“Ah, sialan banget itu perempuan. Jadi merinding sampai sekarang,” gerutu Rumi kesal.
“Aku kira, selain jago di meja judi kamu juga jago soal perempuan, Rum. Tapi ternyata nggak,” kelakar Zuldan.
“Dia itu cuma jago masalah tampang. Tapi dia phobia sama perempuan. Hahaha.” Suara Dego mengekor turut mengolok dari belakang.
“Bangke banget mulut lo,” umpat Rumi.
Zuldan tertawa.
Dego kemudian melepas sebuah alat penyadap suara yang terpasang di kera belakang bajunya, yang sejak tadi digunakan untuk merekam pembicaraan orang-orang berjas hitam yang duduk di kursi belakang
Hingga pada suatu garis waktu yang merangkak maju, kegigihan Zuldan dalam mengungkap sebuah kasus perjudian yang tak kunjung menemukan jalan itu mengantarkan logikanya pada satu jawaban, alasan kenapa orang-orang selalu bungkam, alasan kenapa atasannya tak memberinya izin untuk menyelidiki, alasan kenapa banyak kepolisian tak pernah mengungkap kasus itu ke publik dan alasan kenapa kasus pembunuhan Jenderal Qomar tak menemukan titik terang sampai sekarang.Ya, Zuldan menemukan satu jawabannya, jika ada orang berkuasa yang menjadi dalang di baliknya, yang menopang dan membuat skenario orang-orang untuk bungkam dengan sengaja.“Orang-orang BIN dan anggota kepolisian itu juga berengsek. Mereka bekerja sama mengkambinghitamkan aku sebagai pembunuh. Bukankah seharusnya Mas merasa janggal dengan rekan-rekan Mas di sana?”
Lalu pada suatu garis yang merangkak maju lainnya, kehidupan tenang Gerta terusik. Tampak dua orang berjaket hitam tiba-tiba datang ke perpustkaan Lareta menemui Opung yang tengah sibuk merapikan buku-buku di rak buku.“Selamat datang!” sapa Opung kepada dua orang tersebut. Namun, rautnya tegang tatkala menoleh dan mendapati wajah beringas kedua orang tersebut. “Sedang mencari buku apa?” tanyanya mencoba berbasa-basi.“Apa benar Bapak bernama Hernawan Sinto?” tanya salah seorang dari mereka.Opung mengangguk ragu-ragu. “Iya benar, itu saya. Ada keperluan apa, ya?”“Kedatangan kami ke sini bukan untuk mencari buku, melainkan untuk bertanya.”
Tanpa alas kaki Gerta berlari melewati beberapa gang sempit dengan napas tersengal-sengal. Keringat bercucuran dari kening hingga lehernya. Katakutan masih tergambar jelas di wajahnya dan membuat kepalanya pening. Dia bahkan sempat tersungkur beberapa kali karena pusing. Membuat kedua siku dan lututnya terluka.“Nggak … aku nggak boleh pingsan di sini. Aku ... harus bertahan sampai tempatnya,” lirih Gerta terbatah-batah.Di ujung gang sempit Gerta kemudian menemukan sebuah jalan untuk penyeberangan. Dia langsung bergegas menyeberangi jalan tersebut dengan gontai dan masuk ke dalam gang sempit lagi. Sampai di sana dia langsung menggedor-gedor sebuah pintu sekuat tenaganya.Pintu terbuka dna menampilkan Frans yang terkejut. “Gerta? Ada apa Gerta?”
Kedai Lareta tampak tak seperti biasanya. Jika biasanya ada lampu yang menyalah, kini tampak gelap gulita seperti tak berpenghuni. Sudah beberapa hari Rumi tak melihat Gerta muncul di perpustakaan tersebut. Membuat perasaan rindunya menjadi tanda tanya besar.“Apa … terjadi sesuatu ya? Kenapa Gerta nggak pernah muncul?” tanya Rumi yang terus celingukan di balik kotak pos.Rumi kemudian melempar pandangan ke bilik merah yang diam-diam sudah dia pasangkan kamera pengintai di sudut luarnya. Lalu ada sebuah CCTV berikutnya yang berada di ujung jalan. CCTV itu sengaja dia pasangkan itu guna untuk mengetahui segala aktivitas Gerta, termasuk jika terjadi sesuatu yang buruk.Rumi kemudian merahi sebuah smartphone
Di sebuah apartemen lantai dua belas, Rumi berjalan menuju pintu bernomor tujuh puluh enam yang terletak di sudut kanan bangunan. Usai memastikan alamat yang dia tuju benar, dia melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam saku di depan sebuah pintu ruangan.Terdengar suara telapak sepatu hak tinggi menggema di koridor, tetapi Rumi tak mengindahkan. Pandangannya terus terfokus pada pintu di hadapannya untuk mengetuk.“Rumi?”Belum sampai Rumi mengetuk pintu di hadapannya, sebuah suara membuatnya spontan menoleh ke suara berasal. Dia mendapati seorang perempuan memakai kaftan satin biru tua lengan pendek berpadu sepatu teplek putih berdiri menatap ke arahnya. Tampak tangan perempuan tersebut bergelayut sebuah bingkisan seperti bahan belanjaan dan bunga lavender.
Rumi melepaskan pelukan dan memandang wajah pucat Gerta. “Gerta, kalau kamu benar-benar merasakan sakit, kamu harus meminum obat. Kamu akan melukai diri kamu sendiri kalau membiarkan rasa sakit itu nggak terobati.” Rumi meraih botol obat itu dan mengambil dua butir obat. Lalu meletakkannya di telapak tangan Gerta.Gerta hanya memandangi dua butir obat di tangannya.Rumi meraih minuman di atas meja. “Minumlah. Aku nggak mau melihat kamu kesakitan,” pintanya.Meski ragu-ragu, Gerta akhirnya menurut. Terlebih memandang wajah Rumi yang mengkhawatirkannya. Dia kemudian menelan dua butir obat tersebut dan meneguk minuman yang disodorkan Rumi.Rumi tersenyum lega. Dia kemudian beranjak duduk di samping Gerta dan membawa kepala
Beberapa hari kosong tak berpenghuni, seseorang mencoba mengambil kesempatan dengan mengendap masuk ke dalam perpustakaan Lareta. Laki-laki berjaket hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya mengeluarkan sebuah pisau tajam dari dalam jaketnya dan mencoba membuka jendela kaca terkunci rapat itu. Tampaknya dia memang cukup ahli dalam hal mensabotase.Lima menit berusaha, akhirnya jendela itu terbuka dan membuat laki-laki misterius itu berhasil masuk ke dalam ruangan melalui jendela.Sebuah lampu senter dinyalakan dalam ruangan tersebut. Laki-laki berpakaian hitam itu mengedap masuk menelusuri satu per satu rak buku. Mata tajamnya mengamati penuh selidik pada buku-buku berbaris rapi itu.Hingga lima belas menit lamanya mencari-cari, sosok misterius itu akhirnya menemukan sebuah buku yang m
“KENAPA KAMU DIAM SAJA, RUM?!” teriak Zuldan lantang seraya beranjak.Lagi-lagi Rumi hanya terdiam melihat kemaran Zuldan. Karena dia sudah menebak, jika hari ini akan menjadi bom waktu bagi kakak laki-lakinya itu.“Jadi Ayah adalah dalang di balik interpol-interpol itu bungkam mengenai kasus perjudian? Bahkan juga bungkam mengenai kasus pembunuhan Jenderal Qomar?” pekik Zuldan. “Apa yang sedang kamu rencanakan, Bajingan Berengsek?!” Dia kemudian mendorong Rumi hingga tersungkur di body mobil. “Kamu sengaja menyembunyikannya dengan memberi aku teka-teki seperti orang bego. Kamu mencoba mempermainkan aku, huh?!” teriaknya marah.Rumi masih tak bersuara. Dia