Beranda / Romansa / Mata Elang / Berkedok Makan Malam

Share

Berkedok Makan Malam

“Berapa Mbak, biayanya?” tanya Sean ke petugas administrasi.

“Untuk pasien atas nama siapa, Mas?”

tanya balik petugas itu.

“Pasien IGD yang baru datang mbak, Anthony namanya,” jelas Sean.

“Baik, ditunggu sebentar ya, Mas,” Pegawai itu memainkan jari diatas keyboard komputer, dengan gesit dia  menghitung semua biayanya.

“Biayanya 1 juta Mas, ini baru penanganan awal dan termasuk obat yang akan digunakannya,” beber pegawai itu.

Tanpa pikir panjang Sean membayarnya, untungnya dia tidak lupa membawa dompet yang dia taruh diatas meja.

“Saya bayar dengan cara debit bisa ya, Mbak?” tanya Sean.

“Bisa Mas, mohon duduk dulu,” pinta pegawai.

Pegawai itu menunjuk tempat duduk yang tersedia untuk menunggu antrian. Sean tidak bisa tenang dengan duduk menunggu, dia hanya berdiri agak jauh dari meja pegawai tersebut.

Papa dan mamanya sudah sampai di ruang administrasi juga, mereka tampak kelelahan mengejar Sean. Kebetulan ruang administrasi lumayan jauh dari IGD.

“Gimana Sean? Berapa biayanya?” tanya mama Sean.

“Sudah Ma, jangan kuatir. Aku sudah mengurusnya,” jawab Sean.

Percakapan mereka teralihkan dengan suara panggilan pegawai disana.

“Keluarga pasien atas nama Anthony!!!”

Dengan segera Sean menuju counter administrasi, dan berkata, “Iya, Mbak.”

“Ini kwitansi nya, langsung saja serahkan ke perawat IGD agar pasien cepat ditangani,” terang pegawai itu.

Pegawai itu tidak lupa menyerahkan kartu debit milik Sean, lalu berlari kembali menuju IGD lagi.

Setelah kwitansi diserahkan ke perawat, segera saja Anthony ditangani dengan cepat. Sean disuruh menunggu di luar, dia sangat panik membuatnya jalan mondar-mandir seperti setrikaan.

Mama dan papa Sean menemuinya, papa berkata, “Sean, mama harus pulang karena saking panik mama baru ingat kalau rumah belum dikunci.”

“Sedangkan, Papa akan disini menunggu bersamamu,” imbuh papa.

“Tidak usah Pa. Mama dan Papa pulang dulu saja. Kalau ada apa-apa nanti Sean akan menghubungi Papa,” ungkap Sean.

Papa Sean diam menimbang perkataan putranya, selang beberapa menit papa Sean berkata,

“Baiklah Nak, kami pulang dulu. Papa juga tidak tega membiarkan mamamu pulang  sendirian sedangkan hari juga sudah malam.”

“Iya Pa, Sean mengerti. Papa hati-hati di jalan,” ucap Sean.

Orang tua Sean sudah berjalan keluar rumah sakit, sampai hilang dari pandangannya. Suara pintu terbuka berasal dari ruang IGD, dokter yang menangani Anthony keluar.

“Anda keluarga pasien?” tanya dokter.

“Iya, saya Dok. Bagaimana dengan keadaannya?” tanya Sean cemas.

“Pasien mengalami dehidrasi, jika terlambat sedikit saja akan membahayakan seluruh organ tubuhnya. Kami pindahkan pasien ke  kamar rawat inap, besok kita akan cek secara mendetail keseluruhan badannya,” terang dokter.

“Baik Dok, terimakasih,” ungkap Sean.

Setelah dokter memberi penjelasan kepada Sean, dia berlalu untuk menangani pasien lain yang butuh pertolongan. Anthony yang masih tidak sadarkan diri itu terbaring di ranjang pasien, selang kabel infus dan alat bantu pernapasan terpasang ditubuhnya.

Perawat mendorong ranjang itu untuk dipindahkan ke kamar ruang inap, Sean yang menunggu di depan itu segera mengikuti mereka. Ruang ekonomi dengan kamar yang luas itu harus dibagi untuk 5 pasien dengan setiap ranjangnya dibatasi oleh kelambu gorden sampai batas betis orang dewasa.

Perawat sudah meninggalkan ruangan, menyisakan Anthony yang tak sadarkan diri dan Sean sendiri. Sean duduk di kursi mendekati sahabatnya, dia melihat nanar ke arah Anthony merasakan betapa malang nasib yang dilaluinya.

Di sebuah kampung putri dari keluarga ningrat sedang duduk santai menikmati teh di sore hari. Pekarangan yang luas itu ditanami berbagai pohon, tanahnya berubah menjadi hijau ketika rumput sengaja ditanam untuk menambah asri bagi siapa yang memandang.

“Vanya!!! Kenapa kamu masih di luar??? Ayo cepat masuk!!! Hari sudah mulai gelap tu,” kata mami Vanya.

Gadis itu terpaksa menuruti dan mengikuti perintah mami masuk rumah keluarganya yang megah nan indah, gaya bangunan Eropa yang mempunyai balkon maupun teras luas dengan jendela kaca menghiasi di setiap sisinya.

Vanya bagaikan manusia peliharaan yang harus mematuhi perintah orang tuanya, terutama maminya. Gadis cantik dengan tinggi rata-rata, berkulit kuning langsat itu bagaikan boneka hidup.

Mami duduk di ruang tamu membawa daftar kegiatan yang akan dilakukan Vanya besok.

Vanya sudah duduk di dekat maminya untuk mendengarkan agendanya besok.

Mami Vanya sudah mulai membaca, salah satu kegiatan yang harus dia ikuti adalah menengok pekerja yang kemarin kecelakaan dalam bekerja. Keluarga Vanya sangat suka sekali dengan pencitraan sejak papinya ingin mencalonkan diri menjadi pejabat itu menjadi hal wajib yang harus dilakukan.

“Vanya, waktu di rumah sakit besok ingat!! Jangan lupa beri motivasi

pada pekerja itu, agar dia merasa dihargai dan yang paling penting biar menarik perhatian masa. Supaya papimu dianggap orang baik dan bisa maju dalam pemilu nanti. Paham!!!” terang maminya.

“Paham, Mi,” jawab Vanya cepat.

“Ya sudah. Habis ini langsung mandi, pakai baju yang sudah mami siapkan ya. Acara terakhir malam ini adalah ikut perjamuan makan malam dengan pak Purnomo,” beber mami.

“Baik, Mi,” sahut Vanya, dia tidak bisa menentang apa yang sudah ditetapkan untuknya.

Jika dia menolak akan mendapatkan siksaan dari maminya, seluruh pembantu di rumahnya mengetahui semua kelakuan busuk keluarganya. Mereka yang bekerja di dalam rumah akan mendapatkan gaji yang besar, mereka semua harus menandatangani sebuah perjanjian yang salah satu isinya tidak boleh menyebarkan apapun yang mereka lihat ataupun dengar ketika bekerja di rumah keluarganya.

Waktu berjalan terlalu cepat, jam pertemuan makan malam semakin dekat. Mami Vanya sudah siap, dia sedang menunggu Vanya turun dari kamarnya lantai 2.

“Non, cepat dipakai bajunya!! Nanti nyonya besar marah,” kata peringatan dari pembantu yang paling dekat dengan Vanya, namanya Bik Neni.

“Vanya tidak mau, Bik. Lihat saja baju jelek itu,” protes Vanya.

“Harus dipakai, Non. Ini pilihan Nyonya besar,” kata bik Neni.

Bik Neni pun sebenarnya juga setuju dengan Vanya, pakaian yang dipilihkan untuknya terlalu terbuka. Tapi mereka tidak ada pilihan lain, jika tidak kena murka nyonya besar. Bik Neni tahu betul perasaan nona kecilnya, karena dialah orang yang merawat dari umur belia. Dia sangat kasihan sekali dengan hidup yang dijalani Vanya.

“Vanya!!! Vanya, cepat turun!!!” teriak maminya.

“Apa yang Bibik bilang, Non. Ayo cepat dipakai, Non,” ucap bik Neni setengah takut.

Dengan cepat Vanya memakai baju itu dibantu oleh bik Neni, sebenarnya  Vanya sudah siap tinggal memakai baju saja yang membuatnya sangat lambat.

Vanya sudah turun dari kamarnya sesekali dia membetulkan baju yang dipakainya, baju berjenis dress selutut dengan bagian bahu dan punggungnya terbuka, bisa disebut ‘Off Shoulder Dress’.

Mereka sudah saja sampai di tempat pak Purnomo, perjamuan itu hanya dihadiri oleh papi, mami, Vanya dan pak Purnomo. Aneh, kenapa pak Purnomo tidak mengajak istrinya? Ini sebenarnya acara apa?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status