Share

Niat Baik

Penulis: Queeny
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Empat pasang kaki itu melangkah pelan menyusuri jalan paling fenomenal di kota Yogyakarta. Bima bersisian dengan Pandu, sedangkan Annisa bergandengan tangan dengan Ratih. Mereka memarkir mobil sedikit jauh, sehingga bisa menikmati pemandangan di sekitar jalan.

Bima menyewa mobil untuk perjalanan kali ini. Mereka juga memesan penginapan untuk beristirahat. Dia ingin mengajak ibunya liburan, sekaligus mengambil hati Pandu agar menyetujui niatnya untuk menikahi Annisa. Laki-laki itu tidak peduli, jika nanti lamarannya diterima atau tidak. Baginya, yang paling penting adalah usaha.

"Mama mau sarapan nasi gudeg. Pagi-pagi begini sudah ada gak, ya?" tanya Ratih. 

"Ada, Mbakyu. Di sebelah sana," tunjuk Pandu. 

Suasana pagi itu cukup ramai karena hari libur, tetapi udara terasa begitu segar sehingga menambah selera makan. Setelah memesan empat porsi gudeg dengan teh hangat dan kopi panas, mereka duduk menunggu sembari berbincang.

Annisa hanya terdiam dengan perasaan tak menentu. Perutnya terasa mual sejak awal berangkat hingga sekarang. Hanya dia berusaha menahan itu demi memenuhi keinginan ibu mertuanya. 

"Kamu kenapa, Nduk? Pucat begitu," tanya Pandu heran. Beberapa hari ini, putrinya memang terlihat aneh. Sekalipun tubuhnya kecil, fisik Annisa cukup kuat dan jarang sakit.

"Pusing, Pak. Mungkin mabuk perjalanan," jawabnya. 

"Tumben. Biasanya badan kamu kuat saja," ucap Pandu sembari menyesap kopi panas dengan perlahan. 

Bima yang mendengar percakapan itu hanya menyimak dan memperhatikan. Memang benar wajah Annisa terlihat pucat dan lemas, sehingga membuatnya sedikit khawatir. 

"Entah, Pak. Aku kok beberapa hari ini gak enak badan," jawabnya. Makanan di piringnya masih bersisa banyak. Hanya segelas teh hangat yang bisa dia habiskan dengan cepat.

"Apa mau datang tamu bulanan, Nak? Kalau Ibu sewaktu muda begitu," timpal Ratih. Selama tinggal dengan mereka dulu, Annisa memang jarang sakit. 

Annisa terdiam mendengar ucapan ibu mertuanya tadi. Tamu bulanan? Rasanya dia belum mendapatkannya. Tiba-tiba saja, wanita itu menutup mulut karena menyadari sesuatu hal.

"Nisa permisi ke belakang dulu," katanya dengan cepat sembari menutup mulut karena rasa mual semakin mendera.

Pandu menatap Bima dan Ratih secara bergantian, lalu bertanya, "Selama tinggal di sana, apa Nisa pernah sakit, Mbakyu?" 

Ratih menggeleng, lalu menjawab, "Sakit biasa kayak demam atau flu iya. Tapi yang begini belum pernah. Mungkin dia kecapean."

Bima menatap dua orang itu dengan lekat, lalu tiba-tiba saja sebuah pemikiran melintas di benaknya. 

"Saya permisi ke belakang," katanya menyusul Annisa. Laki-laki itu bertanya kepada pegawai rumah makan di mana letak kamar mandi, dan berdiri di depannya sembari menunggu. 

Begitu pintu terbuka, Bima menghadang jalan Annisa dengan merentangkan satu tangan. 

"Mau apa?" tanya wanita itu sengit. 

"Kamu ... kenapa sakit begitu?" Dia bertanya dengan nada khawatir.

"Bukan urusan kamu!" jawab Annisa ketus.

"Aku khawatir kalau kamu kenapa-kenapa, Nis," jawab Bima yakin.

"Biar aku urus sendiri. Kamu bukan siapa-siapa!" bentak Annisa.

Bima menggengkan kepala saat Annisa kembali ke kamar mandi dengan suara muntahannya terdengar jelas.

"Permisi!" ucap Annisa menepiskan tangan Bima ketika dia sudah selesai. Lalu, wanita itu kembali duduk di dekat ibu mertuanya. 

"Kita balik ke penginapan aja sekarang. Kasihan Nisa lagi sakit," ajak Ratih iba. Melihat kondisi menantunya yang payah, rasanya dia tak tega. 

"Mama sama Pakde tunggu di sini aja. Biar Bima antar Nisa ke penginapan," usul laki-laki itu yang membuat mata Annisa melotot tak senang. Ekspresinya sempat dilihat oleh Pandu, sehingga menimbulkan kecurigaan. 

"Ya sudah kalau begitu. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama Mas Pandu. Jadi kalian pulang duluan," saran Ratih bijak. 

Dia ingin menyampaikan maksud Bima untuk melamar Annisa. Itulah alasan utama kenapa mereka datang berkunjung. Putra keduanya itu terus mendesak, sehingga akhirnya dia mengalah. 

"Tapi nanti Bima jemputin Mama lagi kalau udah selesai antar Nisa," ucap laki-laki itu senang.

Annisa sendiri tak dapat menolak karena ayahnya sudah mengiyakan. Hanya saja dia harus waspada. Wanita itu dengan cepat membuka tas, memeriksa apakah dia mempunyai sesuatu yang dapat digunakan untuk membela diri, seandainya Bima berniat jahat. Lalu, dia mengucap syukur saat menemukan ada gunting kecil di dalam pouch. 

"Ayo!" Bima hendak menarik tangan Annisa, tetapi wanita itu sengaja menghindar dengan berpura-pura mencium tangan ayahnya.

Mereka berjalan beriringan menuju mobil, hingga tiba di parkiran tubuh Annisa menjadi limbung dan hampir terjatuh. Dengan cepat, Bima meraihnya kemudian membawa wanita itu masuk ke mobil.

Annisa memejamkan mata sembari menyandarkan kepala, dengan rasa mual semakin menghebat, juga pusing yang muncul bersamaan.

Bima mengendarai mobil dengan kecepatan sedang hingga tiba di penginapan. Laki-laki itu menuntun Annisa hingga masuk ke kamar.

"Keluar," lirih Annnisa dalam kondisi lemah. Sunguh laki-laki itu memang bejat jika berani memanfaatkan keadaan.

"Kamu mau obat?" 

"Gak usah. Tolong keluar," pintanya memohon.

Bima segera menutup pintu dan berjalan ke kamarnya sendiri. Laki-laki itu meraih ponsel dan menelepon ibunya untuk memberi tahu kabar Annisa.

"Mama kalau sudah selesai cepat pulang. Tadi Nisa tadi hampir jatuh di parkiran," kata Bima saat panggilan tersambung. 

"Loh, kok bisa?" tanya Ratih. Dia baru saja selesai menyampaikan niat mereka kepada Pandu dan ditanggapi dengan positif, asal Annisa bersedia. 

"Aku gak ngerti. Gak bisa bantuin yang lain juga. Mama sama Pakde pesen taksi pulang sekarang," pintanya sebelum menutup panggilan.

Sembari menunggu mamanya datang, Bima berjalan keluar dan berdiri di depan kamar Annisa, mencoba mencuri dengan dari balik daun pintu. Apakah wanita itu masih mual seperti tadi atau sudah lebih baikan. Namun, tidak ada suara, sunyi senyap sama seperti hatinya.

"Ada apa, Nak?" tanya Ratih saat tiba. Dia dan Pandu menjadi panik dan bergegas pulang. 

"Nisa kayaknya sakit parah. Muntah-munta terus tadi limbung. Hampir aja jatuh. Aku cuma bantu dia masuk ke kamar habis itu keluar," jawab Bima gamang.

Ratih mengetuk pintu karena terkunci. Mereka menunggu beberapa menit, tetapi belum ada jawaban, sehingga Bima meminta kunci cadangan dari resepsionis penginapan.

Begitu pintu kamar terbuka, Annisa terlihat sedang terbaring di tempat tidur dengan mata terpejam.

"Nisa," Ratih mencoba memanggil. 

"Ibu," lirih Annisa lemas. Matanya menatap sekeliling, tetapi seketika mual mencium aroma parfum dari tubuh ibu mertuanya. Wanita itu menutup hidung dan memalingkan wajah.

"Kita bawa ke dokter saja sekarang," titah Ratih. 

Pandu dengan cekatan membantu putrinya berdiri dan memapahnya berjalan ke depan. Lalu, mobil melaju membelah jalanan kota Yogyakarta, setelah Bima bertanya di mana alamat rumah sakit terdekat. 

Annisa langsung dibawa ke IGD dan menjalani pemeriksaan.

"Minum obatnya dulu, Ibu," ucap salah satu perawat sembari menyerahkan sebutir pil dan air putih. 

"Gimana kondisi anak saya, Dokter?" tanya Pandu dengan nada khawatir. 

Ruang IGD itu penuh sesak dengan pasien dan berbagai macam penyakit. Sempat terdengar erangan dari korban tabrak lari atau anak kecil yang menangis. Juga teriakan dari perawat ketika seorang ibu yang hendak melahirkan tiba-tiba saja masuk. 

"Ibu Annisa baik-baik saja. Hanya tekanan darahnya menurun drastis. Perlu istirahat," jawab dokter dengan singkat.  

Ketika Pandu meminta hasil diagnosa yang lebih detail, dokter itu justru mengalihkan pembicaraan dan menuliskan resep agar segera ditebus ke apotik depan. 

"Nisa mau pulang," pinta wanita itu sembari mengusap air mata. 

Bima menatap wajah sang pujaan hati dengan iba.  

"Mama mau bicara berdua dengan Nisa," pinta Ratih kepada putranya. Melihat kondisi menantunya yang tak lazim, dia menduga sesuatu telah terjadi. 

"Aku tunggu di luar, Ma. Nanti kalau Pakde sudah selesai ambil obat, kita pulang aja," katanya sembari melangkah berdua.

Ratih menatap menantunya dengan lekat lalu mengusap wajah itu dengan lembut. 

"Nisa. Ibu pernah melahirkan dua putra. Tanda-tanda awal kehamilan sama persis dengan apa yang kamu alami sekarang. Coba jujur sama Ibu. Apakah itu benar?" tanya Ratih blak-blakan. Dia tak tahu harus memulai pembicaraan dari mana karena Annisa begitu tertutup.

Annisa membuang wajah dan terdiam beberapa saat lalu ... mengangguk.

"Alhamdulillah," ucap Ratih sembari mengusap wajah.

Hal itu membuat Annisa kaget dan hendak menyanggah ketika ibu mertuanya menyambung pembicaraan. 

"Akhirnya Rahman punya keturunan walaupun dia gak sempat melihatnya," ucap Ratih sembari mengusap air mata karena rasa haru.

Annisa menggelengkan kepala, tetapi tak kuasa berkata. Dua bulan sebelum kepergiannya, Rahman jatuh sakit dan mendapatkan perawatan yang cukup lama. Bayi yang kini tumbuh di rahimnya bukan darah dari mendiang sang suami, tetapi orang lain.

"Nisa. Bayimu akan tumbuh tanpa kehadiran sosok ayah. Apa kamu sanggup?" tanya Ratih.

Annisa lagi-lagi terdiam. Ingin mengatakan yang sebenarnya tetapi lidahnya begitu kelu. 

"Nak. Ibu sangat sayang kepadamu. Bagaimana kalau kamu menikah dengan Bima? Kasihan anakmu nanti," pintanya lagi.

Annisa menggelengkan kepala. Bagaimana mungkin dia bisa hidup bersama dengan orang yang telah menodainya, sekalipun Bima adalah ayah biologis dari bayinya. 

"Pikirkan baik-baik, Nisa. Bapakmu sudah setuju kalau kamu bersedia. Bima juga siap bertanggung ja--."

Ucapan Ratih terputus ketika Bima dan Pandu menghampiri mereka.

"Baiknya kita balik ke penginapan sekarang. Mungkin besok pagi baru jalan pulang ke kampung," saran Bima. Tadi dia sudah bertanya-tanya kepada Pandu mengenai penyakit Annisa, tetapi jawabannya kurang memuaskan.

Pandu mengiyakan dan menuntun p.

Kursi roda didorong pelan meninggalkan rumah sakit. Semua orang terdiam sepanjang perjalanan. 


Bab terkait

  • Masa Iddah yang Ternoda   Pilihan

    Annisa menatap ayahnya dengan perasaan gamang dan memilih diam. Wajahnya sejak tadi hanya tertunduk, tetapi mendengarkan semua penuturan itu dengan serius."Bagaimana, Nduk? Apa kamu mau?"Sudah dari setengah jam yang lalu Pandu mengutarakan keinginan Ratih untuk melamar Annisa, tetapi tak bersuara. Sehingga membuat laki-laki itu bingung dan tak tahu harus berkata apa lagi."Rasanya ini terlalu cepat, Pak. Lagi pula masa iddahku belum selesai," jawab Annisa lirih.Ada banyak wanita di luar sana yang hingga akhir hayatnya, tetap memilih untuk tetap sendiri karena kelak ingin berkumpul kembali bersama mendiang sang suami di surga."Tapi kamu lagi hamil, Nduk. Apa nanti sanggup membesarkan anakmu sendirian?" tanyanya lagi.Pandu tak mau memaksakan kehendak, karena dia sendiri juga belum menikah hingga sekarang. Hanya saja baginya Bima adalah sosok yang baik, shingga pantas jika bersanding dengan sang putri.Mencari pe

  • Masa Iddah yang Ternoda   Bingkisan

    Derap langkah Bima saat memasuki kantor membuat beberapa pasang mata menoleh. Bisik-bisik dari karyawan mulai terdengar, terutama dari para wanita. Ketampanannya, juga posisi yang bagus sebagai seorang manager IT di perusahaan, membuat laki-laki itu kerap menjadi bahan perbincangan.Ada beberapa karyawan wanita yang diam-diam menyimpan rasa, tetapi tak berani mengungkapkan. Namun, ada juga yang berani dan terang-terang. Seperti pagi itu, saat dia sedang mengantre di depan finger print."Pagi, Bim. Udah sarapan?" tanya Nadine, sekretaris direktur utama yang berwajah blasteran dan juga cantik menggoda."Udah," jawabnya singkat. Bukannya Bima tak mau berbasa-basi, tetapi penampilan Nadine yang seronok dengan pakaian seksi membuatnya risih. Apalagi wanita itu suka menempel kepadanya."Kamu ini dingin banget. Gak suka sama cewek, ya?" ucap Nadine manja sembari mendekatkan diri.Sikapnya justru membuat Bima menjadi jengah. Dengan cepat

  • Masa Iddah yang Ternoda   Kembali

    Langit hari itu terlihat mendung dengan awan yang beriring, seperti saling berlomba ingin menurunkan air untuk membasahi bumi. Hawa yang sejak satu minggu lalu terasa panas, seketika menjadi sejuk.Para petani akan bersorak girang jika hujan turun dengan deras, karena padi mereka akan terendam air untuk menumbuhkan bulirnya. Begitu pula dengan Pandu yang sudah berangkat sejak pagi menuju sawah bersama motor bututnya.Annisa berjalan tertatih menuju dapur karena kaki yang terasa nyeri. Semakin besar kehamilannya, semakin sulit baginya untuk bergerak. Jika beberapa tetangga yang sedang mengandung tampak baik-baik saja berpergian bebas membawa perut yang membuncit, itu tak berlaku untuknya.Si jabang bayi yang sedang bersemayam itu ternyata cukup manja dan tak mengizinkan ibunya untuk bergerak bebas layaknya orang lain. Sehingga Annisa hanya bisa berdiam di rumah atau duduk di teras untuk mengusir kebosanan.Tak terasa waktu berlalu, kini

  • Masa Iddah yang Ternoda   Selamat Datang Ke Dunia

    Hari kedua mereka berada di Jakarta. Cuaca sedikit panas, sehingga Annisa merasa malas ke luar kamar dan memilih tetap di penginapan, sekalipun ibu mertuanya sudah menelepon meminta datang. Dia mengatakan bahwa mereka akan berkunjung ke sana dengan menggunakan taksi online."Bapak mau ke depan beli makanan. Kamu jangan ke mana-mana, Nduk. Tunggu saja di kamar," pesan Pandu ketika menyambangi putrinya.Bima hanya memesankan satu kamar untuk mereka, sehingga Pandu mengeluarkan biaya pribadi untuk membayar kamarnya sendiri. Annisa akan bertemu ayahnya di pagi hari saat sarapan. Untuk makan siang, mereka akan mencari di sekitar penginapan karena jika memesan makanan di sana harganya cukup tinggi."Bapak jangan lama. Perutku gak enak," keluhnya."Bapak cuma mau menyebrang ke depan. Ada yang jualan nasi campur," jelas Pandu ketika melihat wajah putrinya yang terlihat khawatir."Aku mau ayam goreng, Pak. Aku ingin makan enak di sini," p

  • Masa Iddah yang Ternoda   Pahit

    Suara percakapan yang sayup-sayup terdengar, membuat Annisa membuka kedua kelopak matanya. Wanita itu mencoba menggerakkan tubuh, tetapi justru merasakan nyeri di bagian perut. Dia mengangakat kedua lengan, lalu mendapati bahwa ada sebuah selang infus yang telah terpasang di tangan kanannya."Bapak," lirih Annisa ketika menoleh ke samping dan mendapati sang ayah sedang duduk di sofa sembari berbincang dengan ibu mertuanya."Nisa sudah sadar." Pandu menoleh dan segera menghampiri ranjang pasien untuk melihat kondisi putrinya.Annisa terlihat begitu lemah dan pucat, sehingga sempat mendapatkan transfusi darah. Untunglah, golongan darahnya mudah ditemukan sehingga stok di PMI mencukupi."Aku kenapa?" Wanita itu bertanya dengan bingung. Kepalanya terasa sakit, juga nyeri di perut yang terus mendera."Operasi, Nduk. Kamu tadi dibawa ke sini karena jatuh di penginapan," jelas Pandu pelan."Jatuh?" Annisa mencoba mengingat a

  • Masa Iddah yang Ternoda   Terpaksa Menerima

    "Jadi bagaimana? Apa kamu mau menjadi istriku?"Bima menatap wajah Annisa dengan tajam. Setelah mengancam akan mengambil putranya, kini dia mendesak wanita itu agar menerima lamarannya.Ini hari ketiga Annisa berada di rumah sakit. Sedikit demi sedikit kondisinya mulai pulih. Wanita itu sudah mencoba duduk dan berdiri sekalipun nyeri hebat menghantan perutnya. Kata dokter, dia pelan-pelan harus berlatih untuk bangun, tetapi tidak boleh dipaksakan.Setiap hari dia harus rutin meminum obat dan vitamin agar luka operasinya segera mengering. Setiap pagi Ratih juga mengirimkan putih telur rebus untuk sang menantu atas saran dari perawat rumah sakit.Bima bahkan mengambil salah seorang keluarga jauh untuk merawat Annisa hingga pulih, karena Pandu tak bisa melakukan semuanya."Aku belum bisa menjawab sekarang."Bima yang geram karena sejak tadi Annisa masih saja bersikukuh, akhirnya berjalan mendekati wanita itu lalu meraih jemari

  • Masa Iddah yang Ternoda   Akad Nikah

    "Muhammad Attar," ucap Annisa ketika ditanya siapa nama putranya."Dia suci. Ibunya yang telah berdosa," lanjutnya dengan air mata bercucuran.Semua orang menjadi haru ketika melihat itu. Ratih memeluk menantunya dengan erat untuk menguatkan. Pandu mengusap air mata saat pertama kali menggendong Attar. Sementara Bima menahan keinginan mendekap bayi mungil itu karena larangan Annisa.Satu bulan Attar dirawat di ruang NICU karena mengalami kendala di saluran pernapasan. Setiap hari Annisa datang ke rumah sakit untuk membesuk putranya. Beberapa kali dia bahkan diberikan kesempatan untuk mengganti popok atas seizin perawat ruangan.Attar akhirnya diperbolehkan pulang setelah kondisinya mulai membaik, dengan syarat harus rajin kontrol ke rumah sakit untuk perkembangannya.Bima sendiri kerap meluangkan waktu untuk setelah pulang bekerja untuk melihat putranya. Sejauh ini, laki-laki itu telah berkorban banyak hal. Salah satunya menjual motor

  • Masa Iddah yang Ternoda   Mencoba

    Bima terbangun saat mendengar suara berisik di dapur, disertai dengan bau harum masakan yang menguar di hampir semua ruangan. Laki-laki berjalan ke belakang dan mendapati istrinya sedang berdiri di depan kompor. Gerakan Annisa yang sedang mengaduk sesuatu itu membuatnya menelan ludah. Seksi."Masak apa?" tanya Bima sembari melipat tangan di dada dan bersandar di daun pintu.Annisa membalikkan badan dan menatap laki-laki itu sesaat, lalu mengalihkan pandangan dan lanjut memasak.Mendapat perlakuan seperti itu, Bima berjalan mendekati istrinya."Kayaknya enak," ucapnya sembari mengintip ke arah kompor dari balik tubuh Annisa.Bug!Tiba-tiba saja sendok penggorengan mendarat mulus di wajah Bima, sebagai reaksi dari Annisa yang terkejut. Wanita itu tak menyangka jika suaminya berjalan mendekat, dengan posisi seperti hendak memeluk dari belakang."Jangan kasar sama suami, Nis," ucap Bima mengaduh seraya mengusap hidu

Bab terbaru

  • Masa Iddah yang Ternoda   Until The End

    Hari itu. Setelah menyiapkan sarapan, Bima meminta Annisa untuk bersiap-siap. Biasanya setiap weekend tiba, mereka akan menghabiskan waktu di luar. Attar yang mulai tumbuh dan aktif, akan protes jika hanya bermain di rumah. "Mau ke mana?" tanya Annisa saat Bima menarik lengannya untuk masuk ke mobil. Sejak resmi menjadi manager marketing di kantor baru, laki-laki itu mendapatkan fasilitas kendaraan roda empat. Kehidupan ekonomi mereka yang sempat terpuruk kini mulai membaik. "Aku mau ajak kalian jalan." "Rasanya weekend ini pengin istirahat aja," pinta Annisa. Sejak melahirkan putri keduanya, Diandra, Annisa memang gampang kelelahan karena tidak ada yang membantu. Apalagi anak itu suka terbangun di malam hari dan mengajak bermain. "Kita cuma mau pergi ke satu tempat aja, kok. Habis itu pulang." Annisa mengalah dan berjalan ke kamar untuk mengambil tas. Dia melirik ke arah box di mana Diandra masih terti

  • Masa Iddah yang Ternoda   Hadiah Kedua

    Annisa merasakan mual yang begitu hebat ketika terbangun. Azan subuh yang biasanya terdengar merdu, kini terasa mengganggunya. Wanita itu mencoba untuk berdiri, tetapi kembali terduduk di ranjang karena limbung. "Pa! Papa." Annisa membangunkan suaminya yang berada di sebelah. Tubuh besar Bima yang begitu lelap terguncang dengan mata yang enggan terbuka. "Papa!" "Apa?" "Perut Ibu kembung. Mual," keluh Annisa. Bima langsung duduk dan mengusap perut sang istri dengan lembut. Matanya masih mengantuk, sehingga laki-laki itu meletakkan kepala di pangkuan sang istri lalu terpejam kembali dan mendengkur. "Papa!"

  • Masa Iddah yang Ternoda   Indah Bila Waktunya

    Pintu rumah kontrakan itu terbuka lebar menerima para tamu yang datang. Sebuah meja dengan menu prasmanan diletakkan di depan karena di dalam tak terlalu luas.Annisa sibuk menghidangkan menu dibantu oleh Lastri. Sementara itu, Bima dan dan Pandu menerima tamu yang datang. Attar sejak tadi bermain bersama Ratih karena wanita paruh baya itu rindu dengan cucunya.Setelah masa kerja Bima melewati tiga bulan dan dia diangkat sebagai karyawan tetap, Annisa mengadakan syukuran agar pekerjaan suaminya yang baru, menjadi berkah bagi keluarga mereka.Acaranya juga dimaksudkan untuk memperingati tanggal dan bulan kelahiran Attar yang sudah lewat, karena waktu itu mereka tak punya biaya."Makasih udah datang, ya," ucap Bima kepada beberapa rekan kerjanya.Tak hanya karyawan di kantor baru, dia bahkan mengundang beberapa dari kantor lama. Salah satunya Aldo, manager personalia, sahabatnya dulu hingga

  • Masa Iddah yang Ternoda   Kabar Baik

    Annisa mengancingkan baju Bima dengan sabar lalu merapikan letak kerahnya. Wanita itu sudah bangun sejak subuh dan menyiapkan sarapan seperti biasanya.Attar masih tertidur di boks dengan nyenyak. Sudah beberapa hari ini anak itu kembali ke rumah. Annisa sendiri sudah resign karena Bima diterima bekerja. Sekalipun ada rasa cemburu di hati wanita itu, tetapi dia berterima kasih kepada Dyara. Berkat bantuannya, kehidupan mereka kembali normal seperti dulu."Papa ganteng gak, Bu?""Iya, ganteng.""Pasti nanti banyak cewek yang naksir kayak dulu," goda Bima."Terserah Papa aja. Kalau mau naksir balik ya silakan," kata Annisa seraya mengusap kedua lengan baju suaminya dan memastikan bahwa semua sudah rapi."Ibu cemburu?" goda Bima lagi."Gak.""Gak salah lagi. Ya, kan?"Annisa tersenyum dan menarik lengan Bima menuju dapur, lalu menyuruh suaminya duduk."Makan yang banyak, ya," ucapnya seraya mengambilkan nasi.

  • Masa Iddah yang Ternoda   Pilihan

    Annisa menarik napas panjang sebelum masuk ke ruangan itu. Biasanya dia santai saja, tetapi hari ini agak sedikit gugup karena akan mengucapkan salam perpisahan."Masuk, Nisa," kata Andra ketika wanita itu mengetuk dan membuka sedikit daun pintu.Aroma harum seketika menguar di indra penciuman Annisa. Tak hanya ruangan ini yang wangi, tetapi juga pemiliknya. Itulah yang membuat daya tarik Andra begitu kuat di mata kaum Hawa."Ini berkasnya, Pak," ucapnya sembari meletakkan setumpuk kertas di meja.Andra mengambilnya lalu membaca dengan teliti."Duduk dulu, lah. Kok tegang begitu," kata Andra heran seraya menatap Annisa dengan lekat."Eh iya, Pak." Annisa menarik kursi dan duduk dengan gelisah. Gesture tubuhnya terlihat jelas sehingga membuat Andra menghentikan aktivitasnya."Kenapa?""Itu, Pak. Mengenai status karyawan saya," kata wanita itu memulai."Kalau sudah 3 bulan jadi karyawan tetap. Kan suda

  • Masa Iddah yang Ternoda   Harapan

    Bima menatap layar laptop dengan tak percaya. Lamaran pekerjaan yang dia kirim minggu lalu, kini ada balasannya. Ternyata Dyara memang benar-benar membantu kali ini. Besok laki-laki itu diminta datang untuk interview."Aku dipanggil kerja." Bima mengetikkan pesan kepada istrinya. Mau nanti dibalas atau tidak oleh Annisa, yang penting dia sudah memberi kabar. Dia mengerti bahwa selama jam kerja, Annisa tak boleh diganggu.Bima membuka lemari, melihat beberapa koleksi baju untuk dipakai besok. Hatinya senang bukan kepalang karena ada harapan baru bagi masa depan keluarga mereka. Setelah memisahkan kemeja dan celana yang sudah dipilih, laki-laki itu memeriksa beberapa email lain. Ada banyak email di kotak masuk yang tidak dia baca karena isinya juga tak terlalu penting.Setelah selesai membereskan perlengkapannya, Bima menghubungi ibunya. Dia ingin berbagi kabar baik ini, sekaligus meminta doa agar wawancara besok berjalan lanca

  • Masa Iddah yang Ternoda   Nasihat Ibu

    Ratih menatap anak dan menantunya dengan lekat. Melihat kondisi mereka, hatinya sebagai seorang ibu merasa terenyuh. Apalagi rumah kontrakan yang tadinya terlihat rapi dan bersih, kini berantakan sejak Annisa bekerja."Sampai kapan kalian mau begini? Ini sudah baru sebulan. Gimana nanti kalau terus-terusan?" tanya Ratih serius. Malam ini dia menginap karena ingin memberikan wejangan kepada anak-anaknya.Annisa tertunduk sementara Bima membuang wajah. Mereka juga tak menginginkannya, tetapi untuk sementara inilah yang terbaik."Bima. Kamu sudah Ibu berikan tawaran untuk membuka usaha. Biar Attar Ibu yang urus kalau Nisa kerja. Kalian pulang ke rumahbiar gak usah bayar kontrakan lagi," lanjut Ratih."Ini pilihan kami, Bu," jawab Bima. Dia tak bisa menyalahkan Annisa karena wanita itu sudah banyak berkorban."Ibu tau. Bukannya mau ikut campur. Ini semua demi Attar. Pikirkan!"Ratih berlalu dan masuk ke kamar. Sementara itu Bim

  • Masa Iddah yang Ternoda   Pertolongan

    Bima menatap Annisa dengan intens. Istrinya banyak berubah semenjak bekerja. Wanita itu lebih pintar berdandan. Penampilannya juga berubah. Gamis panjangnya kini berganti gamis kerja yang formal. Hijabnya juga lebih berwana dan bermotif."Sekarang makin cantik, ya?" ucap Bima saat melihat Annisa sedang bersiap-siap. Sudah satu bulan ini istrinya bekerja dan rumah terasa sepi.Attar masih tidur dengan lelap di dalam box. Setiap hari Annisa bangun di subuh hari dan menyiapkan sarapan, lalu berangkat kerja pagi-pagi sebelum putranya terbangun."Namanya kerja mana boleh kucel. Ditegur sama orang kantor aku," jelasnya."Iya, deh."Bima berjalan ke luar dengan malas. Melihat itu, Annisa mengejar suaminya dan memeluk laki-laki itu dari belakang."Jangan ngambek. Nanti kalau kamu udah kerja lagi, aku resign," bujuknya.Bima terdiam dan menggenggam jemari istrinya. Laki-laki itu seperti kehilangan semangat, karena belum mendapat pe

  • Masa Iddah yang Ternoda   Penggoda

    Waktu dengan cepat berlalu, hingga tak terasa sudah hari terakhir training. Hari ini adalah hari ke tujuh, itu berarti besok para peserta sudah mulai aktif bekerja.Di hari penutupan tidak banyak materi yang dibagikan, hanya post test yang harus dikerjakan peserta untuk melihat seberapa paham mereka dalam menerima materi. "Baiklah. Kita tiba di sesi terakhir. Kami akan memberikan job desk kepada Bapak-Ibu semua."Begitulah ucapan dari kepala HRD. Selama training berlangsung, dia hanya tampil sesaat pada waktu pembukaan hari pertama, serta penutup di hari terakhir acara. Selebihnya, materi diisi oleh berbagai divisi lain, dan tentunya ada Andra yang sesekali masuk dan memantau situasi.Andra benar-benar mengawasi selama training berlangsung, memastikan sendiri bahwa semua berjalan dengan lancar. Peserta yang tidak banyak, tentu saja memudahkan panitia untuk mengurus segala sesuatunya."Selamat bergabung." Sambutan Andra begitu hangat, k

DMCA.com Protection Status