Mobil travel berhenti di depan sebuah rumah sederhana dengan lantai kayu dan cat berwarna hijau. Suasana terlihat sepi, hanya kicauan burung yang terdengar dari beberapa pohon mangga yang tumbuh di pekarangannya. Makhluk itu hinggap ke sana kemari sesukanya tanpa mengenal lelah.
Ketika pintu rumah itu terbuka, muncullah sesosok laki-laki paruh baya dengan memakai sarung dan kaus putih serta peci di kepala.
"Nisa?" Mata tuanya seakan tak percaya saat sang putri kesayangan turun dari mobil dengan membawa sebuah koper.
"Bapak." Annisa memeluk ayahnya dengan erat sembari meneteskan air mata.
"Alhamdulillah. Akhirnya kamu pulang juga." Pandu memeluk putrinya dengan penuh kasih sayang. Dia mengira, Annisa akan pulang bulan depan karena sesuai hitungan masa iddahnya belum selesai.
"Nisa sudah kangen sama Bapak. Jadi, minta izin sama Ibu pulang lebih cepat. Lagi pula, adiknya Mas Rahman sudah datang. Jadi, ibu ndak sendirian lagi," jelasnya dengan mata yang masih basah.
Annisa sengaja tak mau menyebutkan nama laki-laki itu karena dia begitu benci kepada Bima. Hatinya merasa lega karena sudah sampai di rumah, tempat di mana dia dilahirkan sekalipun sang ibu sudah tiada. Wanita itu merasa aman dan nyaman karena bersama sang ayah, dia akan mendapatkan perlindungan.
Pandu meraih koper lalu mereka berjalan bersisian masuk ke rumah. Laki-laki itu tak menyiapkan apa pun untuk menyambut kedatangan putrinya karena Annisa tak memberi kabar.
"Syukurlah kalau begitu. Memang baiknya kamu pulang. Bapak sendirian," kata Pandu sembari meletakkan koper di sudut ruangan.
"Oh iya, Pak. Ini Nisa bawakan camilan dari kota," ucapnya sembari menyerahkan paper bag yang berisi buah tangan.
Annisa menatap sekeliling ruangan, lalu duduk di sofa dan menyandarkan kepala untuk melepas penat. Sementara itu Pandu berjalan ke belakang mengambil piring dan membuatkan teh, karena putrinya pasti kelelahan karena setelah melakukan perjalanan yang cukup jauh.
"Minum dulu, Nak. Teh daun, kesukaan kamu."
Begitu tutup teko dibuka, aroma harum teh menguar merasuk panca indra. Annisa yang tadinya sempat terlelap jadi terbangun mendengar panggilan ayahnya. Wanita itu meraih cangkir dan mulai menikmati minuman hangat itu sedikit demi sedikit.
"Bapak sehat?"
"Alhamdulilah sehat. Cuma kaki Bapak sakit. Jadi jarang ke sawah. Sementara Bapak serahkan dulu sama orang lain untuk mengerjakannya. Hasilnya dibagi dua," jelas Pandu sembari meraih kotak kue yang dibawa sang putri. Kue pisang balen yang cukup terkenal di kota dan rasanya memang juara.
"Sudah Bapak istirahat saja. Jangan memaksakan diri. Uang pensiun masih cukup buat sehari-hari. Sawah biar dikerjakan orang." Annisa meletakkan cangkir di meja lalu ikut mencicipi pisang balen itu.
Sebenarnya, Annisa hanya membawa pakaian saat pulang kali ini. Sejak azan Subuh berkumandang, wanita itu segera mandi dan menunaikan dua rakaat, lalu membereskan barang-barang yang akan dibawa. Namun, ketika akan berangkat, mobil berbelok dan Bima membelikannya berbagai macam camilan.
Annisa hendak menolak, tetapi laki-laki menarik tangannya untuk menerima pemberian itu. Ketika mereka kembali bersentuhan, rasa takut kembali muncul sehingga dia segera kembali ke mobil meninggalkan ibu mertuanya yang masih memilih camilan.
"Untung saja kamu pulang. Bapak pikir kamu sudah betah tinggal di kota. Apalagi mertuamu kaya," ucap Pandu. Tubuh laki-laki itu terlihat kurus dengan uban yang semakin banyak memenuhi kepala.
"Mas Rahmas sudah gak ada, Pak. Untuk apa Nisa bertahan," lirihnya. Mata wanita itu berkaca-kaca ketika mengingat kembali kenangan bersama mendiang suaminya.
Pandu menepuk pundak putrinya, lalu berkata, "Orang baik itu disayang Tuhan, Nak. Jadi diambil lebih cepat."
Annisa memeluk ayahnya dengan erat dan menumpahkan tangis di bahu tua itu. Hanya beliaulah yang dia miliki dan wanita itu sudah berjanji untuk berbakti.
"Kamu ganti baju dulu sana. Istirahat. Bapak mau ke warung depan beli makanan. Kamu masih suka rawonnya Bude Tri, ndak?" tanya Pandu seraya melepaskan pelukan putrinya. Dia pernah merasakan hal yang sama bertahun-tahun yang lalu, ketika sang istri meninggalkan mereka saat Annisa masih kelas 1 SMA.
"Masih, Pak. Sama gorengannya sekalian. Yang banyak. Nisa lapar," ucapnya sembari mengusap air mata dengan ujung hijab.
"Ya sudah. Bapak jalan dulu. Nanti kita makan di sana kalau kamu udah lebih baikan."
Pandu melajukan motor melintasi jalan kampung menuju ke arah pasar di mana penjual makanan langgannya berada. Sejak Annisa merantau ke kota untuk melanjutkan pendidikan, laki-laki paruh baya itu hidup sendirian. Hingga saat ini, dia belum ingin menikah lagi sekalipun putrinya sudah mengikhlaskan.
Pada saat Annisa mengatakan ingin menikah dan calon suaminya berasal dari kota tempatnya belajar, Pandu tahu bahwa putrinya itu tak akan pernah kembali.
Awalnya Pandu merasa kecewa karena berharap agar Annisa berjodoh dengan pemuda kampung. Sehinga mereka tak tinggal berjauhan lagi. Namun, ketika bertemu dengan Rahman pada saat lamaran, hatinya luluh. Sikap menantunya ternyata begitu sopan dengan tutur kata yang lembut.
Pandu langsung merestui dan meminta pernikahan diadakan secepatnya karena khawatir putrinya berbuat yang tidak-tidak. Sebagai ucapan syukur, dia menjual sebagian tanah untuk mengadakan pesta besar-besaran demi putri tunggalnya.
"Tumben beli dua bungkus," ucap Lastri saat Pandu memesan rawon lebih banyak dari biasanya.
"Iya. Ada Nisa datang dari kota," jelas Pandu sembari mengambil kantong plastik dan memilih gorengan kesukaan sang putri.
"Wah, akhirnya datang juga. Jadi Mas Pandu ndak sendirian lagi," lanjut Lastri sembari menuang kuah rawon yang mengebul panas ke dalam wadah.
"Alhamdulillah, Tri. Jadi berapa semua?" tanya laki-laki itu saat mengeluarkan dompet.
"Tiga puluh ribu saja, Mas," jawab Lastri sembari memasukkan pesanan Pandu ke dalam plastik besar. Dia juga memasukkan kecap dan sebungkus kerupuk udang sebagai tambahan.
"Gorengannya ndak dihitung?" tanya Pandu heran karena biasanya dia membayar lebih dari itu.
"Gratis buat Nisa. Anggap saja sambutan dari Bude Tri," ucapnya saat menerima selembar uang biru dari Pandu dan mengambilkan kembaliannya.
"Alhamdulillah. Makasih, Tri. Kamu ini sudah pintar masak, baik hati pula," puji Pandu.
Tri mengulum senyum mendengarkan pujian itu, lalu berkata, "Kalau Mas Pandu mau makan enak setiap hari ya jadikan aku istrimu saja."
Pandu tergelak dan mengambil bungkusan yang disodorkan kepadanya. Ada banyak yang menawarkan diri untuk menjadi istrinya, tetapi belum ada satu pun yang cocok di hati.
Pandu kembali melajukan motor menuju jalan pulang. Sesampainya di rumah, laki-laki itu terkejut saat melihat susunan dapur yang sudah rapi. Ternyata selama dia pergi, Annisa merapikan rumah.
Pandu mengucap syukur karena dengan adanya sang putri, rumah seperti memiliki nyawa kembali.
***
Getaran ponsel di meja membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Matanya melirik ke arah jam yang jarumnya menunjukkan angka lima. Pikirnya, entah siapa yang menelepon subuh hari begini.
"Halo," jawabnya sembari mengusap wajah karena masih mengantuk. Wanita itu duduk bersandar di ranjang dan menguap beberapa kali.
"Nis. Kamu udah sampai?"
Deg!
Wanita iu langsung menutup panggilan ketika tahu siapa yang meneleponnya. Ponsel kembali bergetar dengan nomor yang sama.
"Sudah dari kemarin sore. Ada apa?" tanya Annisa ketus.
"Cuma mau memastikan kamu baik-baik saja, Nis," jawab Bima.
"Aku sudah mengabari Ibu," jawab Annisa dengan nada suara yang meninggi.
"Syukurlah kalau begitu. Aku khawatir kamu kenapa-kenapa," lirih Bima di seberang sana.
"Aku baik-baik saja di sini. Justru berbahaya jika tetap di sana," jawabnya kesal, lalu mematikan sambungan telepon dan memblokir nomor itu.
Annisa bangun dari ranjang dan keluar menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah menunaikan dua rakaat, dia membantu ayahnya membereskan pekerjaan rumah, seperti mencuci piring dan membuat sarapan.
Ketika semua sudah selesai dan hari mulai terang, Annisa membuka jendela rumah dan membiarkan udara masuk melalui celah-celahnya.
"Mas Rahman, Nisa kangen. Maaf kalau Nisa tinggalkan Mas di sana," lirihnya sembari menatap jalanan yang mulai ramai dengan aktivitas warga.
"Allaahu Akbar, Allaahu Akbar.Laa ilaaha illallaah."Suara azan Subuh yang menggema dari speaker masjid membangunkan Annisa dari tidur lelapnya. Wanita itu perlahan membuka mata dan merasakan kepalanya begitu berat. Dia mencoba duduk dan bersandar di ranjang sembari memijat pelipis. Setelah dirasakan cukup nyaman, Annisa bangun dari tempat tidur hendak keluar menuju kamar mandi. Ketika pintu terbuka, tiba-tiba saja tubuhnya terasa limbung dengan kepala seperti berputar. "Kenapa, Nduk?" tanya Pandu saat melihat putrinya bersandar di depan pintu. "Pusing, Pak," jawab Annisa dengan bibir gemetaran. "Sini Bapak bantu." Pandu m
Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha."Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih."Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu.Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.Annisa hanya terdiam
Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe
Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat
Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini
Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p
Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a
"Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya."Aku belum bisa menjawab sekarang."Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemari
Hari itu. Setelah menyiapkan sarapan, Bima meminta Annisa untuk bersiap-siap. Biasanya setiap weekend tiba, mereka akan menghabiskan waktu di luar. Attar yang mulai tumbuh dan aktif, akan protes jika hanya bermain di rumah. "Mau ke mana?" tanya Annisa saat Bima menarik lengannya untuk masuk ke mobil. Sejak resmi menjadi manager marketing di kantor baru, laki-laki itu mendapatkan fasilitas kendaraan roda empat. Kehidupan ekonomi mereka yang sempat terpuruk kini mulai membaik. "Aku mau ajak kalian jalan." "Rasanya weekend ini pengin istirahat aja," pinta Annisa. Sejak melahirkan putri keduanya, Diandra, Annisa memang gampang kelelahan karena tidak ada yang membantu. Apalagi anak itu suka terbangun di malam hari dan mengajak bermain. "Kita cuma mau pergi ke satu tempat aja, kok. Habis itu pulang." Annisa mengalah dan berjalan ke kamar untuk mengambil tas. Dia melirik ke arah box di mana Diandra masih terti
Annisa merasakan mual yang begitu hebat ketika terbangun. Azan subuh yang biasanya terdengar merdu, kini terasa mengganggunya. Wanita itu mencoba untuk berdiri, tetapi kembali terduduk di ranjang karena limbung. "Pa! Papa." Annisa membangunkan suaminya yang berada di sebelah. Tubuh besar Bima yang begitu lelap terguncang dengan mata yang enggan terbuka. "Papa!" "Apa?" "Perut Ibu kembung. Mual," keluh Annisa. Bima langsung duduk dan mengusap perut sang istri dengan lembut. Matanya masih mengantuk, sehingga laki-laki itu meletakkan kepala di pangkuan sang istri lalu terpejam kembali dan mendengkur. "Papa!"
Pintu rumah kontrakan itu terbuka lebar menerima para tamu yang datang. Sebuah meja dengan menu prasmanan diletakkan di depan karena di dalam tak terlalu luas.Annisa sibuk menghidangkan menu dibantu oleh Lastri. Sementara itu, Bima dan dan Pandu menerima tamu yang datang. Attar sejak tadi bermain bersama Ratih karena wanita paruh baya itu rindu dengan cucunya.Setelah masa kerja Bima melewati tiga bulan dan dia diangkat sebagai karyawan tetap, Annisa mengadakan syukuran agar pekerjaan suaminya yang baru, menjadi berkah bagi keluarga mereka.Acaranya juga dimaksudkan untuk memperingati tanggal dan bulan kelahiran Attar yang sudah lewat, karena waktu itu mereka tak punya biaya."Makasih udah datang, ya," ucap Bima kepada beberapa rekan kerjanya.Tak hanya karyawan di kantor baru, dia bahkan mengundang beberapa dari kantor lama. Salah satunya Aldo, manager personalia, sahabatnya dulu hingga
Annisa mengancingkan baju Bima dengan sabar lalu merapikan letak kerahnya. Wanita itu sudah bangun sejak subuh dan menyiapkan sarapan seperti biasanya.Attar masih tertidur di boks dengan nyenyak. Sudah beberapa hari ini anak itu kembali ke rumah. Annisa sendiri sudah resign karena Bima diterima bekerja. Sekalipun ada rasa cemburu di hati wanita itu, tetapi dia berterima kasih kepada Dyara. Berkat bantuannya, kehidupan mereka kembali normal seperti dulu."Papa ganteng gak, Bu?""Iya, ganteng.""Pasti nanti banyak cewek yang naksir kayak dulu," goda Bima."Terserah Papa aja. Kalau mau naksir balik ya silakan," kata Annisa seraya mengusap kedua lengan baju suaminya dan memastikan bahwa semua sudah rapi."Ibu cemburu?" goda Bima lagi."Gak.""Gak salah lagi. Ya, kan?"Annisa tersenyum dan menarik lengan Bima menuju dapur, lalu menyuruh suaminya duduk."Makan yang banyak, ya," ucapnya seraya mengambilkan nasi.
Annisa menarik napas panjang sebelum masuk ke ruangan itu. Biasanya dia santai saja, tetapi hari ini agak sedikit gugup karena akan mengucapkan salam perpisahan."Masuk, Nisa," kata Andra ketika wanita itu mengetuk dan membuka sedikit daun pintu.Aroma harum seketika menguar di indra penciuman Annisa. Tak hanya ruangan ini yang wangi, tetapi juga pemiliknya. Itulah yang membuat daya tarik Andra begitu kuat di mata kaum Hawa."Ini berkasnya, Pak," ucapnya sembari meletakkan setumpuk kertas di meja.Andra mengambilnya lalu membaca dengan teliti."Duduk dulu, lah. Kok tegang begitu," kata Andra heran seraya menatap Annisa dengan lekat."Eh iya, Pak." Annisa menarik kursi dan duduk dengan gelisah. Gesture tubuhnya terlihat jelas sehingga membuat Andra menghentikan aktivitasnya."Kenapa?""Itu, Pak. Mengenai status karyawan saya," kata wanita itu memulai."Kalau sudah 3 bulan jadi karyawan tetap. Kan suda
Bima menatap layar laptop dengan tak percaya. Lamaran pekerjaan yang dia kirim minggu lalu, kini ada balasannya. Ternyata Dyara memang benar-benar membantu kali ini. Besok laki-laki itu diminta datang untuk interview."Aku dipanggil kerja." Bima mengetikkan pesan kepada istrinya. Mau nanti dibalas atau tidak oleh Annisa, yang penting dia sudah memberi kabar. Dia mengerti bahwa selama jam kerja, Annisa tak boleh diganggu.Bima membuka lemari, melihat beberapa koleksi baju untuk dipakai besok. Hatinya senang bukan kepalang karena ada harapan baru bagi masa depan keluarga mereka. Setelah memisahkan kemeja dan celana yang sudah dipilih, laki-laki itu memeriksa beberapa email lain. Ada banyak email di kotak masuk yang tidak dia baca karena isinya juga tak terlalu penting.Setelah selesai membereskan perlengkapannya, Bima menghubungi ibunya. Dia ingin berbagi kabar baik ini, sekaligus meminta doa agar wawancara besok berjalan lanca
Ratih menatap anak dan menantunya dengan lekat. Melihat kondisi mereka, hatinya sebagai seorang ibu merasa terenyuh. Apalagi rumah kontrakan yang tadinya terlihat rapi dan bersih, kini berantakan sejak Annisa bekerja."Sampai kapan kalian mau begini? Ini sudah baru sebulan. Gimana nanti kalau terus-terusan?" tanya Ratih serius. Malam ini dia menginap karena ingin memberikan wejangan kepada anak-anaknya.Annisa tertunduk sementara Bima membuang wajah. Mereka juga tak menginginkannya, tetapi untuk sementara inilah yang terbaik."Bima. Kamu sudah Ibu berikan tawaran untuk membuka usaha. Biar Attar Ibu yang urus kalau Nisa kerja. Kalian pulang ke rumahbiar gak usah bayar kontrakan lagi," lanjut Ratih."Ini pilihan kami, Bu," jawab Bima. Dia tak bisa menyalahkan Annisa karena wanita itu sudah banyak berkorban."Ibu tau. Bukannya mau ikut campur. Ini semua demi Attar. Pikirkan!"Ratih berlalu dan masuk ke kamar. Sementara itu Bim
Bima menatap Annisa dengan intens. Istrinya banyak berubah semenjak bekerja. Wanita itu lebih pintar berdandan. Penampilannya juga berubah. Gamis panjangnya kini berganti gamis kerja yang formal. Hijabnya juga lebih berwana dan bermotif."Sekarang makin cantik, ya?" ucap Bima saat melihat Annisa sedang bersiap-siap. Sudah satu bulan ini istrinya bekerja dan rumah terasa sepi.Attar masih tidur dengan lelap di dalam box. Setiap hari Annisa bangun di subuh hari dan menyiapkan sarapan, lalu berangkat kerja pagi-pagi sebelum putranya terbangun."Namanya kerja mana boleh kucel. Ditegur sama orang kantor aku," jelasnya."Iya, deh."Bima berjalan ke luar dengan malas. Melihat itu, Annisa mengejar suaminya dan memeluk laki-laki itu dari belakang."Jangan ngambek. Nanti kalau kamu udah kerja lagi, aku resign," bujuknya.Bima terdiam dan menggenggam jemari istrinya. Laki-laki itu seperti kehilangan semangat, karena belum mendapat pe
Waktu dengan cepat berlalu, hingga tak terasa sudah hari terakhir training. Hari ini adalah hari ke tujuh, itu berarti besok para peserta sudah mulai aktif bekerja.Di hari penutupan tidak banyak materi yang dibagikan, hanya post test yang harus dikerjakan peserta untuk melihat seberapa paham mereka dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir. Kami akan memberikan job desk kepada Bapak-Ibu semua."Begitulah ucapan dari kepala HRD. Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Andra yang sesekali masuk dan memantau situasi.Andra benar-benar mengawasi selama training berlangsung, memastikan sendiri bahwa semua berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus segala sesuatunya."Selamat bergabung." Sambutan Andra begitu hangat, k