Beranda / Romansa / Mata Elang / Kesalahan Sebuah Takdir

Share

Kesalahan Sebuah Takdir

Papi Vanya sebagai Gubernur provinsi itu selalu di sibukkan dengan semua kegiatannya, sedangkan maminya membantu mengurus pekerjaan papi, dan juga semua keputusan masalah keluarga diserahkan ke mami Vanya.

Vanya adalah anak pertama dari 2 saudara. Dia adalah salah satu anggota dari keluarga Kencana, yang dikenal sebagai keluarga pejabat yang sangat terpandang dan kaya.

Sayangnya, anak perempuan ini hanya dijadikan sebagai bunga, hiasan yang harus terlihat cantik dan menawan. Keluarganya  mencukupi semua fasilitas dan kenyamanan hidupnya hanya untuk sebagai alat. Alat yang digunakan untuk mencapai tujuan keluarganya.

Purnomo adalah pejabat tinggi yang bertugas di kota pusat, dia satu partai dengan papi. Namun, kepopulerannya sebagai pejabat bersih rahun lalu, membuatnya melesat jauh ke jabatan yang dia duduki sekarang.

“Selamat malam, pak Murti Kencana beserta keluarga. Senang sekali akhirnya saya bisa makan malam dengan keluarga Anda,” ungkap Purnomo.

“Kami juga senang bisa  menjadi tamu kehormatan Anda,” Papi membalas rasa senang Purnomo.

Vanya yang sudah hafal dengan pertemuan semacam ini hanya berkonsentrasi dengan hidangan di meja, sambil menunggu acara selesai dia biasanya menggambar di atas permukaan piring menggunakan saus, atau benda semacamnya untuk mengisi kebosanannya.

“Selamat malam Vanya, kamu hari ini cantik sekali,” sapa Purnomo.

Dia tidak menyangka gadis remaja yang pertama kali dia temui 5 tahun yang lalu itu tumbuh menjadi wanita sempurna. Lekuk tubuhnya yang indah, paras ayu itu membuat Purnomo sangat ingin memilikinya. Pertemuan tidak sengaja 2 bulan yang lalu, membuat Purnomo bergerak cepat untuk meminang Vanya.

Vanya tersentak ketika dia mendapat perhatian yang tidak wajar dari teman papinya, tidak seperti biasanya yang hanya menjadi pajangan dan ajang pamer bagi keluarganya.

“Selamat malam, O...m,” jawab Vanya ragu.

“Bersikap santai saja, panggil saya, Mas, Vany!!” jelas Purnomo.

Dia adalah pria berumur sekitar 45 tahun, badan dengan tinggi rata-rata , mempunyai perut tambun dan wajah kotak yang terawat. Dan lagi dia sudah mempunyai seorang istri.

“Bu Sonya, tolong jelaskan tujuan makan malam kita hari ini?” pinta Purnomo ke mami.

Mami mengangguk, lalu mami memegang tangan dan menatap mata Vanya tajam, seolah dia memberi perintah agar Vanya jadi anak yang baik.

“Iya, Vanya Sayang. Kamu harus terbiasa dengan panggilan akrab dari pak Purnomo, karena dia akan menjadi suamimu,” jelas maminya.

Vanya terkesiap, dunianya yang runtuh itu harus pecah berkeping-keping. Seketika sendok yang dia pegang jatuh, menimbulkan bunyi berkelontang menghantam piring. Hati Vanya perih menahan pedih jalan hidupnya.

“Vanya!!!” teriak mami yang sudah berdiri dari tempat duduknya, mami sangat marah tersirat dari kilat matanya.

“Tenang Mi, jagalah sikapmu di hadapan pak Purnomo!!” gerutu papi setengah berbisik.

“Tenanglah kalian semua!! Acara makan malam yang indah ini jangan sampai rusak, saya sudah memaklumi kelakuan Vanya. Bu Sonya berikanlah pengertian yang lembut kepadanya dirumah,” terang Purnomo.

“Baik Pak, terimakasih atas pengertiannya,” ungkap mami.

Mereka kembali meneruskan makan malam, sedangkan Vanya tidak ada selera untuk makan. Makan malam itu akhirnya selesai, pak Purnomo pamit lebih dulu. Dia mendekati Vanya, memegang pundaknya menelusuri tangan bergerak turun sampai telapak tangan Vanya.

Vanya menarik tangannya karena tidak nyaman, mami yang menangkap gelagatnya melotot ngeri memandangnya.

Vanya terpaksa menurut apa yang diperintahkan mami melalui kontak mata, yaitu menerima perlakuan Purnomo yang sedang mencium tangannya, Vanya memalingkan muka sebagai gantinya.

“Vanya, Mas pulang dulu,” kata Purnomo dengan senyumnya yang menjijikkan.

“I...ya Mas!!”

Vanya menjawab dengan sangat tidak nyaman, dia ingin segera pergi meninggalkan acara ini. Rumah pun bukan tempat nyaman untuk dia tinggal. Mimpi dia adalah menikah dengan orang pilihannya lalu hidup berdua jauh dari campur tangan kedua orang tua maupun orang lain.

Keluarga Kencana juga sudah meninggalkan tempat makan malam itu, mereka dalam 1 mobil yang sama. Karena kesibukan papi Vanya, momen seperti ini jarang sekali terjadi. Biasanya papi akan berada di mobil lain yang terpisah dengan Vanya dan maminya.

Sayangnya, momen yang jarang terjadi itu bukan momen bahagia. Sebaliknya momen menegangkan bagi Vanya, karena kedua orang tuanya siap memuntahkan kata-kata perintah yang memaksa. Setelah puas memarahiku, papi beralih marah ke mami.

“Sonya!!! Apa saja pekerjaanmu dirumah? Apa mendidik 2 anak susah bagimu!!! Aku tidak mau tahu, Vanya harus menerima pernikahan ini!”

Papi Vanya membentak istrinya, dia sangat marah karena hampir saja acara makan malam tadi berantakan. Dia tidak mau itu terjadi, lantaran dia akan dijanjikan tempat yang lebih tinggi lagi oleh Purnomo.

“Maafkan aku, Mas. Aku akan memastikan dia untuk mau menikah. Mas tenang saja, ini tidak akan membuat mas terganggu dalam berkarir,”

Mama Vanya menjawab dengan yakin, agar suaminya tidak terus merundungnya. Vanya duduk di tengah bersama maminya itu menunduk dalam, tangannya memainkan gaun dengan sangat takut.

Jalanan padat dengan berbagai kendaraan berjalan ke tujuan masing-masing. Mobil yang mereka tumpangi berhasil membawanya dengan selamat sampai depan rumah Vanya.

Mereka sudah berada di bangunan megah yang disebut rumah. Vanya memasuki kamar dan menjatuhkan diri ke ranjang dengan air mata yang sudah tidak terbendung lagi. Dia menangis sekeras-kerasnya.

Bik Neni yang baru masuk ke dalam kamarnya sangat trenyuh, dia sudah hafal setiap kegiatan ataupun tindakan yang tidak disukai nona mudanya, Vanya akan menangis di dalam kamar. Kamar adalah ruang ternyaman untuk Vanya mengungkapkan semua yang dia rasakan.

“Non, apa yang terjadi?” tanya bik Neni.

Vanya bangun dari tidurnya lalu memeluk bik Neni yang sudah ada di sampingnya. Hanya kepada bik Neni, Vanya akan menjadi dirinya sendiri.

Vanya tidak menjawab pertanyaannya, dia hanya menangis sepanjang malam lalu tertidur.

Embun menyelimuti udara pagi ini, hari akan dimulai lagi untuk mengukir cerita di dalamnya. Begitu juga dengan Vanya, yang sudah sibuk dengan segala kegiatannya. Tidak peduli apa yang dia alami, semua yang sudah di agendakan wajib untuk dijalankan.

“Vanya, kamu akan ke rumah sakit sendiri. Pastikan kamu bersikap seramah mungkin untuk memberikan semangat. Agar citra papimu semakin baik untuk maju dalam pemilihan nanti,” titah maminya.

“Baik Mi,” ucap Vanya menunduk.

“Mami akan mengurus pertemuan lainnya, nanti kita bertemu waktu makan siang dan sopir sudah mengetahui lokasinya,” jelas maminya. Mereka pun masuk ke dalam mobil yang berbeda.

Vanya sudah masuk rumah sakit, dia menuju kamar pasien sesuai info maminya. Ruangan itu hanya diisi 2 orang pria yang kelambunya terbuka.

Anthony duduk memandang taman dari jendela, dia sudah sadar dan mendapati seorang diri dirumah sakit. Dia tidak sadar ada seorang wanita menghampirinya.

“Bersabarlah!! Kesakitan ini hanya sementara asal kamu berjuang untuk mendapatkan kebahagiaanmu. Cepatlah sembuh,” kata penyemangat Vanya.

Anthony mengalihkan pandangan ke sumber suara, dia melihat wanita asing memberikan semangat kepadanya. Dia menangkap sorot mata Vanya yang penuh penderitaan dan dalam hati berkata, “Kata itu lebih cocok untuk dirinya sendiri.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status