Riri melangkah cepat menuju IGD, menahan napas yang terasa berat di dada. Pikirannya kacau. Setya. Delapan tahun tak bertemu, kini pria itu berdiri lagi di hadapannya, dengan tatapan yang sama dinginnya seperti dulu.
"Dia masih sama ... dingin dan sulit ditebak, menyebalkan!" gerutunya. Setibanya di IGD, Riri menyerahkan obat kepada Dokter Yuzha sambil berusaha tersenyum meski hatinya gelisah. "Terima kasih, Ri," ucap Dokter Yuzha ramah. "Sama-sama, Dok. Kalau gitu, saya ijin pamit balik ke farmasi ya, Dok," balasnya singkat. Namun, baru saja Riri hendak berbalik, lengannya kembali di tahan oleh Dokter Yuzha. "Sibuk banget yah? Ada yang mau saya obrolin," ucap Dokter Yuzha penuh harap. Riri hanya mengangguk samar, lalu segera melepaskan cekalan tangannya. Ia berbalik, setengah berlari menuju koridor tempat tadi ia bertemu Setya. Namun— Kosong. Lorong itu kini hanya dipenuhi perawat dan dokter yang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Setya. "Sh*t! Ngeselin banget sih! Selalu aja begitu, kalau disuruh tunggu," umpat Riri sedikit kesal. Riri berlari kecil menyusuri koridor, matanya mencari-cari ke sekeliling. Ia bahkan melirik ke ruang tunggu dan pantry kecil di ujung lorong. Tidak ada. Ia memukul ringan dahinya sendiri. "Dahlah, mending balik ke farmasi aja," putusnya. Riri kembali melanjutkan langkah menuju farmasi, begitu tiba di lobby, ia baru sadar nama rumah sakit ini, RS Prasetya Medika. Kenapa, nama rumah sakit ini mirip dengan nama Setya? Apa mungkin, ini rumah sakit miliknya atau hanya kebetulan kah? Riri mencoba mengingat-ingat, namun sayangnya otaknya seakan buntu. Ia memilih untuk segera ke farmasi dan bertanya langsung saja pada Bu Devi, rekan kerja setimnya. "Ibu, sibuk nggak?" tanya Riri begitu ia tiba di farmasi. "Nggak, Ri. Udah hampir kelar semua ini. Udah siap juga untuk pergantian shift," jawab Bu Devi seraya mengambil kursi tak jauh dari Riri. "Bu Devi udah lama kerja di sini? Aku mau nanya sesuatu dong," ucap Riri kembali. Bu Devi tak langsung menjawab, ia hanya menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya tanpa suara. "Aku baru sadar sama nama rumah sakit ini, Bu. Ibu tahu nggak siapa pemilik rumah sakit ini?" tanya Riri sedikit penasaran. Bu Devi terdiam sejenak. Sebelah tangannya memegang dagu, seolah sedang berpikir. "Kalau pemiliknya kurang tahu, Ri. Tapi, direktur disini, ya ... Dokter Yuzha sama adiknya itu, Mas Setya,' ucap Bu Devi. "Mas Setya tuh yang mana, Bu? Keknya aku nggak pernah ngeliat deh," ucap Riri sedikit heran. "Lah, masa nggak pernah liat sih," ucap Bu Devi tak percaya. "Beneran, Bu. Emang Mas Setya tuh yang mana sih?" tanya Riri kembali. "Ck! Itu loh yang orangnya punya kelainan kek Albino itu, yang badannya putih semua. Itu kan adiknya Dokter Yuza," ucap Bu Devi memberitahu. Deg. Seketika ada perasan nyeri dan sakit menjalar di hati Riri. Albino? Jadi ... Setya adalah adiknya Dokter Yuzha dan salah satu direktur di rumah sakit ini? Mamp*s ini, bisa-bisa, nasibnya tidak akan bertahan lama lagi di sini, pikirnya. * Sementara itu, di lantai lima, tepatnya di ruang khusus kepala rumah sakit, Setya nampak mengusap wajahnya dengan sedikit frustasi. Tatapannya kembali tertuju pada berkas pegawai yang baru saja ia minta dari HRD. Ia menelusuri lembar demi lembar, memastikan sesuatu yang semula sulit ia percayai. Nama itu ada di sana. Riri. "Sh*t! Bagaimana bisa gua kecolongan soal dia?" gerutunya, suara rendahnya menggema di ruangan sunyi. Ia meremas kertas itu, rahangnya mengeras. Rekam jejak Riri terlalu bersih, bahkan kinerjanya terbilang sangat baik. "Ck! Kalau kek gini, gimana caranya bikin dia di keluarin dari rumah sakit ya? Sumpah, gua nggak mau ada perempuan itu di sini," ujarnya setengah frustasi. Setya menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap langit-langit yang kosong, sementara otaknya mencoba berpikir keras. Ia tidak bisa membiarkan Riri tetap di rumah sakit ini. Keberadaan perempuan itu bagaikan sebuah luka dihidupnya. Luka yang selama ini, ia coba untuk pendam. Tangannya mengepal, memikirkan berbagai cara untuk menyingkirkan Riri tanpa menimbulkan kecurigaan. Memanfaatkan koneksi? Terlalu berisiko. Memfitnah? Bisa saja, tapi rekam jejak Riri terlalu bersih. Atau ... Setya memijat pelan pelipisnya, lalu mengembuskan napas berat. "Tuhan... ini bagian dari rencana-Mu, ya?" Dulu, memang ia pernah berdoa agar dipertemukan lagi dengan perempuan itu. Namun, jika ini cara-Nya menjawab doa itu, ia belum siap. Tidak untuk sekarang. Setya melirik jam di pergelangan tangan. Pukul empat sore. Ia harus segera pulang—masih ada pasien yang menunggunya di klinik pribadinya malam ini. Dengan enggan, ia merapikan berkas-berkas di mejanya, lalu beranjak menuju lobi rumah sakit. Begitu tiba di loby rumah sakit, lagi dan lagi Riri dan Setya bertemu. Saat itu, Riri tengah berada di dekat mesin absensi. "Heh, Albino! Lu tadi kemana, sih? Disuru nunggu malah pergi! Nggak ngerti bahasa manusia apa?" Riri berkacak pinggang, ekspresinya kesal. Setya menghela napas malas, lalu berjalan melewati Riri tanpa menoleh. "Ck, minggir! Gangguin hidup gue terus, lu nggak punya kerjaan, ya?" tukasnya ketus. Setya membalikkan badan, memilih melangkah lebih dahulu menuju parkiran. Telinganya sedikit sakit jika berada dengan Riri, entahlah, ia sendiri bingung kenapa. Riri melongo, tak percaya dengan sikap dingin lelaki itu. "Ih, ngeselin banget, sih! Selalu aja begitu dari dulu. Heran, nggak berubahnya pisan," gerutu Riri seraya mengejar langkah Setya yang perlahan mulai menjauh. Beruntung, Setya belum pergi terlalu jauh. Ia masih berada di dekat mobilnya sambil menelpon seseorang entah siapa. Tanpa ragu, Riri menghampirinya dan bersedekap di depan dada. "Nyebelin banget, sih, lu!" serunya, lalu menarik kuping Setya tanpa aba-aba. "Argh! Sakit, anjir! Apaan sih lu?!" Setya menepis tangannya, mendelik tajam. "Nggak ngapa-ngapain," Riri terkekeh pelan. "Gua cuma mau bilang ... sekarang lu percaya, kan, kalau Tuhan itu baik? Gue pernah berdoa supaya bisa ketemu lu lagi, dan lihatlah, Tuhan kabulin doa gue. Sekarang gue bakal buktiin, kalau lu bakal jatuh cinta lagi sama gue." "Dih, ngaco! Kalau mimpi, jangan kejauhan, nggak usah berharap yang nggak-nggak deh!" dengus Setya seraya masuk ke dalam mobilnya. Riri tersenyum miring, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Setya dan berbisik pelan, "Liat aja nanti… Miss you, Mr. Albino." Deg! Setya membeku seketika. Napasnya tercekat, jantungnya berdetak lebih kencang. "Sial, kenapa suara itu… masih punya efek ke gue?"Setya mengeratkan genggamannya di kemudi, berusaha mengendalikan debaran yang tiba-tiba menggila di dadanya. Sial. Kenapa hanya dengan bisikan singkat itu, tubuhnya bereaksi seakan ia dilempar kembali ke masa lalu?Ia menarik napas dalam, mencoba menepis sensasi aneh yang mengganggunya. Itu cuma suara. Itu cuma Riri yang sedang menggoda. Itu seharusnya nggak berarti apa-apa. Tapi kenapa detak jantungnya masih berantakan?Matanya melirik ke arah kaca spion, di mana ia masih bisa melihat sosok Riri yang berdiri di parkiran dengan ekspresi penuh kemenangan. Senyuman miring perempuan itu masih melekat di benaknya, seakan menantang sesuatu dalam dirinya."Miss you, Mr. Albino."Tiga kata sederhana itu menggema di kepalanya, menghidupkan kembali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam.Setya mengumpat pelan sebelum akhirnya menekan pedal gas, meninggalkan tempat itu. Namun, sejauh apa pun ia pergi, bayangan Riri tetap tertinggal di pikirannya.Setya mengendarai mobilnya dengan kecepata
Riri terpaku sejenak, menatap anak kecil yang kini berdiri di hadapannya. Bocah itu menengadah dengan mata berbinar, senyumnya lebar, penuh kegembiraan.“Ibu lama banget pulangnya!” protesnya dengan suara renyah.Riri tersenyum tipis, lalu segera memeluk tubuh anak semata wayangnya."Hmm, anak ibu udah wangi aja. Udah mandi, Nak?" tanya Riri sambil tersenyum."Udah, Bu. Ibu kenapa lama banget sih, pulangnya?" tanyanya lagi, kali ini sambil bersedekap dada.Riri terkekeh pelan, mendengar rajukannya, lalu segera mengangkat tentengannya."Iya, maaf ya. Tadi ibu beli pecel ayam dulu. Katanya kamu mau makan pecel ayam," ucap Riri sambil membelai lembut pipi sang anak.Sang anak pun nampak girang karenanya. Ia seger mengambil tentengan itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.Tak lama, seorang ibu paruh baya pun menghampiri Riri, sambil membawa tas ransel milik sang anak."Duh, Mbak Riri maaf. Si Juna dari tadi udah ribut mulu nanyain ibu kapan pulang. Terus, pas keluar liat sepeda ibuny
Riri menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya yang mulai berpikir yang aneh-aneh.Ia yakin, semua ini pasti hanya kebetulan. Apa lagi, tadi siang ia sempat bertemu dan menggoda Setya, jadi wajar saja jik dia berpikiran yang aneh-aneh karenanya.Riri berusaha untuk fokus kembali pada makan malam yang harus ia hidangkan. Namun nyatanya, perasaan aneh itu tak juga hilang."Bu, ada apa?" tanya Juna polos.Sontak, suara itu sukses membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan mendapati sang anak yang masih menatapnya dengan mata bulat --yang entah kenapa pada malam ini-- terasa seperti milik Setya.Riri memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, kok Nak. Yuk, kita makan, keburu ayamnya dingin."Juna mengangguk mantap, lalu mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya dengan lahap. Riri sendiri hanya duduk di seberangnya, mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar berselera.Pikirannya masih melayang.Setya…Tatapan pria itu tadi ... Cara ia terkejut saat mendengar julukan Mr. Albino.Da
Malam mulai larut, Setya berusaha menyibukkan dirinya di klinik miliknya. Namun, tetap sjaa, bayangan Riri tak bisa lepas begitu saja. Bahkan beberapa kali, ia salah melakukan pemeriksaan terhadap pasien."Dek, kamu lagi ada masalah? Kok keliatannya galau banget sih?" tanya Yuzha penasaran terhadap tingkah adiknya."Entah, Mas. Aku juga lagi bingung, kenapa," jawab Setya datar.Cukup lama keduanya terdiam, hingga akhirnya Setya pun kembali teringat dengan penerimaan Riri sebagai karyawan di bagian farmasi."Ah iya, Mas. Mas tau nggak apoteker baru di rumah sakit sekarang?" tanya Setya mengalihkan perhatiannya."Riri?" tanya Yuzha balik dan mendapat anggukan dari Setya."Ada apa sama dia?"Setya langsung bungkam. Ia pun salah tingkah karenanya. Untuk apa tadi ia bertanya tentang Riri pada sang kakak? Nanti, bisa-bisa Yuzha berpikir yang macam-macam lagi."Eh, nggak apa kok, Mas. Kinerjanya dia gimana? Aku kek nggak ngerasa nyaman deh sama kerjaan dia," ucap Setya memberi alasan."Nggak
Riri berusaha menepis pikirannya yang sedikit gila. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Juna lalu mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi sang anak."Semoga, suatu saat kita bisa beneran ketemu ayah ya, Nak," ucap Riri, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya membelai lembut rambut Juna, seolah ingin menggantikan kehangatan yang seharusnya anak itu dapatkan dari seorang ayah."Jika tidak di dunia, biar di Surganya Allah, aminn,"lanjutnya kembali dengan senyum tipis.Juna mengangguk paham, lalu ia bergegas untuk mandi.Riri menarik napas panjang, mencoba menghalau sesak yang tiba-tiba datang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia kembali fokus pada kimbab yang sedang ia potong. Setelah selesai memotong tiga roll kimbab menjadi potongan kecil-kecil, ia pun beralih pada ponselnya, berniat menghubungi seseorang di sana.[Mas, aku hari ini bikin kimbab. Kamu mau aku bawain sekalian buat sarapan nggak?]Setelah pesan terkirim, Riri pun kembali pada Juna. Menyiapkan pak
Waktu makan siang tiba, tetapi pesan Riri tetap tak kunjung dibalas. Ponselnya tetap sunyi, tanpa satu pun notifikasi dari Yuzha.Ia melirik jam di layar ponsel. Jam sudah menunjukkan pukul 12.30, sementara waktu makan siangnya hanya tinggal 30 menit lagi.'Apa mungkin Mas Yuzha sibuk ya?' tanya Riri kepada dirinya sendiri.Riri menarik napas dalam, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia segera mengambil dompetnya di dalam tas. Namun, baru saja hendak melangkah keluar, seorang perawat dari IGD masuk ke dalam farmasi dengan sedikit tergesa."Ri, bantuin gua. Ini obat-obat yang dibutuhin. Stok di IGD menipis," ucapnya sedikit terengah.Riri segera mengambil kertas yang diberikan oleh lelaki itu. Secepat yang ia bisa, ia pun segera menyiapkan obat-obatan itu tanpa bertanya lebih jauh."IGD sibuk, Mas?" tanya Riri pada akhirnya."Iya, R
"Setya!"Panggilan itu menggema di lorong sekolah yang nampak sepi. Hanya suara langkah kaki dan derit pintu kelas yang berbunyi samar.Namun, lelaki yang dipanggil namanya itu, tetap melangkah dengan tenang, seolah teriakan itu hanyalah sebuah angin yang berlalu.Sementara Riri, sosok yang memanggilnya, nampak menggerutu kesal sambil berkacak pinggang, karena lelaki itu tak jua merespon."Dasar budeg!" umpatnya.Hilang sudah kesabarannya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia pun segera melepas salah satu flat shoes-nya, dan ...Pluk!"Awww,"Setya berhenti. Ia menunduk, mengambil sepatu yang mendarat tepat di kepalanya, lalu berdecak pelan."Shit, ngeselin banget sih!" gerutunya kesal, nyaris tanpa emosi.Sementara Riri, nampak berseru senang karena lemparannya tepat pada sasaran. Ia pun segera mengangkat rok lilitnya sedikit lebih tinggi, lalu segera menghampiri Setya yang masih terdiam disana.Setya yang masih berdecak kesal, tiba-tiba kembali terkesiap karena tiba-tiba telinganya di t
Waktu makan siang tiba, tetapi pesan Riri tetap tak kunjung dibalas. Ponselnya tetap sunyi, tanpa satu pun notifikasi dari Yuzha.Ia melirik jam di layar ponsel. Jam sudah menunjukkan pukul 12.30, sementara waktu makan siangnya hanya tinggal 30 menit lagi.'Apa mungkin Mas Yuzha sibuk ya?' tanya Riri kepada dirinya sendiri.Riri menarik napas dalam, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia segera mengambil dompetnya di dalam tas. Namun, baru saja hendak melangkah keluar, seorang perawat dari IGD masuk ke dalam farmasi dengan sedikit tergesa."Ri, bantuin gua. Ini obat-obat yang dibutuhin. Stok di IGD menipis," ucapnya sedikit terengah.Riri segera mengambil kertas yang diberikan oleh lelaki itu. Secepat yang ia bisa, ia pun segera menyiapkan obat-obatan itu tanpa bertanya lebih jauh."IGD sibuk, Mas?" tanya Riri pada akhirnya."Iya, R
Riri berusaha menepis pikirannya yang sedikit gila. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Juna lalu mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi sang anak."Semoga, suatu saat kita bisa beneran ketemu ayah ya, Nak," ucap Riri, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya membelai lembut rambut Juna, seolah ingin menggantikan kehangatan yang seharusnya anak itu dapatkan dari seorang ayah."Jika tidak di dunia, biar di Surganya Allah, aminn,"lanjutnya kembali dengan senyum tipis.Juna mengangguk paham, lalu ia bergegas untuk mandi.Riri menarik napas panjang, mencoba menghalau sesak yang tiba-tiba datang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia kembali fokus pada kimbab yang sedang ia potong. Setelah selesai memotong tiga roll kimbab menjadi potongan kecil-kecil, ia pun beralih pada ponselnya, berniat menghubungi seseorang di sana.[Mas, aku hari ini bikin kimbab. Kamu mau aku bawain sekalian buat sarapan nggak?]Setelah pesan terkirim, Riri pun kembali pada Juna. Menyiapkan pak
Malam mulai larut, Setya berusaha menyibukkan dirinya di klinik miliknya. Namun, tetap sjaa, bayangan Riri tak bisa lepas begitu saja. Bahkan beberapa kali, ia salah melakukan pemeriksaan terhadap pasien."Dek, kamu lagi ada masalah? Kok keliatannya galau banget sih?" tanya Yuzha penasaran terhadap tingkah adiknya."Entah, Mas. Aku juga lagi bingung, kenapa," jawab Setya datar.Cukup lama keduanya terdiam, hingga akhirnya Setya pun kembali teringat dengan penerimaan Riri sebagai karyawan di bagian farmasi."Ah iya, Mas. Mas tau nggak apoteker baru di rumah sakit sekarang?" tanya Setya mengalihkan perhatiannya."Riri?" tanya Yuzha balik dan mendapat anggukan dari Setya."Ada apa sama dia?"Setya langsung bungkam. Ia pun salah tingkah karenanya. Untuk apa tadi ia bertanya tentang Riri pada sang kakak? Nanti, bisa-bisa Yuzha berpikir yang macam-macam lagi."Eh, nggak apa kok, Mas. Kinerjanya dia gimana? Aku kek nggak ngerasa nyaman deh sama kerjaan dia," ucap Setya memberi alasan."Nggak
Riri menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya yang mulai berpikir yang aneh-aneh.Ia yakin, semua ini pasti hanya kebetulan. Apa lagi, tadi siang ia sempat bertemu dan menggoda Setya, jadi wajar saja jik dia berpikiran yang aneh-aneh karenanya.Riri berusaha untuk fokus kembali pada makan malam yang harus ia hidangkan. Namun nyatanya, perasaan aneh itu tak juga hilang."Bu, ada apa?" tanya Juna polos.Sontak, suara itu sukses membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan mendapati sang anak yang masih menatapnya dengan mata bulat --yang entah kenapa pada malam ini-- terasa seperti milik Setya.Riri memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, kok Nak. Yuk, kita makan, keburu ayamnya dingin."Juna mengangguk mantap, lalu mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya dengan lahap. Riri sendiri hanya duduk di seberangnya, mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar berselera.Pikirannya masih melayang.Setya…Tatapan pria itu tadi ... Cara ia terkejut saat mendengar julukan Mr. Albino.Da
Riri terpaku sejenak, menatap anak kecil yang kini berdiri di hadapannya. Bocah itu menengadah dengan mata berbinar, senyumnya lebar, penuh kegembiraan.“Ibu lama banget pulangnya!” protesnya dengan suara renyah.Riri tersenyum tipis, lalu segera memeluk tubuh anak semata wayangnya."Hmm, anak ibu udah wangi aja. Udah mandi, Nak?" tanya Riri sambil tersenyum."Udah, Bu. Ibu kenapa lama banget sih, pulangnya?" tanyanya lagi, kali ini sambil bersedekap dada.Riri terkekeh pelan, mendengar rajukannya, lalu segera mengangkat tentengannya."Iya, maaf ya. Tadi ibu beli pecel ayam dulu. Katanya kamu mau makan pecel ayam," ucap Riri sambil membelai lembut pipi sang anak.Sang anak pun nampak girang karenanya. Ia seger mengambil tentengan itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.Tak lama, seorang ibu paruh baya pun menghampiri Riri, sambil membawa tas ransel milik sang anak."Duh, Mbak Riri maaf. Si Juna dari tadi udah ribut mulu nanyain ibu kapan pulang. Terus, pas keluar liat sepeda ibuny
Setya mengeratkan genggamannya di kemudi, berusaha mengendalikan debaran yang tiba-tiba menggila di dadanya. Sial. Kenapa hanya dengan bisikan singkat itu, tubuhnya bereaksi seakan ia dilempar kembali ke masa lalu?Ia menarik napas dalam, mencoba menepis sensasi aneh yang mengganggunya. Itu cuma suara. Itu cuma Riri yang sedang menggoda. Itu seharusnya nggak berarti apa-apa. Tapi kenapa detak jantungnya masih berantakan?Matanya melirik ke arah kaca spion, di mana ia masih bisa melihat sosok Riri yang berdiri di parkiran dengan ekspresi penuh kemenangan. Senyuman miring perempuan itu masih melekat di benaknya, seakan menantang sesuatu dalam dirinya."Miss you, Mr. Albino."Tiga kata sederhana itu menggema di kepalanya, menghidupkan kembali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam.Setya mengumpat pelan sebelum akhirnya menekan pedal gas, meninggalkan tempat itu. Namun, sejauh apa pun ia pergi, bayangan Riri tetap tertinggal di pikirannya.Setya mengendarai mobilnya dengan kecepata
Riri melangkah cepat menuju IGD, menahan napas yang terasa berat di dada. Pikirannya kacau. Setya. Delapan tahun tak bertemu, kini pria itu berdiri lagi di hadapannya, dengan tatapan yang sama dinginnya seperti dulu."Dia masih sama ... dingin dan sulit ditebak, menyebalkan!" gerutunya.Setibanya di IGD, Riri menyerahkan obat kepada Dokter Yuzha sambil berusaha tersenyum meski hatinya gelisah."Terima kasih, Ri," ucap Dokter Yuzha ramah."Sama-sama, Dok. Kalau gitu, saya ijin pamit balik ke farmasi ya, Dok," balasnya singkat.Namun, baru saja Riri hendak berbalik, lengannya kembali di tahan oleh Dokter Yuzha."Sibuk banget yah? Ada yang mau saya obrolin," ucap Dokter Yuzha penuh harap.Riri hanya mengangguk samar, lalu segera melepaskan cekalan tangannya. Ia berbalik, setengah berlari menuju koridor tempat tadi ia bertemu Setya.Namun—Kosong.Lorong itu kini hanya dipenuhi perawat dan dokter yang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Setya."Sh*t! Ngeselin banget sih! Selal
"Setya!"Panggilan itu menggema di lorong sekolah yang nampak sepi. Hanya suara langkah kaki dan derit pintu kelas yang berbunyi samar.Namun, lelaki yang dipanggil namanya itu, tetap melangkah dengan tenang, seolah teriakan itu hanyalah sebuah angin yang berlalu.Sementara Riri, sosok yang memanggilnya, nampak menggerutu kesal sambil berkacak pinggang, karena lelaki itu tak jua merespon."Dasar budeg!" umpatnya.Hilang sudah kesabarannya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia pun segera melepas salah satu flat shoes-nya, dan ...Pluk!"Awww,"Setya berhenti. Ia menunduk, mengambil sepatu yang mendarat tepat di kepalanya, lalu berdecak pelan."Shit, ngeselin banget sih!" gerutunya kesal, nyaris tanpa emosi.Sementara Riri, nampak berseru senang karena lemparannya tepat pada sasaran. Ia pun segera mengangkat rok lilitnya sedikit lebih tinggi, lalu segera menghampiri Setya yang masih terdiam disana.Setya yang masih berdecak kesal, tiba-tiba kembali terkesiap karena tiba-tiba telinganya di t