Siswo Barac menurunkan pistol dan mengeraskan rahang. Sementara beberapa yang lainnya saling mengerang frustrasi di balik meja-meja yang berbaris karena keadaan yang semakin mencengkam.
“Anda adalah dalang di balik kematian Jenderal Qomar bukan?” tanya Zuldan menahan tangis menatap orang nomor satu di ibu kota.
Beberapa orang yang tidak mengetahui fakta itu langsung melempar pandangan tidak percaya kepada orang nomor satu tersebut.
“Jangan sembarang berbicara kamu, Zuldan. Apa kamu punya bukti?” Soebahir geleng-geleng.
“Punya. Dan Ayah juga terlibat bukan?” lagi-lagi Zuldan menatap nanar ayahnya.
“Hati-hati kalau berbicara, Zuldan. Mulutmu adalah harimaumu.
Sebuah keributan di tempat penjagal menarik perhatian Dego dan Rumi yang baru saja kembali ke markas.“Ada apa ini?” tanya Rumi.“Bro, orang ini berusaha menerobos masuk ke atas.” Salah seorang penjagal yang menarik kerah seseorang menjelaskan.“Hanan?” Dego mendekat memastikan laki-laki yang wajahnya sedikit babak belur karena dikeroyok.“Lepaskan dia,” suruh Rumi.“Rum … gedung negara itu akan meledak satu jam lagi,” ungkap Hanan pilu.“Maksudnya apa meledak?” Rumi mendekat tidak mengerti.“Zuldan … dia bener-bener
Usai berhasil mendapatkan sinyal peledak terhubung pada system di layar laptop, mobil hitam kemudian menepi di tepi jalan tidak jauh dari gedung negara. Tampak Dego masih sibuk mengutak-atik keyboard laptop, mencoba menjinakkan bom berkekuatan tinggi tersebut. Meski entah akan berhasil atau tidak, paling tidak dia sudah menyusun rencana kedua, jika usahanya memang tidak membuahkan hasil.Di tempat lain, Rumi sedang menyelundup masuk ke gedung negara lewat pintu belakang. Jarum jam di pergelangan tangannya sudah menunjuk empat puluh lima menit lagi sebelum C4 itu benar-benar meledak. Dia harus bergegas mengeluarkan orang-orang yang masih di dalam gedung tersebut agar tak menimbulkan banyak korban, jika kemungkinan buruk yang terjadi.Sebuah alarm darurat Rumi pukul dengan lengannya. Membuat suara tanda bahaya itu menggema di penjuru g
Dua minggu kemudian setelah kehancuran ibu kota di gedung negara dan terungkapnya data korupsi di media, Rumi menatap tiket penerbangan ke Wina di ruang kerjanya. Tubuhnya masih berbalut pakaian hitam usai menghadiri pemakanan Zuldan. Masih jelas kesedihan di wajahnya usai kehilangan kakak laki-lakinya pada tragedi mengerikan yang menggemparkan penjuru dunia.Kehancuran ibu kota benar-benar terjadi akhirnya setelah isi di balik flasdisk hitam itu terungkap. Kematian Zuldan memang tidak sia-sia setelah berhasil menghancurkan ibu kota yang dipenuhi orang-orang berkorupsi. Meski begitu, masih amat disayangkan oleh Rumi, karena kakak laki-lakinya itu orang yang bersih dan berbakat di ibu kota.Tok! Tok! Tok!Rumi menoleh dan mendapati Dego berdiri di ambang pintu.
Di sebuah halaman gereja Peterskirche di pusat kota Wina, Gerta terus dalam rangkulan Ira memandangi sebuah peti yang perlahan-lahan tertutup. Tampak laki-laki berwajah keriput dan pucat terbaring dengan jas hitam rapi tanpa bisa lagi bergerak. Tak ada lagi kacamata yang biasanya membingkai wajah ramahnya setiap hari.Ya, setelah berhari-hari terbaring sakit karena sesak napas, Opung akhirnya memutuskan menutup mata untuk selama-lamanya meninggalkan Gerta bersama Ira. Baruntung, di akhir usainya, dia dapat kembali ke Wina dan bersanding dengan makam mendiang istrinya.“Tuhan Yesus Kristus, Engkau sendiri berbaring dalam makam selama tiga hari. Maka kami mohon sucikanlah makam ini. Agar hamba-Mu yang kami istirahatkan di sini akhirnya akan bangkit bersama Engkau dan menjalani hidup sepanjang masa.”
Perempuan berambut panjang gelombang terurai memakai mini dress putih bermotif floral tampak indah di antara jajaran rak buku menjulang tinggi di perpustakaan nasional Heldenplatz. Kaki mungilnya terus menyusuri setiap barisan rak dengan jemari dan mata yang tak berhenti mengamati.“Jalan-jalan ke sini aku jadi kangen sama perpustakaan Lareta. Apa kabar ya perpustakaan milik Opung sekarang?” tanya Gerta.Rumi tersenyum mengikuti langkah kekasihnya. “Perpustakaan Opung sekarang udah resmi jadi museum di ibu kota. Jadi kamu nggak perlu khawatir lagi, karena tempat itu sudah mempunyai dokumen resmi dan dilindungi.”
Di sebuah gereja Karlskirche yang berjarak tujuh ratus meter dari gedung oprera, Gerta dan Rumi melakukan upacara pernikahan. Gereja bergaya arsitktur Baroque yang indah itu tampak hikmat oleh suasana pengucapan janji suci.Perempuan bergaya rambut up do sederhana tampak cantik dan anggun oleh two pieces dress putih bahu terbuka dengan veil putih yang membungkus wajah ayunya di hadapan laki-laki berjas rapi yang tampak tampan.“Rumi, maukah saudara menikah dengan Gerta yang hadir di
Untuk menikmati indahnya lampu warna-warni yang menghiasi kota Wina, acara pesta dansa pun digelar di depan gereja Karlskirche dengan menghadirkan warga sekitar untuk ikut merayakan. Lagi-lagi penampilan anggun Gerta membuat kagum pasang mata—gaun off shoulder model V putih yang membuat jenjang bagian leher membuatnya seperti putri di dalam dongeng. Sementara Rumi begitu tampan dengan setelan tuxedo putih tampak seperti seorang pangeran tatkala menuntun Gerta menuju halaman pesta.“Ini nih pangeran dan putri kita malam ini!” seru Kris.“Gimana? Kalian menikmati di sini?” tanya Rumi.&ldqu
Pemandangan malam kota Wina di balik jendela besar sebuah kamar menjadi akhir rangkaian acara pernikahan. Sebuah kasur king size seprai putih bertabur kelopak mawar berbentuk hati di atasnya menjadi suguhan indah sepasang pengantin. Ditambah lilin-lilin aromaterapi dan lampu temaram yang menambah kehangatan suasana.Rumi melepas jas putihnya dan mulai melepas kancing di pergelangan tangannya. Sebelum kemudian melepas 2 kancing kemeja atasnya. Samar-samar suara Gerta di balik ruang ganti terdengar. Membuat langkahnya menghampiri.“Kamu kenapa, Gerta?” tanya Rumi usai mengetuk pintu ruang ganti.“Nggak papa … ini cuma susah aja buka bajunya.”