Jadilah seperti pohon mahoni, tetap bertahan meski kemarau panjang melanda, tetap berdiri kokoh walau harus mengorbankan daun-daunnya berguguran.
🍂🍂🍂
Davin menghampiri kedua sahabatnya yang berada di privat room bar miliknya. Ia menghela napas saat masuk ke ruangan yang sudah berubah kacau balau, pecahan gelas dan botol berserakan di mana-mana. Sementara pelakunya masih terlihat belum puas setelah membuat ruangan mewah itu jadi hancur bagai diterpa badai tornado."Nggak sekalian lo bakar aja bar gue, Van?" sarkas Davin, berjalan mendekat memunguti pecahan beling di lantai.
"Lo total aja, gue ganti semuanya." Napas Reyvan menggebu-gebu, tangannya mencengkram erat gelas sloki. Namun detik berikutnya gelas itu melayang menghantam dinding, pecahannya berjatuhan ke lantai.
Sean yang berada di sampingnya sedari tadi hanya melihat, lantas buka suara. "Beruang kalau ngamuk ganas ya?" celetuknya, tak peduli jika ada sorot mata tajam yang siap menghujamnya.
"Apalagi didekat setan," komentar Davin, bangkit membuang pecahan beling yang dipungutnya ke tempat sampah.
"Vin jangan bikin panas, kalau beruang kesurupan setan lo nggak bakal bisa ngadepin." Davin menoleh, tersenyum miring ke arah Sean.
"Siapa juga yang mau ngadepin, tinggal gue kunciin di sini gue panggil pawangnya masing-masing. Beres."
"Sialan———"
"DIEM LO BERDUA!!" Suara lantang Reyvan menyentak keduanya, Sean sampai mengatupkan mulutnya rapat-rapat.
Davin menghela napas panjang, kemudian duduk di depan Reyvan. "Lo ada masalah?" tanyanya, to the point. "Kalau ada masalah cerita, gue bukan dukun yang bisa nebak masalah lo. Lagian sejak kapan lo kekanak-kanakan begini? Sama sekali bukan seperti Reyvan yang gue kenal."
"Iya Van, lo nyuruh kita ke sini bukan buat ngelihatin lo ngamuk aja 'kan? Kalau iya mending gue pulang nemenin Vina di rumah, mana malam jum'at lagi." Sean mendengkus pelan.
Hening sesaat, Reyvan memejamkan mata sejenak, mengontrol emosi agar tidak meledak. Setelah sedikit tenang, akhirnya dia mulai berbicara. "Rena batalin pernikahannya."
"Apa?"
"What?" Davin dan Sean berucap bersamaan. "Serius lo? Bukannya udah sebar undangan?" Sean tak menyangka, pasalnya persiapan pernikahan Rena dan Alan sudah hampir selesai. Keduanya sudah fitting baju di butik mamanya, pesan kue tart pernikahan sama Vina dan undangan juga baru disebar seminggu yang lalu. Terus sekarang Reyvan bilang pernikahan dibatalin, sungguh mencengangkan.
Reyvan mengangguk pelan, mengusap kasar wajahnya. "Si Alan sialan itu ternyata selingkuh sama sahabatnya Rena." Sean terkejut dengan fakta yang diungkap Reyvan, tapi tidak dengan Davin. Ia sudah tahu karena pagi tadi Rena sudah bercerita semuanya, namun Davin tidak menyangka jika wanita itu akan mengambil keputusan sejauh ini.
Apakah mungkin ini pertanda dari Tuhan? Bahwa Davin masih diberi kesempatan untuk memperjuangkan Rena. Tapi hati kecilnya berkata, tidak seharusnya ia mengambil kesempatan di saat seseorang sedang terluka. Benar, ia tidak mau Rena menerimanya bukan karena benar-benar mencintainya, melainkan untuk pelampiasan sesaat akibat putus cinta.
"Terus gimana?" sahut Sean.
"Ya, batal. Nggak jadi nikah," ucap Reyvan.
"Van, sorry mungkin gua nggak pantes ngomong gini di posisi gue sekarang. Tapi ... bukannya itu jauh lebih baik, ketimbang Rena maksain tetap nikah setelah tahu calon suaminya selingkuh, apalagi sama sahabatnya sendiri. Gue nggak tahu pasti soal perasaan Rena sekarang, tapi gue yakin dia pasti sangat terpuruk banget Van. Harusnya lo suport dia, gue rasa keputusan yang diambil Rena sudah tepat. Karena yang namanya perselingkuhan itu penyakit Van, nggak ada obatnya."
"Lo ngomong gini bukan karena ada maksud tertentu 'kan Vin?" Sean memicingkan matanya.
Davin memutar bola matanya, ia mendengus pelan. "Buang jauh pikiran lo, kalau gue mau seharusnya udah gue lakuin itu semalem."
"Semalem? Apa maksud lo?" Reyvan menatap Davin penuh curiga.
Davin merutuk dirinya yang keceplosan, kalau sudah begini mau tidak mau ia harus jujur. "Sorry gue nggak bilang sebelumnya, gue cuma nggak mau nambahin beban pikiran lo karena anak lo lagi demam. Semalem gue nemuin Rena teler di meja bar, nggak mungkin gue anterin dia pulang dalam keadaan nggak sadar. Gue nggak mau dijadiin samsak bokap lo, jadi gue bawa ke aparteman. Nggak ada pilihan lain."
"Jadi lo sama Rena ...." Sean melotot, membayangkan apa yang dilakukan Davin terhadap Rena. Namun pria itu langsung menggetok kepalanya, membuyarkan bayangan laknat yang berputar-putar di dalam otak kecilnya "Aw! Sakit goblok!" Sean mengusap kepalanya, melemparkan tatapan sengit pada Davin.
"Makanya otak lo sering-sering di service biar nggak kotor," ucap Davin.
"Tapi lo nggak ngapa-ngapain adik gue 'kan?" Pertanyaan Reyvan menarik atensi Davin.
"Nggaklah, lo kira gue cowok apaan. Gue tulus cinta sama adik lo, nggak mungkin gue pakai jalan pintas apalagi sesat. Emangnya si setan." Jawaban Davin menyulut kekesalan Sean, karena dirinya dibawa-bawa.
"Kampret lo!" maki Sean dan Davin tak berniat menggubrisnya.
"Vin," panggil Reyvan.
"Apaan?"
"Kenapa lo nggak nikahin Rena aja." Davin yang sedang minum seketika batuk, tersedak mendengar ucapan Reyvan.
"Lo———"
"Lo cinta 'kan?" Reyvan menanyakan perasaan Davin terhadap Rena.
"Cinta si, tapi 'kan lo tahu cinta gue ke Rena beda keyakinan. Gue yakin cinta sama dia, tapi dianya nggak yakin." Save Davin, percintaannya memang selalu menyedihkan.
"Ya kalau nggak yakin tinggal diyakinin," celetuk Sean.
"Nggak segampang itu Setan!" Davin melengos.
"Masalah itu gampang, tinggal lo mau nggak?" Kini Reyvan menatap serius Davin.
"Maksud lo?" Davin menaikkan satu alisnya, melihat ekspresi Reyvan dan Sean perasaannya jadi tidak enak. Duo laknat itu selalu punya rencana sesat yang meresahkan. Masih ingat Davin bagaimana nekadnya Sean bilang Vina hamil demi mendapatkan restu mamanya yang kaya mak lampir, sedangkan Reyvan tak kalah nekad merusak acara pertunangannya dengan Kimmy dan dengan berani berorasi di hadapan papa Kimmy yang seramnya mengalahkan Voldermort.
"Waktu lo satu bulan buat deketin Rena, kalau lo berhasil lo boleh nikahin adik gue. Tapi kalau nggak, mending lo nggak usah berharap lagi sama dia," ujar Reyvan.
"Satu bulan!" Davin melotot. Mana mungkin, satu tahun saja Davin masih stuck di tempat.
"Kenapa lo nggak bisa? Cih, pantesan aja lo jomblo bertahun-tahun," cibir Sean.
"Kalau lo mau, kita bakal bantuin lo. Tapi ingat Vin, gue nggak mau lo mainin Rena. Kalau sampai lo berani mainin adik gue, siap-siap———"
"Sunat dua kali," sahut Sean, menyela ucapan Reyvan.
Davin mendengkus. "Lo berdua emang aneh, heran gue bisa temenan sama lo berdua."
"Lebih anehan lo kali, cinta kok dipendem, lo kira sampah usus. Sembelit baru tahu rasa lo." Sean geregetan sendiri sama Davin yang terlalu pengecut.
"Jadi gimana, lo mau atau nggak? Tapi jangan coba-coba," kata Reyvan.
"Buat yang tersayang masa coba-coba." Sean kembali menimpali, menirukan selogan iklan minyak kayu putih. Pria itu memang nggak berubah, tidak bisa melihat situasi sedang serius tapi masih sempat-sempatnya bikin lelucon garing.
"Gue usahain." Pada akhirnya Davin mengambil kesempatan emas itu, setidaknya ia sudah dapat restu dari Reyvan. Tinggal proses PDKTnya aja, walau nggak bakal segampang iklan kornetto.
——————
Semilir angin malam menerbangkan helaian rambut panjang Rena yang tergerai, hawa dingin menusuk kulit. Namun hal itu tak membuat wanita itu terpengaruh. Matanya menatap kosong kobaran api di dalam tong di depannya. Masih terngiang jelas ucapannya tadi, saat ia dengan lantang mengucapkan pembatalan pernikahan. Tapi kenyataannya sekarang ia justru meratapinya.
Di samping Rena terdapat kardus berisi barang-barang pemberian Alan yang sudah dikumpulkan, ia berniat membakarnya. Sedangkan di tangannya ada beberapa foto polaroid yang tadinya terpasang di dinding kamar.
Rena menatap satu foto paling atas, foto saat Alan memberikan kejutan di hari ulang tahunnya tiga bulan yang lalu dan jadi hari paling bersejarah karena pria itu juga melamarnya.
"Malam tak akan lengkap tanpa cahaya bintang dan bulan, seperti aku yang tak akan pernah lengkap tanpa kehadiran dirimu di hidupku. Rena, will you marry me?" Air mata Rena tanpa sadar jatuh membasahi pipi ketika teringat kata-kata yang diucapkan Alan saat melamarnya. Pedih, hatinya semakin sakit, seperti ada tangan besar yang meremas hatinya dari dalam.
Cukup! Rena mengusap kasar air matanya. "Lo nggak seharusnya menangisi pria berengsek itu Rena!" Tangannya mengepal, gemuruh dalam dada saling bergejolak. "Semua sudah berakhir, nggak ada yang perlu diratapi lagi. Lo harus ikhlas!" Rena kembali menegaskan pada dirinya sendiri. Ia menghela napas panjang, lalu melempar foto itu ke kobaran api. Selamat tinggal kenangan.
Satu per satu foto kenangannya bersama dengan Alan, ia lemparkan ke dalam api. Meski hal itu tak akan bisa menghapus kenangan yang terekam dalam memorinya, setidaknya Rena tidak perlu merasakan sakit hati setiap kali melihat foto-foto itu. Biarlah kenangannya terpendam di dalam jiwa dan pikirannya, ia tak berniat mengabadikannya dalam bentuk apa pun.
Tersisa foto terakhir, foto yang diambil setahun lalu di pulau Bawah. Waktu itu Alan datang, memberikan suprise tak terduga. Pria itu menyatakan cintanya, tanpa pikir panjang Rena yang juga menaruh hati pada pria itu langsung menerimanya. Ia tak menyangka jika kebahagiaannya bersama dengan Alan akan secepat ini berlalu.
Rena mendecih. "Seharusnya kita tidak pernah bertemu." Ia melemparkan foto terakhir ke dalam tong, foto itu seketika dilahap kobaran api yang mengepulkan asap pekat.
Rena kembali termenung, hingga bunyi notifikasi dari ponselnya menginterupsi. Ia segera membuka pesan masuk, tersenyum samar saat membaca pesan itu.
Jadilah seperti pohon mahoni, tetap bertahan meski kemarau panjang melanda, tetap berdiri kokoh walau harus mengorbankan daun-daunnya berguguran.
Sehancur apa pun duniamu, serapuh apa pun kondisimu saat ini. Tetaplah bertahan, karena hidup terus berputar selagi napas masih berembus. Mungkin hari ini kau hancur, tapi esok hari kau harus bangkit. Tunjukkan pada dunia kalau kau mampu bertahan melewati segala rintangan. Kau pasti bisa, jangan menangis, sebanyak apa pun air matamu mengalir tak akan berubah jadi mutiara. Karena kau bukan putri duyung apalagi Shim Chung.
Rena mendengkus geli membaca pesan yang dikirim oleh Davin. "Dasar jones."
Jika tak mampu melupakan, gantilahkenanganyang menyakitkan dengan kenangan yang baru.Setelah kemelut panjang yang menguras emosi dan waktu tidurnya, akhirnya masa berkabung itu telah usai. Dua hari absen dari rumah sakit, kini Rena kembali menapaki koridor sepi rumah sakit di pagi hari. Semilir angin menyejukkan hatinya, kicauan burung mengiri suarahigh heelsyang bergema."Pagi Dokter cantik," sapa seorang wanita yang sedang mengepel lantai."Pagi," balas Rena, seulas senyuman tipis menghias wajahnya yang terlihat berseri. "Shift pagi, Bu? Sudah sarapan belum?" Rena merupakan Dokter paling muda di rumah sakit Persada Medical Center. Selain parasnya yang cantik, sikapnya juga ramah dan baik pada orang-o
Davin memandangi layar ponselnya, menunggu balasan pesan. Ia terlihat fokus, keningnya berkerut karena pesannya belum juga dibalas. Nyaris saja putus asa, tiba-tiba sebuah notifikasi pesan muncul. Cepat-cepat dibuka olehnya, senyuman lebar seketika terbit saat membaca pesan itu."Yes!" Spontan Davin bersorak kegirangan, berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang baru saja dibelikan kinderjoy."Kamu kenapa Vin?" Mamanya yang baru muncul dari dapur sampai keheranan melihat tingkah laku putra semata wayangnya. Sudah lama ia tidak melihat wajah Davin yang seceria itu. "Abis dapatgive awayya?" tebak wanita paruh baya itu, terlihat penasaran."Ini lebih darigive away, Ma. Davin akhirnya dapat mukjizat." Mamanya mengernyit, semakin bing
"Oh, buat lo," jawab Davin. Namun di luar ekspetasinya, Rena tiba-tiba tertawa nyaring. Wanita itu cekikikan seperti mba-mba penghuni pohon beringin. Jelas Davin merasa heran, apa ada yang lucu dengan jawabannya? Sepertinya tidak. Lantas kenapa Rena justru tertawa setelah mendengar jawaban darinya, kalau bunga mawar itu untuk dia. "Kenapa? Bunganya aneh ya?"Rena menggeleng, menghentikan tawanya. "Bukan bunganya, tapi lo yang aneh.""Gue?" beo Davin, mengerutkan keningnya. Semakin bingung, emang apanya yang aneh? Apa penampilannya aneh? Sontak ia melirik spion di atasnya untuk memastikan dan hasilnya nihil. Menurut Davin, penampilannya sudah sangat oke, ganteng, rapi, wangi, terus letak anehnya di mana coba?"Bukan penampilan lo yang aneh, tapi sikap lo," ucap Rena ketika melihat Davin
Davin meringis, menahan sakit ketika Rena menekan lukanya dengan kapas yang sudah diberi cairan antiseptik. "Awww!"Rena mencebikkan bibirnya. "Sakit 'kan? Emang enak, lagian suruh siapa berantem. Jadi bonyok gini 'kan muka lo!" omel Rena, miris melihat wajah tampan Davin berubah babak belur setelah baku hantam dengan Alan tadi."Aww, pelan-pelan Ren. Lo kayanya dendam banget," keluh Davin, memasang ekspresi seakan orang yang paling teraniaya."Bodo amat! Suruh siapa juga lo berantem, sok jadi pahlawan kesiangan." Rena mengolesi salep ke sudut bibir Davin yang terluka."Terus, lo pengennya gue diem aja gitu lihat lo diseret-seret kaya kambing sama si brekele itu." Davin mendengkus. "Mana bisa Ren, lihat lo dibentak aja hati gue sakit.
Keringat bercucuran dari dahi, napasnya memburu seirama dengan langkah kaki yang terus melaju. Tak peduli dengan embusan angin yang begitu dingin menusuk kulit, Rena terus berlari.Pagi buta, Rena berlari sendirian mengelilingi jalanan komplek menuju taman yang tak jauh dari rumahnya. Semalaman ia terjaga, memikirkan kisah cintanya yang rumit. Bahkan setelah putus dari Alan, pria itu masih menghubunginya, meminta kesempatan kedua.Rena sudah muak, ia sampai memblokir nomor Alan agar tidak bisa mengganggunya lagi. Tapi pria itu tak menyerah dan memakai nomor lain untuk meneror Rena. Sampai-sampai ia harus menonaktifkan ponselnya dan tak bisa memejamkan mata karena bayangan Alan terus menghantui pikirannya. Itu kenapa ia memutuskan lari pagi, berharap mampu melupakan sejenak masalah yang membelenggu.
Vera terbangun ketika merasakan pergerakan di sampingnya, namun matanya tetap terpejam, pura-pura masih tertidur meski sebelah matanya sedikit terbuka untuk mengintip.Mau ke mana?Vera mengerutkan keningnya ketika melihat Alan bangun lebih dulu, pria itu keluar dari kamar mandi setelah mencuci muka dan langsung mengganti pakaiannya.Tadi malam Alan pulang ke apartemen Vera dalam keadaan mabuk. Entah apa yang terjadi, Vera tak sempat bertanya karena pria itu langsung menerkamnya dan mereka menghabiskan malam yang panas sampai dini hari. Namun tak seperti bisanya, Alan bangun pagi-pagi buta begini. Gelagat pria itu juga terlihat aneh, tampak tergesa-gesa.Apa dia menyembunyikan sesuatu?
"Apa lo bisa belajar membuka hati lo buat gue?"Kata-kata Davin terus terngiang, berputar-putar memenuhi isi kepalanya bagaikan radio rusak. Rena duduk termenung di tepi jendela, matanya memandangi embun di kaca setelah hujan deras mengguyur daerah rumahnya beberapa saat yang lalu.Semenjak kepulangannya tadi siang, Rena sengaja mengurung diri di kamar dan enggan ditemui oleh siapa pun. Ia ingin menenangkan diri, selain masih syok akan perlakuan Alan. Ia juga ingin merenungi permintaan Davin, berkali-kali pria itu meminta kesempatan. Seperti waktu di jalan menuju festival musik, Davin juga mengatakan hal yang sama. Pria itu terlihat sangat bersungguh-sungguh, membuatnya dilema. Bingung harus bagaimana, ia tak ingin menyakiti perasaan Davin yang sudah baik padanya. Tapi di sisi lain, ia masih belum yakin dengan dirinya sendiri.
"Aaa ...." Teriakan Rena yang paling kencang di antara pengunjung lain. Bukan karena wahana yang memacu adrenalin, melainkan karena dada yang terasa sesak. "Huaaa!"Davin menolehkan kepalanya ke Rena, ketika tornado yang dinaikinya berhenti di atas. Matanya terfokus pada Rena, walau memakai masker dan kaca mata, ia bisa melihat ada tetes air mata di sudut mata wanita itu. Dadanya nyeri, melihat wanita yang begitu dicintainya terluka. Jika luka fisik, mungkin Davin bisa mengobati, tapi bagaimana dengan luka hati? Yang bisa ia lakukan hanya membuat Rena kembali tersenyum, dengan begitu luka di hatinya akan berangsur terlupakan. Meski ia sendiri tak tahu seberapa lama wanita itu akan memendamnya seorang diri."Huwaaa!" Davin memekik, ketika ia ingin menyeka sudut mata Rena, wahana tornado yang dinaikinya justru terjun ke bawah. "Huuuaaa ..
Rena mengernyit ketika mobil Davin berhenti di pelataran rumahnya, sorot matanya langsung tertuju pada barisan mobil yang terparkir di depan rumah—————nyaris memenuhi teras rumahnya.Ada apa ini?Rena bertanya-tanya, matanya memperhatikan keadaan rumahnya yang terpantau sepi meski banyak mobil terpakir di depannya.Apa ada tamu? Tapi siapa yang bertamu pagi-pagi begini? Hanya orang-orang kurang kerjaan yang bertamu sepagi ini. Bahkan mungkin orangtuanya baru terbangun. Di saat Rena sibuk dengan berbagai pertanyaan yang berseliweran di dalam kepalanya, dari arah samping suara Davin menginterupsi."Ayo." Davin sudah melepas sabuk pengaman, bersiap akan turun.
Kitaperlu bicara, dari hati ke hati.-Davin-Davin berjalan gontai memasukiprivat roomdi klub miliknya. Ketika pintu terbuka, bunyi terompet berpadu dengan suara teriakan heboh dan percikan kertas kerlap-kerlip menyambutnya."Surprise!!" seru kelima pria tampan yang tak lain sahabat-sahabatnya sejak SMA.Namun, bukannya senang mendapat kejutan tak terduga dari para sahabatnya. Davin malah mendengkus pelan, wajahnya nampak kusut dan tak bersemangat. Langkahnya seperti zombi kelaparan, berjalan lesu menuju sofa tanpa menghiraukan satu pun para sahabatnya yang dibuat cengo oleh sikapnya."Lo kenapa?" tanya Rey
Dering ponsel memekakkan telinga, Rena yang masih terlelap di atas kasur empuknya mulai terusik oleh suara nada dering dari ponselnya yang begitu bising memenuhi ruang kamar. Kelopak mata Rena perlahan terbuka, ia menoleh ke samping, tangannya terulur meraih ponsel.Rena mendengkus pelan ketika melihat nama si penelepon yang muncul di layar, orang yang telah mengusik tidur lelapnya. Padahal semalam Rena pulang waktu dini hari, rasa kantuk jelas masih mendominasi meski saat ini waktu sudah menunjukkan pukul sembilan pagi."Kenapa?" Rena langsungto the pointketika mengangkat panggilan dari kakaknya. "Mama?" Ia mengerutkan kening, sebelum akhirnya mengembuskan napasnya dengan kasar. "Kak Reyvan nelpon aku cuma buat nanyain mama di mana? Kakak 'kan bisa telepon langsung ke nomor mama, kenapa harus nelepon aku. Ganggu or
Acara lamaran antara Davin dan Rena sudah dilakukan seminggu yang lalu, kedua keluarga sudah memutuskan tanggal pernikahan yang akan digelar satu bulan lagi. Terkesan mendadak memang, namun itu demi kebaikan bersama mengingat banyak rumor tak sedang yang beredar. Demi menepis segala gosip miring itulah pernikahan keduanya dipercepat dan selama beberapa hari ini baik Rena dan Davin sudah sibuk mempersiapkan segala perlengkapan pernikahan keduanya, dibantu kedua orangtua masing-masing.Rena tersenyum manis ketika mendapat pesan dari Davin, pesan romantis dan terkesan ambigu seperti biasa. Ya, ia sudah terbiasa dengan kelakuan Davin, hal itu justru membuat Rena semakin mencintai pria itu. Davin yang romantis, terkadang nyeleneh, memberikan kesan berbeda di mata Rena."Iya, ini sudah selesai," ucap Rena ketika mengangkat panggilan telepon d
Seperti biasa, saat Rena keluar dari rumah sakit sudah ada mobil Davin yang menunggu di depan lobi. Pria itustand bydi samping pintu mobil, menyunggingkan senyum manisnya ketika Rena menghampiri."Hai, makin cakep aja pacar aku." Dan seperti biasa, gombalan garing akan meluncur dari mulut Davin."Kenapa? Terpesona ya?" balas Rena, mencondongkan sedikit tubuhnya ke depan Davin yang lebih tinggi darinya."Iya, nih," ucap Davin, kemudian mengecup kening Rena sampai membuat sang empu membeku sesaat."Davin!" pekik Rena setelah kesadaran mengambil alih, ia melirik ke sekitar di mana orang-orang tampak berseliweran keluar masuk rumah sakit, beberapa dari mereka mencuri pandang ke arahnya. "Rese!" Seraya menahan malu Ren
Lima menit berlalu, suasana hening masih menyelimuti ruang rawat Vera. Hanya embusan napas berat yang silih berganti antara dua orang wanita yang sama-sama membisu seribu bahasa. Kecanggungan antara Vera dan Rena terlihat jelas dari gestur tubuh keduanya, saling melirik satu sama lain, namun enggan membuka obrolan lebih dulu."Gimana?" Rena akhirnya buka suara setelah keheningan yang cukup lama, menurunkan sedikit egonya untuk berbicara lebih dulu. "Nggak ada yang sakit 'kan? Kata Dokter Maya, hari ini lo udah boleh pulang."Vera mendesis pelan, melirik sinis Rena. "Nggak usah sok perhatian lo! Bukannya lo seneng, lo pasti lagi bahagia banget 'kan lihat gue sengsara kaya gini?"Rena menghela napas panjang, tak terpancing akan ucapan Vera yang mencercanya. "Gue tahu Ver, ini nggak mudah
Mengalah bukan berarti kalah, memaafkan bukan berarti salah, hanya sebuah proses dari sudut pandang berbeda yang menunjukkan kebesaran hati seseorang dalam mendewasakan diri.-Rena Tara Adriansyah-❤❤❤"TIDAK!!!" Tubuh Rena seketika merosot ketika melihat Vera nekad menjatuhkan diri dari tepian jembatan penyeberangan. Ia tak kuasa menahan tangis, tak berani membuka matanya untuk melihat tubuh Vera yang pasti hancur menghantam aspal jalanan Tol yang berada di bawah jembatan. Namun suara teriakan Vera menyentak gendang telinganya."LEPAS!""LEPASKAN GUE!""BIARIN GUE JATUH
Manusia, pencipta rumor paling kejam, penikmatgibah, pecanduhoaks.Mobil yang dikendarai Davin tiba di depan parkiran rumah sakit, sebenernya Davin ingin mengantar Rena sampai lobi. Namun wanita itu meminta diantarkan sampai parkiran saja, wanita itu tidak ingin orang-orang berspekulasi negatif jika melihat dirinya diantarkan oleh pria lain setelah rumor tak sedap tersebar luas atas gagalnya pernikahannya dengan Alan."Makasih, gue langsung masuk ya." Rena tersenyum manis, sembari melepas sabuk pengaman. Ia ingin bergegas keluar, takut kalau ada orang yang melihat. Bisa dibilang kalau saat ini Rena dan Davin memangBackstreet, ia belum siap untukgopublik. Bukan karena apa-apa, hanya saja ia tak
"Yes.""Tapi pacaran dulu ya."Davin tersenyum geli, membayangkan ekspresi Rena semalam saat menerima lamarannya. Di depan para tamu undangan Rena menganggukkan kepala sebagai jawaban, pipinya bersemu tampak malu-malu. Apalagi ketika Davin tanpa izin langsung memeluknya, beruntung Reyvan sudah merestuinya. Jika tidak, mungkin ia akan dihakimi oleh pria itu. Tapi di saat pelukan itulah Rena berbisik pelan, meminta waktu untuk saling mengenal lebih dekat lagi. Jadi keduanya sudah resmi pacaran sekarang.Senangnya dalam hati, baru punya pacar lagi. Seakan, dunia, hanya milik berdua.Plak!Itu lagu poligami kenapa lo aransemen liriknya Bambang!