Masih dengan wajah senduh di bawah langit hitam, di hadapan bangunan-bangunan menjulang ibu kota dan pekatnya malam dalam balutan angin yang menerkam, Rumi berdiri seperti menantang. Kecamuk hatinya dan kekacauan pikirannya masih menggelutinya usai meluapkan semuah amarah di hadapan Zuldan dan menyerahkan flasdisk hitam tersebut.
Suara telapak kaki berlari terdengar. Membuat Rumi berbalik badan dan menemukan seorang perempuan berambut panjang gelombang terurai dengan dress putih selutut berlari ke arahnya dengan wajah bahagia. Jepitan putih berkilau yang mengampit helai rambut depan membuat perempan terkasihnya itu seperti seorang putri. Membuatnya menarik ujung bibir membentuk senyum menawan dan merentangkan kedua tangan menyambut.
“Akhirnya
Dua minggu setelahnya, Rumi mengantarkan keberangkatan Gerta ke Wina. Segala hal sudah dia persiapkan mulai dari menyembunyikan identitas Gerta dalam pengurusan paspor dan penerbangan agar tak tercium oleh Siswo Barac yang masih gencar mencari. Karena melindungi Gerta adalah misi terakhirnya.“Terima kasih buat segala kepengurusannya, Rumi,” ucap Opung.“Sama-sama, Opung. Jaga kesehatan di sana.” Rumi tersenyum.Opung mengangguk. “Kami tunggu kamu di sana,” ucapnya yang kemudian menghampiri Gerta yang terus duduk termangu memandangi Rumi dengan tatapan sendu.Ira menepuk pelan pundak Rumi. “Cepat selesaikan urusan kamu di sini dan segera menyusul, Rumi.”
Sebuah pintu brangkas bawah tanah dibuka penuh dan menampilkan berbagai senjata tembak dan alat pelindung. Beberapa mobil dengan pelat nomor buatan juga sudah disiapkan di parkiran bawah tanah. Tentu juga dengan beberapa personil yang sudah siap terjun ke lapangan melakukan penyelamatan kepada Dego.Rumi melempar senapan perunduk kepada Boni. “Lo lindungi gue dari jarak jauh saat gue menyusup ke wilayah mereka. Gue tahu lo pro banget sama alat ini.”“Terus gue?” tanya Kris.Rumi kemudian melempar senapan bolt action kepada Kris. “Lo juga lindungi gue dari jarak jauh. Lo cari posisi aman sesuai jarak tempu senapan ini.”&ld
Dor! Dor! Dor!Tiga buah peluru berhasil melumpuhkan tiga orang di hadapan Rumi. Membuat Rumi terkejut bukan main melihat Zuldan dan Hanan muncul di ambang pintu dengan menodongkan pistol.“Lain kali kalau aku telpon, jawab Rum. Hampir aja kamu mati di tangan mereka.” Zuldan bernapas lega berhasil bergerak cepat menyelamatkan adiknya.“Kok kalian bisa ada di sini?” tanya Rumi meringisi kesakitan menahan bahunya.“Justru kalau kita nggak ada di sini, kamu bisa mati, Bung,” ucap Hanan.“Cuma bahu kan yang ketembak?” Zuldan mengulurkan tangan membantu Rumi berdiri.“Iya.”
“Pak Frans! Pak Frans!”Sebuah ketukan pintu tidak sabaran dan seruan orang panik membuat Frans tergopoh-gopoh membukakan pintu. Dia kemudian mendapati dua orang laki-laki tengah membawa laki-laki yang amat dia kenal tampak terluka. “Rumi? Kenapa dia?”“Tolong teman saya, Pak Frans. Dia kena luka tembak,” pinta Dego panik.Frans terbelalak. “Luka tembak? Ya Tuhan! Bawa masuk dan letakkan di brankar.”Boni langsung menggendong Rumi masuk dan meletakkannya di atas brankar. Sementara Frans langsung mengunci pintu masuk dan menempelkan tulisan Close, menghindari orang-orang yang datang.
Beberapa hari Frans sengaja menutup klinik hewannya demi merawat Rumi. Beruntung keadaan Rumi sudah mulai membaik, meski masih belum diperbolahkan banyak berjalan. Dego dan Boni pun memilih menginap di sana untuk bersembunyi, berjaga-jaga kalau anak buah Soebahir masih mencari.“Seharusnya kamu itu ikut berangkat ke Wina ketimbang membahayakan nyawa di sini. Sedikit lagi peluru itu menghancurkan arterimu, bisa melayang nyawamu,” omel Frans pada laki-laki yang sibuk mengunyah roti di atas brankar.Rumi hanya diam mendengarkan dan menghabiskan jatah makannya sebelum minum obat.“Dasar anak-anak bandel. Kalian nggak ada kerjaan lain apa, sampai ngurusin orang-orang berkuasa itu?” Frans terus mengomel.Dego dan Boni hanya m
Sepekan kemudian setelan jas hitam rapi membalut tubuh tegap Zuldan yang melangkah menuju lantai pertemuan. Segala keperluan sudah dia persiapkan, terlebih hatinya. Meski tatapannya kosong, tetapi tidak dengan niatnya yang sudah bulat membongkar kebobrokan ibu kota di gedung negara, di hadapan para pemeran di balik flasdisk hitam. Tak terkecuali ayahnya sendiri.“Pak Zul, saya kesulitan mendapatkan ijin untuk menampilkan kasusnya di media. Bagaimana ini? Karir saya jadi taruhannya di sini.” Sebuah suara di balik ponsel di telinga kiri Zuldan.“Nggak papa kalau nggak mendapatkan ijin. Saya akan lakukan sendiri. Kamu ikutin saja perintah atasan kamu,” ucap Zuldan dingin.Usai panggilan dengan seorang perempuan berakhir,
Siswo Barac menurunkan pistol dan mengeraskan rahang. Sementara beberapa yang lainnya saling mengerang frustrasi di balik meja-meja yang berbaris karena keadaan yang semakin mencengkam.“Anda adalah dalang di balik kematian Jenderal Qomar bukan?” tanya Zuldan menahan tangis menatap orang nomor satu di ibu kota.Beberapa orang yang tidak mengetahui fakta itu langsung melempar pandangan tidak percaya kepada orang nomor satu tersebut.“Jangan sembarang berbicara kamu, Zuldan. Apa kamu punya bukti?” Soebahir geleng-geleng.“Punya. Dan Ayah juga terlibat bukan?” lagi-lagi Zuldan menatap nanar ayahnya.“Hati-hati kalau berbicara, Zuldan. Mulutmu adalah harimaumu.
Sebuah keributan di tempat penjagal menarik perhatian Dego dan Rumi yang baru saja kembali ke markas.“Ada apa ini?” tanya Rumi.“Bro, orang ini berusaha menerobos masuk ke atas.” Salah seorang penjagal yang menarik kerah seseorang menjelaskan.“Hanan?” Dego mendekat memastikan laki-laki yang wajahnya sedikit babak belur karena dikeroyok.“Lepaskan dia,” suruh Rumi.“Rum … gedung negara itu akan meledak satu jam lagi,” ungkap Hanan pilu.“Maksudnya apa meledak?” Rumi mendekat tidak mengerti.“Zuldan … dia bener-bener