“Kita akan melihatnya bersama,” kata Daphne lirih.Tubuh Adam masih menegang setelah mengucapkan kata ‘anak kita’ pada Daphne. Tampak Daphne juga canggung setelah mendengarkan permintaannya yang tak lama dipenuhi dokter dan perawat di sana.Adam kini duduk di kursi samping Daphne. Kedua kakinya bergerak kompak, menapaki lantai tak sabaran.“Lihatlah, dia masih sekecil itu,” gumam Daphne saat dokter menyerahkan foto hasil USG kepada Adam. “Belum membentuk tubuh selayaknya manusia, Adam.”“Aku tahu.” Adam mengangguk sambil meraba-raba permukaan foto itu dengan sorot mata haru. “Dia akan tumbuh sehat nantinya.”“Kau benar,” Daphne mengiyakan.Adam bisa merasakan detak jantungnya bertambah saat menangkap makhluk kecil yang merupakan darah dagingnya sendiri. Air matanya menggenang di pelupuk sampai akhirnya jatuh tak lama kemudian. Buru-buru ia menyeka dan kembali fokus menatap lembaran foto di tangan.“Kau berhasil, Adam,” ujar Daphne yang terkesan mengucapkan selamat. Adam menoleh dan me
“Kau harus bekerjasama denganku,” kata Daphne sambil mengelus perutnya yang rata. “Aku ingin pulang dan merebahkan diri di tempat tidur, jadi tolong kerja samanya, ya.”Sengaja Daphne menunggu di bilik toilet sampai rasa mualnya mereda. Ia malas jika harus bolak-balik dan mengeluarkan cairan dari lambungnya. Lalu sekarang ia meletakkan kepala di dinding untuk menenangkan diri.Baru setelahnya ia keluar dengan melangkah gontai. Tepat di depan pintu masuk toilet khusus wanita, tampak Nolan berdiri menunggu di sana.“Apa yang kau tunggu di sini, Nolan?”Suara Daphne sontak membuat Nolan menoleh dan langsung menyentuh pundaknya. Mata Nolan terlihat memancarkan kekhawatiran berlebih yang mengiris hati Daphne.“Kau tampak lemas dan kurang sehat, Daph.”Daphne menggeleng. “Ini karena mual dan ini normal, kok.” Ia tidak ingin melihat Nolan ikut campur lebih jauh.“Apa kau benar-benar hamil anak pria itu?” tanya Nolan ketika berjalan bersisian dengan Daphne menuju lobi. “Di perutmu ... ada bay
Pagi Daphne terasa menyakitkan ketika rasa mualnya meluap begitu kedua kakinya menapaki lantai dingin usai terbangun dari tidur. Langkahnya bergerak cepat menuju kamar mandi dengan tangan menutup mulut. Tepat di wastafel, ia mengeluarkan isian lambungnya.“Astaga, Nona!” Maria memekik melihat dirinya muntah di kamar mandi.Tangannya mengerat di pegangan wastafel setelah menuntaskannya. Perlahan ia memutar tubuh dan berusaha kembali ke ranjang sekalipun jalannya terseok-seok karena lemas.Tak lama Maria kembali dengan membawa gelas berisi air. “Saya bantu, Nona,” katanya sesaat setelah menaruh nampan di nakas.“Ini benar-benar tidak enak, Maria,” rintih Daphne sewaktu berhasil duduk di ranjang dengan punggung menyandar pada bantal. “Aku tidak sanggup memasukkan makanan atau apa pun ke dalam mulutku. Pasti semuanya akan kembali keluar dan itu menyiksaku.”Maria menatapnya prihatin. Lalu tangannya meraih gelas dan menyerahkannya pada Daphne. “Pelan-pelan saja, Nona. Saya yakin, ini akan
“Ini enak,” puji Daphne setelah mendapatkan suapan pertama dari Adam.Beberapa kolega hingga keluarganya pernah mencoba masakannya pada acara penting. Itu pun jika Adam berkenan memasak dan memiliki waktu luang banyak. Tak sedikit yang memuji dan meminta resepnya. Walau terkadang, ayah Adam tak mengijinkan hal itu mengingat statusnya sebagai suami dan seorang laki-laki.Lalu sekarang, Adam menunjukkan kelebihannya itu secara cuma-cuma pada Daphne. Pada wanita yang kini mengandung darah dagingnya sendiri.“Kupikir keturunan bangsawan hanya bisa menyuruh pelayannya, mana bisa memasak sepertimu,” tambah Daphne enteng.Adam mendengkus pelan. “Mainmu mungkin kurang jauh,” katanya sambil menyuapi Daphne makanan lagi. “Lagi pula aku sering melakukannya jika ada waktu. Kau saja yang baru tahu.”Daphne mengangguk mengiyakan. “Mungkin kalau aku tidak menerima penawaranmu dan hamil seperti ini, aku tidak akan pernah merasakan makanan seenak ini. Buatan Adam Livingston.”Adam nyaris tergelak mend
“Aku hanya ingin membantu mengobati lukanya, tapi dia langsung bilang soal batasan? Ck!” Daphne berdecak kesal selagi mengulas kembali ucapan Adam sebelum pria itu pergi beberapa jam lalu.Dan sekarang, Daphne dihadapkan dengan beberapa makanan yang telah dipanaskan Maria untuk makan malam. Semua masakan Adam dan itu terlihat menggiurkan, apalagi perut Daphne sudah kelaparan sejak tadi.“Duduklah bersamaku, Maria,” ujar Daphne saat melihat Maria terus berdiri di sisinya. “Temani aku makan semua ini.”“T-tapi, Nona—“Daphne mengulas senyum, tahu betul aturan yang diyakini Maria untuk tidak duduk bersama majikannya. Namun di sini Daphne sadar bahwa ia bukan orang yang layak dihormati sebegitunya oleh Maria. Ia manusia biasa yang tak memiliki pangkat atau status penting seperti Adam dan istrinya.“Jika kita bertemu di luar nanti selepas aku melahirkan anak ini, derajat kita sama, Maria. Dan tidak seharusnya aku memperlakukanmu seperti budak,” papar Daphne lembut seraya menarik lengan Mar
“Kau diam saja tanpa membelaku sama sekali, Adam.”Adam memejamkan mata dan menjauhkan tangan dari kancing kemejanya yang semula ingin dilepas satu persatu. Perhatiannya terpecah begitu membuka mata dan menyaksikan Mosha sudah terisak di pojok ruang tengah rumah mereka.“My Love ...” panggilnya lembut seraya mendekat. Walau ia tahu Mosha akan beranjak, tak ingin didekati apalagi disentuh. “Kau tahu sendiri bagaimana Dad dan Mom yang sangat menginginkan keturunan. Aku begini karena tak ingin mereka mengungkit kekuranganmu.”“Kekurangan?” Kepala Mosha terangkat, matanya berair dan wajahnya basah karena tangisan. “Baru kali ini aku mendengarnya dari mulutmu. Apa kau pikir aku menginginkan keadaan ini?”“Mosha, bukan begitu maksudku—“ Tangan Adam yang terulur itu ditepis Mosha sebelum menyentuh istrinya. Mosha beringsut dan melesat pergi ke kamar. “Aku minta maaf,” gumamnya sesaat sebelum sang istri membanting pintu dan menguncinya.Alih-alih mengejar Mosha dan membujuknya, Adam memilih m
“Siapa wanita itu tadi?”Daphne mulai pening melihat Adam tak berhenti bergerak mondar-mandir setelah kembali ke apartemen. Pria itu masih saja mengomel selama perjalanan pulang usai Daphne menjelaskan beberapa hal pada Anna.“Annabeth, dia ... orang yang sering membantuku soal pekerjaan,” ungkap Daphne terus terang.Adam menoleh ke arahnya dengan tatapan lega. “Hhh.” Ia duduk di samping Daphne sambil menyandarkan punggung dan kepalanya menengok pada Daphne. “Dia bilang Nolan menghamilimu! Sudah jelas-jelas bayi yang kau kandung itu darah dagingku!”Daphne memutar kedua bola matanya seraya bergeser menjauh dari Adam. Ia masih ingat soal peringatan yang diberikan Adam terakhir kali untuk tahu batasan. Jadi, itulah yang ia lakukan sekarang.“Kenapa kau jadi marah-marah hanya karena itu, sih?” keluhnya.“Hanya karena itu kau bilang?” Adam menatapnya tak percaya. “Oh, Emilyn Daphne!”Daphne mengambil napas dan membalas, “Yang Anna tahu, kekasihku Nolan dan wajar saja jika dia menganggap o
“Aku bisa menggunakan sofa,” tukas Adam segera. “Tenang saja.”Ia tidak segila itu meminta sekamar dengan Daphne. Sekalipun wanita itu yang mengandung darah dagingnya. Sekalipun ia dan Daphne pernah melakukan hubungan suami-istri itu tak membuat segalanya jauh lebih mudah.Daphne hanya menatapnya sesaat. Rautnya yang semula tegang kini berubah menjadi datar kembali, wanita itu lalu pergi ke kamar dan menutup pintu rapat. Adam menoleh ke pintu dan mendesah panjang. Baru kemudian ia melanjutkan pekerjaan setelah Hiro dan beberapa ajudannya datang membawakan keperluan pribadinya.“Ada beberapa masalah di kantor, Tuan. Pihak Andalas sepertinya tidak menyetujui tawaran kita minggu lalu,” papar Hiro dengan sederet kabar yang paling Adam benci.Adam bangkit dari duduk. “Kita berangkat sekarang,” katanya sambil lalu.Ketika tiba di ambang pintu, Adam menghentikan langkah dan menatap kamar Daphne. Wanita itu tak muncul dari sana sama sekali rupanya. Nyatanya ia memang sedikit berharap Daphne k
Ini hari kesekian Adam mengunjungi Daphne di apartemen. Mereka terus melakukannya sampai tanda-tanda kehamilan muncul. Daphne tak lagi mengeluhkan apa pun, ia bertahan dan menghadapi segalanya bersama Adam.“Kau akan langsung pergi setelah ini?” tanya Daphne sambil menyentuh lengan Adam yang kala itu hendak beringsut dari ranjang. “Tidakkah kau ingin tinggal sebentar di sini?”Adam menoleh sesaat dan melemparkan senyum tipis. Pria berkulit eksotis itu meraih tangan Daphne dan menyingkirkan dari lengannya pelan.“Ada banyak pekerjaan di kantor, kalau kau butuh sesuatu bilang saja pada Maria,” tandas Adam yang gelagatnya makin menarik diri—setiap hari. “Atau pada asisten pribadiku.”“Mosha sedang berkeliling luar negeri untuk menyelesaikan lukisannya, Adam.” Daphne menarik selimut guna menutupi tubuhnya. “Tinggallah di sini sebentar saja. Aku hanya ingin melihatmu lebih lama, tidak seperti ini.”“Daph, kau tau semua ini kesalahan?”Suara Adam yang berat itu menyapu ruangan. Sesaat pria
Taman di area apartemen mewah yang ditinggalinya cukup menyita perhatian. Ada banyak hal yang bisa digalinya dengan baik, terutama pemandangan dengan berbagai bunga. Daphne tersenyum senang. Ini sudah dua kalinya ia keluar unit dan menyambangi taman bunga tersebut. Daripada berdiam diri di apartemen dan menghabiskan waktu menonton drama, lebih baik seperti ini."Tuan Adam ada di sini, Nona." Suara Maria mengalun pelan tepat di sebelah telinga kanan Daphne. "Mungkin dalam beberapa menit akan sampai."Daphne berjengkit kemudian. Ia lekas menoleh pada Maria yang tersenyum senang padanya."Dia benar-benar datang?" tanyanya tak percaya. Begitu mendapat anggukan dari Maria, Daphne pun yakin. "Kita harus kembali ke unit, Maria. Sekarang!"Maria menggeleng sambil menyentuh lengan Daphne pelan. "Tuan akan ke mari. Dia sudah tahu kau ada di sini, Nona.""Benarkah?" Gelenyar hangat dan membahagiakan memenuhi benak Daphne. Ia sudah menunggu kehadiran Adam dalam waktu cukup lama. Lalu sekarang,
Adam menghampiri Mosha yang fokus dengan peralatan lukisnya. Wanita itu telah menghabiskan beberapa hari di ruang sendiri untuk menggoreskan kuas di atas kanvas putih. Dan itu membuat hubungan Adam dan Mosha kian renggang.“Aku membuatkan makan malam untukmu, kau mau mencobanya sedikit?” tanyanya setelah memerhatikan Mosha dari belakang dan berani lebih mendekat.Tanpa menoleh, Mosha menjawab, “Taruh saja di meja, aku akan memakannya nanti.”“Akhir-akhir ini kau selalu sibuk,” tukas Adam yang kini memberanikan diri bersisian dengan Mosha. “Apa yang sedang kau kerjakan, My Love?”Tubuh Adam direndahkan untuk bisa melihat hasil lukisan sang istri dengan baik. Tentunya ingin lebih memahami makna yang dilukis sang istri.Namun baru beberapa detik, Mosha menyingkirkan kanvas itu dan meletakkanya di lantai. Seolah tak berharga sama sekali.“Aku mencoba melukis lagi,” balas Mosha seraya bangkit dan membelakangi Adam. “Beberapa galeri menanyakanku.”Adam menatap punggung Mosha yang dibalut ou
"Kudengar program soal wanita sewaan yang akan melahirkan keturunan Livingston gagal?"Adam berusaha tenang menghadapi sindiran dari ayah mertuanya. Setelah Adam pergi meninggalkan Mosha di negeri orang karena Daphne, sudah sepantasnya ia mendapatkan tanggapan negatif dari orang tua sang istri—seperti sekarang."Apa kau akan mengulangi lagi dari awal atau mencari wanita yang lebih subur dan mandiri?"Adam menelan ludah, tapi rautnya masih cukup terlihat tenang di atas bangkunya. Ia sempat menatap Mosha yang tetap diam seperti boneka dengan gaun peraknya yang tampak elegan.Wanita itu rupanya tetap datang, bahkan setelah kejadian pilu ini. Ingin sekali Adam menanyakan kabar Mosha dan apa yang tengah dirasakan wanita itu, tapi jarak duduk mereka terlampau jauh. Mosha menempati kursi di ujung, sementara Adam diapit kedua orang tuanya.Sampai kemudian, ibu Mosha angkat suara dan ikut mengompori, "Setidaknya jangan asal merekrut wanita yang manja dan membuat istrimu cemburu. Kau tentu mas
“Kau bicara apa, sih?”Adam mendengkus dan memalingkan wajah ke lain sisi alih-alih membalas tatapan pongah Tabitha.Pria itu sepertinya sudah siap menyangkal apa pun yang dituduhkan Tabitha. Salah satunya soal dugaan perasaan khususnya pada Daphne yang terkesan konyol. “Tuan Adam Livingston, kau harus tahu aku melihat pakaian-pakaianmu di kamar Daphne. Bukankah itu tidak masuk akal kalau hubungan kalian sekadar partner bisnis?” Tabitha makin percaya diri saat melontarkan kata-katanya. “Kau bahkan meninggalkan pakaian dalammu!”Melihat hal itu, Daphne menghela napas. Tak percaya sahabatnya berani mengungkap fakta tentang Adam cukup blak-blakan.“Tabitha, hentikan—“ pinta Daphne yang kontan dipotong Tabitha bersama pelototan galaknya. “Berhentilah menutupi itu semua, Daph. Kalian ini benar-benar seperti anak remaja yang sedang menggebu-gebu untuk bercinta. Astaga ....” Tabitha bergidik ngeri menyaksikan Daphne dan Adam saling berubah malu-malu kucing. Sampai kemudian, Adam memaling
“Apa kau berniat mengakhiri ini semua?” Adam angkat suara setelah Tabitha keluar dari ruangan dengan wajah dongkol. “Tabitha ... apa yang dibicarakannya tadi, kau akan pergi?”Setelah memandangi pintu yang ditutup dari luar, tatapan Daphne beralih pada Adam. kepalanya mendongak karena perbedaan tinggi tubuh mereka sekarang.“Menurutmu?” tanya Daphne serak.Tangan Daphne menarik pinggiran kaus yang dikenakan Adam. Ia meremasnya kuat-kuat sejalan dengan nyeri yang makin terasa bersamaan dengan sosok pria itu yang kini kian mendekat padanya. Bahkan ia bisa merasakan aroma khas tubuh Adam dan sapuan napas berat sang pria yang dirindukannya.Tanpa meminta apa-apa, Adam merengkuhnya. Membawa tubuh Daphne dalam pelukan hangat untuk menguatkan. Sapuan di punggung terasa nyaman dan itulah yang Daphne butuhkan sejak lama.“Aku tidak tahu seperti apa ke depannya, Daph,” gumam Adam di sela pelukan.Napas Daphne tersumbat. Pipinya melekat pada dada bidang Adam yang membusung. “Bayinya ... bayimu s
Kedua tangan Daphne mencengkeram erat sisi bajunya yang telah diganti dengan yang baru. Lebih bersih dan tak lagi berbau anyir seperti sebelumnya.“Dengan berat hati, kami tidak bisa mempertahankannya, Nona,” ungkap dokter yang menanganinya dengan raut prihatin.Daphne tak sanggup melihat wanita itu. Ia memalingkan wajah dan menatap ke arah tirai yang menutupi jendela. Hari sudah petang dan langit mulai diserbu taburan bintang.Perihal kehilangan, sejauh ini Daphne sudah banyak melaluinya dengan batin lapang. Namun tidak secepat dan semenyesakkan ini. Ia baru menyadari kehadiran si janin dan mengakuinya sebagai darah dagingnya sendiri, tapi bayi itu pergi lebih cepat tanpa memberikan salam perpisahan.Sudah banyak air mata yang dikeluarkan. Mata Daphne memanas saat merasakan nyeri di batinnya. Ia meraba perutnya yang kembali rata dan kosong tanpa berpenghuni.“Terima kasih, Dokter,” kata Tabitha mewakili Daphne.Begitu dokter dan perawat keluar dari ruangan, Daphne menghalau matanya m
“Apa yang kau lakukan, Mosha?”Kening Adam masih berkerut dalam, kedua alisnya pun bertaut begitu membaca nama Daphne masuk ke daftar peneleponnya beberapa jam lalu. Tepatnya saat ia tertidur, wanita itu menelepon setelah sekian lama.Adam mengira semua ini mimpi karena selama ini Daphne tak mencarinya. Ia sendiri pun menghilang karena memikirkan perasaan sang istri. Namun sekarang, rasanya ia baru dikhianati karena Mosha menyembunyikan itu semua darinya—terutama tentang Daphne.Mosha meliriknya sesaat dan melanjutkan mengenakan rangkaian skin care ke wajah. Mata wanita itu menatapnya melalui pantulan cermin besar.“Kau tidak mau menjawabnya?” Adam bangkit sejalan dengan pertanyaan yang terlontar dari mulutnya. “Kenapa kau tidak bilang kalau Daphne menghubungiku?”Adam makin geram, tapi tetap mencoba tenang. Bertahun-tahun mengenal Mosha, ia cukup paham menghadapi sang istri. Sekalipun kesabarannya makin menipis saat menyaksikan betapa santainya wanita itu merawat diri alih-alih menja
Daphne sudah mencobanya. Menyantap masakan Tabitha dan Maria, tapi hasilnya tetap sama. Ia kembali memuntahkan semuanya dan berakhir lemas di ranjang.“Bukankah kau harus ke rumah sakit?” kata Tabitha cemas.Daphne hanya menatap, tak sanggup menggeleng karena kepalanya kelewat pening. “Kupikir aku hanya butuh istirahat.”“Tapi keadaan Nona sangat buruk,” timpal Maria memberi komentar. “Saya akan coba menghubungi sopir agar bisa mengantar kita ke rumah sakit.”Satu tangan Daphne terangkat dan bergerak mengibas. “Biarkan aku istirahat lebih dulu, Maria,” pintanya lemah. “Maafkan aku sudah banyak merepotkan kalian.”Tabitha terdecak dan bergerak mendekati Daphne. “Hentikan rasa tak enakmu itu!” dengkusnya. “Kau harus bertahan, setidaknya untuk dirimu sendiri. Kau ingat ada bayi di dalam perutmu ini, ‘kan?”Tentu saja Daphne tak lupa. Ia juga berusaha mempertahankan bayi Adam, tapi usahanya justru belum membuahkan hasil. Sekarang ia hanya ingin berdiam diri dan beristirahat sejenak setela