Annisa tersentak saat pintu kamarnya terbuka, padahal rasanya tadi sudah di kunci dengan rapat. Apa dia lupa? Lalu, wanita itu terkejut saat melihat siapa yang masuk.
"Kamu mau apa, Bima?" tanya wanita itu kepada adik iparnya saat laki-laki itu berjalan mendekat.
"Mau melepas kangen sama kamu, Nisa. Sudah lama kita gak ketemu," ucap Bima disertai dengan senyuman licik.
Benar, dia memang merindukan Annisa, ipar yang dulu adalah kekasihnya. Sayang, wanita itu malah memilih menikah dengan Rahman, kakak kandungnya, saat dia bersekolah ke luar negeri.
Hati Bima sakit dan kecewa menerima kenyataan itu. Sehingga dia memilih tidak datang ke pernikahan mereka dengan alasan sibuk.
"Keluar dari kamarku, sekarang!" teriak Annisa. Kini, posisinya mulai terpojok di sudut, sementara Bima berjalan semakin mendekat.
"Aku sudah terlanjur masuk, Nisa. Biar aja aku di sini main-main sebentar." Tanpa malu, Bima membuka kaus dan dan menyampirkannya di bahu.
"Jangan kurang ajar kamu! Aku ini istri kakakmu!" ancam Annisa. Wanita itu masih berusaha mencari jalan untuk bisa ke luar dari kamar.
Ibu mertuanya pergi sejak tadi pagi, jadi dia sendirian di rumah itu. Setelah menikah dengan Rahman, Annisa memang tinggal di sana, hingga hari kepergian suaminya.
"Tapi Mas Rahman sudah gak ada, Nisa. Baiknya kamu terima lamaranku," paksa Bima.
Saat kakaknya meninggal, Bima pulang ke Indonesia dan mengatakan kepada ibunya bahwa dia ingin meminang Annisa. Selain karena masih memendam rasa cinta, laki-laki itu juga tak mau sang ibu bersedih jika berpisah dengan menantunya.
Kini, dia kembali untuk mengambil alih menjaga ibu mereka dan menggantikan tugas kakaknya. Setelah beberapa hari tinggal bersama, rasa cintanya kepada Annisa semakin kuat. Dia bermaksud baik ingin menghalalkan wanita itu.
Sayang, Annisa menolak lamarannya. Padahal dulu mereka pernah berpacaran cukup lama. Kepergiannya untuk menimba ilmu justru membuat hati wanita itu berpaling kepada kakaknya sendiri.
"Masa iddahku belum selesai. Jadi, sebaiknya kamu urungkan niat untuk melamar," jawab Annisa tegas.
"Kalau begitu setelah iddah kamu selesai, kita bisa langsung menikah. Bukannya itu tinggal menghitung hari." Kini, Bima mengurung wanita itu dengan kedua tangannya.
"Tapi aku ... gak mau menikah dengan kamu Bima," tolak Annisa tegas. Dia baru saja kehilangan sang suami tercinta, dan belum ingin membuka hati untuk siapa pun.
"Bagaimana kalau kamu aku buat mau?" ucapnya sembari menahan tawa saat melihat Annisa yang ketakutan.
Bima harus melakukannya sekarang. Jika tidak, bisa saja nanti wanita itu akan jatuh ke pelukan laki-laki lain. Annisa begitu cantik dengan wajah mulus dan kulitnya yang putih bersih. Sejak gadis saja, dia sudah menjadi incaran para kaum Adam. Apalagi setelah menjadi janda, tentulah akan menjadi rebutan.
"Jangan lancang!" Annisa berteriak di depan wajah Bima, hingga membuat laki-laki itu marah dan menarik tubuhnya dengan sekali sentak.
"Lepas!" Annisa meronta mencoba membela diri. Tangan kecilnya memukul tubuh laki-laki itu dengan keras. Apalah daya, dia hanya wanita biasa.
Ketika Bima menyumpal mulutnya dengan kaus agar tak bisa berteriak, wanita itu kehilangan harga diri yang selama ini dia berusaha pertahankan mati-matian.
***
Dua bulan yang lalu."Menikah lagi?" Annisa menatap wajah ibu mertuanya dengan hati gamang karena itu sama sekali tak terpikirkan olehnya.
"Iya, Nisa. Kamu masih muda dan belum memiliki anak. Sebaiknya, menikahlah lagi agar ada yang menjaga dan melindungimu," ucap ibu mertuanya dengan lembut. Wanita paruh baya itu sangat menyayangi sang menantu. Oleh karena itu, dia mengikhlaskan jika Annisa ingin menikah lagi.
"Tapi ... masa iddah Nisa belum selesai, Bu. Tanah kubur Mas Rahman juga masih basah," sanggahnya.
Annisa mengerti, ada maksud baik dari permintaan sang ibu mertua tadi. Dia bukannya tidak ingat kepada mendiang putranya. Hanya saja, wanita paruh baya itu telah merelakan semua.
"Maksud Ibu juga tidak buru-buru, Nisa. Tapi kami sekeluarga ikhlas jika memang nanti kamu mendapatkan pendamping hidup yang baru."
Nisa tergugu menatap ibu mertuanya. Selama ini, beliau selalu memperlakukannya dengan baik selama dia tinggal di sana. Mendiang suaminya adalah putra pertama, sehingga mereka yang bertanggung jawab kepada keluarga.
"Nanti Nisa pikirkan lagi, Bu. Untuk sekarang memang lebih nyaman sendiri," lirihnya.
"Ya sudah kalau begitu. Ibu mengerti perasaanmu," ucap ibu mertuanya seraya mengusap wanita itu dengan lembut.
Annisa menghela napas panjang. Sudah beberapa bulan ini statusnya resmi menjadi janda di usia muda, 25 tahun. Pernikahan yang baru seumur jagung dan belum dikarunia keturunan harus berakhir ketika suami tercinta dipanggil oleh Sang Pencipta.
Rahman, mendiang suaminya menderita penyakit bawaan sejak lahir yaitu kelainan jantung. Itulah yang membuatnya menerima pinangan laki-laki itu. Awalnya hanya karena rasa kasihan, tapi lambat laun menjadi cinta.
Apalagi hubungannya dengan Bima, adik kandung Rahman semakin tidak jelas, setelah laki-laki itu sekolah ke luar negeri. Dia bahkan menjumpai foto Bima sedang berduaan wanita lain yang berpenampilan seronok di media sosial, yang diakuinya sebagai teman kuliah.
Hati Annisa begitu sakit, terlebih Bima jarang memberi kabar dan sibuk sendiri. Ketika Rahman mengatakan serius ingin mempersuntinya sebagai istri, maka wanita itu langsung menerima.
"Terima kasih kalau Ibu mengerti," lirihnya.
Tadi mereka baru saja selesai makan siang dan ibu mertunya ingin bicara dari hati ke hati. Annisa berpikir sang ibu akan membahas masalah lain, ternyata mengenai itu.
"Oh iya Nisa. Mungkin, Bima akan pulang ke sini untuk menemani kita," ucap wanita paruh itu dengan tenang. Dia tidak tahu bahwa sang menantu pernah berpacaran dengan putra keduanya.
Annisa terdiam sejenak, lalu berkata, "Syukurlah. Jadi Ibu ada yang menjaga. Nisa mungkin mau pulang ke kampung setelah iddah selesai. Mau ketemu Bapak."
"Iya, Nisa. Boleh saja. Ibu berikan izin. Tapi jangan pulang seterusnya. Ibu mau ditemani kamu di sini," pintanya dengan penuh harap.
"Insyaallah, Bu."
Suasana menjadi hening. Annisa menjadi serba salah kalau sudah begini. Padahal dia ingin kembali kepada orang tuanya.
"Oh iya, Nisa. Ibu mau bilang sesuatu,"
"Apa, Bu?"
"Ibu ndak mau kehilangan anak sebaik kamu. Jadi ... bagaimana kalau kita lanjutkan hubungan keluarga ini."
"Maksudnya?"
"Ini ... kalau kamu berkenan."
"Nisa gak ngerti, Bu."
"Bima belum memiliki calon istri. Kalau kamu mau, bagaimana kalau kamu menikah dengan Bima."
Jantung Annisa berdetak kencang mendengar itu. Dia terdiam lama, lalu menggelengkan kepala. Sifat Bima yang dulu dengan yang sekarang pasti sudah jauh berbeda. Sehingga dia tak ingin menghabiskan hidup dengan orang yang sama. Apa yang menjadi masa lalu, biarlah berlalu.
"Baiklah, kalau kamu tidak mau. Ibu mau ke kamar dulu. Istirahat," ucap wanita paruh baya itu ke luar setelah memeluk menantunya dengan erat.
Dengan tertatih, Annisa berjalan menuju kamar mandi. Sementara itu, Bima terbaring lemas setelah mendapatkan apa yang diinginkannya.Annisa menggosok seluruh tubuh dengannya kuat karena bekas sentuhan Bima masih terasa dan membuatnya jijik. Air mata wanita itu mengalir deras, bersamaan dengan tetesan air yang turun dari lubang-lubang shower.Setelah selesai membersihkan diri, Annisa mengintip dari balik pintu. Kamarnya kosong. Itu berarti Bima sudah keluar sejak dia mandi tadi. Dengan cepat wanita itu berlari dan mengunci pintu. Lalu, tubuhnya luruh ke lantai dengan tangis yang kembali tumpah ruah."Maafkan Nisa, Mas," lirihnya ketika teringat kepada mendiang sang suami.Betapa baiknya perlakuan Rahman selama mereka menjani rumah tangga. Pantaslah kiranya dia menolak untuk menikah dengan Bima. Benar sesuai dugaan, laki-laki itu sekarang begitu kasar dan bersikap semaunya.Annisa segera berdiri dan mengambil tas di lemari, l
Mobil travel berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan lantai kayu dan cat berwarna hijau. Suasana terlihat sepi, hanya kicauan burung yang terdengar dari beberapa pohon mangga yang tumbuh di pekarangannya. Makhluk itu hinggap ke sana kemari sesukanya tanpa mengenal lelah.Ketika pintu rumah itu terbuka, muncullah sesosok laki-laki paruh baya dengan memakai sarung dan kaus putih serta peci di kepala."Nisa?" Mata tuanya seakan tak percaya saat sang putri kesayangan turun dari mobil dengan membawa sebuah koper."Bapak." Annisa memeluk ayahnya dengan erat sembari meneteskan air mata."Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga." Pandu memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Dia mengira, Annisa akan pulang bulan depan karena sesuai hitungan masa iddahnya belum selesai."Nisa sudah kangen sama Bapak. Jadi, minta izin sama Ibu pulang lebih cepat. Lagi pula, adiknya Mas Rahman sudah datang. Jadi, ibu ndak sendirian lagi," jelas
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.Laa ilaaha illallaah."Suara azan Subuh yang menggema dari speaker masjid membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Wanita itu perlahan membuka mata dan merasakan kepalanya begitu berat. Dia mencoba duduk dan bersandar di ranjang sembari memijat pelipis. Setelah dirasakan cukup nyaman, Annisa bangun dari tempat tidur hendak keluar menuju kamar mandi. Ketika pintu terbuka, tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung dengan kepala seperti berputar. "Kenapa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya bersandar di depan pintu. "Pusing, Pak," jawab Annisa dengan bibir gemetaran. "Sini Bapak bantu." Pandu m
Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha."Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih."Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.Annisa hanya terdiam
Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Hari itu. Setelah menyiapkan sarapan, Bima meminta Annisa untuk bersiap-siap. Biasanya setiap weekend tiba, mereka akan menghabiskan waktu di luar. Attar yang mulai tumbuh dan aktif, akan protes jika hanya bermain di rumah. "Mau ke mana?" tanya Annisa saat Bima menarik lengannya untuk masuk ke mobil. Sejak resmi menjadi manager marketing di kantor baru, laki-laki itu mendapatkan fasilitas kendaraan roda empat. Kehidupan ekonomi mereka yang sempat terpuruk kini mulai membaik. "Aku mau ajak kalian jalan." "Rasanya weekend ini pengin istirahat aja," pinta Annisa. Sejak melahirkan putri keduanya, Diandra, Annisa memang gampang kelelahan karena tidak ada yang membantu. Apalagi anak itu suka terbangun di malam hari dan mengajak bermain. "Kita cuma mau pergi ke satu tempat aja, kok. Habis itu pulang." Annisa mengalah dan berjalan ke kamar untuk mengambil tas. Dia melirik ke arah box di mana Diandra masih terti
Annisa merasakan mual yang begitu hebat ketika terbangun. Azan subuh yang biasanya terdengar merdu, kini terasa mengganggunya. Wanita itu mencoba untuk berdiri, tetapi kembali terduduk di ranjang karena limbung. "Pa! Papa." Annisa membangunkan suaminya yang berada di sebelah. Tubuh besar Bima yang begitu lelap terguncang dengan mata yang enggan terbuka. "Papa!" "Apa?" "Perut Ibu kembung. Mual," keluh Annisa. Bima langsung duduk dan mengusap perut sang istri dengan lembut. Matanya masih mengantuk, sehingga laki-laki itu meletakkan kepala di pangkuan sang istri lalu terpejam kembali dan mendengkur. "Papa!"
Pintu rumah kontrakan itu terbuka lebar menerima para tamu yang datang. Sebuah meja dengan menu prasmanan diletakkan di depan karena di dalam tak terlalu luas.Annisa sibuk menghidangkan menu dibantu oleh Lastri. Sementara itu, Bima dan dan Pandu menerima tamu yang datang. Attar sejak tadi bermain bersama Ratih karena wanita paruh baya itu rindu dengan cucunya.Setelah masa kerja Bima melewati tiga bulan dan dia diangkat sebagai karyawan tetap, Annisa mengadakan syukuran agar pekerjaan suaminya yang baru, menjadi berkah bagi keluarga mereka.Acaranya juga dimaksudkan untuk memperingati tanggal dan bulan kelahiran Attar yang sudah lewat, karena waktu itu mereka tak punya biaya."Makasih udah datang, ya," ucap Bima kepada beberapa rekan kerjanya.Tak hanya karyawan di kantor baru, dia bahkan mengundang beberapa dari kantor lama. Salah satunya Aldo, manager personalia, sahabatnya dulu hingga
Annisa mengancingkan baju Bima dengan sabar lalu merapikan letak kerahnya. Wanita itu sudah bangun sejak subuh dan menyiapkan sarapan seperti biasanya.Attar masih tertidur di boks dengan nyenyak. Sudah beberapa hari ini anak itu kembali ke rumah. Annisa sendiri sudah resign karena Bima diterima bekerja. Sekalipun ada rasa cemburu di hati wanita itu, tetapi dia berterima kasih kepada Dyara. Berkat bantuannya, kehidupan mereka kembali normal seperti dulu."Papa ganteng gak, Bu?""Iya, ganteng.""Pasti nanti banyak cewek yang naksir kayak dulu," goda Bima."Terserah Papa aja. Kalau mau naksir balik ya silakan," kata Annisa seraya mengusap kedua lengan baju suaminya dan memastikan bahwa semua sudah rapi."Ibu cemburu?" goda Bima lagi."Gak.""Gak salah lagi. Ya, kan?"Annisa tersenyum dan menarik lengan Bima menuju dapur, lalu menyuruh suaminya duduk."Makan yang banyak, ya," ucapnya seraya mengambilkan nasi.
Annisa menarik napas panjang sebelum masuk ke ruangan itu. Biasanya dia santai saja, tetapi hari ini agak sedikit gugup karena akan mengucapkan salam perpisahan."Masuk, Nisa," kata Andra ketika wanita itu mengetuk dan membuka sedikit daun pintu.Aroma harum seketika menguar di indra penciuman Annisa. Tak hanya ruangan ini yang wangi, tetapi juga pemiliknya. Itulah yang membuat daya tarik Andra begitu kuat di mata kaum Hawa."Ini berkasnya, Pak," ucapnya sembari meletakkan setumpuk kertas di meja.Andra mengambilnya lalu membaca dengan teliti."Duduk dulu, lah. Kok tegang begitu," kata Andra heran seraya menatap Annisa dengan lekat."Eh iya, Pak." Annisa menarik kursi dan duduk dengan gelisah. Gesture tubuhnya terlihat jelas sehingga membuat Andra menghentikan aktivitasnya."Kenapa?""Itu, Pak. Mengenai status karyawan saya," kata wanita itu memulai."Kalau sudah 3 bulan jadi karyawan tetap. Kan suda
Bima menatap layar laptop dengan tak percaya. Lamaran pekerjaan yang dia kirim minggu lalu, kini ada balasannya. Ternyata Dyara memang benar-benar membantu kali ini. Besok laki-laki itu diminta datang untuk interview."Aku dipanggil kerja." Bima mengetikkan pesan kepada istrinya. Mau nanti dibalas atau tidak oleh Annisa, yang penting dia sudah memberi kabar. Dia mengerti bahwa selama jam kerja, Annisa tak boleh diganggu.Bima membuka lemari, melihat beberapa koleksi baju untuk dipakai besok. Hatinya senang bukan kepalang karena ada harapan baru bagi masa depan keluarga mereka. Setelah memisahkan kemeja dan celana yang sudah dipilih, laki-laki itu memeriksa beberapa email lain. Ada banyak email di kotak masuk yang tidak dia baca karena isinya juga tak terlalu penting.Setelah selesai membereskan perlengkapannya, Bima menghubungi ibunya. Dia ingin berbagi kabar baik ini, sekaligus meminta doa agar wawancara besok berjalan lanca
Ratih menatap anak dan menantunya dengan lekat. Melihat kondisi mereka, hatinya sebagai seorang ibu merasa terenyuh. Apalagi rumah kontrakan yang tadinya terlihat rapi dan bersih, kini berantakan sejak Annisa bekerja."Sampai kapan kalian mau begini? Ini sudah baru sebulan. Gimana nanti kalau terus-terusan?" tanya Ratih serius. Malam ini dia menginap karena ingin memberikan wejangan kepada anak-anaknya.Annisa tertunduk sementara Bima membuang wajah. Mereka juga tak menginginkannya, tetapi untuk sementara inilah yang terbaik."Bima. Kamu sudah Ibu berikan tawaran untuk membuka usaha. Biar Attar Ibu yang urus kalau Nisa kerja. Kalian pulang ke rumahbiar gak usah bayar kontrakan lagi," lanjut Ratih."Ini pilihan kami, Bu," jawab Bima. Dia tak bisa menyalahkan Annisa karena wanita itu sudah banyak berkorban."Ibu tau. Bukannya mau ikut campur. Ini semua demi Attar. Pikirkan!"Ratih berlalu dan masuk ke kamar. Sementara itu Bim
Bima menatap Annisa dengan intens. Istrinya banyak berubah semenjak bekerja. Wanita itu lebih pintar berdandan. Penampilannya juga berubah. Gamis panjangnya kini berganti gamis kerja yang formal. Hijabnya juga lebih berwana dan bermotif."Sekarang makin cantik, ya?" ucap Bima saat melihat Annisa sedang bersiap-siap. Sudah satu bulan ini istrinya bekerja dan rumah terasa sepi.Attar masih tidur dengan lelap di dalam box. Setiap hari Annisa bangun di subuh hari dan menyiapkan sarapan, lalu berangkat kerja pagi-pagi sebelum putranya terbangun."Namanya kerja mana boleh kucel. Ditegur sama orang kantor aku," jelasnya."Iya, deh."Bima berjalan ke luar dengan malas. Melihat itu, Annisa mengejar suaminya dan memeluk laki-laki itu dari belakang."Jangan ngambek. Nanti kalau kamu udah kerja lagi, aku resign," bujuknya.Bima terdiam dan menggenggam jemari istrinya. Laki-laki itu seperti kehilangan semangat, karena belum mendapat pe
Waktu dengan cepat berlalu, hingga tak terasa sudah hari terakhir training. Hari ini adalah hari ke tujuh, itu berarti besok para peserta sudah mulai aktif bekerja.Di hari penutupan tidak banyak materi yang dibagikan, hanya post test yang harus dikerjakan peserta untuk melihat seberapa paham mereka dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir. Kami akan memberikan job desk kepada Bapak-Ibu semua."Begitulah ucapan dari kepala HRD. Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Andra yang sesekali masuk dan memantau situasi.Andra benar-benar mengawasi selama training berlangsung, memastikan sendiri bahwa semua berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus segala sesuatunya."Selamat bergabung." Sambutan Andra begitu hangat, k