di wastafel, ia mengeluarkan isian lambungnya.“Astaga, Nona!” Maria memekik melihat dirinya muntah di kamar mandi.Tangannya mengerat di pegangan wastafel setelah menuntaskannya. Perlahan ia memutar tubuh dan berusaha kembali ke ranjang sekalipun jalannya terseok-seok karena lemas.Tak lama Maria kembali dengan membawa gelas berisi air. “Saya bantu, Nona,” katanya sesaat setelah menaruh nampan di nakas.“Ini benar-benar tidak enak, Maria,” rintih Daphne sewaktu berhasil duduk di ranjang dengan punggung menyandar pada bantal. “Aku tidak sanggup memasukkan makanan atau apa pun ke dalam mulutku. Pasti semuanya akan kembali keluar dan itu menyiksaku.”Maria menatapnya prihatin. Lalu tangannya meraih gelas dan menyerahkannya pada Daphne. “Pelan-pelan saja, Nona. Saya yakin, ini akan
“Ini enak,” puji Daphne setelah mendapatkan suapan pertama dari Adam.Beberapa kolega hingga keluarganya pernah mencoba masakannya pada acara penting. Itu pun jika Adam berkenan memasak dan memiliki waktu luang banyak. Tak sedikit yang memuji dan meminta resepnya. Walau terkadang, ayah Adam tak mengijinkan hal itu mengingat statusnya sebagai suami dan seorang laki-laki.Lalu sekarang, Adam menunjukkan kelebihannya itu secara cuma-cuma pada Daphne. Pada wanita yang kini mengandung darah dagingnya sendiri.“Kupikir keturunan bangsawan hanya bisa menyuruh pelayannya, mana bisa memasak sepertimu,” tambah Daphne enteng.Adam mendengkus pelan. “Mainmu mungkin kurang jauh,” katanya sambil menyuapi Daphne makanan lagi. “Lagi pula aku sering melakukannya jika ada waktu. Kau saja yang baru tahu.”Daphne mengangguk mengiyakan. “Mungkin kalau aku tidak menerima penawaranmu dan hamil seperti ini, aku tidak akan pernah merasakan makanan seenak ini. Buatan Adam Livingston.”Adam nyaris tergelak mend
“Aku hanya ingin membantu mengobati lukanya, tapi dia langsung bilang soal batasan? Ck!” Daphne berdecak kesal selagi mengulas kembali ucapan Adam sebelum pria itu pergi beberapa jam lalu.Dan sekarang, Daphne dihadapkan dengan beberapa makanan yang telah dipanaskan Maria untuk makan malam. Semua masakan Adam dan itu terlihat menggiurkan, apalagi perut Daphne sudah kelaparan sejak tadi.“Duduklah bersamaku, Maria,” ujar Daphne saat melihat Maria terus berdiri di sisinya. “Temani aku makan semua ini.”“T-tapi, Nona—“Daphne mengulas senyum, tahu betul aturan yang diyakini Maria untuk tidak duduk bersama majikannya. Namun di sini Daphne sadar bahwa ia bukan orang yang layak dihormati sebegitunya oleh Maria. Ia manusia biasa yang tak memiliki pangkat atau status penting seperti Adam dan istrinya.“Jika kita bertemu di luar nanti selepas aku melahirkan anak ini, derajat kita sama, Maria. Dan tidak seharusnya aku memperlakukanmu seperti budak,” papar Daphne lembut seraya menarik lengan Mar
“Kau diam saja tanpa membelaku sama sekali, Adam.”Adam memejamkan mata dan menjauhkan tangan dari kancing kemejanya yang semula ingin dilepas satu persatu. Perhatiannya terpecah begitu membuka mata dan menyaksikan Mosha sudah terisak di pojok ruang tengah rumah mereka.“My Love ...” panggilnya lembut seraya mendekat. Walau ia tahu Mosha akan beranjak, tak ingin didekati apalagi disentuh. “Kau tahu sendiri bagaimana Dad dan Mom yang sangat menginginkan keturunan. Aku begini karena tak ingin mereka mengungkit kekuranganmu.”“Kekurangan?” Kepala Mosha terangkat, matanya berair dan wajahnya basah karena tangisan. “Baru kali ini aku mendengarnya dari mulutmu. Apa kau pikir aku menginginkan keadaan ini?”“Mosha, bukan begitu maksudku—“ Tangan Adam yang terulur itu ditepis Mosha sebelum menyentuh istrinya. Mosha beringsut dan melesat pergi ke kamar. “Aku minta maaf,” gumamnya sesaat sebelum sang istri membanting pintu dan menguncinya.Alih-alih mengejar Mosha dan membujuknya, Adam memilih m