Tanpa alas kaki Gerta berlari melewati beberapa gang sempit dengan napas tersengal-sengal. Keringat bercucuran dari kening hingga lehernya. Katakutan masih tergambar jelas di wajahnya dan membuat kepalanya pening. Dia bahkan sempat tersungkur beberapa kali karena pusing. Membuat kedua siku dan lututnya terluka.
“Nggak … aku nggak boleh pingsan di sini. Aku ... harus bertahan sampai tempatnya,” lirih Gerta terbatah-batah.
Di ujung gang sempit Gerta kemudian menemukan sebuah jalan untuk penyeberangan. Dia langsung bergegas menyeberangi jalan tersebut dengan gontai dan masuk ke dalam gang sempit lagi. Sampai di sana dia langsung menggedor-gedor sebuah pintu sekuat tenaganya.
Pintu terbuka dna menampilkan Frans yang terkejut. “Gerta? Ada apa Gerta?”
<Kedai Lareta tampak tak seperti biasanya. Jika biasanya ada lampu yang menyalah, kini tampak gelap gulita seperti tak berpenghuni. Sudah beberapa hari Rumi tak melihat Gerta muncul di perpustakaan tersebut. Membuat perasaan rindunya menjadi tanda tanya besar.“Apa … terjadi sesuatu ya? Kenapa Gerta nggak pernah muncul?” tanya Rumi yang terus celingukan di balik kotak pos.Rumi kemudian melempar pandangan ke bilik merah yang diam-diam sudah dia pasangkan kamera pengintai di sudut luarnya. Lalu ada sebuah CCTV berikutnya yang berada di ujung jalan. CCTV itu sengaja dia pasangkan itu guna untuk mengetahui segala aktivitas Gerta, termasuk jika terjadi sesuatu yang buruk.Rumi kemudian merahi sebuah smartphone
Di sebuah apartemen lantai dua belas, Rumi berjalan menuju pintu bernomor tujuh puluh enam yang terletak di sudut kanan bangunan. Usai memastikan alamat yang dia tuju benar, dia melipat kertas tersebut dan memasukkannya ke dalam saku di depan sebuah pintu ruangan.Terdengar suara telapak sepatu hak tinggi menggema di koridor, tetapi Rumi tak mengindahkan. Pandangannya terus terfokus pada pintu di hadapannya untuk mengetuk.“Rumi?”Belum sampai Rumi mengetuk pintu di hadapannya, sebuah suara membuatnya spontan menoleh ke suara berasal. Dia mendapati seorang perempuan memakai kaftan satin biru tua lengan pendek berpadu sepatu teplek putih berdiri menatap ke arahnya. Tampak tangan perempuan tersebut bergelayut sebuah bingkisan seperti bahan belanjaan dan bunga lavender.
Rumi melepaskan pelukan dan memandang wajah pucat Gerta. “Gerta, kalau kamu benar-benar merasakan sakit, kamu harus meminum obat. Kamu akan melukai diri kamu sendiri kalau membiarkan rasa sakit itu nggak terobati.” Rumi meraih botol obat itu dan mengambil dua butir obat. Lalu meletakkannya di telapak tangan Gerta.Gerta hanya memandangi dua butir obat di tangannya.Rumi meraih minuman di atas meja. “Minumlah. Aku nggak mau melihat kamu kesakitan,” pintanya.Meski ragu-ragu, Gerta akhirnya menurut. Terlebih memandang wajah Rumi yang mengkhawatirkannya. Dia kemudian menelan dua butir obat tersebut dan meneguk minuman yang disodorkan Rumi.Rumi tersenyum lega. Dia kemudian beranjak duduk di samping Gerta dan membawa kepala
Beberapa hari kosong tak berpenghuni, seseorang mencoba mengambil kesempatan dengan mengendap masuk ke dalam perpustakaan Lareta. Laki-laki berjaket hitam dengan tudung yang menutupi kepalanya mengeluarkan sebuah pisau tajam dari dalam jaketnya dan mencoba membuka jendela kaca terkunci rapat itu. Tampaknya dia memang cukup ahli dalam hal mensabotase.Lima menit berusaha, akhirnya jendela itu terbuka dan membuat laki-laki misterius itu berhasil masuk ke dalam ruangan melalui jendela.Sebuah lampu senter dinyalakan dalam ruangan tersebut. Laki-laki berpakaian hitam itu mengedap masuk menelusuri satu per satu rak buku. Mata tajamnya mengamati penuh selidik pada buku-buku berbaris rapi itu.Hingga lima belas menit lamanya mencari-cari, sosok misterius itu akhirnya menemukan sebuah buku yang m
“KENAPA KAMU DIAM SAJA, RUM?!” teriak Zuldan lantang seraya beranjak.Lagi-lagi Rumi hanya terdiam melihat kemaran Zuldan. Karena dia sudah menebak, jika hari ini akan menjadi bom waktu bagi kakak laki-lakinya itu.“Jadi Ayah adalah dalang di balik interpol-interpol itu bungkam mengenai kasus perjudian? Bahkan juga bungkam mengenai kasus pembunuhan Jenderal Qomar?” pekik Zuldan. “Apa yang sedang kamu rencanakan, Bajingan Berengsek?!” Dia kemudian mendorong Rumi hingga tersungkur di body mobil. “Kamu sengaja menyembunyikannya dengan memberi aku teka-teki seperti orang bego. Kamu mencoba mempermainkan aku, huh?!” teriaknya marah.Rumi masih tak bersuara. Dia
Malam yang pekat, dingin yang mulai menusuk dan sunyi yang tak terdengar. Gerta dalam insomnianya tengah duduk termangu di sebuah ruang tamu. Temaram lampu kuning ruangan memperlihatkan kesenduhan di wajahnya. Ditemani dengan secangkir cokelat panas, matanya sudah sangat lama tertuju pada tiket penerbangan Wina, Austria di atas meja.Entah apa yang sedang menghuni di kepala Gerta, hingga termenung seorang diri sejak setengah jam lamanya.“Apa yang lahi kamu pikirkan, Nak?” tanya Opung menghampiri Gerta. Laki-laki paruh aya itu kemudian duduk di sebelah putri kesayangannya.“Apa kita beneran akan pergi, Opung?” tanya Gerta gelisah.Opung mengangguk pelan. “Ini akan menjadi tempat baru kita nantinya. Kamu pasti akan
Masih dengan wajah senduh di bawah langit hitam, di hadapan bangunan-bangunan menjulang ibu kota dan pekatnya malam dalam balutan angin yang menerkam, Rumi berdiri seperti menantang. Kecamuk hatinya dan kekacauan pikirannya masih menggelutinya usai meluapkan semuah amarah di hadapan Zuldan dan menyerahkan flasdisk hitam tersebut.Suara telapak kaki berlari terdengar. Membuat Rumi berbalik badan dan menemukan seorang perempuan berambut panjang gelombang terurai dengan dress putih selutut berlari ke arahnya dengan wajah bahagia. Jepitan putih berkilau yang mengampit helai rambut depan membuat perempan terkasihnya itu seperti seorang putri. Membuatnya menarik ujung bibir membentuk senyum menawan dan merentangkan kedua tangan menyambut.“Akhirnya
Dua minggu setelahnya, Rumi mengantarkan keberangkatan Gerta ke Wina. Segala hal sudah dia persiapkan mulai dari menyembunyikan identitas Gerta dalam pengurusan paspor dan penerbangan agar tak tercium oleh Siswo Barac yang masih gencar mencari. Karena melindungi Gerta adalah misi terakhirnya.“Terima kasih buat segala kepengurusannya, Rumi,” ucap Opung.“Sama-sama, Opung. Jaga kesehatan di sana.” Rumi tersenyum.Opung mengangguk. “Kami tunggu kamu di sana,” ucapnya yang kemudian menghampiri Gerta yang terus duduk termangu memandangi Rumi dengan tatapan sendu.Ira menepuk pelan pundak Rumi. “Cepat selesaikan urusan kamu di sini dan segera menyusul, Rumi.”