Riri berusaha menepis pikirannya yang sedikit gila. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Juna lalu mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi sang anak."Semoga, suatu saat kita bisa beneran ketemu ayah ya, Nak," ucap Riri, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya membelai lembut rambut Juna, seolah ingin menggantikan kehangatan yang seharusnya anak itu dapatkan dari seorang ayah."Jika tidak di dunia, biar di Surganya Allah, aminn,"lanjutnya kembali dengan senyum tipis.Juna mengangguk paham, lalu ia bergegas untuk mandi.Riri menarik napas panjang, mencoba menghalau sesak yang tiba-tiba datang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia kembali fokus pada kimbab yang sedang ia potong. Setelah selesai memotong tiga roll kimbab menjadi potongan kecil-kecil, ia pun beralih pada ponselnya, berniat menghubungi seseorang di sana.[Mas, aku hari ini bikin kimbab. Kamu mau aku bawain sekalian buat sarapan nggak?]Setelah pesan terkirim, Riri pun kembali pada Juna. Menyiapkan pak
Waktu makan siang tiba, tetapi pesan Riri tetap tak kunjung dibalas. Ponselnya tetap sunyi, tanpa satu pun notifikasi dari Yuzha.Ia melirik jam di layar ponsel. Jam sudah menunjukkan pukul 12.30, sementara waktu makan siangnya hanya tinggal 30 menit lagi.'Apa mungkin Mas Yuzha sibuk ya?' tanya Riri kepada dirinya sendiri.Riri menarik napas dalam, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia segera mengambil dompetnya di dalam tas. Namun, baru saja hendak melangkah keluar, seorang perawat dari IGD masuk ke dalam farmasi dengan sedikit tergesa."Ri, bantuin gua. Ini obat-obat yang dibutuhin. Stok di IGD menipis," ucapnya sedikit terengah.Riri segera mengambil kertas yang diberikan oleh lelaki itu. Secepat yang ia bisa, ia pun segera menyiapkan obat-obatan itu tanpa bertanya lebih jauh."IGD sibuk, Mas?" tanya Riri pada akhirnya."Iya, R
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suara nyaring menggema dari arah lain."Papa! Oom Setya!"Keduanya pun refleks menoleh.Setya langsung menggapai lengan Yuzha. "Itu... Kinan?"Tanpa pikir panjang, mereka berdua berlari menuju sumber suara.Saat sudah cukup dekat, Setya menunduk dan menatap keponakannya dengan wajah setengah lega, setengah kesal."Kinan, kok kamu di sini? Papa sama Oom Setya panik tau nyariin kamu!"Kinan hanya cengengesan sambil memainkan rambutnya yang panjang."Loh, kan, tadi aku udah chat Dokter, bilang kalau Kinan sama saya," ucap Riri seraya berdiri di samping Kinan."Eh?"***Yuzha mengernyit, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan memeriksa pesan itu.Benar saja, ada chat dari Riri yang mengatakan bahwa Kinan ada bersamanya. Ia menghela napas, se
"Setya!"Panggilan itu menggema di lorong sekolah yang nampak sepi. Hanya suara langkah kaki dan derit pintu kelas yang berbunyi samar.Namun, lelaki yang dipanggil namanya itu, tetap melangkah dengan tenang, seolah teriakan itu hanyalah sebuah angin yang berlalu.Sementara Riri, sosok yang memanggilnya, nampak menggerutu kesal sambil berkacak pinggang, karena lelaki itu tak jua merespon."Dasar budeg!" umpatnya.Hilang sudah kesabarannya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia pun segera melepas salah satu flat shoes-nya, dan ...Pluk!"Awww,"Setya berhenti. Ia menunduk, mengambil sepatu yang mendarat tepat di kepalanya, lalu berdecak pelan."Shit, ngeselin banget sih!" gerutunya kesal, nyaris tanpa emosi.Sementara Riri, nampak berseru senang karena lemparannya tepat pada sasaran. Ia pun segera mengangkat rok lilitnya sedikit lebih tinggi, lalu segera menghampiri Setya yang masih terdiam disana.Setya yang masih berdecak kesal, tiba-tiba kembali terkesiap karena tiba-tiba telinganya di t
Riri melangkah cepat menuju IGD, menahan napas yang terasa berat di dada. Pikirannya kacau. Setya. Delapan tahun tak bertemu, kini pria itu berdiri lagi di hadapannya, dengan tatapan yang sama dinginnya seperti dulu."Dia masih sama ... dingin dan sulit ditebak, menyebalkan!" gerutunya.Setibanya di IGD, Riri menyerahkan obat kepada Dokter Yuzha sambil berusaha tersenyum meski hatinya gelisah."Terima kasih, Ri," ucap Dokter Yuzha ramah."Sama-sama, Dok. Kalau gitu, saya ijin pamit balik ke farmasi ya, Dok," balasnya singkat.Namun, baru saja Riri hendak berbalik, lengannya kembali di tahan oleh Dokter Yuzha."Sibuk banget yah? Ada yang mau saya obrolin," ucap Dokter Yuzha penuh harap.Riri hanya mengangguk samar, lalu segera melepaskan cekalan tangannya. Ia berbalik, setengah berlari menuju koridor tempat tadi ia bertemu Setya.Namun—Kosong.Lorong itu kini hanya dipenuhi perawat dan dokter yang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Setya."Sh*t! Ngeselin banget sih! Selal
Setya mengeratkan genggamannya di kemudi, berusaha mengendalikan debaran yang tiba-tiba menggila di dadanya. Sial. Kenapa hanya dengan bisikan singkat itu, tubuhnya bereaksi seakan ia dilempar kembali ke masa lalu?Ia menarik napas dalam, mencoba menepis sensasi aneh yang mengganggunya. Itu cuma suara. Itu cuma Riri yang sedang menggoda. Itu seharusnya nggak berarti apa-apa. Tapi kenapa detak jantungnya masih berantakan?Matanya melirik ke arah kaca spion, di mana ia masih bisa melihat sosok Riri yang berdiri di parkiran dengan ekspresi penuh kemenangan. Senyuman miring perempuan itu masih melekat di benaknya, seakan menantang sesuatu dalam dirinya."Miss you, Mr. Albino."Tiga kata sederhana itu menggema di kepalanya, menghidupkan kembali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam.Setya mengumpat pelan sebelum akhirnya menekan pedal gas, meninggalkan tempat itu. Namun, sejauh apa pun ia pergi, bayangan Riri tetap tertinggal di pikirannya.Setya mengendarai mobilnya dengan kecepata
Riri terpaku sejenak, menatap anak kecil yang kini berdiri di hadapannya. Bocah itu menengadah dengan mata berbinar, senyumnya lebar, penuh kegembiraan.“Ibu lama banget pulangnya!” protesnya dengan suara renyah.Riri tersenyum tipis, lalu segera memeluk tubuh anak semata wayangnya."Hmm, anak ibu udah wangi aja. Udah mandi, Nak?" tanya Riri sambil tersenyum."Udah, Bu. Ibu kenapa lama banget sih, pulangnya?" tanyanya lagi, kali ini sambil bersedekap dada.Riri terkekeh pelan, mendengar rajukannya, lalu segera mengangkat tentengannya."Iya, maaf ya. Tadi ibu beli pecel ayam dulu. Katanya kamu mau makan pecel ayam," ucap Riri sambil membelai lembut pipi sang anak.Sang anak pun nampak girang karenanya. Ia seger mengambil tentengan itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.Tak lama, seorang ibu paruh baya pun menghampiri Riri, sambil membawa tas ransel milik sang anak."Duh, Mbak Riri maaf. Si Juna dari tadi udah ribut mulu nanyain ibu kapan pulang. Terus, pas keluar liat sepeda ibuny
Riri menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya yang mulai berpikir yang aneh-aneh.Ia yakin, semua ini pasti hanya kebetulan. Apa lagi, tadi siang ia sempat bertemu dan menggoda Setya, jadi wajar saja jik dia berpikiran yang aneh-aneh karenanya.Riri berusaha untuk fokus kembali pada makan malam yang harus ia hidangkan. Namun nyatanya, perasaan aneh itu tak juga hilang."Bu, ada apa?" tanya Juna polos.Sontak, suara itu sukses membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan mendapati sang anak yang masih menatapnya dengan mata bulat --yang entah kenapa pada malam ini-- terasa seperti milik Setya.Riri memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, kok Nak. Yuk, kita makan, keburu ayamnya dingin."Juna mengangguk mantap, lalu mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya dengan lahap. Riri sendiri hanya duduk di seberangnya, mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar berselera.Pikirannya masih melayang.Setya…Tatapan pria itu tadi ... Cara ia terkejut saat mendengar julukan Mr. Albino.Da
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, suara nyaring menggema dari arah lain."Papa! Oom Setya!"Keduanya pun refleks menoleh.Setya langsung menggapai lengan Yuzha. "Itu... Kinan?"Tanpa pikir panjang, mereka berdua berlari menuju sumber suara.Saat sudah cukup dekat, Setya menunduk dan menatap keponakannya dengan wajah setengah lega, setengah kesal."Kinan, kok kamu di sini? Papa sama Oom Setya panik tau nyariin kamu!"Kinan hanya cengengesan sambil memainkan rambutnya yang panjang."Loh, kan, tadi aku udah chat Dokter, bilang kalau Kinan sama saya," ucap Riri seraya berdiri di samping Kinan."Eh?"***Yuzha mengernyit, lalu mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan memeriksa pesan itu.Benar saja, ada chat dari Riri yang mengatakan bahwa Kinan ada bersamanya. Ia menghela napas, se
Waktu makan siang tiba, tetapi pesan Riri tetap tak kunjung dibalas. Ponselnya tetap sunyi, tanpa satu pun notifikasi dari Yuzha.Ia melirik jam di layar ponsel. Jam sudah menunjukkan pukul 12.30, sementara waktu makan siangnya hanya tinggal 30 menit lagi.'Apa mungkin Mas Yuzha sibuk ya?' tanya Riri kepada dirinya sendiri.Riri menarik napas dalam, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku. Ia segera mengambil dompetnya di dalam tas. Namun, baru saja hendak melangkah keluar, seorang perawat dari IGD masuk ke dalam farmasi dengan sedikit tergesa."Ri, bantuin gua. Ini obat-obat yang dibutuhin. Stok di IGD menipis," ucapnya sedikit terengah.Riri segera mengambil kertas yang diberikan oleh lelaki itu. Secepat yang ia bisa, ia pun segera menyiapkan obat-obatan itu tanpa bertanya lebih jauh."IGD sibuk, Mas?" tanya Riri pada akhirnya."Iya, R
Riri berusaha menepis pikirannya yang sedikit gila. Ia mengalihkan pandangannya ke arah Juna lalu mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi sang anak."Semoga, suatu saat kita bisa beneran ketemu ayah ya, Nak," ucap Riri, suaranya lirih, nyaris tenggelam dalam pikirannya sendiri. Tangannya membelai lembut rambut Juna, seolah ingin menggantikan kehangatan yang seharusnya anak itu dapatkan dari seorang ayah."Jika tidak di dunia, biar di Surganya Allah, aminn,"lanjutnya kembali dengan senyum tipis.Juna mengangguk paham, lalu ia bergegas untuk mandi.Riri menarik napas panjang, mencoba menghalau sesak yang tiba-tiba datang. Dengan tangan sedikit gemetar, ia kembali fokus pada kimbab yang sedang ia potong. Setelah selesai memotong tiga roll kimbab menjadi potongan kecil-kecil, ia pun beralih pada ponselnya, berniat menghubungi seseorang di sana.[Mas, aku hari ini bikin kimbab. Kamu mau aku bawain sekalian buat sarapan nggak?]Setelah pesan terkirim, Riri pun kembali pada Juna. Menyiapkan pak
Malam mulai larut, Setya berusaha menyibukkan dirinya di klinik miliknya. Namun, tetap sjaa, bayangan Riri tak bisa lepas begitu saja. Bahkan beberapa kali, ia salah melakukan pemeriksaan terhadap pasien."Dek, kamu lagi ada masalah? Kok keliatannya galau banget sih?" tanya Yuzha penasaran terhadap tingkah adiknya."Entah, Mas. Aku juga lagi bingung, kenapa," jawab Setya datar.Cukup lama keduanya terdiam, hingga akhirnya Setya pun kembali teringat dengan penerimaan Riri sebagai karyawan di bagian farmasi."Ah iya, Mas. Mas tau nggak apoteker baru di rumah sakit sekarang?" tanya Setya mengalihkan perhatiannya."Riri?" tanya Yuzha balik dan mendapat anggukan dari Setya."Ada apa sama dia?"Setya langsung bungkam. Ia pun salah tingkah karenanya. Untuk apa tadi ia bertanya tentang Riri pada sang kakak? Nanti, bisa-bisa Yuzha berpikir yang macam-macam lagi."Eh, nggak apa kok, Mas. Kinerjanya dia gimana? Aku kek nggak ngerasa nyaman deh sama kerjaan dia," ucap Setya memberi alasan."Nggak
Riri menarik napas dalam, berusaha mengendalikan dirinya yang mulai berpikir yang aneh-aneh.Ia yakin, semua ini pasti hanya kebetulan. Apa lagi, tadi siang ia sempat bertemu dan menggoda Setya, jadi wajar saja jik dia berpikiran yang aneh-aneh karenanya.Riri berusaha untuk fokus kembali pada makan malam yang harus ia hidangkan. Namun nyatanya, perasaan aneh itu tak juga hilang."Bu, ada apa?" tanya Juna polos.Sontak, suara itu sukses membuatnya sedikit tersentak. Ia menoleh cepat, dan mendapati sang anak yang masih menatapnya dengan mata bulat --yang entah kenapa pada malam ini-- terasa seperti milik Setya.Riri memaksakan senyum. "Nggak apa-apa, kok Nak. Yuk, kita makan, keburu ayamnya dingin."Juna mengangguk mantap, lalu mulai menyendok nasi ke dalam mulutnya dengan lahap. Riri sendiri hanya duduk di seberangnya, mengaduk-aduk makanannya tanpa benar-benar berselera.Pikirannya masih melayang.Setya…Tatapan pria itu tadi ... Cara ia terkejut saat mendengar julukan Mr. Albino.Da
Riri terpaku sejenak, menatap anak kecil yang kini berdiri di hadapannya. Bocah itu menengadah dengan mata berbinar, senyumnya lebar, penuh kegembiraan.“Ibu lama banget pulangnya!” protesnya dengan suara renyah.Riri tersenyum tipis, lalu segera memeluk tubuh anak semata wayangnya."Hmm, anak ibu udah wangi aja. Udah mandi, Nak?" tanya Riri sambil tersenyum."Udah, Bu. Ibu kenapa lama banget sih, pulangnya?" tanyanya lagi, kali ini sambil bersedekap dada.Riri terkekeh pelan, mendengar rajukannya, lalu segera mengangkat tentengannya."Iya, maaf ya. Tadi ibu beli pecel ayam dulu. Katanya kamu mau makan pecel ayam," ucap Riri sambil membelai lembut pipi sang anak.Sang anak pun nampak girang karenanya. Ia seger mengambil tentengan itu, lalu bergegas masuk ke dalam rumahnya.Tak lama, seorang ibu paruh baya pun menghampiri Riri, sambil membawa tas ransel milik sang anak."Duh, Mbak Riri maaf. Si Juna dari tadi udah ribut mulu nanyain ibu kapan pulang. Terus, pas keluar liat sepeda ibuny
Setya mengeratkan genggamannya di kemudi, berusaha mengendalikan debaran yang tiba-tiba menggila di dadanya. Sial. Kenapa hanya dengan bisikan singkat itu, tubuhnya bereaksi seakan ia dilempar kembali ke masa lalu?Ia menarik napas dalam, mencoba menepis sensasi aneh yang mengganggunya. Itu cuma suara. Itu cuma Riri yang sedang menggoda. Itu seharusnya nggak berarti apa-apa. Tapi kenapa detak jantungnya masih berantakan?Matanya melirik ke arah kaca spion, di mana ia masih bisa melihat sosok Riri yang berdiri di parkiran dengan ekspresi penuh kemenangan. Senyuman miring perempuan itu masih melekat di benaknya, seakan menantang sesuatu dalam dirinya."Miss you, Mr. Albino."Tiga kata sederhana itu menggema di kepalanya, menghidupkan kembali sesuatu yang selama ini ia kubur dalam-dalam.Setya mengumpat pelan sebelum akhirnya menekan pedal gas, meninggalkan tempat itu. Namun, sejauh apa pun ia pergi, bayangan Riri tetap tertinggal di pikirannya.Setya mengendarai mobilnya dengan kecepata
Riri melangkah cepat menuju IGD, menahan napas yang terasa berat di dada. Pikirannya kacau. Setya. Delapan tahun tak bertemu, kini pria itu berdiri lagi di hadapannya, dengan tatapan yang sama dinginnya seperti dulu."Dia masih sama ... dingin dan sulit ditebak, menyebalkan!" gerutunya.Setibanya di IGD, Riri menyerahkan obat kepada Dokter Yuzha sambil berusaha tersenyum meski hatinya gelisah."Terima kasih, Ri," ucap Dokter Yuzha ramah."Sama-sama, Dok. Kalau gitu, saya ijin pamit balik ke farmasi ya, Dok," balasnya singkat.Namun, baru saja Riri hendak berbalik, lengannya kembali di tahan oleh Dokter Yuzha."Sibuk banget yah? Ada yang mau saya obrolin," ucap Dokter Yuzha penuh harap.Riri hanya mengangguk samar, lalu segera melepaskan cekalan tangannya. Ia berbalik, setengah berlari menuju koridor tempat tadi ia bertemu Setya.Namun—Kosong.Lorong itu kini hanya dipenuhi perawat dan dokter yang berlalu-lalang. Tidak ada tanda-tanda kehadiran Setya."Sh*t! Ngeselin banget sih! Selal
"Setya!"Panggilan itu menggema di lorong sekolah yang nampak sepi. Hanya suara langkah kaki dan derit pintu kelas yang berbunyi samar.Namun, lelaki yang dipanggil namanya itu, tetap melangkah dengan tenang, seolah teriakan itu hanyalah sebuah angin yang berlalu.Sementara Riri, sosok yang memanggilnya, nampak menggerutu kesal sambil berkacak pinggang, karena lelaki itu tak jua merespon."Dasar budeg!" umpatnya.Hilang sudah kesabarannya saat ini. Tanpa pikir panjang, ia pun segera melepas salah satu flat shoes-nya, dan ...Pluk!"Awww,"Setya berhenti. Ia menunduk, mengambil sepatu yang mendarat tepat di kepalanya, lalu berdecak pelan."Shit, ngeselin banget sih!" gerutunya kesal, nyaris tanpa emosi.Sementara Riri, nampak berseru senang karena lemparannya tepat pada sasaran. Ia pun segera mengangkat rok lilitnya sedikit lebih tinggi, lalu segera menghampiri Setya yang masih terdiam disana.Setya yang masih berdecak kesal, tiba-tiba kembali terkesiap karena tiba-tiba telinganya di t